Minggu, 08 Agustus 2021 0 komentar

Pulang

Kurang lebih setengah tahun aku dan Mas tinggal mengontrak di sebuah rumah kecil di kawasan Drajat, hari ini kami pulang ke rumah orangtuaku di Kesenden. Bukan hanya untuk satu-dua hari seperti biasanya, tapi untuk beberapa tahun ke depan. Sebenarnya Mas sudah mengambil rumah di sebuah komplek perumahan di kawasan Mundu, namun kondisi saat ini nggak memungkinkan bagi kami untuk tinggal disana.

Mundu adalah salah satu kecamatan di kabupaten Cirebon. Jaraknya cukup jauh, baik dari tempat kerja maupun tempat tinggal kami saat ini. Belum lagi kondisi jalan menuju komplek perumahan yang nggak rata. Semua kondisi itu agaknya terlalu beresiko untuk ditempuh ibu hamil ataupun bayi yang masih rentan masuk angin jika dibawa bepergian. Well, aku memang memutuskan untuk tetap bekerja selama hamil dan setelah memiliki anak. Dan selama bekerja, untuk sementara kami akan menitipkannya pada orangtuaku. Kasihan kalo anak kecil kami ajak bolak-balik Mundu-Kesenden dan Kesenden-Mundu. Maka dari itu kami
—tentunya setelah berunding dengan orangtua—memutuskan untuk tinggal di rumah orangtuaku, seenggaknya sampai anak kami lahir dan kondisi fisiknya sudah memungkinkan untuk diajak bepergian.

Awalnya kukira kami baru akan pindah di pertengahan Agustus, namun Mas memutuskan untuk mempercepat kepindahan kami. Toh, barang-barang kami sudah rampung dikemas sejak beberapa hari lalu, tinggal mengemas barang-barang yang beberapa hari terakhir digunakan aja, seperti pakaian, peralatan makan, dan peralatan mandi. Barang-barang itu nantinya nggak semuanya dibawa ke rumah orangtuaku, melainkan dibagi dua. Sebagian dibawa ke rumah orangtuaku, sebagian lagi dibawa ke rumah di Mundu.

Sekitar jam sepuluh siang, beberapa orang tukang mulai mengangkut barang-barang kami ke atas mobil bak terbuka. Barang-barang yang dibawa ke rumah orangtuaku didahulukan untuk diangkut. Setelah beres, kami berangkat bersama-sama. Aku tentu aja dibonceng Mas.

Setelah menurunkan barang-barang itu di rumah orangtuaku (tepatnya di salah satu kamar kost milik orangtuaku yang kebetulan sedang kosong), mobil itu kembali ke Drajat untuk mengangkut barang-barang yang akan dibawa ke rumah di Mundu. Mas ikut dengan mereka, sementara aku tetap di rumah. 

Baru kali ini aku merasakan rasanya pindahan, ternyata repot banget yah. Bukan hanya repot dan capek mengemas, tapi juga repot dan capek menata kembali. Setibanya di rumah, kami bahkan nggak bisa langsung memasukkan pakaian kami ke dalam lemari. Lemari pakaianku penuh, apalagi jika ditambah pakaian Mas. Sepertinya mengeluarkan pakaian-pakaian yang sudah jarang kupakai pun masih belum cukup ruang. Sebenarnya Mas punya lemari plastik minimalis, namun lemari itu diangkut ke rumah di Mundu. Akhirnya kami memutuskan untuk menaruh sebagian pakaian kami di kardus dulu untuk sementara waktu. Biar nanti kalo ada waktu, Mas akan meminta tolong temannya untuk membantu membawa lemari itu ke rumah ini.

