Sabtu, 22 Januari 2022 0 komentar

Minggu-Minggu Menjelang Persalinan

Sudah sebelas hari sejak aku resmi cuti dari kantor. Sebenarnya dengan hari kelahiran bayi yang diperkirakan jatuh pada tanggal 30 Januari, aku berencana mengajukan cuti mulai tanggal 18 Januari. Maksudnya agar tanggalnya nggak terlalu jauh dari HPL, sehingga aku bisa berada di rumah lebih lama selama waktu pemulihan setelah melahirkan. Namun Dokter Wildan menyarankanku untuk mengambil cuti lebih awal.
"Karena ibu hamil itu nggak hanya butuh mempersiapkan materi, tapi juga fisik dan mental. Jangan sampai ketika mendekati HPL, bumil terlalu capek dan banyak pikiran karena pengaruh omongan sana-sini", katanya.

Akhirnya, aku pun merevisi surat cutiku. Tanggal cuti yang semula dimulai pada tanggal 18 kumajukan ke tanggal 11, itu pun nggak langsung di-acc karena Pak Teguh memintaku untuk bekerja satu hari lagi lantaran karyawan penggantiku dikhawatirkan belum begitu memahami job desk-nya. 

Jadi, sejak akhir bulan Desember lalu, kami mulai sibuk merekrut karyawan baru untuk meng-handle pekerjaanku selama aku cuti. Aku bertugas memasang iklan lowongan kerja dan memberikan tes komputer, Pak Ben bertugas menyortir lamaran yang masuk dan memberi tes tertulis, sementara Pak Teguh dan Pak Faisal yang mewawancarai para calon karyawan. 

Meski peminat untuk posisi Staf Admin sangat bejibun, namun mendapatkan kandidat yang cocok rasanya lumayan sulit. Ada yang nggak meminta upah tinggi dan nggak keberatan dengan ketentuan perusahaan namun hasil tesnya kurang baik. Ada yang sesuai kriteria namun keberatan dengan ketentuan perusahaan. Ada yang hasil tesnya baik tapi mengajukan gaji yang tinggi. Ada pula yang hasil tesnya kurang baik tapi berani meminta gaji tinggi. Wkwkwk.

Karena sulit mendapatkan kandidat yang benar-benar cocok, akhirnya kami pun memilih untuk memanggil calon karyawan dengan hasil tes yang dinilai cukup. Hari Senin tanggal 10 Januari, penandatanganan surat kontrak kerja dan serah terima jabatan pun dilakukan. Nama karyawan baru itu, Diah. Hari itu, dari pagi sampai sore aku sibuk menjelaskan apa-apa aja tugas yang kukerjakan setiap harinya yang nantinya akan ia handle selama aku cuti. Namun tampaknya ia masih bingung, sehingga sore harinya, ketika aku berpamitan pada Pak Teguh, atasanku itu memintaku untuk bekerja satu hari lagi untuk memastikan bahwa Diah sudah benar-benar paham dengan tugasnya.
"Kali ini Putri hanya mengawasi aja, biar dia yang kerjakan tugasnya", kata beliau. Akhirnya aku menyetujuinya. Keesokan harinya, aku membiarkan Diah mengerjakan sendiri tugasnya, sementara aku hanya mengawasi, membimbing, dan mengoreksi apabila ada sesuatu dari tugasnya yang belum dikerjakan dengan benar. Berbeda dengan hari kemarin yang benar-benar sibuk, hari Selasa itu aku benar-benar kebanyakan nganggur sehingga waktu terasa berjalan sangat lambat.

Jujur, menghabiskan waktu di rumah tentunya membuatku cukup jenuh dan kesepian. Meski memiliki banyak waktu untuk melakukan senam hamil, tapi entah kenapa rasanya lebih menyenangkan 'berolahraga' dengan berjalan bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan lain seperti yang biasa kulakukan di kantor. Wkwk. Tapi di sisi lain, ada baiknya juga sih aku mengambil cuti lebih cepat, pasalnya belakangan ini kulit wajahku breakout parah sehingga membuatku nggak PD untuk bertemu orang lain.

Duluuuu sebelum menikah dan akhirnya hamil, aku mengira bahwa keluhan wanita hamil hanya sebatas pada perut yang membuncit, mual muntah, berat badan meningkat, dan kaki bengkak. Tapi ternyata, setelah mengalaminya sendiri, realitanya keluhan ibu hamil bisa bermacam-macam dan lebih dari itu. Selain berbagai hal tadi, aku juga mengalami sakit gigi, migrain, pusing, napas terasa engap, nyeri punggung dan selangkangan, perut ngilu, dan yah.. kulit kering dan gatal.

