Bukan. Ini bukan review film yang baru kutonton ataupun novel tentang pertarungan Raja Angkot melawan Raja Ojek yang baru aja kubaca, melainkan sebuah masalah yang sedang ramai-ramainya muncul di News Feed beranda sosmedku sejak kemarin.
Hmm.. kalian
yang tinggal di Cirebon tentu tau, apa yang sedang jadi Trending Topic diantara
para masyarakat Cirebon baru-baru ini. Yup, tentang para supir angkot yang
melakukan aksi mogok massal dan berdemo untuk menuntut transportasi online
dihentikan. Awalnya aku yang setiap hari berangkat dan pulang kerja naik angkot
(tapi juga mendukung adanya transportasi online) nggak begitu ambil pusing
tentang hal ini, karena toh mereka mogok narik cuma hari ini, dan aku yakin
dengan makin berkembangnya jaman, transportasi online akan terus ada meski
angkutan umum konvensional melakukan demo seperti apapun. Untuk sementara ini aku
bisa pakai jasa ojek online dulu, meskipun yaaah tarifnya memang dua kali lipat
dibanding naik angkot. Kalo naik angkot biasanya dari rumah ke kantor cuma
butuh tarif empat ribu, sedangkan kalo pakai ojek online tarifnya sembilan
ribu.
Dari pesan
WA berantai yang kuterima, demo yang dilakukan para supir angkot itu dilaksanakan
pada hari Selasa—kemarin—jam sembilan pagi. Aku yang berangkat kerja jam
setengah delapan pagi berpikir bahwa saat itu masih ada angkot. Eh, ternyata
apa? Pas udah sampai di jalan raya, ternyata jalan raya sepi banget, cuma ada
becak dan kendaraan-kendaraan pribadi. Angkot ada sih segelintir.. tapi bukan
angkot jurusan tempat kerjaku. Aku nggak bisa nunggu lebih lama karena jam udah
menunjukkan pukul delapan kurang dua puluh menit. Ya udah deh, aku buka
aplikasi Gr*b-ku dan order satu ojek.
Sekitar tiga
menitan, ojek orderanku datang. Ia meminta maaf karena nggak pakai atribut
Gr*b-nya. Aku segera paham. Ia juga menghindari kawasan Balai Kota, karena
menurut penuturannya, para supir angkot udah berkumpul disana sejak pagi.
“Hari ini
saya udah cancel tiga orderan, Mbak,
karena takut ada apa-apa di jalan. Setelah nganter Mbak juga rencananya saya
mau langsung pulang saja”, katanya.
Jam delapan
kurang enam menit, kami tiba di depan gedung tempat kerjaku. Aku membayar
ongkos dan nggak lupa juga mengucapkan terima kasih. “Hati-hati di jalan, Pak”,
kataku. Ia mengangguk. Semoga ia tiba di rumah dengan selamat.
Pulang
ngantor, aku diantar Pak Benny. Nggak sampai rumah sih, coz aku minta diantar ke rumah Dokter Indah Mira. Pulang dari rumah
dokter, baru deh aku pakai jasa Gr*bb*k* lagi. Itu juga ordernya butuh waktu
beberapa menit, karena tiga orang driver
menolak orderanku.
Nah, hari
iniiiiii.. baru deh aku benar-benar merasakan dampak dari masalah ini. Pasalnya, mogoknya angkot yang kukira hanya terjadi satu hari rupanya
masih berlanjut hingga hari ini. Well,
aku masih bersyukur karena angkot dari rumah menuju tempat kerja udah lumayan
banyak yang narik, tapi angkot dari tempat kerja menuju rumah itu yang nggak ada
sama sekali. Aku tengok berita online seputar Cirebon di Instagram, rupanya
angkot-angkot itu masih mogok narik. Angkot D4 misalnya, yang biasa kutumpangi
dari tempat kerja menuju rumah. Angkot-angkot itu berkumpul di kawasan
Diponegoro. Nggak beroperasi sama sekali.
