Senin, 22 Maret 2021 1 komentar

BUKU : White Wedding by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Siang ini, di tengah-tengah kesibukanku menyelesaikan pekerjaan kantor, tiba-tiba aja muncul perasaan kangen mengulas buku yang sudah kubaca. Sebenarnya cukup banyak buku yang sudah kubaca dan ingin sekali kuulas, hanya aja nggak sempat dan akhirnya keburu lupa. Haahh.. entahlah, aku sebenarnya kesal sama diri sendiri karena semakin kesini minat bacaku semakin berkurang. Bukan hanya membaca, tapi hal-hal yang dulu gemar kulakukan sedikit demi sedikit rasanya makin memudar, seperti menggambar dan menulis catatan harian. Yah, aku memang masih suka membaca buku, tapi proses menyelesaikannya itu bisa lamaaa banget.

***

Aku menemukan buku ini diantara tumpukan buku-buku di acara bazar buku murah di Living Plaza bulan Januari tahun 2020 lalu. Aku menelusuri satu persatu rak yang berisi tumpukan novel, sambil chatting via WhatsApp dengan Zahara. Well, hampir setiap ada bazar buku murah di kotaku, Zahara yang tinggal di Indramayu selalu jadi yang paling tau dan selalu mengabariku karena ia tau aku pasti mau datang ke bazar itu. Setibanya di bazar, biasanya aku akan langsung mengabarinya, dan mengirimkan foto rak-rak yang kulewati, siapa tau ada buku yang membuatnya tertarik dan ingin ia beli.

Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, penulis dengan nama yang sulit ini sebenarnya nggak (atau lebih tepatnya belum) ada dalam daftar penulis favoritku, dan tentunya buku ini pun nggak ada dalam daftar buku yang ingin kubeli. Namun saat kukirimkan foto rak dimana buku ini tersimpan, Zahara sempat meliriknya, meski nggak jadi membelinya. Alih-alih mengembalikan buku ini ke tempatnya, aku yang tertarik dengan sinopsis buku ini akhirnya memutuskan untuk membawanya pulang.


Buku ini menceritakan tentang kehidupan seorang gadis berusia sebelas tahun yang terlahir albino bernama Elphira. Ia tinggal berempat bersama neneknya, ayahnya yang menderita leukemia, dan ibunya yang pernah menderita gangguan jiwa setelah mengetahui bayi yang dilahirkannya menderita albino. Semua keadaan menyedihkan itu membuat Elphira sangat membenci warna putih. Baginya warna putih adalah warna yang buruk. Ayahnya sakit karena kelainan sel darah putih, ibunya mengalami gangguan jiwa karena melahirkan anak albino, dan warna putih yang dominan di tubuhnya membuat Elphira merasa bahwa dirinya tampak seperti hantu. 

Photo of fashion model Kimi Nastya Zhidkova - ID 629739 | Models | The FMD
Model : Nastya Zhidkova


Kondisi fisik Elphira yang demikian tentunya sangat membatasi ruang geraknya. Elphira nggak bisa bersekolah dan beraktifitas di luar rumah seperti anak-anak lainnya karena kondisi kulit dan matanya yang rentan terhadap sinar matahari. Oleh karena itu, ayahnya meminta Sierra, seorang pemuda berusia lima belas tahun, untuk memberinya les privat. Bahkan nggak hanya mengajarkan banyak hal, Sierra pun menjadi sahabat Elphira.

Setiap waktu, Sierra selalu mencoba untuk mengubah pandangan Elphira terhadap warna putih. Dengan sabar, Sierra meyakinkan Elphira bahwa begitu banyak hal baik yang dilambangkan dengan warna putih : Perdamaian, ketulusan, harapan, pengorbanan.. Segala cara dilakukan Sierra agar Elphira nggak lagi membenci warna putih, dan yang terpenting adalah berdamai dengan keadaan dan mulai mencintai dirinya sendiri, hingga suatu hari Elphira menyadari sesuatu : Sierra bukanlah manusia.

***

Disebut dongeng, tapi buku ini mengandung sains dan filosofi yang bisa menambah wawasan pembaca. Dibilang bukan dongeng, tapi isi ceritanya 'ngelantur' banget. Di awal-awal membaca, aku sempat menebak-nebak bahwa Elphira ini nggak hanya menderita albino, tapi juga menderita skizofrenia. Aku sempat mengira bahwa semua kebersamaan Elphira dengan Sierra sebenarnya hanya ada di dalam imajinasi Elphira. Wkwkwk. Tapi perlahan-lahan jati diri Sierra terkuak, bahwa dirinya memang merupakan sosok malaikat, bukan sosok fiktif yang ada di kepala Elphira.

