Sabtu, 13 April 2024

Tiga Hari Dua Malam di Depok

 Lebaran hari kedua kemarin, aku, Mas Agus, dan anak kami Fathian silaturahmi ke rumah Om Tip di Depok. Om Tip ini adik dari almarhum mama mertuaku. Beliau merupakan satu-satunya saudara mama mertua yang masih hidup. Aku dan mas udah merencanakan keberangkatan ini sejak akhir bulan Maret lalu. Kebetulan istri dari salah satu kenalan mas dan dua anak mereka mau mengunjungi saudaranya di Bogor. Jadi kami berangkat bareng dari rumah mereka, lalu pulangnya kami bertiga naik kereta.

Ini pertama kalinya aku berkunjung ke rumah Om Tip, dan pertama kalinya Fathian pergi ke luar kota. Aku dan mas sempat khawatir karena kemarin anak kami terserang pilek. Hidungnya meler terus sehingga membuatnya sedikit rewel selama hari H lebaran. Alhamdulillah setelah dua kali minum sirup pereda pilek, di hari keberangkatan kami ke Depok, pileknya mendingan dan nggak meler lagi.

Awalnya, aku dan mas berencana menginap di rumah Om Setya, kenalan mas itu. Maksudnya sih biar nggak terlalu diburu-buru saat berangkat nanti. Namun sayangnya, malam itu taksi online sulit sekali didapat. Semua drivernya sibuk. Mungkin karena suasana lebaran, jadi banyak orang yang menggunakan jasa mereka. Mungkin juga mereka sedang sibuk dengan keluarga masing-masing sehingga nggak menerima orderan dulu. Entahlah. Akhirnya aku dan mas memutuskan untuk berangkat pagi-pagi ke rumah Om Setya.

Hari Kamis 11 April, jam empat subuh. Setelah mencuci botol dan kotak susu Fathian agar siap dibawa, aku mengecek lagi apa-apa aja yang nanti harus kami bawa ke sana, memastikan nggak ada yang tertinggal. Aku bangun sepagi itu juga buat jaga-jaga kalo taksi online susah dipesan lagi seperti sebelumnya.

Fathian baru bangun sekitar jam setengah enam dan nggak sempat mandi. Itu pun bangun dengan terpaksa. Ia sulit sekali dibangunkan, jadi kuganti popok dan pakaiannya saat ia masih tidur. Karena merasa tidurnya keganggu, ia mengamuk dan menangis cukup lama. Ia juga menolak untuk ganti baju, jadi aku dan Mas Agus terpaksa membiarkannya pergi dengan baju tidurnya. Ia baru berhenti mengamuk saat adikku membujuknya dengan balon air.

Seperti dugaanku sebelumnya, pagi itu kami sempat kesulitan mencari taksi online. Ada yang nyantol satu, tapi kemudian ditolak. Untung pas dicoba lagi, akhirnya ada yang mau menerima orderan kami.

Singkat cerita, kami sampai di rumah Om Setya di kawasan Perumahan Sabrang Permai. Karena Fathian udah tenang, aku mengganti bajunya dengan baju yang bersih. Sambil menunggu mobil, kami duduk-duduk di teras sambil ngobrol bareng Om Setya. Fathian seperti biasa, nggak betah duduk diam. Jadi ya gitu deh, dia asyik melihat burung peliharaan si empunya rumah, lihat lukisan ikan, lihat buah jambu di halaman rumah sebelah, lari-lari, lompat sana-sini, nggak kapok meskipun jatuh sampai nangis dan dengkulnya lecet. Wkwk.