Aku yang
baru aja beli siomay langganan di depan kampus sampai hampir lumutan di pinggir
jalan. Order Gr*bb*k* malah gagal mulu. Sekalinya nemu driver, orangnya nggak jalan jalan (kelihatan dari maps). Banyak sih tukang ojek
konvensional disitu. Tapi ketika kutanya, tarifnya mahal banget. Lima belas
ribu sekali jalan. Geez.. itu sih
bisa jadi ongkos naik angkot dua hari. Ditawar sepuluh ribu nggak mau. Beruntunglah
mereka yang punya dan bisa bawa kendaraan, atau punya seseorang yang bisa
dimintai tolong untuk antar jemput. Sedangkan kendalaku tiga. Pertama, aku
nggak bisa bawa motor di jalan besar. Kedua, motornya nggak ada (karena dibawa
adikku ke Karawang). Ketiga, aku bukan tipe orang yang suka ngerepotin orang
dengan minta antar sana sini, meski orang itu adalah teman dekatku. Apalagi
kalo orang itu nggak punya kepentingan yang sama. Tri misalnya. Meski berteman
sejak kecil, tapi rasanya hampir nggak pernah aku minta tolong antar. Sekalinya
minta antar palingan waktu datang ke acara Meet and Greet bareng Fiersa Besari
dua bulan lalu. Yah, kecuali kalo orang itu nawarin.
Well, back to the story.
Ketika rasa
muak mulai menuju ujungnya, tiba-tiba ada tukang ojek konvensional yang nawarin
jasanya. Dia mau dibayar sepuluh ribu. Aku sempat nolak karena udah keburu order Gr*bb*k*, tapi karena Gr*bb*k*
yang aku order nggak kunjung datang,
akhirnya aku cancel dan pakai jasa
ojek tadi. Ini pertama kalinya aku pakai jasa ojek konvensional. BTW, Mang Ojek
nya rada serem deh. Sepanjang jalan dia ngajak ngobrol dan dia buka-buka aib
dua perempuan yang katanya dulu nolak dia gitu. Mana dia pake nanya-nanya
statusku, trus kepengen ngenalin aku sama temannya gitu. Whatthehell? Semoga besok-besok nggak ketemu Mang Ojek itu lagi.
Forget that!
Anyway.. dengar-dengar Pak Walikota
mengabulkan protes para pengusaha angkot dan sopir angkot itu. Beliau melarang
transportasi online untuk beroperasi.
For God’s sake, aku kecewa sama
keputusan Pak Walikota ini, dan aku bukan satu-satunya yang kecewa. Di luar
sana juga banyak yang merasa terbantu dengan adanya transportasi online dan
sangat menyayangkan sikap Pak Walikota yang terkesan ambil keputusan sendiri.
Kebanyakan masyarakat lebih berpihak pada transportasi online ketimbang angkot
karena dianggap lebih nyaman, aman, cepat, dan murah. Berbeda dengan angkot
yang kebanyakan ngetem, sering asal menurunkan penumpang, merokok di dalam
angkutan, dan kurang aman. Udah gitu kadang-kadang maksa penumpang naik. Orang
nggak ngacungin jari, dia bunyiin klakson. Udah gelengin kepala, dia malah
berhenti didepan. Dibilang enggak
malah sewot. Kan aneh. “Lebih baik
angkot aja yang ditiadakan!” komentar salah satu netizen yang kubaca di akun
berita online seputar Cirebon di Instagram.
Aku pribadi,
sebagai pengguna jasa keduanya, kurang setuju dengan komentar netizen tadi. Siapa
bilang semuanya akan baik-baik aja kalo angkot ditiadakan? Buktinya, kemarin
dan hari ini banyak lho adik-adik pelajar yang terlantar di pinggir jalan
karena nggak ada kendaraan buat ke sekolah atau kampus. Apalagi hari ini
ditambah dengan diberhentikannya jasa transportasi online. Duh, kasian. Kemarin
siang Mas Febri melihat beberapa orang siswa SMA berjalan kaki dari sekolah ke
rumah. Hari ini giliran aku yang lihat.
