Rabu, 16 Agustus 2017

The Battle of the Angkots and Online Ojeks

Bukan. Ini bukan review film yang baru kutonton ataupun novel tentang pertarungan Raja Angkot melawan Raja Ojek yang baru aja kubaca, melainkan sebuah masalah yang sedang ramai-ramainya muncul di News Feed beranda sosmedku sejak kemarin.

Hmm.. kalian yang tinggal di Cirebon tentu tau, apa yang sedang jadi Trending Topic diantara para masyarakat Cirebon baru-baru ini. Yup, tentang para supir angkot yang melakukan aksi mogok massal dan berdemo untuk menuntut transportasi online dihentikan. Awalnya aku yang setiap hari berangkat dan pulang kerja naik angkot (tapi juga mendukung adanya transportasi online) nggak begitu ambil pusing tentang hal ini, karena toh mereka mogok narik cuma hari ini, dan aku yakin dengan makin berkembangnya jaman, transportasi online akan terus ada meski angkutan umum konvensional melakukan demo seperti apapun. Untuk sementara ini aku bisa pakai jasa ojek online dulu, meskipun yaaah tarifnya memang dua kali lipat dibanding naik angkot. Kalo naik angkot biasanya dari rumah ke kantor cuma butuh tarif empat ribu, sedangkan kalo pakai ojek online tarifnya sembilan ribu.

Dari pesan WA berantai yang kuterima, demo yang dilakukan para supir angkot itu dilaksanakan pada hari Selasa—kemarin—jam sembilan pagi. Aku yang berangkat kerja jam setengah delapan pagi berpikir bahwa saat itu masih ada angkot. Eh, ternyata apa? Pas udah sampai di jalan raya, ternyata jalan raya sepi banget, cuma ada becak dan kendaraan-kendaraan pribadi. Angkot ada sih segelintir.. tapi bukan angkot jurusan tempat kerjaku. Aku nggak bisa nunggu lebih lama karena jam udah menunjukkan pukul delapan kurang dua puluh menit. Ya udah deh, aku buka aplikasi Gr*b-ku dan order satu ojek.

Sekitar tiga menitan, ojek orderanku datang. Ia meminta maaf karena nggak pakai atribut Gr*b-nya. Aku segera paham. Ia juga menghindari kawasan Balai Kota, karena menurut penuturannya, para supir angkot udah berkumpul disana sejak pagi.
“Hari ini saya udah cancel tiga orderan, Mbak, karena takut ada apa-apa di jalan. Setelah nganter Mbak juga rencananya saya mau langsung pulang saja”, katanya.

Jam delapan kurang enam menit, kami tiba di depan gedung tempat kerjaku. Aku membayar ongkos dan nggak lupa juga mengucapkan terima kasih. “Hati-hati di jalan, Pak”, kataku. Ia mengangguk. Semoga ia tiba di rumah dengan selamat.

Pulang ngantor, aku diantar Pak Benny. Nggak sampai rumah sih, coz aku minta diantar ke rumah Dokter Indah Mira. Pulang dari rumah dokter, baru deh aku pakai jasa Gr*bb*k* lagi. Itu juga ordernya butuh waktu beberapa menit, karena tiga orang driver menolak orderanku.

Nah, hari iniiiiii.. baru deh aku benar-benar merasakan dampak dari masalah ini. Pasalnya, mogoknya angkot yang kukira hanya terjadi satu hari rupanya masih berlanjut hingga hari ini. Well, aku masih bersyukur karena angkot dari rumah menuju tempat kerja udah lumayan banyak yang narik, tapi angkot dari tempat kerja menuju rumah itu yang nggak ada sama sekali. Aku tengok berita online seputar Cirebon di Instagram, rupanya angkot-angkot itu masih mogok narik. Angkot D4 misalnya, yang biasa kutumpangi dari tempat kerja menuju rumah. Angkot-angkot itu berkumpul di kawasan Diponegoro. Nggak beroperasi sama sekali.

Aku yang baru aja beli siomay langganan di depan kampus sampai hampir lumutan di pinggir jalan. Order Gr*bb*k* malah gagal mulu. Sekalinya nemu driver, orangnya nggak jalan jalan (kelihatan dari maps). Banyak sih tukang ojek konvensional disitu. Tapi ketika kutanya, tarifnya mahal banget. Lima belas ribu sekali jalan. Geez.. itu sih bisa jadi ongkos naik angkot dua hari. Ditawar sepuluh ribu nggak mau. Beruntunglah mereka yang punya dan bisa bawa kendaraan, atau punya seseorang yang bisa dimintai tolong untuk antar jemput. Sedangkan kendalaku tiga. Pertama, aku nggak bisa bawa motor di jalan besar. Kedua, motornya nggak ada (karena dibawa adikku ke Karawang). Ketiga, aku bukan tipe orang yang suka ngerepotin orang dengan minta antar sana sini, meski orang itu adalah teman dekatku. Apalagi kalo orang itu nggak punya kepentingan yang sama. Tri misalnya. Meski berteman sejak kecil, tapi rasanya hampir nggak pernah aku minta tolong antar. Sekalinya minta antar palingan waktu datang ke acara Meet and Greet bareng Fiersa Besari dua bulan lalu. Yah, kecuali kalo orang itu nawarin.

Well, back to the story.
Ketika rasa muak mulai menuju ujungnya, tiba-tiba ada tukang ojek konvensional yang nawarin jasanya. Dia mau dibayar sepuluh ribu. Aku sempat nolak karena udah keburu order Gr*bb*k*, tapi karena Gr*bb*k* yang aku order nggak kunjung datang, akhirnya aku cancel dan pakai jasa ojek tadi. Ini pertama kalinya aku pakai jasa ojek konvensional. BTW, Mang Ojek nya rada serem deh. Sepanjang jalan dia ngajak ngobrol dan dia buka-buka aib dua perempuan yang katanya dulu nolak dia gitu. Mana dia pake nanya-nanya statusku, trus kepengen ngenalin aku sama temannya gitu. Whatthehell? Semoga besok-besok nggak ketemu Mang Ojek itu lagi.

