Sabtu, 18 Maret 2017

Gangguan Orang Asing

Tadi malam aku benar-benar kurang tidur. Aku baru memejamkan mata menjelang jam satu dini hari karena mengerjakan tugas kantor yang kubawa pulang, kemudian terbangun sekitar jam setengah dua karena terganggu oleh nyamuk dan mencoba buat tidur lagi. Baru beberapa detik mataku terpejam, aku dikejutkan sama suara-suara gaduh di luar. Awalnya sih hanya suara langkah kaki, tapi setelah itu yang terdengar adalah suara orang berbicara. Awalnya kupikir orang yang ngekos di sebelah rumahku sedang mengobrol dengan temannya. Aku cuekin aja. Tapi kok lama kelamaan makin berisik. Nggak hanya suara seseorang berbicara, tapi juga disertai suara gedebak gedebuk, suara nafas, dan erangan.

Akhirnya aku memutuskan buat keluar kamar dan mengecek keadaan di luar lewat jendela ruang tamu. Sesampainya di ruang tamu, rupanya ibu dan bapak udah lebih dulu keluar kamar dan mengecek keadaan di luar. Pintu depan tertutup, ibuku memandang ke luar jendela, sementara bapak berbicara dengan seseorang—si pembuat gaduh itu.
"Siapa itu, Bu?" tanyaku. Ibu menggeleng nggak tau dengan ekspresi wajah cemas. Si pembuat gaduh itu—laki-laki yang mungkin usianya nggak jauh dari usia bapak—meracau dengan kata-kata yang kurang jelas, seperti orang yang terganggu akalnya. Ia duduk di beranda rumah kami dengan nafas terengah-engah. Bapak memberinya beberapa uang logam dan menyuruhnya pulang, tapi ia menolak. Ia memang sempat berdiri dan hampir meninggalkan rumah ini. Tapi sesampainya di ujung jalan masuk rumahku, ia malah berteriak-teriak, menjatuhkan diri, dan menggelepar di atas jalan beraspal seperti kerasukan. Terkadang ia seperti ketakutan pada sesuatu yang nggak kami lihat dan dengar. Mungkin dia berhalusinasi atau.. entahlah.

Setelah menggelepar, laki-laki itu bangkit dan berjalan cepat ke arah kami sampai hampir menubruk pintu depan. Bapak menahannya dan meminta ibu untuk mengunci pintu. Aku dan ibu yang masih berdiri di ruang tamu benar-benar bingung harus berbuat apa. Kami khawatir sama bapak. Tubuh laki-laki itu lumayan besar jika dibandingkan sama bapakku yang kurus. Lebih-lebih kalo mengingat rumor yang lagi santer belakangan ini tentang pelaku kriminal yang berpura-pura gila. Well, memang sih, keluargaku bukan termasuk keluarga yang bisa dibilang cukup berada dan sangat jauh dari kriteria target perampokan, tapi kan tetep aja khawatir. Mana si om yang ngekos di sebelah rumah malah cuma nonton doang, nggak berbuat apa-apa.

Saking khawatirnya, ibu sampai menelpon Pak RW dan Wak Apip—kakak kandung bapak yang kebetulan masih tetangga. Namun respon yang kami terima dari Pak RW sungguh mengecewakan.
"Cuekin aja, Bu", gitu katanya. Gimana nyuekinnya coba? Meresahkan gitu. Sementara Wak Apip datang dengan membawa pentungan kayu. Yah, nggak bermaksud menyakiti sih, buat jaga-jaga aja kalau-kalau terjadi hal yang nggak diinginkan.

Tiga orang membujuk laki-laki itu pergi : Bapak, Wak Apip, dan A' Maman—sepupuku, tapi nggak berhasil. Laki-laki itu tetap bersikeras untuk tetap disitu. Takut anjing, katanya, padahal nggak ada apa-apa. Wak Apip dan A' Maman nyerah duluan, dan lagi-lagi bapak harus menghadapi laki-laki itu sendirian. Tapi untungnya sih dia nggak ngamuk-ngamuk lagi, sehingga setelah dirasa aman dan yakin bahwa laki-laki itu nggak berbahaya, kami pun meninggalkan dia di luar rumah. Waktu itu jam menunjukkan hampir jam setengah empat dini hari, kami baru bisa kembali ke kamar masing-masing.

Laki-laki itu baru mau pergi ketika pagi datang. Haaahh.. syukurlah. Semoga besok-besok nggak ada lagi hal-hal menegangkan kayak gitu. Seriously, semenjak kejadian semalam itu, aku jadi trauma kalo melihat pintu depan yang dibiarkan terbuka saat hari udah gelap. Entahlah.. Serem aja kalo keinget gimana laki-laki itu berjalan cepat ke arah pintu. Mungkin besok-besok akan lebih baik kalo didepan rumah dibangun pagar, biar lebih aman.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;