Sedikit out of topic. Membaca buku ini sedikit mengingatkanku pada buku berjudul Lucian karya Isabel Abedi karena sama-sama menceritakan tentang sosok malaikat yang jatuh cinta pada manusia. Namun meski akhir cerita Lucian di luar dugaan, jujur aku kurang sreg dengan romantismenya yang menurutku terlalu berlebihan dan menggambarkan hubungan antara malaikat dan manusia yang menurutku terlalu intim. I wish you know what I mean. Yah mungkin karena Rebecca (tokoh utama dalam buku itu) merupakan sosok remaja kali ya, jadi isi ceritanya lebih 'dewasa' gitu. Aku nggak bilang Lucian buruk, just not kind of my favorite romance sih. Hehehe.

Untuk White Wedding sendiri, entah kenapa akhir ceritanya dengan mudahnya bisa kutebak. Tapi aku suka cara Sierra mencintai Elphira dengan sederhana, seperti seorang kakak yang selalu membimbing dan melindungi, dan aku justru lebih baper dengan kisah seperti ini. Huhu. Ada satu percakapan antara Sierra dan Elphira yang membuatku tertarik.
"Bagaimana caranya hidup tanpa papa? Bagaimana caranya hidup sendiri, Sierra?"
"Kamu nggak akan hidup sendiri, Elphira"
"Aku akan hidup sendiri suatu hari nanti. Aku tahu kok. Meskipun aku masih kecil, aku tahu. Hanya saja kurasa, suatu hari itu akan datang lebih cepat. Dan kurasa, aku belum siap menghadapinya."
"Papamu cuma satu orang. Yang mencintaimu bukan hanya satu orang". Hal. 56-57
Percakapan itu membuatku sebentar merenung, bahwa ketika sedang berada di titik terendah, kita, manusia seringkali berpikir sempit. Kita terlalu berfokus pada masalah yang kita hadapi. Seperti pada kasus Elphira, ia terlalu fokus pada rasa takut kehilangan ayah yang dicintainya. Ia berpikir bahwa kehilangan ayahnya berarti akhir dari segalanya. Ia berpikir kepergian ayahnya hanya akan membawanya pada kesendirian. Ia nggak ingat bahwa ibu, nenek, dan orang-orang di sekelilingnya pun juga mencintainya.

Yah, sebagai sebuah buku yang dibeli secara random, buku ini nggak membuatku menyesal setelah menebusnya. Kayaknya kalo next time ketemu lagi dengan karya lain Mbak Ziggy di bazar, aku bakal ambil. Penasaran juga dengan Jakarta Sebelum Pagi :)

Selasa, 16 Maret 2021 0 komentar

My New Chapter : After Story

Dua bulan berlalu pasca membuka lembar baru dalam hidup. Sebenarnya banyak banget yang kami rasakan selama dan pasca resepsi pernikahan antara aku dan Mas. Tepatnya sih perasaan kecewa yang dominan kami rasakan terhadap beberapa pihak. Bahkan setelah berminggu-minggu pun kami masih membahas hal itu, karena yaah rasanya masih mengganjal aja gitu.

Seperti yang kusampaikan pada postingan sebelumnya, bahwa aku akan menceritakan bagian-bagian menyebalkan itu dalam tulisan terpisah. Ya, dalam postingan kali ini.


***

Kamis 7 Januari—dua hari menjelang hari pernikahan, aku membaca status WhatsApp Mbak Dea (bukan nama sebenarnya; MUA kami) yang isinya tampaknya menyindir si empunya hajat. Memang sih dia nggak sebut nama, tapi berhubung saat itu dirinya sedang menangani persiapan acara pernikahanku, perasaanku jadi nggak enak.

Jum'at 8 Januarikeesokan harinya, ia kembali meng-update status serupa, dan saat itu dirinya sedang berada di rumahku bersama crew dekorasi. Aku jadi semakin yakin bahwa sejak kemarin, ia memang menyindir keluargaku. Intinya status itu menyindir-nyindir bahwa keluargaku terlalu cuek dan nggak peduli padanya.

Aku pun menceritakan hal itu pada Mas dan pada keluargaku, dan kami bertanya-tanya mengenai alasan mengapa dia tiba-tiba update status seperti itu, karena kami nggak merasa melakukan kesalahan apapun padanya. Kami juga yakin bahwa kami sudah menjamu dia dan crew-nya dengan baik setiap kali mereka datang ke rumah.