Ojek,
angkot, dan becak juga berguna banget buat para ibu-ibu yang mau ke pasar, juga
masyarakat menengah ke bawah, khususnya mereka yang belum menggunakan hape
jenis Android. Bahkan aku sendiri yang udah pakai Android (dengan aplikasi Gr*b
yang siap pakai) pun masih sangat membutuhkan jasa angkot karena tarifnya yang
lebih murah buat karyawan swasta yang gajinya nggak seberapa ini :(
Transportasi
online pun nggak kalah penting. Siapa yang kalo pulang ngampus atau pulang
kerja pas hari gelap? Nah, ketika hari udah gelap, penumpang pasti memilih
transportasi yang cepat dan aman (apalagi cewek. Ya know lah, kalo hari udah gelap setan astral maupun non astral makin
banyak yang keliaran). Atau seseorang yang mendadak harus segera dibawa ke
rumah sakit, sementara waktu udah di atas jam sepuluh malam. Nah, disinilah
transportasi online berperan. Selain itu, bukankah dengan adanya perusahaan
transportasi online, itu sama aja mengurangi jumlah pengangguran?
Jadi intinya
menurutku, baik transportasi umum konvensional maupun transportasi online,
keduanya sama-sama berperan penting bagi mobilitas masyarakat. Jadi jangan
sampai lah ada yang diberhentikan. Jangan juga ada kecemburuan. Miris deh, tadi
sore aku baca berita, ada driver
taksi online yang dijotos supir angkot gitu. Miris plus kesel bacanya.
Dear, Mang Kot. Kenapa sih pada anarkis
gitu? Udah demo, sekarang main jotos orang. Sama-sama cari nafkah, Mang! Rejeki
juga udah diatur Tuhan. Lagipula, apa Mang Kot pikir dengan menjotos driver taksi online itu, lantas
pendapatan Mang Kot bertambah? Penumpang angkot makin banyak? Enggak, Mang.
Sekarang media banyak yang meliput, image
Mang Kot makin jelek. Sekarang Mang Kot nggak hanya dikenal sebagai tukang
ngetem, tukang nurunin penumpang sembarangan, dan pengemudi yang nggak peduli
sama keamanan dan kenyamanan penumpang, tapi juga tukang anarkis. Penumpang
makin enggan naik angkot. Lihat tuh, para pengemudi online itu. Ketika Mang Kot
mogok narik, mereka sampai narik penumpang sembunyi-sembunyi, bahkan ada yang
rela nggak dibayar buat nganterin adik-adik pelajar ke sekolah. Nggak ada yang
anarkis. Jadi daripada cemburuan kayak gitu, mending introspeksi diri dulu deh.
Apakah Mang Kot udah memberikan pelayanan yang baik pada penumpang? Apakah Mang
Kot bisa menjamin keamanan dan kenyamanan penumpang? Apakah Mang Kot juga bisa
tertib di jalanan dan menunjukkan attitude
yang baik? Ini kok malah anarkis, kayak yang nggak diajarin tatakrama (-.-“)
Sejauh ini,
Pak Walikota menuturkan bahwa penghentian operasional transportasi online ini
hanya bersifat sementara. Yah, semoga memang sementara, karena hey.. ini udah
tahun 2017. Jaman udah makin maju. Kemajuan teknologi nggak bisa dibendung.
Sekarang apa-apa udah pakai internet. Masa iya mau pakai cara konvensional
mulu. Kalo gitu sih boro-boro ngarep Cirebon bisa kayak Bandung *sigh*
Yah, semoga
polemik ini segera berakhir dan segera menemukan win win solution, biar nggak ada salah satu pihak yang untung dan
salah satu pihak yang rugi. Aamiin.