Minggu, 06 Februari 2022

Dunia Baru

Kini aku betul-betul paham kenapa Allah begitu memuliakan ibu ketimbang bapak. Satu minggu ini benar-benar luar biasa buatku, ketika Allah menunjukkan bagaimana perjuangan ibu begitu berat, dan kuasa Allah begitu besar.

Dini hari Minggu, 30 Januari, aku merasa tidurku kurang nyenyak. Ada saat di mana aku merasakan kram perut dan nyeri pinggang hingga membuatku terbangun. Hal itu terjadi berulang-ulang meski nggak terjadi dalam waktu yang berdekatan.

Pagi harinya, aku menemukan lendir bercampur darah di pakaian dalamku. Sebenarnya aku sudah mengalami hal itu beberapa hari belakangan, namun kali ini berjumlah lebih banyak ketimbang sebelumnya. Aku menceritakan hal itu pada Mas, namun hal itu nggak menyurutkan niat kami untuk jalan-jalan pagi.

Memang, pada minggu-minggu terakhir menjelang persalinan, aku dan Mas rutin berjalan-jalan ke alun-alun kota setiap hari Minggu pagi. Kami membeli beberapa potong gorengan, kemudian menyantapnya berdua di alun-alun. Kami juga sempat membeli dan menyantap beberapa tusuk dadar gulung di sana. Setelah cukup kenyang, Mas baru menemani aku berjalan kaki memutari alun-alun, namun kali ini aku hanya kuat memutarinya sebanyak dua putaran, padahal biasanya bisa lebih dari itu. Perutku benar-benar nggak nyaman waktu itu. Akhirnya kami pun pulang.

Beberapa jam kemudian, aku merasakan kontraksi. Hal itu terjadi selama sekitar satu menit dalam interval waktu kira-kira setengah jam. Karena terjadi beberapa kali, akhirnya setelah Dhuhur, aku dan Mas memutuskan untuk memeriksakan kondisiku ke bidan. Awalnya kami berencana menghubungi Bidan Oom, namun karena kliniknya tutup dan pesan WhatsApp yang dikirim Mas nggak direspon, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke klinik Bidan Evi di kawasan Suratno.

Singkat cerita, pertama-tama Asisten Bidan melakukan pemeriksaan berat badan dan tekanan darahku. Alhamdulillah tekanan darahku normal, padahal aku sudah khawatir tekanan darahku tinggi karena stres menjelang persalinan. Setelah itu, Bidan Evi mempersilahkan aku masuk ke Ruang Pemeriksaan di mana ia melakukan pemeriksaan bagian dalam untuk mengetahui apakah jalan lahirku sudah terbuka atau belum.

Setelah itu, bidan pun berkata pada Mas bahwa waktu persalinan sudah dekat, dan jalan lahirku sudah masuk pembukaan dua yang berarti kami masih harus menunggu delapan pembukaan lagi. Aku pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. 

"Kalo sudah merasa mulas seperti mau BAB, langsung kesini lagi ya. Tapi langsung dibawa semua perlengkapan ibu dan bayinya", katanya. Bidan Evi ramah sekali. Ia bicara kepada pasien seperti seorang ibu yang bicara pada anaknya. Hangat dan bersahabat. Sesekali ia juga melemparkan candaan yang membuat kami terkekeh.

Akhirnya aku dan Mas pun kembali ke rumah dengan membawa beberapa plastik obat yang diberikan bidan. Sesampainya di rumah, aku meminum obat seperti yang sudah dianjurkan sebelumnya oleh Bidan Evi.

Menjelang jam tiga sore, aku merasakan kontraksi dengan jarak waktu yang lebih dekat, yakni durasi sekitar satu menit dalam interval waktu sekitar tiga menit. Mas pun mendesakku untuk segera kembali ke bidan karena aku masih bilang 'nanti aja'. 

"Kalo nunggu nanti-nanti, Mas khawatir kamu bakal susah jalan", katanya.

Akhirnya aku dan Mas kembali ke klinik tersebut, namun kali ini kami membawa dua tas besar berisi perlengkapan keperluan aku dan bayi. Awalnya ibu dan adikku mau ikut, namun aku menyarankan mereka untuk menunggu kabar dariku. Kasihan juga kalo mereka harus ikut menunggu terlalu lama. 

Sesampainya di sana, bagian dalamku diperiksa oleh salah satu asisten bidan. Ternyata pembukaannya masih bukaan dua setengah. Waktu itu aku diperiksa dua kali. Pertama dengan asisten bidan, selanjutnya dengan Bidan Evi sendiri. Mungkin untuk memastikan. Jujur, mengecek pembukaan jalan lahir adalah tindakan yang membuatku ngilu.