"Apa mungkin selama ngawasi crew tenda dan dekorasi, dia kepingin ditemani kali ya?" pikir ibuku.

FYI, Mas adalah anak tunggal. Kedua orangtuanya sudah meninggal beberapa tahun silam, dan ia nggak memiliki sanak saudara di kota ini. Mereka tinggal di Magelang, Jakarta, Depok, dan Kalimantan. Satu-satunya kerabat yang ia miliki di kota ini hanyalah uwaknya (kakak dari almarhum ayahnya) yang kadang berkunjung ke rumah keponakannya itu untuk menjenguk. Karena hal ini, maka kegiatan persiapan pernikahan kami (khususnya dalam hal masak-memasak untuk prasmanan dan menjamu tamu) sebagian besar dilakukan oleh keluargaku. Oleh karena itu, tentunya kami menjadi sangat sibuk, dan menemani Mbak Dea selama mengawasi crew tenda dan dekorasi adalah hal yang hampir mustahil.

Mendengar ceritaku, nenek menghampiri Mbak Dea. Sambil membawa kue di atas piring, nenek menuturkan permintaan maaf padanya.
"Maaf ya, Bu, kalo disini (sikap kami) mungkin nggak mengenakkan. Mohon maklum, yang bantu-bantu disini semuanya tamu dan semuanya sibuk di dapur. Jadi kalo Ibu butuh minum atau butuh apa-apa, langsung bilang aja."
Namun alih-alih menjawab dengan sopan, Mbak Dea justru menjawab ucapan nenek dengan nada ketus, "Sibuk apa?" 

Hal itu tentunya membuat aku dan keluarga menjadi hilang respect padanya, mengingat ia dan timnya adalah penyedia jasa. Jika ada masalah atau sesuatu yang nggak berkenan baginya, bukankah ia bisa sampaikan langsung pada klien? Bukannya menyindir-nyindir klien via status seperti anak ABG labil, ditambah lagi berkata dengan nada ketus pada orang lain yang bahkan usianya puluhan tahun diatas usianya.


Belum cukup sampai disitu.

Ibuku bercerita, bahwa pada saat menyiapkan salah satu kamar kos di rumahku sebagai kamar rias, ibu sempat bertanya pada Mbak Dea, apakah ruangan itu cukup potensial dijadikan kamar rias pengantin dan pagar ayu. Namun yang ditanya malah nggak memberikan respon apapun. Hmm.. lagi-lagi krisis etika 🙂

Sekitar jam setengah enam pagi, aku menemui Mbak Dea dan timnya untuk dirias. Wajah Mbak Dea tampak nggak ada ramah-ramahnya saat itu. Aku hanya melempar senyum, tapi nggak mood untuk mengajaknya ngobrol. Namun di tengah-tengah pekerjaannya meriasku, ia sempat menyinggung soal ibuku yang menurutnya sok sibuk.
"Ibu hajat kok keluar-masuk-keluar-masuk rumah aja", katanya waktu itu.
"Kayak ingus ya, Mbak", salah satu asistennya ikut menimpali, diikuti suara cengengesan satu asisten lainnya. Kurang ajar nggak sih? Mungkin maksudnya becanda kali yah, tapi sorry to say menurutku itu lancang dan nggak lucu sama sekali.
"Iya, keluar-masuk-keluar-masuk rumah aja. Sebentar nemuin kita, trus masuk lagi. Kesannya kayak nggak menghargai kita."

What the hell?
Aku hanya mengernyitkan dahi. Nggak menghargai bagaimana?
Seperti yang sudah kutuliskan di atas, selama menangani persiapan pernikahanku, ibu selalu menjamu Mbak Dea dan timnya dengan baik. Kopi panas dan es manis ibu sediakan sesuai permintaan, nggak lupa juga beberapa piring camilan dan rokok dengan merk yang mereka suka. Bagian mana yang mereka sebut nggak menghargai?

Yah, mungkin ibuku memang nggak memiliki cukup waktu untuk menemani Mbak Dea dan crew-nya sepanjang waktu, but please anyone tell me, apakah menjamu mereka seperti itu belum cukup untuk disebut menghargai?

Dan aku nggak tau ya, apakah masalah keluargaku-yang-dianggap-nggak-menghargai-mereka itu mempengaruhi pelayanan mereka. Pasalnya, menurut kami pelayanan Mbak Dea dan timnya itu benar-benar kurang memuaskan.

