Jumat, 14 Mei 2021 0 komentar

Eid Mubarak : 1442 H

Bulan Ramadhan sudah berlalu, masih dalam kondisi pandemi yang sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda membaik (malah nampaknya semakin semrawut dengan peraturan yang plin-plan dan nggak merata). Hmm..

Tentunya Ramadhan tahun ini terasa begitu berbeda bagiku yang awal tahun ini baru aja berubah status dari single menjadi double. Memang sih, aku dan Mas nggak seperti kebanyakan pasutri baru yang mengikuti trend upload foto masakan pertama di hari pertama Ramadhan. Seperti Dewiteman masa kecilku yang menikah tahun 2020 lalumisalnya, yang Ramadhan tahun lalu pamer ayam goreng, oseng kangkung, tempe goreng, dan sambel ulek buatannya di WhatsApp Story. Bukan karena nggak mau alay (karena aku dan Mas juga kadang alay kok), tapi lebih karena aku memang nggak pandai masak. Muehehe. Eh, 'belum pandai' sih lebih tepatnya, karena sebenarnya aku suka menonton acara atau tutorial memasak gitu dan kadang kepingin mencoba resep-resep sederhana. Hanya aja sayangnya saat ini dorongan niatku masih kalah oleh dorongan untuk mager. Wkwk. Maka setiap buka puasa dan sahur, kami selalu mengandalkan menu yang kami beli di luar. Terkadang Mas juga sudah cukup puas dengan telur dadar campur tahu orak-arik dan daun bawang yang kubuat. Kecuali hari Sabtu, karena setiap hari Sabtu sore, kami pulang ke rumah ibu dan berbuka puasa di sana, kemudian pulang hari Minggu siang.

Well, bulan Ramadhan di awal-awal pernikahan sedikitnya memberiku pelajaran. Salah satunya adalah pelajaran untuk membiasakan diri bangun tidur lebih awal. Meski mengantuk, mau nggak mau aku harus bangun pukul tiga. Padahal dulu sebelum menikah aku biasa bangun menjelang subuh meskipun sudah memasang alarm berlapis, itupun seringkali dibantu teriakan ibu ataupun ketukan pintu dari bapak. Dan yah, tentunya juga harus membiasakan diri dengan minyak panas dan penggorengan yang kerapkali 'mengamuk'. Meski bukan pertama kali, tapi aku masih takut dengan minyak panas yang meletup saat menggoreng ayam. Dan aku juga ingat ketika minyak panas yang kugunakan untuk mengolah sarden meletup. Setelah menumis bawang, alih-alih menuangkan air, aku justru langsung menuangkan sarden ke wajan. Sontak minyak panas pun berloncatan dari sana. Aku reflek mundur dan menabrak Masku yang tengah membawa kandang burung. Beruntung kandang yang dibawanya nggak jatuh.
"Mundurnya kurang jauh, Yang", ledeknya. Aku jadi sejenak merenung dan menyadari bahwa selama ini sifat magerku benar-benar kelewatan, karena bahkan mengolah makanan yang mudah pun aku masih terlalu kaku. Huhu.

Dan sama seperti Ramadhan tahun lalu, aku melaksanakan sholat tarawih di rumah. Hanya aja sholat tarawih di rumah tahun ini lebih tenang karena nggak ada kucing yang berputar-putar, berbaring, ataupun berguling-guling di atas sajadah saat kami sholat, karena memang di rumah yang aku dan Mas tinggali, kami nggak memelihara kucing seperti di rumah orangtuaku. Mas sih sebenarnya kepingin banget pelihara anak kucing putih, sedangkan aku merasa cukup pelihara kucing di rumah orangtuaku aja, karena rumah tempat kami tinggal nggak memiliki halaman dan nggak ada lahan bertanah di sekitar hunian kami. Berbeda dengan rumah orangtuaku yang memiliki halaman luas dengan tanah dan berbagai tanaman yang bisa menjadi arena para kucing untuk bermain ataupun buang air.

***

Idul Fitri tahun ini, aku dan rekan-rekan staf berkesempatan menikmati hari libur selama empat hari, yakni dari tanggal 13 sampai dengan tanggal 16. Seminggu sebelum libur kerja, aku dan beberapa rekan kantor mengadakan buka puasa bersama di Hotel MD7. Ada Pak Ben, Bu Hani, Bu Lia, Mbak Tika, Mas Febri, Pak Dedi, Mister Chokai, Bu Rohayati, A' Putra, dan MilaA Putra's wife to be. Sebenarnya awalnya aku menolak untuk ikut karena kasihan sama Mas yang berbuka puasa sendirian di rumah. Namun teman-temanku memaksa aku untuk ikut. Syukurlah, Mas sama sekali nggak keberatan. Sebenarnya kalo Mas mau, aku boleh mengajaknya ikut serta, tapi dia menolak. Malu, katanya.