Mula-mula hanya masalah kulit kering dan mengelupas di bawah mata. Keluhan ini muncul ketika usia kehamilanku memasuki delapan bulan. Namun lama kelamaan, area tersebut terasa gatal, mendorongku untuk menggaruk hingga akhirnya timbul luka. Seiring bertambahnya usia kehamilan, kulit kering dan gatal itu terasa semakin parah hingga meninggalkan bekas berwarna merah kehitaman. Di hari-hari terakhir aku ngantor, teman-temanku sudah memperhatikan kondisi kulitku itu. Beberapa mengira aku kena herpes, sementara ibuku bilang wajahku terlihat seperti wanita yang babak belur karena KDRT. Huhu..

Dokter Wildan menyarankanku untuk berkonsultasi ke dokter kulit. Awalnya aku berpikir nggak perlu, karena dari yang aku dengar dan aku baca katanya kondisi ini muncul karena hormon kehamilan. Aku pikir toh sebentar lagi aku akan melahirkan dan kondisi kulitku akan kembali normal. Lagipula berkonsultasi dan berobat ke dokter kulit tentunya memerlukan biaya yang nggak sedikit. Sayang uangnya. Namun karena kondisinya semakin parah dan membuatku uring-uringan, aku pun akhirnya memutuskan untuk mengkonsultasikan kondisi kulitku ke salah satu klinik kecantikan di kotaku secara online. Dari reviewnya sih, klinik ini cukup bagus dan terkenal karena memiliki beberapa cabang di kota lain, selain itu harga resepnya pun nggak terlalu mahal.

Namun rupanya, pelayanan klinik yang kuharapkan bisa menangani permasalahanku dengan cepat itu nggak sesuai ekspektasi. Aku mengajukan permintaan konsultasi pada hari Rabu 12 Januari, dan baru ditanggapi keesokan harinya. Itu pun responnya lambat sekali hingga aku merasa akan meledak. Bayangkan, aku mengajukan permintaan konsultasi di hari Rabu, dan baru menerima resep yang kubutuhkan pada hari Sabtu :')

Dari konsultasi itu, aku menerima satu botol sabun pembersih wajah, satu botol toner, dan dua krim wajah. Sejauh ini, semua itu belum memberi hasil yang signifikan. Tapi alhamdulillah aku merasa kondisi kulitku cukup membaik meski jejak-jejak berwarna merah kehitaman itu belum hilang dan kini terlihat seperti bekas luka bakar. Ya Allah, sabar, sabar :')

Dan oh ya, tanggal 17 lalu, untuk pertama kalinya aku merasakan gelombang cinta dari Si Kecil. Malam itu, aku merasakan kram yang cukup hebat di sekitar perut. Rasa kram itu bukan hanya kurasakan di area perut bawah, tapi juga menjalar hingga pinggang, punggung, dan kaki, persis seperti nyeri haid hari pertama. Senyum Mas merekah. Ia memang sangat menantikan kelahiran bayi kami, namun ia juga tampak bingung dengan apa yang harus kami lakukan. Apakah kami perlu segera ke bidan saat itu juga?
"Nanti aja, Mas", ucapku sambil menahan sakit. Aku masih yakin ini belum saatnya. Selama belum muncul flek (seperti yang kudengar dan kubaca dari berbagai sumber), sepertinya kami harus menahan diri. Alhasil, malam itu Mas hanya bisa menenangkan seraya mengelus-elus pinggangku

Hingga lebih dari pukul tiga dini hari aku sulit sekali untuk tidur, karena disamping merasakan kontraksi yang hilang timbul, aku juga terus menerus ke toilet untuk buang air kecil. Kontraksi yang aku rasakan bisa dibilang cukup intens. Frekuensinya bisa mencapai tiga sampai lima menit tiap waktu dua menit hingga aku merasa bayi kami mungkin akan lahir hari itu juga. 

Namun hingga hari ini, gelombang cinta selanjutnya belum lagi aku rasakan. Padahal waktu itu aku sudah yakin sekali bahwa aku akan melahirkan dalam waktu dekat. Mungkin memang belum saatnya kali yah. Toh, HPL-nya masih satu minggu lagi. Jujur aku cemas, namun tetap berusaha untuk tenang dan nggak terlalu overthinking. Semoga semuanya akan baik-baik aja.

Total Tayangan Halaman

 
;