Pertama, dekorasi pelaminan yang berbeda dengan yang Mbak Dea tunjukkan di foto.
Di foto yang Mbak Dea tunjukkan saat kunjungan pertama kami ke salonnya, bagian atas background pelaminan tampak penuh dengan bunga-bunga. Namun bunga-bunga di bagian atas background pelaminan kami tampak jarang-jarang.

Kedua, Mbak Dea berkata bahwa timnya akan meminjamkan satu standing frame yang bisa kami gunakan untuk memajang foto aku dan Mas di depan pintu masuk. Namun pada saat resepsi, standing frame itu nggak ada.

Ketiga, gaun pernikahan warna pink yang kukenakan pada saat resepsi berbeda dengan gaun pernikahan yang kucoba saat fitting.
Saat fitting, aku memilih gaun pernikahan warna pink muda dengan model mermaid. Namun pada saat resepsi, yang kukenakan malah gaun pernikahan warna pink cerah dengan rok petticoat. Tapi yang satu ini nggak begitu mengecewakan sih, karena alhamdulillah aku menyukai modelnya.

Keempat, pada H-1, aku berpesan pada Mbak Dea agar ia mengirim salah satu asistennya untuk merias Tiara dan Aura. Namun alih-alih merias dua gadis kecil itu, asisten Mbak Dea malah merias dua kerabat Mas. Kasihan, padahal Tiara dan Aura sudah antusias sekali ingin didandani. Bahkan sejak jauh-jauh hari, Tiara selalu mengingatkanku setiap kali kami bertemu, "Teh, nanti di acara nikahan Teteh, aku dirias ya!" :')

Kelima, riasan yang kurang rapi.
Pada postinganku yang sebelumnya, aku menceritakan bahwa shade di pipiku terlalu gelap. Tapi nggak cuma itu aja. Ketika memakai gaun dan riasan terakhir, hijab yang kukenakan nggak sempurna menutup leherku. Aku nggak akan menyadari itu kalo aja Mas nggak bilang. Anehnya, biasanya Mbak Dea selalu memotret dan membuat postingan before-after setiap kali merias customernya, tapi dalam menangani pesta pernikahanku itu, dia nggak melakukannya. Semoga aja cuma karena pengaruh badmood ya 🙃

Well, cukup mengoreksi Mbak Dea dan tim riasnya. Kali ini soal foto.

FYI, aku dan Mas sama-sama merupakan tipe orang yang kurang suka berpose tersenyum saat difoto. Aku sendiri kurang pede dengan bentuk gigiku yang kurang rata. Gigi seri di sebelah gigi taring kananku tumbuh dengan posisi yang kurang tepat sehingga membuat senyumku terlihat aneh.

Ironisnya, ketika sesi foto, Mas Fotografer justru terus-terusan meminta kami untuk berpose tersenyum. Sebenarnya gapapa sih, karena ini kan memang momen bahagia yang sepantasnya diekspresikan dengan senyuman. Tapi aku dan Mas kan pinginnya pose kami ada variasinya gitu, nggak begitu-begitu aja.

Sedihnya lagi, foto bersama sepupu dekatku, foto bersama teman-teman kecilku, foto bersama teman-teman kantorku, foto bersama Teh Indri, dan foto bersama Rohayati nggak ada di antara semua foto yang diabadikan Mas Fotografer di momen penting itu :')

Haahh.. kalo mengingat itu semua, rasanya pingin banget mengulang dan memperbaiki hal-hal nggak mengenakkan yang terjadi di resepsi kemarin. Seenggaknya kami ingin memakai jasa MUA yang lebih profesional dan memiliki attitude lebih baik ketimbang MUA yang kemarin itu. Serius deh, pakai jasa beliau itu membuat kami merasa diperlakukan seperti customer yang nunggak, padahal kami bayar jasanya tepat waktu dan nggak nunggak satu haripun. Well, sebenarnya aku nggak begitu mempermasalahkan kekurangan-kekurangan pelayanannya yang kusebutkan di atas tadi. Gaun pernikahan yang berbeda, ketidak-adaan standing frame, atau kekeliruan Mbak Dea dalam merealisasikan pesanku mungkin aja terjadi karena miskomunikasi diantara kami. Namun aku dan keluarga sangat menyayangkan attitude-nya yang menurut kami kurang baik. Kalo begitu sih, boro-boro mau merekomendasikan jasanya ke orang lain kan ya 😌

Total Tayangan Halaman

 
;