Senin, 18 Januari 2016

NOVEL : PULANG, by TERE LIYE


Sekitar tiga minggu yang lalu—tepatnya tanggal 7 Januari, aku, adikku, dan dua teman masa kecil kami—Tri dan Dewi—mengunjungi toko buku baru yang berdiri di kawasan Cipto. Hari itu Dewi baru aja mentraktir kami makan di Urban Chicken, coz di hari ultahnya—tanggal 19 Desember—lalu dia belum sempat nraktir kami. Karena letak toko buku itu nggak jauh dari tempat kami makan, makanya kami mampir ke toko buku baru yang memiliki bangunan tersendiri itu.

Toko buku baru itu jauh lebih luas dibanding toko pertamanya yang terletak di dalam salah satu mall terbesar di kota Cirebon. Kalo toko pertamanya cuma memiliki dua lantai, toko baru ini memiliki tiga lantai (nggak termasuk lahan parkir yang terletak di lantai dasar) dengan ruangan yang jauh lebih luas dan lahan parkir sendiri. Lantai satu berisi berbagai macam mainan anak dan dekorasi ruangan; lantai kedua berisi berbagai macam ATK dan alat musik; dan baru deh lantai paling atas berisi berbagai buku, kamus, kitab, dan novel. Sebelumnya aku sempat pikir, wah, dengan toko seluas ini, koleksi bukunya pasti luar biasa lengkap. Tapi ternyata dugaanku nggak sepenuhnya bener, karena di toko buku—yang kukira lengkap—ini aku tetep nggak menemukan novel Lucian karya Isabel Abedi. Padahal aku penasaran banget sama kisah tentang pria misterius tanpa masa lalu itu sejak salah satu rekan dunia mayaku menggembar-gemborkan betapa serunya novel itu dua tahun yang lalu. Jangankan novel itu deh, novel pertama My Creepy Diary karya Ayumi Chintiami aja nggak ada. Eh tapi ada novel Sybil lho. Novel yang aku idamkan sejak jaman SMA itu ternyata lebih tebal dari yang aku kira, dan baru liat label harganya aja aku udah ciut duluan. Hahaha..

Memasuki tahun 2016 lalu, aku sempat berharap bahwa novel berjudul Matahari yang disebut-sebut bakal terbit tahun ini akan menjadi novel karya Tere Liye yang pertama aku baca di tahun 2016 ini. Tapi ketika aku baru sadar sesuatu ketika aku melihat novel karya Tere Liye dengan cover berwarna tosca yang terpajang di etalase toko itu. ‘Pulang’, judul novel itu. Aku baru sadar bahwa aku belum punya karya terbaru Tere Liye yang rilis bulan September 2015 itu, makanya aku memutuskan buat menambahkan novel ini ke perpustakaan miniku.

Jadi, dua hari kemudian aku memesan buku itu kepada Bu Imas—pemilik lapak buku di depan Cirebon Mall—bersama beberapa buku karya Tere Liye lainnya. Seminggu kemudian, tepatnya hari Sabtu lalu, aku menebus buku-buku itu. Aku beli tiga buku, dan semuanya karya Tere Liye. Selain Pulang, aku juga membawa pulang Rembulan Tenggelam di Wajahmu dan Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.

Sepulang dari lapak buku Bu Imas, aku langsung menelanjangi buku itu. Pulang. Waktu pertama kali melihat judulnya, membaca sinopsis di back cover novelnya, dan membaca sedikit bagian perkenalan di bab pertama, aku sempat menebak-nebak bahwa novel ini akan bercerita tentang seorang pejuang yang pergi ke medan perang untuk melawan penjajah. Hahaha..




Tapi ternyata tebakanku benar-benar salah. Harusnya aku sadar bahwa seorang author yang aktif menelurkan karya sekelas Tere Liye nggak akan menulis kisah yang gampang tertebak seperti itu.