Hari itu sepulang ngantor, aku, Bu Hani, Pak Ben, Pak Dedi, Mbak Tika, dan Bu Lia berangkat bersama-sama langsung dari kantor. Sementara yang lainnya berangkat  dari rumah masing-masing. Aku pergi dengan nebeng motor Bu Hani. Sore itu jalanan ramai, dan kondisi itu diperparah dengan adanya penutupan jalan di beberapa lokasi, salah satunya di wilayah balai kota. Hal ini membuat kami terpaksa mencari jalan alternatif. Hmm.. Sering aku berpikir, kenapa sih harus ada penutupan jalan? I think, kalo untuk mencegah masyarakat bepergian dan berkerumun di tempat publik, rasanya kurang efektif, karena masyarakat pasti akan mencari jalan alternatif yang justru menimbulkan macet di titik tertentu. Dengan kata lain, yaa percuma aja gituu.

Sesampainya di hotel, kami nggak langsung masuk ke ruang makan, melainkan duduk-duduk dulu di teras hotel, dan sempat foto-foto juga di depan gerbang masuk. Menjelang waktu berbuka puasa, baru lah kami memasuki ruang makan dan menempati meja yang sudah disediakan untuk kami. Kemudian masing-masing kami mengambil makanan, minuman, dan irisan buah segar yang disajikan hotel secara prasmanan. Kami pun menikmati hidangan sambil mengobrol-ngobrol santai. Setelah tandas, kami kembali melakukan foto bersama di area hotel.

Ki-Ka : Pak Dedi, Pak Ben, Mbak Tika, Bu Lia, Bu Rohayati,
aku, Bu Hani, A Putra, Mas Febri, Mila, Mister Chokai



Di malam takbiran, tepatnya ba'da Isya, aku dan Mas pulang ke rumah orangtuaku. Kami sedikitnya tampak seperti sepasang pemudik, karena membawa tas dan kantong-kantong plastik berisi pakaian kami dan baju-baju mendiang mamayang akan kami berikan untuk ibu. Sayang kalo baju-bajunya nggak dipakai lagi, begitu kata Mas. Waktu itu sekitar jam delapan malam. Jalanan tampak ramai, suara takbir terdengar dimana-mana, walaupun nggak ada takbir keliling seperti dulu. Alun-alun kota pun nggak kalah ramai. Tempat itu dipadati pengunjung, juga para pedagang yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Selama perjalanan, aku asyik melihat-lihat sekitar. Tiba-tiba hatiku trenyuh. Melihat pedagang yang duduk di belakang gerobak dagangannya yang sepi, tukang rongsok yang memanggul karung di pundaknya, tukang becak tanpa penumpang yang menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.. Ah, semoga diberikan rezeki yang melimpah kepada para pejuang nafkah yang tetap mengabdikan dirinya untuk keluarga bahkan di malam takbiran sekalipun. Aamiin.

Hari H Lebaran, aku bangun tidur pagi-pagi sekali. Sekitar jam tiga dini hari, aku sudah mengalungkan handuk di leher. Nggak langsung mandi, karena saat itu kamar mandi tengah dipakai bapak yang akan bersiap ke masjid. Sebagai seorang pengurus masjid, bapak memang terbiasa bangun jam tiga dini hari, kemudian pergi ke masjid sekitar pukul setengah empat. Setelah menunggu bapak selesai menggunakan kamar mandi (sambil berburu nyamuk yang sudah gendut-gendut, entah menghisap darah Mas atau aku), aku pun bergegas mandi, bergantian dengan Mas, kemudian ibu, lalu yang terakhir adikku.