Karena aku sudah merasakan mulas-mulas yang cukup sering, Bidan Evi mempersilahkan aku untuk berbaring dan menunggu di Ruang Bersalin. Ruang yang dihiasi wallpaper bermotif flamingo dan didominasi warna pink itu terdiri dari dua ranjang pasien, satu baby box, satu meja panjang, satu meja kecil, satu wastafel, pendingin ruangan, kipas angin, dan berbagai peralatan lainnya.

Aku memilih berbaring di ranjang pasien yang paling dekat dengan pintu. Sementara Mas menyiapkan segala perlengkapan aku dan bayi, sambil menemani dan sesekali menenangkan aku.

Sekitar jam lima sore, aku diminta asisten bidan untuk pindah ke ranjang sebelahnya karena spacenya lebih luas. Waktu itu rasa mulasku semakin menjadi. Di situ, aku dipasangi selang infus. Ini pertama kalinya dalam hidup aku mengenakan infus. Aku selalu membayangkan sesakit apa rasanya, ditusuk di pergelangan tangan selama berjam-jam. Namun kini ketika merasakannya sendiri, rasanya nggak lebih sakit ketimbang rasa mulas yang saat itu aku rasakan. Setiap kali bidan melakukan pemeriksaan bukaan jalan lahir membuat aku meringis. Mas dan ibu (yang datang setelah dikabari oleh Mas) berdiri di sisi kiri dan kananku. 

Seiring berjalannya waktu, pemeriksaan bukaan nggak lagi membuat aku meringis, melainkan berteriak. Rasa mulasku semakin nggak tertahankan. Aku mulai meracau, mengaduh, dan meneriakkan istighfar. Terkadang aku terdorong untuk mengejan, namun bidan dan para asistennya melarang aku melakukannya dan menyuruh aku untuk mengatur napas.

"Mules banget, Teh. Pingin ngeden!" sergahku.

"Belum boleh, Sayang. Masih bukaan lima. Kalo ngeden, nanti jalan lahirnya bengkak". Masya Allah, baru bukaan lima sudah sesakit ini, bagaimana di bukaan-bukaan selanjutnya, pikirku.

Pada bukaan ke tujuh, ketubanku pecah (tapi menurut ibu dan Mas sengaja dipecahkan oleh bidan). Rasanya seperti ada yang meletus di dalam, kemudian aku merasa ada cairan hangat merembes begitu aja. Rasa mulas yang aku rasakan pun sudah nggak bisa digambarkan lagi. Aku dipaksa untuk terus berbaring ke kiri untuk mempertahankan detak jantung bayiku. Namun berbaring ke kiri benar-benar membuatku begitu tersiksa. Setiap kali aku mengubah posisi, bidan dan asistennya akan mendorong punggungku agar tetap berbaring ke kiri. Ketika itulah aku akan berteriak-teriak. Sakit sekali rasanya. Kakiku juga kram. Mereka bilang, itu karena kakiku terlalu tegang. Aku diminta untuk melemaskan kakiku, namun sulit sekali. Setiap kali rasa mulas mendera, aku nggak bisa menahannya. Kakiku menjejak-jejak, keringat menjalari tubuhku, namun aku merasakan dingin hingga tanganku gemetar. Bahkan infus yang terpasang pun sempat terlepas dari lenganku, dan Asisten Bidan segera memasangkannya lagi. Aku peluk Mas yang terus menerus membisikkan istighfar dan kata-kata penyemangat di telingaku. Sementara ibu yang juga menemani aku terus memperingatkan aku untuk melafalkan doa. Saat itu rasanya seperti berada dalam penantian panjang. Menanti untuk mengejan dan mengakhiri semua itu dengan air mata bahagia.

Akhirnya tiba lah waktu di mana Bidan mulai meminta aku untuk mengejan. Aku pun mengejan sekuat tenaga. Namun rupanya cara mengejanku dianggap kurang tepat.

"Nok, tarik napas dari hidung, trus ngeden. Jangan bersuara! Matanya lihat ke perut!" katanya. Aku pun menurut. Namun seringkali rasa mulasnya tiba-tiba hilang ketika aku tengah mengejan. Hal itu membuat tenaga yang aku keluarkan menjadi nggak maksimal. Salah satu asisten bidan pun meminta Mas untuk menyingkir dari sisiku, karena waktu persalinan benar-benar akan dimulai.