Lewat novel ini, Bang Tere Liye alias Bang Darwis mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang anak dari desa terpencil yang akhirnya  bertransformasi menjadi seseorang yang disegani. Jangan salah. ‘Seseorang yang disegani’ yang aku maksud bukanlah presiden, menteri, maupun pejabat, melainkan tukang pukul yang kuat dan jenius dari sebuah keluarga yang bermain ekonomi dalam pasar gelap.

Awalnya, Bujang—si tokoh utama—hanyalah seorang remaja berusia lima belas tahun yang pendiam. Ia tinggal bersama ibunya yang sangat mengasihinya dan ayahnya yang berwatak keras di sebuah rumah panggung di sebuah desa terpencil di pedalaman Sumatera. Suatu hari, desa terpencil itu kedatangan beberapa pemburu dari kota. Mereka datang untuk berburu babi hutan yang kerapkali meresahkan masyarakat. Rupanya, pimpinan pemburu itu kenal dekat dengan ayah Bujang, dan Bujang ditawarinya untuk ikut berburu.

Singkat cerita, setelah perburuan, pimpinan pemburu yang disebut Tauke Muda itu menawarkan diri untuk membawa Bujang ke kota dan menjadikan ia sebagai anak angkatnya. Ayah Bujang menyambut tawaran itu dengan senang hati. Bujang pun setuju dengan tawaran itu. Sedangkan ibunya harus terpaksa melepasnya, karena ia tau akan jadi apa anaknya di kota. Satu pesan ibunya, “Apa pun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan segala minuman haram. Berjanjilah kau akan menjaga perutmu dari semua itu, Bujang. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.”

Bujang tumbuh menjadi pemuda yang tinggi dan gagah. Ia dibesarkan oleh Keluarga Tong, sebuah keluarga penggerak shadow economy, yang dikepalai oleh Tauke Muda. Oleh Tauke Muda, ia dididik untuk mendalami dunia hitam—menjalani bisnis pasar gelapnya. Ia disekolahkan hingga ke perguruan tinggi, dan diberi pelatihan fisik agar menjadi petarung yang unggul. Benar-benar diperlakukan secara istimewa. Well, dari sudut pandang pembaca, hal ini pasti merupakan sesuatu yang negatif dan tercela ya mengingat pasar gelap merupakan suatu kejahatan bisnis yang merugikan banyak pihak, termasuk negara. But don’t worry, however masih banyak kok hal positif yang terselip yang bisa kita ambil dari tokoh-tokoh itu, diantaranya kesetiaan, perhatian, dan sikap pantang menyerah.

Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama. Hal ini memberikan efek seakan kita adalah Bujang, si tokoh utama dalam novel ini. Kita juga bisa merasakan perubahan karakter si tokoh utama dari waktu ke waktu lewat alur ceritanya yang maju mundur.

Aku membaca novel ini selama tiga hari. Mulai baca hari Sabtu, dan selesai baca sore ini. Membaca novel ini, rasanya seperti menonton film action. Adegan baku tembak, baku hantam, permainan pedang, dan pertarungan ala ninja berkelebat di kepalaku. Seru banget. Apalagi ada tokoh-tokoh yang menurutku unik, yakni si kembar Yuki dan Kiko. Siapa sangka bahwa dua cewek imut yang terlihat seperti turis Jepang itu merupakan pencuri kelas dunia? Gila! Kalo aja novel ini difilmkan, aku sangat mendukung, tapi seenggaknya minimal harus sebagus The Raid. I think Iko Uwais cocok berperan jadi Bujang. Hahaha.. :P

***

Berikut ini adalah beberapa quotes yang aku ambil dari novel ini :

“Kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain.”

“Hidup ini adalah perjalanan panjang yang tidak selalu mulus. Pada hari keberapa dan pada jam keberapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk, untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat kita bangga, sedangkan sisanya lebih banyak menghasilkan penyesalan.”

“Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang, maka pertempuran lainnya akan mudah saja.”

“Sepanjang kita mau melihatnya, maka kita selalu bisa menyaksikan masih ada hal indah di hari paling buruk sekalipun.”


“Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.”

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;