Rabu, 13 Juli 2022

Till We Meet Again

"Habis dicek bukaan, jadi makin mules nih".
"Iya, Teh. Kayak dibukain jalan gitu ya sama bidannya".
"Iya. Udah mau lahiran masih aja dikasih obat sama bidan. Boro-boro mau minum".
"Iya, Teh. Tapi saya mah tetap diminum sih".
"Obat apa sih itu?"
"Lupa euy, Teh. Kalo nggak salah sih vitamin B".

Percakapan WhatsApp itu terhenti di situ. Pukul 14.13. Bahkan hingga sore, pesan WhatsApp terakhirku belum juga menunjukkan centang biru. 

***

Beberapa waktu belakangan ini, aku dan Teh Indri cukup intens berkomunikasi via WhatsApp. Setelah tahun 2020 lalu kehilangan janin yang dikandungnya, Teh Indri diberi amanah untuk mengandung lagi. Usia kandungannya hanya berjarak lima bulan denganku. Karena itu, saat masih mengandung Fathian, kami sempat dua kali kontrol bareng di klinik Dokter Wildan. Mendekati HPL bayinya, ia semakin sering menghubungiku via chat, bertanya seputar kehamilan, pengalaman melahirkan, dan persiapan menuju persalinan. Dan aku selalu menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan antusias. Rasanya senang bisa berbagi pengalaman. 

HPL anak Teh Indri jatuh pada tanggal 11 Juli. Namun ia udah was-was sejak jauh-jauh hari. Ia sering bercerita padaku bahwa ia khawatir anaknya akan lahir melebihi HPL dan harus operasi caesar karena menjelang HPL ia belum merasakan tanda-tanda persalinan apapun. Aku pun hanya bisa menenangkannya agar nggak terlalu memikirkan hal yang justru akan memicu stres.
"Kan belum sampe HPL, Teh. Bayi tau kapan dia mau lahir kok. Saya dulu juga kepikiran kayak Teteh, tapi akhirnya kebukti, Fathian lahir tepat di HPL", kataku waktu itu mencoba menenangkannya.

***

Minggu, 10 Juli.
Teh Indri mengeluh kram perut. Ia juga bertanya soal flek kecoklatan yang ia temui di pakaian dalamnya pagi itu. Aku menyarankannya untuk segera menghubungi bidan. Aku kira hari itu ia akan segera melahirkan, tapi ternyata belum. 

Senin, 11 Juli, pukul 11.35.
Teh Indri mengabariku bahwa ia baru aja pulang dari klinik bidan dan mengecek pembukaan jalan lahir. Rupanya saat itu udah masuk pembukaan satu menuju pembukaan dua. Ia bilang kalo ia mau tidur dulu. Tapi karena rasa sakit di perutnya, ia jadi nggak bisa tidur dan akhirnya kami chatting terus hingga jam dua siang itu. Ketika pesan WhatsApp terakhirku nggak kunjung dibacanya, aku hanya berpikir, ah, mungkin dia udah mules banget dan siap-siap balik ke bidan lagi, jadi nggak sempat baca chat.

Rasanya aku ikut bahagia. Teh Indri akan segera jadi ibu. Anak kami sama-sama laki-laki. Bahkan ketika sama-sama masih mengandung, kami udah membayangkan, kelak mereka akan jadi sepasang sahabat seperti kedua orangtuanya.

Pukul 16.33.
Masku mengabari bahwa Teh Indri dan Mas Ipank udah tiba di klinik. Ia mengajakku untuk mampir sebentar ke klinik sepulang kerja nanti. Aku pun mengiyakan.

Sepulang kerja, aku meminta mas untuk mampir sebentar ke Indomaret karena aku ingin beli Cappuccino Iced di Outlet Point Coffee. Tanpa diduga, ketika tengah menunggu kopiku jadi, aku melihat Mas Ipank yang baru aja dari kasir. Aku pun menyapanya. Ia juga sempat mengobrol sebentar dengan mas di parkiran. Sore itu, kami batal untuk mampir ke klinik.
"Nanti aja habis Magrib Mas ke sana", kata masku waktu itu.

