Senin, 20 Maret 2017 4 komentar

Nyata VS Maya

Beberapa minggu yang lalu, aku sempat dibuat envy berat gara-gara melihat beberapa foto yang diunggah sohibku, Yuda, di akun Facebooknya. Foto-foto itu menunjukkan moment-moment dimana dia lagi have fun sama Teh Tyas (aku biasa memanggilnya Teh Yaz). Well, ini kesekian kalinya dia bikin aku envy. Gimana nggak envy coba? Aku udah lama lhoo kenal sama Teh Yaz, dan udah lama pula punya keinginan buat meet-up sama dia dari jaman ngalay bareng dan geng-gengan gitu, tapi belom kesampaian juga sampai sekarang. Eh, Si Kuda Yuda yang baru kenal malah ketemu Teh Yaz duluan. Udah beberapa kali pula. Dan pas dia tau kalo aku ngiri, dia malah ngakak. Kan kesel..

Dan tercetuslah ide itu : Liburan bareng ke Cibinong dan menemui Teh Yaz.
Saat itu aku pikir, that's not a bad idea. Pasti bakalan seru banget kalo ngumpul sama dua manusia setengah koplak ini.

Tapi sekarang aku jadi bimbang sama ide itu. Aku ragu. Apa iya bakal seru? Apa iya bakal menyenangkan? Kalo mengingat karakterku yang serupa patung bernapas ini sepertinya hal itu hampir mustahil.

Bukannya aku pesimis. Beberapa tahun yang lalu, saat komunikasi antara aku dan teman-teman Facebook-ku masih kuat, aku, Teh Tyas, dan Maya pernah melakukan conference call. Tapi bukannya ngobrol seru, yang terjadi justru aku lebih banyak diam mendengarkan karena bingung mau ngomong apa dan nervous juga. Padahal selama ini kalo chat di Facebook obrolannya selalu seru-seru aja dan nggak pernah garing.

Selama ini aku selalu berharap besar bisa bertemu dengan teman-teman dunia mayaku yang kukenal baik dan klop banget, termasuk Tifanny yang kuharap someday bisa explore bareng surga-surga di atas bumi. Juga mereka yang memiliki kesukaan sama sepertiku, khususnya dalam hal hobi dan selera musik. Iya, kami memang klop ngobrol di instant messenger, tapi apa iya bakal klop juga kalo ngobrol secara nyata? Bisa jadi mereka malah menganggapku garing dan membosankan. Hahaha..

Dulu juga aku sering berpikir, alangkah menyenangkan kalo orang-orang yang memiliki kesukaan yang sama sepertiku itu nggak jauh dari tempat tinggalku. Masih satu kota misalnya, tentu kami akan berteman baik. Tapi apa?
Zezet, salah satu teman MCRmy yang kukenal via Facebook saat jaman My Chemical Romance masih berjaya merupakan orang Cirebon asli dan tinggal disini, tapi sekalipun kami nggak pernah bertemu langsung. Bahkan chatting pun hampir nggak pernah. Lalu ada Yuli, rekan satu perusahaan di tempatku bekerja yang ternyata merupakan seorang One Ok Rockers. Ya ampun, padahal bisa aja kan kami ngobrol-ngobrol seru, diskusi tentang album baru mereka, dateng bareng ke gath, ketemu sama teman-teman baru yang memiliki kesukaan sama juga? Huaaaahh..

Trus aku harus gimana? Lanjutkan, atau urungkan?
Sabtu, 18 Maret 2017 0 komentar

Gangguan Orang Asing

Tadi malam aku benar-benar kurang tidur. Aku baru memejamkan mata menjelang jam satu dini hari karena mengerjakan tugas kantor yang kubawa pulang, kemudian terbangun sekitar jam setengah dua karena terganggu oleh nyamuk dan mencoba buat tidur lagi. Baru beberapa detik mataku terpejam, aku dikejutkan sama suara-suara gaduh di luar. Awalnya sih hanya suara langkah kaki, tapi setelah itu yang terdengar adalah suara orang berbicara. Awalnya kupikir orang yang ngekos di sebelah rumahku sedang mengobrol dengan temannya. Aku cuekin aja. Tapi kok lama kelamaan makin berisik. Nggak hanya suara seseorang berbicara, tapi juga disertai suara gedebak gedebuk, suara nafas, dan erangan.