Sedihnya, pada Idul Fitri tahun ini, aku sama sekali nggak menikmati opor ayam buatan ibu. Jadi ceritanya, menjelang buka puasa di malam lebaran, ibu memasak opor dengan satu setengah kilogram daging ayam. Saat waktu berbuka puasa tiba, ibu, bapak, dan adikku menikmatinya sebagai menu buka puasa terakhir. Mas juga menikmatinya saat makan malam menjelang tidur. Sementara aku saat itu belum lapar karena masih kenyang. Pagi harinya, saat aku mandi, tiba-tiba ibu yang sedang berada di dapur memekik. Rupanya beliau lupa menghangatkan opor. Bisa ditebak kan, apa yang terjadi dengan opor itu? Kuah opornya basi, Pemirsa. Sayang banget. Akhirnya daging ayam yang tersisa pun terpaksa digoreng agar bisa dimakan. Huhu.. Beruntungnya Mas yang sempat menikmati opor ayam buatan ibu :')

Aku dan Mas juga sempat kecewa dengan baju yang kami kenakan untuk berlebaran. Jadi, saat Ramadhan kemarin, kami berdua berencana memakai baju couple. Tapi ternyata mencari baju couple yang sesuai itu nggak gampang. Ada yang model bajunya Mas suka, tapi aku nggak suka, begitu juga sebaliknya. Memang kalo pingin pakai baju couple itu sebaiknya pesan ke penjahit pakaian lah ya, biar sesuai dengan ukuran dan keinginan. Tapi rasanya waktu sudah nggak memungkinkan. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli pakaian secara terpisah. Yang penting warnanya sama, pikir kami. Kami memilih pakaian dengan warna navy. Eh, setelah pakaian kami disandingkan, ternyata warna navy kemeja milik Mas lebih gelap dibanding warna navy gamis milikku. Huhu..

Sekitar jam enam pagi, aku, Mas, ibu, dan adik bersama-sama pergi ke masjid Al-Amin, tempat biasa kami melaksanakan sholat Ied setiap tahunnya. Namun tentunya melaksanakan sholat Ied di masjid Al-Amin adalah yang pertama kalinya untuk Mas. Kenapa bapak nggak bareng kami? Ya karena beliau di masjid sejak Subuh dan terus lanjut sampai selesai sholat Ied. 

Setelah melaksanakan sholat Ied, kami bersalam-salaman dengan para jamaah lainnya, kemudian pulang dan saling bermaafan dengan anggota keluarga kami.

Kami bersyukur karena Idul Fitri tahun ini, kami kembali melakukan silaturahmi dari rumah ke rumah. Nggak seperti Idul Fitri tahun 2020 lalu dimana kami hanya berdiam diri di rumah karena saat itu pandemi Covid19 baru saja masuk ke Indonesia dan masih sangat menakutkan bagi kami, jadi yah rasanya kayak bukan hari lebaran. Bersilaturahmi dari rumah ke rumah membuat suasana Idul Fitri benar-benar terasa, meski rasanya agak menyebalkan karena masih ada aja tetangga yang melontarkan pertanyaan mainstream. You know lah ya.. Dulu ketika belum nikah, ditanya terus 'kapan nikah'. Sekarang ketika aku datang dalam kondisi sudah menggandeng pasangan sah, pertanyaan berubah jadi 'kapan ngisi', dan ketika dijawab 'belum', mereka tampak memandang kami dengan penuh prihatin. Haduuuh.. orang-orang seperti ini kok ya kelewat peduli gitu deh sama kehidupan pribadi orang lain. Padahal orang yang bersangkutan lagi enjoy pacaran 😌

Meski sudah bisa melakukan tradisi lebaran dengan bersilaturahmi dari rumah ke rumah, namun untuk bersilaturahmi ke keluarga besar nenek di Kuningan masih nggak bisa kami lakukan tahun ini karena kondisi kesehatan nenek yang sedang nggak memungkinkan untuk dibawa bepergian jauh. Sayang banget, nggak bisa nostalgia masa kecil lagi deh.

Sore harinya, sebagai kunjungan terakhir di hari lebaran, aku dan Mas mengunjungi makam mama, papa, dan juga A' Hendri. Aku ingat, Idul Fitri tahun lalu adalah kali pertama aku diajak Mas mengunjungi makam mereka. Waktu itu, beberapa bulan setelah kami break-up, aku berharap saat itu bukan yang terakhir kalinya aku berkunjung ke makam mereka. Dan harapanku benar-benar terwujud, karena berkunjung ke makam mama, papa, dan A' Hendri kini akan menjadi agenda rutin kami setiap hari raya Idul Fitri.

 

Well, demikianlah ceritaku tentang Idul Fitri tahun ini yang biasa-biasa saja. Huhu..
Seperti biasa, aku mohon maaf apabila ada kata-kata dalam postinganku yang menyinggung perasaan Teman-Teman Pembaca. Semoga ibadah kita semua selama bulan Ramadhan diterima Allah dan semoga kita semua diberikan umur panjang agar bisa bertemu Ramadhan di tahun-tahun berikutnya. Aamiin yaa robbal alamiin. Selamat Idul Fitri!

Total Tayangan Halaman

 
;