Akhirnya mobil pun tiba untuk menjemput kami. Kami berangkat sekitar jam tujuh pagi. Selain aku, mas, dan Fathian, ada juga istri Om Setya (aku dan mas memanggilnya 'mamah'), dan dua anaknya : Ikhsan dan Nayla. Selama perjalanan, Fathian memilih duduk dipangku Mas Agus sambil makan snack. Satu setengah jam perjalanan, Pak Dwi (supir kami) bertanya apakah ada di antara kami yang ingin mampir ke toilet. "Boleh, Pak", jawabku. Kebetulan aku sedang haid hari kedua, aku khawatir menstrual cup-ku penuh. Saat itu pukul 09:04, mobil kami berbelok ke Rest Area Tol Cipali KM 86. Sebenarnya jalur menuju rest area itu kayaknya ditutup, karena ada beberapa water barrier terpasang menghalangi jalan. Tapi karena water barrier itu dipasang renggang dan cukup untuk dilewati mobil (sepertinya sih ada orang yang sengaja menggeser), jadi Pak Dwi cuek aja membelokkan mobil kami ke rest area itu. Wkwkwk.

Rest area yang kami kunjungi itu terlihat sepi. Nggak ada siapapun di sana. Rumah makan pun semuanya tutup. Tapi karena yang kubutuhkan adalah ke toilet, jadi ya nggak masalah. Aku dan mamah langsung menuju toilet, Nayla memilih duduk di dalam mobil bersama Fathian yang saat itu tertidur, sementara para cowok merokok di luar. Toilet di tempat itu cukup bersih. Tapi ternyataaa semua kran di toilet itu mati dong. Meski begitu, ada beberapa ember kecil yang menampung air di dalam tiap bilik toiletnya. Jadi ya lumayan aja deh. Dalam kondisi seperti ini, kerasa banget praktisnya pakai menstrual cup saat haid. Tinggal buang cairannya ke kloset, bilas menstrual cupnya dengan air mengalir, lalu pakai lagi. Coba kalo pakai pembalut, repot cuci-cuci, gulung, bungkus plastik, lalu buang. Mana airnya terbatas banget kan. Cukup sepuluh menitan kami di tempat itu, lalu kami pun melanjutkan perjalanan.

Menjelang jam sebelas siang, kami berhenti buat makan siang di resto padang di Rest Area Cibubur. Di resto itu, Fathian sempat menangis karena dagunya terbentur meja saat ia turun dari kursi. Jadi kuajak ia melihat-lihat sekitar biar tangisnya reda. Fathian juga sempat digendong oleh Ikhsan, sesuatu yang sangat langka terjadi mengingat Ikhsan termasuk orang asing baginya. Biasanya Fathian menolak digendong orang asing, tapi kepada Ikhsan, ia kelihatan nyaman gitu, bahkan sampai dadah-dadah ke mama papanya. Ckck.

Rest Area Cibubur

Jam satu siang, kami sampai di lokasi tujuan mamah, Ikhsan, dan Nayla, yakni sebuah rumah di kawasan Kedunghalang Bogor. Rumahnya pas banget di sisi jalan raya Jakarta-Bogor dekat lampu lalu lintas, jadi kita bisa melihat aktifitas para pengendara dan badut pengamen yang lalu lalang. Fathian yang takut badut (tapi penasaran ngintip-ngintip) terus merengek sambil memeluk mas atau aku. Di sana juga Fathian asik main bola dan lihat kura-kura dalam akuarium yang terletak di meja teras rumah itu. Ia juga sempet tertarik dengan litter box yang ditaruh di teras. Mungkin ia pikir, itu pasir mainan. Ia berkali-kali menghampiri kotak itu, tapi buru-buru kucegah sebelum ia mengobok-obok isinya.

Jam setengah dua siang, kami melanjutkan perjalanan tanpa mamah, Ikhsan, dan Nayla. Fathian duduk di depan bareng Mas Agus, sedangkan aku sendirian di kursi tengah. Aku menyimak mas dan Pak Dwi yang asyik mengobrol. Kami bersyukur karena Pak Dwi bukan sekedar supir, tapi juga teman perjalanan yang menyenangkan. Beliau banyak bercerita tentang suka dukanya menjadi driver selama bertahun-tahun. Dia juga bercerita tentang bagaimana ia membesarkan anak-anaknya sambil sesekali memberi aku dan mas nasehat-nasehat kecil untuk menjaga dan mendidik Fathian sebaik-baiknya. 