Sesuai janji, setelah sholat Magrib, masku pergi ke klinik di mana Teh Indri akan segera melahirkan, sementara aku tetap di rumah untuk menunggui Fathian. Oh ya, bidan yang menangani persalinan Teh Indri adalah bidan yang sama dengan yang menangani persalinanku dulu. Iya, kami kontrol di dokter yang sama, dan bersalin di klinik bidan yang sama :)

Pukul 18.28.
Mas mengabari bahwa pembukaan udah lengkap. Ia juga menghubungiku via video call. Tapi ia mengarahkan kameranya pada mama Teh Indri yang rupanya menunggu di Ruang Tunggu.
"Sehat, Ma?" sapaku pada beliau.
"Alhamdulillah sehat".
"Nggak nemenin Teteh di dalam?"
"Nggak ah, Ivan aja. Takut lihat darah".
"Oh yaudah bener, mas di sana nemenin Mama ya".
"Iya, kasihan mama sendirian", sahut mas.
"Doain aja lancar lahirannya", ucap beliau.
"Pasti, Ma. Semoga lancar, selamat dua-duanya."
"Aamiin".

Pukul 18.38.
Masku mengabari bahwa anak Teh Indri udah lahir. Tapi ketika kutanya gimana kondisi Teh Indri, mas belum bisa menjawab.
"Nanti Mas kabari, fotoin dedenya juga", katanya.
Saat itu yang bisa kulakukan hanya bersyukur. Alhamdulillah prosesnya cepet banget, hanya sepuluh menit setelah pembukaan lengkap, batinku. Teringat proses melahirkan Fathian bulan Januari lalu yang terasa lamaa banget. Nggak sabar rasanya ketemu Teh Indri dan mendengar ceritanya.

Pukul 19.20.
Mas meneleponku, mengabari bahwa Teh Indri harus dirujuk ke rumah sakit terdekat karena mengalami pendarahan. Hanya Mas Ipank, bidan, dan asistennya yang membawa Teh Indri ke sana. Sementara masku menemani mama Teh Indri dan bayinya di klinik.

Sekitar jam sembilan malam (aku nggak ingat kapan tepatnya karena begitu banyaknya panggilan telepon yang mas lakukan untuk mengabariku), mas bertanya tentang siapa di antara keluargaku yang memiliki golongan darah A, karena Teh Indri butuh donor darah. Saat itu ia udah menyusul ke rumah sakit, sementara mama Teh Indri tetap menunggui bayi di klinik. Kebetulan di keluargaku, ada ibu dan Hardi yang memiliki golongan darah A. Karena dulu ibu sering menjadi pendonor darah, aku pun bertanya pada beliau apakah beliau bersedia jika jadi pendonor darah untuk Teh Indri. Namun sayang, rupanya usia ibu udah nggak memenuhi syarat untuk jadi pendonor darah. Akhirnya aku pun bertanya pada Hardi. Ia bersedia, meski membutuhkan waktu agak lama untuk memutuskan (ia takut karena belum pernah donor darah).

Setelah mendapatkan keputusan itu, aku segera menghubungi mas. Namun rupanya di sana udah ada tante Teh Indri yang bersedia mendonorkan darahnya. 
"Di rumah sakit juga stoknya masih banyak kok. Nanti Mas kabari lagi ya kalo mereka butuh," kata masku. Waktu itu di sana juga berkumpul teman-teman dekat masku dan Mas Ipank. 

Menit-menit berlalu. Nggak ada lagi telepon atau pesan WhatsApp dari mas setelah itu. Aku benar-benar harap-harap cemas. Biasanya jam segitu aku udah tidur, atau sedang mencuci botol-botol susu Fathian. Apalagi Fathian udah tidur, aku bisa bebas meninggalkannya kalo aku mau. Tapi sebelum mendapatkan kabar baik dari Teh Indri, rasanya aku belum bisa tenang dan nggak bisa meninggalkan hapeku.

Hingga akhirnya pukul 22.16, mas kembali meneleponku. Namun bukan kabar baik yang kudengar.
"Sayang, Indri udah nggak ada", ucap mas dengan suara bergetar. Aku hampir nggak mempercayai apa yang kudengar. Tapi mendengar isak tangis orang-orang di sekitar mas kala itu, aku jadi yakin bahwa aku nggak salah dengar.
"Innalillahi wa innailaihi rojiuun", ucapku lirih.