Forget that!
Anyway.. dengar-dengar Pak Walikota mengabulkan protes para pengusaha angkot dan sopir angkot itu. Beliau melarang transportasi online untuk beroperasi. For God’s sake, aku kecewa sama keputusan Pak Walikota ini, dan aku bukan satu-satunya yang kecewa. Di luar sana juga banyak yang merasa terbantu dengan adanya transportasi online dan sangat menyayangkan sikap Pak Walikota yang terkesan ambil keputusan sendiri. Kebanyakan masyarakat lebih berpihak pada transportasi online ketimbang angkot karena dianggap lebih nyaman, aman, cepat, dan murah. Berbeda dengan angkot yang kebanyakan ngetem, sering asal menurunkan penumpang, merokok di dalam angkutan, dan kurang aman. Udah gitu kadang-kadang maksa penumpang naik. Orang nggak ngacungin jari, dia bunyiin klakson. Udah gelengin kepala, dia malah berhenti didepan. Dibilang enggak malah sewot. Kan aneh.  “Lebih baik angkot aja yang ditiadakan!” komentar salah satu netizen yang kubaca di akun berita online seputar Cirebon di Instagram.

Aku pribadi, sebagai pengguna jasa keduanya, kurang setuju dengan komentar netizen tadi. Siapa bilang semuanya akan baik-baik aja kalo angkot ditiadakan? Buktinya, kemarin dan hari ini banyak lho adik-adik pelajar yang terlantar di pinggir jalan karena nggak ada kendaraan buat ke sekolah atau kampus. Apalagi hari ini ditambah dengan diberhentikannya jasa transportasi online. Duh, kasian. Kemarin siang Mas Febri melihat beberapa orang siswa SMA berjalan kaki dari sekolah ke rumah. Hari ini giliran aku yang lihat.

Ojek, angkot, dan becak juga berguna banget buat para ibu-ibu yang mau ke pasar, juga masyarakat menengah ke bawah, khususnya mereka yang belum menggunakan hape jenis Android. Bahkan aku sendiri yang udah pakai Android (dengan aplikasi Gr*b yang siap pakai) pun masih sangat membutuhkan jasa angkot karena tarifnya yang lebih murah buat karyawan swasta yang gajinya nggak seberapa ini :(

Transportasi online pun nggak kalah penting. Siapa yang kalo pulang ngampus atau pulang kerja pas hari gelap? Nah, ketika hari udah gelap, penumpang pasti memilih transportasi yang cepat dan aman (apalagi cewek. Ya know lah, kalo hari udah gelap setan astral maupun non astral makin banyak yang keliaran). Atau seseorang yang mendadak harus segera dibawa ke rumah sakit, sementara waktu udah di atas jam sepuluh malam. Nah, disinilah transportasi online berperan. Selain itu, bukankah dengan adanya perusahaan transportasi online, itu sama aja mengurangi jumlah pengangguran?

Jadi intinya menurutku, baik transportasi umum konvensional maupun transportasi online, keduanya sama-sama berperan penting bagi mobilitas masyarakat. Jadi jangan sampai lah ada yang diberhentikan. Jangan juga ada kecemburuan. Miris deh, tadi sore aku baca berita, ada driver taksi online yang dijotos supir angkot gitu. Miris plus kesel bacanya.

Dear, Mang Kot. Kenapa sih pada anarkis gitu? Udah demo, sekarang main jotos orang. Sama-sama cari nafkah, Mang! Rejeki juga udah diatur Tuhan. Lagipula, apa Mang Kot pikir dengan menjotos driver taksi online itu, lantas pendapatan Mang Kot bertambah? Penumpang angkot makin banyak? Enggak, Mang. Sekarang media banyak yang meliput, image Mang Kot makin jelek. Sekarang Mang Kot nggak hanya dikenal sebagai tukang ngetem, tukang nurunin penumpang sembarangan, dan pengemudi yang nggak peduli sama keamanan dan kenyamanan penumpang, tapi juga tukang anarkis. Penumpang makin enggan naik angkot. Lihat tuh, para pengemudi online itu. Ketika Mang Kot mogok narik, mereka sampai narik penumpang sembunyi-sembunyi, bahkan ada yang rela nggak dibayar buat nganterin adik-adik pelajar ke sekolah. Nggak ada yang anarkis. Jadi daripada cemburuan kayak gitu, mending introspeksi diri dulu deh. Apakah Mang Kot udah memberikan pelayanan yang baik pada penumpang? Apakah Mang Kot bisa menjamin keamanan dan kenyamanan penumpang? Apakah Mang Kot juga bisa tertib di jalanan dan menunjukkan attitude yang baik? Ini kok malah anarkis, kayak yang nggak diajarin tatakrama (-.-“)

Sejauh ini, Pak Walikota menuturkan bahwa penghentian operasional transportasi online ini hanya bersifat sementara. Yah, semoga memang sementara, karena hey.. ini udah tahun 2017. Jaman udah makin maju. Kemajuan teknologi nggak bisa dibendung. Sekarang apa-apa udah pakai internet. Masa iya mau pakai cara konvensional mulu. Kalo gitu sih boro-boro ngarep Cirebon bisa kayak Bandung *sigh*

Yah, semoga polemik ini segera berakhir dan segera menemukan win win solution, biar nggak ada salah satu pihak yang untung dan salah satu pihak yang rugi. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;