Mas pun pindah ke sudut ruangan, menunggu bersama ibu. Aku dipasangi selang kateter. Dan mungkin karena melihat kondisiku yang banyak membuang tenaga untuk berteriak, Bidan Evi memasang selang oksigen untukku. Ia juga memanggil seorang temannya yang merupakan salah satu dokter dari RS Sumber Kasih untuk membantunya. Selama proses persalinanku, Bidan Evi didampingi oleh dua asistennya dan dokter tadi. Bidan yang memberi komando, satu asisten bidan menahan paha kiri aku agar terbuka, sementara asisten bidan yang satunya dan dokter itu bertugas untuk mendorong perutku. Namun lagi-lagi ketika mereka tengah berusaha mendorong bayi untuk ke luar, rasa mulasku hilang dan aku berhenti mengejan. Ketika itulah Bidan Evi murka. Yah, memang bukan marah-marah, melainkan memperingatkan aku untuk terus mengejan jika ia perintahkan, karena akan fatal akibatnya jika aku terus berhenti mengejan di tengah-tengah usaha mereka mengeluarkan bayi. Bidan juga menyuruh aku untuk membuka pahaku dan menahannya dengan kedua tangan.

Akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang aku miliki, aku mengejan dan terus mengejan. Mungkin karena pegangan di pahaku kurang kencang, di detik-detik terakhir, Bidan Evi memanggil Mas dan memintanya untuk membantu memegangi pahaku. Mas yang tengah berdiri di sudut ruangan hanya bisa manut. Aku bisa melihat raut kecemasan di wajahnya.

"Ya! Terus, terus! Sedikit lagi!" Bidan Evi memberi komando. Aku mengejan sekuat tenaga. Kemudian kris, kris, kris, aku mendengar suara gunting. Seketika rasa sakit dan mulas luar biasa yang aku rasakan bertambah dengan rasa perih. Seketika aku berteriak-teriak, sakit. Entahlah, sepertinya hari ini aku mengguncang seantero klinik dengan teriakan-teriakanku.

Hana waladat Maryam, Maryam waladat 'Iisa, ukhruj ayyuhal mauluud, biqudratil malikil ma'buud.

Dan yah, malam ini, sekitar pukul setengah sembilan malam, Si Kecil lahir. Ketika bayi keluar, aku bisa melihat perutku yang bergetar sesaat. Namun salah satu Asisten Bidan mengatakan bahwa bayiku terlilit tali pusar. Nggak ada tangisan bayi terdengar. Sesaat setelah mereka mengeluarkan bayiku dari rahim, mereka menjatuhkannya ke pangkuanku, kemudian membungkusnya dengan kain, dan membawanya ke meja panjang. Entah apa yang mereka lakukan, hingga akhirnya suara tangis bayi pecah di ruangan itu. Seketika ungkapan syukur menggema. Alhamdulillah. Bayi kami selamat. Nggak terbayang rasanya jika sampai segala perjuanganku tadi berakhir sia-sia.

"Makasih, Sayang", ucap Mas sambil memeluk dan mencium keningku. Suaranya bergetar menahan tangis bahagia. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Yah, bagaimana enggak? Hari ini kami terlahir sebagai orang tua :') 

Setelah membersihkan bayi dan memakaikannya popok dan topi, Bidan meletakkan bayi mungil itu ke dadaku. Aku lantas memeluk dan menciumnya.

"Makasih ya, Sayang. Sudah berjuang bareng sama Mama".

Ya Allah, rasanya baru kemarin aku merengek pada ibu minta dibelikan gelang Panji Manusia Milenium, dan kini aku resmi menjadi seorang ibu.

"Alhamdulillah. Sudah ya. Sekarang tenang, nggak usah ngeden-ngeden lagi. Sisanya tinggal tugas kita", ucap Bidan Evi. Aku pun menghembuskan napas lega. Mereka lantas melepaskan selang oksigen dan selang kateter di tubuhku karena sudah nggak dibutuhkan lagi.

Tapi rupanya aku merasa lega terlalu cepat. Masih ada satu tindakan lagi yang harus mereka lakukan kepadaku : menjahit luka bekas guntingan tadi. Aku meringis. Periiiih sekali rasanya.

"Nok fokus sama dedenya aja, jangan sama rasa sakitnya. Seneng kan udah ada dede?"

Ya senang sih, tapi ya tetap ajaaa.. :')

Selesai menjahit lukaku dan memakaikan aku popok dewasa, mereka pun membawa bayiku untuk dibersihkan lagi, karena ia sempat buang air besar. Bahkan kotorannya menempel di perutku. Hahaha. Kali ini bayiku nggak hanya dibersihkan, tapi juga dibedong agar ia merasa hangat. Setelahnya, Mas mengadzankan bayi kami. 

Aku yang masih berbaring di ranjang pun membersihkan kotoran bayi yang menempel di atas perutku dengan tisu basah. Ibu memanggil adikku yang sedari sore setia menunggu di luar, memperkenalkan ia pada keponakan barunya.