Teteh, kenapa secepat ini..?


Proses persalinan Teh Indri baik sekali. Dari pembukaan empat ke pembukaan sepuluh nggak membutuhkan waktu lama. Begitu juga saat proses mengeluarkan bayi. Namun situasi mendadak gawat setelah ari-ari bayi keluar, darah mengalir dengan deras dan nggak kunjung berhenti. Akhirnya ia dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih. Mas Ipank, bunda (sebutan kami untuk bidan yang menangani), dan asisten bunda pergi dengan mobil. Bunda sendiri yang menyetir. Sementara mama Teh Indri dan bayinya tetap di klinik, ditemani masku dan ART klinik.

Di rumah sakit, baru diketahui bahwa Teh Indri memiliki kelainan pembekuan darah. Dalam kasus ini, seharusnya kelainan ini diketahui lebih awal agar bisa segera dicegah atau diobati, karena apabila baru diketahui saat mendekati persalinan atau bahkan saat udah terjadi pendarahan, nyawa pasien yang akan jadi taruhan. Bahkan jika dilakukan operasi caesar, resikonya akan jauh lebih tinggi ketimbang persalinan normal.

Teh Indri belum sempat menerima transfusi darah saat ia keburu 'pergi'. Sesuatu yang nggak kami duga akan terjadi, karena beberapa waktu sebelum kepergiannya, ia masih sempat makan, minum, dan berkomunikasi dengan baik.

"Maafin Bunda ya, Nok. Bunda udah berusaha, tapi teman Nok Putri nggak ketolong," ucap bunda dengan suara penuh penyesalan. Sepanjang karirnya, baru kali ini ia mengalami hal seperti ini. Hal yang kemudian memberinya pelajaran bahwa untuk selanjutnya, ia mewajibkan pasien-pasien hamilnya untuk benar-benar mengecek kondisi kesehatannya dulu, memastikan bahwa nggak ada kelainan apapun. Waktu itu pukul 22.52. Bunda meneleponku dan menceritakan semuanya. Ia meminta maaf berkali-kali, meski aku mengerti bahwa ia nggak harus melakukannya. Memang udah takdir Teh Indri pergi dengan cara seperti ini, dan bunda beserta asistennya udah berusaha sebaik mungkin. Mereka bahkan ikut mengantar jenazah Teh Indri ke kediaman orangtua Mas Ipank di Kedawung.

***

Mas pulang sekitar jam setengah dua belas malam. Tangisku kembali pecah di pelukannya. Kali ini lebih hebat ketimbang saat pertama kali mendengar kabar dan saat ditelepon bunda. Belum genap tiga tahun aku mengenal Teh Indri, tapi ia udah kayak saudara untukku.

Teringat momen-momen kami dulu. Waktu ia dan Mas Ipank masih nge-kost berdua tahun 2020 lalu, karena Mas Ipank sering pulang kerja malam atau pagi, aku cukup sering mengunjungi kediaman mereka untuk menemani Teh Indri. Setiap main ke sana, kami selalu pesan fire chicken-nya Richeese Factory lewat Grabfood. Kami juga ngobrol-ngobrol. Sesekali aku juga curhat soal masku (waktu itu aku dan mas belum menikah, of course). Ketika mereka pindah ke perumahan Puri Hasna, kami juga sering jajan berdua ke warung di belakang rumah. Pemilik warung sering mengira kami kakak beradik, karena menurutnya wajah kami mirip dan kami sama-sama memiliki postur tubuh mungil. Tapi berbeda jauh dengan aku yang mageran, Teh Indri pintar memasak dan membuat camilan. Kue kering, cake dan salad buah buatannya enak. Setiap menjelang Idul Fitri, aku selalu memesan kue kering buatannya. Nggak nyangka, kastengel yang kupesan darinya bulan April lalu adalah kue keringnya yang terakhir :')


Aku benar-benar menyesal karena sepulang kerja waktu itu aku nggak sempatkan waktu untuk menemui Teh Indri di klinik sebentaaaar aja. Terakhir kali kami ketemu tanggal 12 Juni. Iya, satu bulan yang lalu. Kami bareng-bareng pergi ke bidan. Aku menemani Fathian baby spa, sementara dia cek HB. Waktu itu kami sempat becanda kalo suatu saat nanti bisa ajak anak-anak kami baby spa bareng.