Meninggalkan rumah kontrakan di Drajat sebenarnya agak berat sih, karena aku sudah merasa cukup kerasan. Meski belum begitu mengenal tetangga-tetangga disana (karena aku memang jarang ke luar rumah), namun sebagai tukang jajan, senang rasanya karena selama tinggal disana, mau jajan apa aja dekat. Mau jajan es krim, tinggal pergi ke warung belakang rumah; mau jajan martabak, roti bakar, tahu tegal, atau cari jajan di Indomaret, tinggal jalan sebentar ke seberang jalan. Mau alpukat kocok atau berbagai minuman kekinian, tinggal motoran beberapa ratus meter ke pusat jajanan di kawasan Kesambi. Mau beli makan pun harganya murah-murah. Empat ribu rupiah kita sudah bisa dapat satu porsi docang, nasi uduk, atau nasi kuning. Hanya aja memang karena dekat dengan tukang jualan, pengeluaran kami jadi jauh lebih banyak. Wkwkwk.

Menetap di rumah orangtuaku tentunya membutuhkan waktu adaptasi yang nggak sebentar untuk Mas. Tapi Mas mengaku merasa lebih tenang jika kami tinggal disini ketimbang langsung menempati rumah di Mundu dan hanya berdua, karena selain alasan yang sudah kutulis di atas tadi, dengan tinggal bersama orangtua selama aku hamil, ibu jadi bisa memantauku. Mas juga jadi nggak perlu khawatir jika harus meninggalkanku apabila dirinya dapat job manggung malam atau hari libur.

Bismillah. Semoga dengan berkumpul kembali, keluarga kami semakin diberkahi kebahagiaan. Aamiin.

Rabu, 04 Agustus 2021 3 komentar

Hi, 2nd Trimester

Trimester pertama sudah berlalu. Aku cukup bersyukur karena selama trimester pertama kemarin, kandunganku bisa dibilang nggak rewel, karena meski tetap merasakan mual dan malas makan, namun aku nggak sampai mengalami muntah-muntah seperti yang kebanyakan dirasakan para bumil. Aku juga nggak banyak ngidam macam-macam, apalagi yang aneh-aneh seperti yang banyak dikeluhkan oleh rekan-rekanku di kantor yang berstatus sebagai calon bapak.

Namun beberapa minggu belakangan ini, aku mulai merasakan sakit kepala yang hebat setiap hari. Bukan sakit kepala biasa, melainkan migrain di bagian kepala sebelah kiri. Sebenarnya migrain bukanlah hal yang nggak biasa buatku. Sejak dulu, aku sudah terbiasa diserang migrain yang munculnya seperti terjadwal. Ia menyerang setiap hari, biasanya mulai dari jam sepuluh pagi, dan kemudian mereda dengan sendirinya sekitar jam dua belas siang atau bahkan lebih lama. Jika sudah begitu, aku hanya cukup tidur atau minum segelas kopi, lalu nyerinya perlahan-lahan hilang. Begitu terus setiap hari. Tapi migrain yang kurasakan kali ini benar-benar menyiksa, dan nggak bisa diredakan dengan tidur ataupun minum kopi. Berbaring justru membuat kepalaku semakin sakit, dan minum kopi sama sekali nggak membantu.

Kondisi seperti ini benar-benar membuatku bingung, apalagi mengingat bahwa seseorang yang sedang hamil disarankan untuk nggak mengkonsumsi obat karena khawatir membahayakan janin, apalagi pada usia kehamilan yang terbilang muda. Aku bertanya pada rekan-rekanku yang lebih dulu berpengalaman mengandung, rata-rata mereka pun nggak mengkonsumsi obat saat merasakan nyeri. Mereka memilih untuk mengoleskan minyak angin yang jauh lebih aman karena nggak dicerna dalam tubuh.

Rasanya tersiksa sekali. Sudah beberapa minggu ini tidurku terganggu karena saat malam nyerinya semakin menjadi. Aku juga merasa semakin bersalah karena nggak jarang Mas ikut terbangun di tengah tidurnya karena mendengar aku meringis, dan sudah beberapa minggu ini pula Mas melarangku untuk melakukan pekerjaan rumah dan membantunya mengepak barang (karena pertengahan Agustus ini kami akan pindah).