Singkat cerita, aku dipindahkan dari Ruang Bersalin ke Ruang Nifas yang terletak di seberangnya. Saat itu klinik kedatangan satu orang lagi yang akan bersalin. Sepasang suami-istri yang segera akan memiliki anak ketiga. Aku dipindahkan dengan menggunakan kursi roda. Ruangan Nifas tentunya berukuran lebih kecil. Luasnya mungkin hanya 2,5m x 2,5m dan hanya terdiri dari satu ranjang pasien, satu boks bayi, satu bangku sudut panjang, satu meja dengan laci-laci yang bisa digunakan untuk menyimpan barang-barang dan pakaian pasien, dan sebuah gym ball.

Setelah membantu membaringkan aku dan menyimpan segala perlengkapanku, ibu dan adikku pamit. Malam itu, kami hanya bertiga : Aku, Mas, dan bayi kami.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagi kami. Bayi kami menangis terus, dan kami nggak tau harus melakukan apa. Aku belum bisa duduk, namun aku juga nggak tega melihat Mas yang terus begadang menjaga dan menenangkan bayi kami. Sesekali ia membaringkan badannya di kursi sudut atau di lantai untuk meluruskan tubuhnya, namun ketika bayi kami menangis, ia langsung sigap menghampirinya. Begitu terus berulang-ulang. Ia tentu capek sekali. Nggak sabar rasanya menunggu pagi datang.

Dan yah, sejak hari itu, lembar baru aku dan Mas dimulai. Tidur kami tentu aja nggak lagi setenang dulu karena ada Si Jagoan yang harus kami prioritaskan kebutuhannya. Jika ia tidur, kami ikut tidur. Jika ia terbangun, kami ikut bangun. Kadang aku dan Mas menjaga bergantian. Melelahkan memang, tapi kami jadi belajar bahwa menjadi orangtua itu nggak mudah. 

***

Fathian Putra Azzafran, nama bayi kami. Awalnya aku ingin menamainya Afkar Fathian Putra Azzafran, namun Mas berpikir nama itu terlalu panjang dan khawatir memberatkan anak kami di kemudian hari. Akhirnya kami memutuskan untuk menghilangkan nama depannya. 

Nama 'Fathian' dipilih Mas, memiliki arti 'kemenangan' atau 'keberuntungan'. Nama 'Putra' diambil dari nama tengah Mas yang juga merupakan versi laki-laki dari namaku. Sedangkan nama 'Azzafran' aku yang pilih karena sejak nama 'Zafran' muncul di film 5cm, aku menyukai nama itu. Wkwkwk. Entahlah, menurutku nama itu terdengar sangat laki-laki dan seperti menggambarkan sosok laki-laki yang tampan, penuh semangat, dan percaya diri. Selain itu, nama itu juga memiliki arti yang bagus, yakni 'bunga yang berwarna keemasan'. Bunga identik dengan keindahan, dan emas identik dengan kesuksesan. Dengan begitu kami berharap anak kami kelak akan menjadi anak laki-laki tampan yang selalu beruntung dan sukses. Aamiin. 

Fathian lahir dengan berat 2,9 kg dan panjang 48 cm, ukuran yang terbilang normal untuk bayi baru lahir. Ia lahir tepat pada HPL, yang Bidan Evi bilang jarang terjadi. Bidan Evi juga mengaku bahwa awalnya ia pesimis bisa membantuku. Melihat postur tubuhku yang kurus, pendek, dan ringkih, kecil rasanya kemungkinan untukku melahirkan secara normal. 

Ah, jangankan Bidan Evi, orang awam pun mungkin akan berpikir demikian. Bahkan sejak awal hamil, aku sudah banyak di-underestimate orang. Teman-teman kantorku misalnya. 

"Lahiran caesar aja, Put. Enak, nggak sakit".

" Nggak mau ah, Pak. Nggak sakit, tapi pemulihannya lama. Pingin normal aja, biar pemulihannya cepat", jawabku. 

"Lahiran normal? Memang kamu bisa?" ejeknya. 

Ada juga yang selalu julid mengomentari apa yang aku makan dan minum, menanyakan hasil pemeriksaan berat badan bayiku kemudian menyebut bahwa berat badan bayiku kurang, mengomentari bentuk perutku yang menurutnya terlalu turun, dan yah.. meragukan bahwa aku bisa melahirkan secara normal. 

But see? Takdir bukan berasal dari omongan orang lain. Tuhan yang punya kuasa atas segalanya. Aku benar-benar bersyukur, sangat bersyukur bahwa aku bisa, meski aku nggak yakin komentar mereka akan berhenti sampai di sini. Ke depannya, pasti akan tetap ada komentar-komentar baru. Aku harus bisa kebal. 

1 komentar:

T I F A N N Y mengatakan...

Beber ternyata terinspirasi dari film 5cm yah. Mw bales wasap lupa mulu wkwkwk afwan.

Sehat sehat dede Tian. Cepet besar yok biar bisa bkin band sama papa mama wkwkwk. Anak sholeh

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;