Sedih banget rasanyaa. Teh Indri bukan sekedar teman, tapi juga kakak, teman curhat, teman ngegibah, teman jajan, teman sharing apapun. Sulit bagiku untuk menemukan teman yang satu frekuensi. Maka ketika dia pergi, rasanya ada yang hilang. 

***

Kemarin aku dan mas ijin nggak masuk kerja. Kami ikut mengantar almarhumah Teh Indri ke peristirahatan terakhirnya. Sekitar jam tujuh pagi, kami meluncur ke rumah orangtua Mas Ipank di Kedawung. Begitu masuk ruang tamu, yang pertama kali kulihat adalah keranda jenazah yang diletakkan di sebelah kiri ruangan. Beberapa orang perempuan duduk bersimpuh di seberangnya. Mama Mas Ipank mempersilahkan kami masuk. Begitu melihat mama Teh Indri yang duduk bersandar di dinding, mas langsung memeluk beliau sambil mengucapkan belasungkawa. Beliau memukul-mukul bahu mas. Aku tau beliau melampiaskan sedikit kekesalannya karena mas adalah salah satu orang yang 'membohonginya' malam itu. 

Malam itu, sepeninggal Teh Indri, nggak ada satu orang pun yang tega mengabari mama mengenai kepergian almarhumah. Bahkan ketika mas kembali ke klinik untuk mencari kain yang akan digunakan untuk menutupi jasad almarhumah, mas nggak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ketika mama bertanya mengenai kondisi almarhumah, mas hanya menjawab, "Masih ditangani, Ma".

Mama juga masih belum tau apa-apa ketika bunda datang menjemputnya ke klinik untuk ikut bersamanya ke Kedawung dengan membawa serta bayi.

"Indri udah dipulangin ke Kedawung, Bu", ucap bunda waktu itu.

"Alhamdulillah, berarti anak saya nggak dirawat ya, Bun? Anak saya sehat ya?", kata mama dengan penuh syukur. Namun mendengar itu bunda nggak bisa menjawab lagi, dan mama pun nggak menaruh curiga apapun. Bunda nggak menjemput mama sendirian, tapi bersama asistennya dan juga A Mulpi (salah satu teman dekat masku dan Mas Ipank). Di mobil, mereka mengobrol santai, mama juga meladeni mereka yang banyak becanda sepanjang perjalanan.

Mama baru merasa heran ketika melihat banyak orang berkumpul di depan rumah orangtua Mas Ipank. Namun A Mulpi menjawab, "Ah, biasa itu, Ma. Penyambutan".
Keheranan mama baru terjawab ketika beliau melihat seseorang membawa tempat untuk memandikan jenazah. Seketika keceriaan berubah duka. Beliau syok dan menjerit histeris memanggil anaknya. I can't imagine that :') 

Tangisku pecah ketika kupeluk beliau.
"Put, Pitri tuh pingin samaan sama Putri, lahiran di tempat bunda. Tapi takdirnya lain," ucap beliau sambil terisak.
"Yang tabah ya, Ma. Yang ikhlas. Teteh udah tenang. Insya Allah syahid. Husnul khotimah ya, Ma". Kuusap-usap punggung beliau.
"Mama sih ikhlas, mama terima, tapi mama belum bisa lupa".
Yah, kehilangan memang nggak pernah mudah. Terlebih, almarhumah adalah anak semata wayang.