Akhirnya aku memutuskan buat keluar kamar dan mengecek keadaan di luar lewat jendela ruang tamu. Sesampainya di ruang tamu, rupanya ibu dan bapak udah lebih dulu keluar kamar dan mengecek keadaan di luar. Pintu depan tertutup, ibuku memandang ke luar jendela, sementara bapak berbicara dengan seseorang—si pembuat gaduh itu.
"Siapa itu, Bu?" tanyaku. Ibu menggeleng nggak tau dengan ekspresi wajah cemas. Si pembuat gaduh itu—laki-laki yang mungkin usianya nggak jauh dari usia bapak—meracau dengan kata-kata yang kurang jelas, seperti orang yang terganggu akalnya. Ia duduk di beranda rumah kami dengan nafas terengah-engah. Bapak memberinya beberapa uang logam dan menyuruhnya pulang, tapi ia menolak. Ia memang sempat berdiri dan hampir meninggalkan rumah ini. Tapi sesampainya di ujung jalan masuk rumahku, ia malah berteriak-teriak, menjatuhkan diri, dan menggelepar di atas jalan beraspal seperti kerasukan. Terkadang ia seperti ketakutan pada sesuatu yang nggak kami lihat dan dengar. Mungkin dia berhalusinasi atau.. entahlah.

Setelah menggelepar, laki-laki itu bangkit dan berjalan cepat ke arah kami sampai hampir menubruk pintu depan. Bapak menahannya dan meminta ibu untuk mengunci pintu. Aku dan ibu yang masih berdiri di ruang tamu benar-benar bingung harus berbuat apa. Kami khawatir sama bapak. Tubuh laki-laki itu lumayan besar jika dibandingkan sama bapakku yang kurus. Lebih-lebih kalo mengingat rumor yang lagi santer belakangan ini tentang pelaku kriminal yang berpura-pura gila. Well, memang sih, keluargaku bukan termasuk keluarga yang bisa dibilang cukup berada dan sangat jauh dari kriteria target perampokan, tapi kan tetep aja khawatir. Mana si om yang ngekos di sebelah rumah malah cuma nonton doang, nggak berbuat apa-apa.

Saking khawatirnya, ibu sampai menelpon Pak RW dan Wak Apip—kakak kandung bapak yang kebetulan masih tetangga. Namun respon yang kami terima dari Pak RW sungguh mengecewakan.
"Cuekin aja, Bu", gitu katanya. Gimana nyuekinnya coba? Meresahkan gitu. Sementara Wak Apip datang dengan membawa pentungan kayu. Yah, nggak bermaksud menyakiti sih, buat jaga-jaga aja kalau-kalau terjadi hal yang nggak diinginkan.

Tiga orang membujuk laki-laki itu pergi : Bapak, Wak Apip, dan A' Maman—sepupuku, tapi nggak berhasil. Laki-laki itu tetap bersikeras untuk tetap disitu. Takut anjing, katanya, padahal nggak ada apa-apa. Wak Apip dan A' Maman nyerah duluan, dan lagi-lagi bapak harus menghadapi laki-laki itu sendirian. Tapi untungnya sih dia nggak ngamuk-ngamuk lagi, sehingga setelah dirasa aman dan yakin bahwa laki-laki itu nggak berbahaya, kami pun meninggalkan dia di luar rumah. Waktu itu jam menunjukkan hampir jam setengah empat dini hari, kami baru bisa kembali ke kamar masing-masing.

Laki-laki itu baru mau pergi ketika pagi datang. Haaahh.. syukurlah. Semoga besok-besok nggak ada lagi hal-hal menegangkan kayak gitu. Seriously, semenjak kejadian semalam itu, aku jadi trauma kalo melihat pintu depan yang dibiarkan terbuka saat hari udah gelap. Entahlah.. Serem aja kalo keinget gimana laki-laki itu berjalan cepat ke arah pintu. Mungkin besok-besok akan lebih baik kalo didepan rumah dibangun pagar, biar lebih aman.

Total Tayangan Halaman

 
;