Dua hari lalu, aku bertanya pada dokter kandungan perihal aman nggaknya mengkonsumsi obat saat hamil muda, dan dokter menyarankanku untuk mengkonsumsi paracetamol 500mg, karena obat ini dinilai paling aman untuk dikonsumsi ibu hamil. Namun rupanya mengkonsumsi paracetamol hanya meredakan nyeri migrainku sesaat. Beberapa jam setelah mengkonsumsinya, khasiat obatnya hilang, dan nyerinya kembali muncul. Aku tentu nggak mau mengambil resiko dengan mengkonsumsi paracetamol setiap hari untuk meredakan nyeri migrain yang menyerangku setiap hari. Huhu..

Soal penggunaan obat luar pun rupanya nggak bisa sembarangan. Sekitar dua minggu lalu, kulit bagian pahaku mengalami iritasi cukup serius. Aku menyadarinya ketika merasakan sakit di bagian paha kiri saat mandi pagi. Ketika kulihat, rupanya ada luka sepanjang dua belas sentimeter disana. Awalnya kukira itu luka tergores, karena lukanya merah, panjang, dan rasanya perih seperti terkena goresan. Waktu itu aku pikir, ah mungkin aku nggak sadar menggaruk terlalu kuat saat tidur, jadi timbul luka. Namun nggak disangka, beberapa jam setelah itu, lukanya semakin parah. Bagian lukanya menebal, seperti ruam dengan bintil-bintil berisi cairan seperti luka lepuh.

"Gara-gara makan ijoan kali", celetuk Masku, karena memang malam sebelumnya, kami sempat mengkonsumsi kerang hijau. Rasanya nggak mungkin, karena aku nggak memiliki alergi seafood. Lagipula saat itu aku cuma makan satu kerang. Setelah aku browsing Google, barulah aku tau bahwa luka itu berasal dari racun tomcat. Dari situ juga aku baru tau bahwa tomcat nggak menggigit ataupun menyengat, melainkan mengeluarkan racun. Itulah kenapa lukanya bisa sepanjang itu. Tentunya luka ini membuatku sangat merasa nggak nyaman. Berjalan saja rasanya perih, karena lukanya bergesekan dengan pakaian yang kukenakan.

Ada beberapa merk salep ataupun obat luar yang bisa mengatasi luka ini. Namun sayangnya, kebanyakan dari obat-obatan itu merupakan obat keras yang harus digunakan berdasarkan resep dokter (apalagi untuk ibu hamil dan menyusui). Aku sempat berkonsultasi online dengan dokter umum langgananku dan bertanya apakah ada obat untuk mengobati ini yang aman bagi ibu hamil. Memang ada. Obat itu berupa salep, dua macam obat minum, dan satu botol sabun antiseptik. Namun aku kaget melihat harganya. Hampir setengah juta rupiah. Huhu.. Mau nangis. Skincare-ku aja nggak sampai segitu 😭

Tentu saja aku nggak menebusnya. Akhirnya kuputuskan saja untuk membiarkan luka itu sembuh dengan sendirinya. Kadang-kadang aku taburi dengan bedak salicyl. Alhamdulillah sekarang lukanya sudah agak mengering dan tentunya sudah nggak perih. Memang rasanya agak gatal, tapi aku nggak berani menggaruknya karena takut lukanya kembali parah.

Jadi yah, tinggal migrain satu ini yang jadi masalah terbesarku saat ini. Beberapa hari belakangan ini rasanya semakin parah karena gigiku juga sakit, dan nyerinya menyebar hingga ke telinga, leher, dan bahu. Banyak yang bilang, ini adalah pengaruh hormon dan akan menghilang dengan sendirinya seiring bertambahnya usia kehamilan. Jika iya, aku harap ini nggak akan lama :')

Total Tayangan Halaman

 
;