Yang membuatku terharu, mama kadang salah memanggilku. Alih-alih memanggil 'Put', ia malah menyebut 'Pit'. Nama lengkap almarhumah adalah Fitri Indriani, dan orang-orang terdekatnya biasa memanggil 'Fitri' (atau 'Pitri' dalam logat Cirebon). Ada satu momen ketika beliau salah menyebut dan masku mengoreksi. Beliau bilang, "Gapapa lah. Putri, Pitri, sama aja. Putri udah kayak anak Mama." :')

Singkat cerita, jenazah Teh Indri baru dibawa ke pemakaman sekitar jam sepuluh. Niatnya memang lebih pagi, tapi pihak keluarga sedikit menunda penguburan karena menunggu papa almarhumah yang tengah menempuh perjalanan pulang dari rantau. Imagine how badly it hurts, tinggal di perantauan, jarang bertemu anak, sekalinya bertemu malah dalam kondisi udah nggak bernyawa :')


Matahari cukup terik saat kami berjalan mengiringi jenazah ke pemakaman. Setibanya di sana, aku berkesempatan melihat prosesi penguburannya dari dekat. Biasanya aku takut melihat jenazah berbungkus kain kafan. Namun kali ini aku mengabaikan perasaan itu. Aku berdiri di sisi kanan mas yang merangkul bahuku, sementara lengan kiri mas merangkul bahu mama. Di situ aku kembali terisak, sampai seorang bapak menegurku untuk nggak meratapi almarhumah.

***

Aaah, intinya kemarin itu berkecamuk banget rasanya. Sedih pasti. Menyesal karena belum sempat ketemu. Dan juga iri. Bukankah Allah menjanjikan surga untuk perempuan yang meninggal karena melahirkan? Aku iri karena Teh Indri pergi dengan semulia itu. Aku yakin, calon anaknya yang gugur dua tahun lalu udah menunggunya di gerbang surga sana :') Di sisi lain, aku juga kasihan pada Mas Ipank dan terlebih putranya yang harus menjadi piatu sejak baru lahir. Semoga jika suatu saat Mas Ipank kembali menikah, ia menikah dengan perempuan yang penuh kasih sayang sehingga bisa menjadi ibu sambung yang baik untuk putranya. Aamiin yaa robbal alamiin. 


Teteh sayang.. 
Entah amalan apa yang Teteh perbuat hingga bisa pergi dengan sebaik itu, semulia itu. Semoga segala perjuangan Teteh melahirkan Adnan menjadi pemberat timbangan amal baik Teteh di sana. Istirahat yang tenang ya, Teh. Tugas Teteh di dunia udah selesai. Insya Allah, Allah juga udah menyiapkan tempat yang indah buat Teteh di sana, saya yakin. Sementara saya masih harus lanjutin tugas saya. Doain saya ya, Teh, biar bisa jadi istri dan ibu yang baik, biar suatu hari nanti bisa ketemu Teteh lagi di sana. Maafin saya yang kemarin banyak nangis. Orang-orang mungkin mikir saya lebay karena saya bukan siapa-siapa Teteh. Tapi bodo amat, Teh. Sedih karena kehilangan bisa dirasakan siapapun, kan? See you again, Teteh. You'll be missed :') 

Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiha wafuanha. 

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Innalillahi wa innailairoji'un. Turut berduka cita, semoga Teh Indri diberikan tempat terbaik disisi Allah SWT. Terimakasih atas perjuangannya teteh...Meski semuanya uda takdir, Sedih banget rasanya kalau ada kejadian seperti ini. Seorang anak harus terpisah dari Ibunya bahkan sebelum ia bisa mengenalinya.

itulah pentingnya untuk senantiasa mempersiapkan semuanya semaksimal mungkin, mulai dari medical check up calon ibu dan mengisi kartu yang ada di buku KIA tentang calon pendonor yang bersedia mendonorkan darahnya jika terjadi sesuatu. Atau untuk amannya mungkin akan lebih baik bersalin di rumah sakit yang insyaAllah sll ada stok darah untuk segera di transfusikan.

tapi kembali lagi, ini sudah takdir dari yang Kuasa.. untuk diambil hikmah dan dijadikan catatan penting untuk kita semua supaya kedepannya tidak ada kejadian serupa :')

Anonim mengatakan...

eh afwan Vidia aku mau post komentar kok jadi anonim ya yang atas -Tifanny (Tifanny Lituhayu)

Putri Vidialesta mengatakan...

Aamiin.

Hu'um, Tif. Bener-bener jadi pelajaran banget :')

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;