Fathian yang sesekali melihat Pak Dwi menggerakkan tuas persneling diam-diam menirukannya dengan menggerakkan botol minum plastik yang terletak di cup holder pintu mobil. Mas dan Pak Dwi yang melihat hal itu tertawa.
"Itulah, Kang. Anak umur segini masih polos, cepat menyerap dan niru apa yang dia lihat. Kalo sering lihat orangtuanya ke masjid, dia juga ikut rajin ke masjid. Kalo lihat orangtuanya rajin ngaji, dia juga rajin ngaji. Kalo lihat orangtuanya rajin sholat, dia juga rajin sholat. Kalo lihat papanya suka merokok, anak juga pasti penasaran pingin coba. Kayak anak saya, Kang. Dia sering bilang pingin jadi seperti ayah. Karena dia sering lihat ayahnya merokok, diam-diam dia ngikutin, pura-pura merokok. Uh, saya sampai dicarekan (dimarahi) istri saya, katanya ngasih contoh nggak baik", tuturnya bercerita. Aku yang mendengar cerita itu langsung mencolek bahu mas. Tuh dengerin!
"Makanya mumpung anak masih umur segini, masih bisa dibentuk", sambungnya lagi.

 Aku juga kagum karena beliau adalah salah satu dari sedikit orang dewasa yang berpikir bahwa anak bukan semata-mata rejeki, tapi juga tanggung jawab. Baginya lebih baik punya satu anak yang berkualitas daripada punya banyak anak yang nggak terjamin hidupnya. Setuju sih, karena faktanya banyak banget orangtua yang masih punya mindset 'banyak anak banyak rejeki'. Iya, memang benar rejeki anak itu ada, tapi bukan berarti sebagai orangtua jadi nggak punya planning dan persiapan. Pendidikan itu mahal, belum lagi kalo anak tiba-tiba sakit dan butuh biaya besar. Apa belum cukup bukti dari banyaknya anak-anak yang terlantar di jalan-jalan? Alih-alih sekolah, malah disuruh cari uang.

Oke, balik lagi ke cerita. Sekitar jam setengah tiga sore, akhirnya kami sampai di gang masuk rumah Om Tip di kawasan Pengasinan, Sawangan Depok. Setelah menurunkan barang-barang kami dan memastikan nggak ada yang ketinggalan, Pak Dwi pamit. Sebelum pergi, beliau mencium tangan Fathian bolak balik, mendoakan, dan mencium ubun-ubunnya. Aku jadi terharu, bersyukur juga dipertemukan sama beliau. Kami baru kenal, tapi rasanya kayak udah kenal lama.

Sampai di rumah Om Tip, kondisi rumahnya sepi. Cuma ada seorang bapak tua yang duduk di halaman, katanya semua penghuni rumah sedang jajan bakso di luar, kecuali Om Tip yang sedang istirahat. Mas Agus meminta bapak itu buat panggilkan beliau. Nggak lama kemudian, Om Tip keluar dan menyambut kami. Beliau memeluk Mas Agus dan menangis terharu karena baru ketemu mas lagi setelah tiga tahun, ditambah mas juga nggak mengabari kalo kami mau datang. Sengaja, biar surprise. Eh, saat mas dan Om Tip sedang pelukan sambil menangis terharu begitu, Fathian malah teriak-teriak dan memisahkan mereka berdua. Wkwkwk. Fathian memang suka cemburu kalo lihat orangtuanya pelukan.

Beberapa menit kemudian, orang-orang rumah kembali dari jajan bakso. Mereka juga menyambut kami. Beberapa anak langsung mengajak Fathian main, tapi seperti biasa, ia butuh waktu cukup lama buat beradaptasi. Pertama-tama mereka membujuk Fathian dengan cemilan, lalu dengan mainan mobil-mobilan dan puzzle block berbentuk kereta. Lalu setelah Fathian mulai nyaman, aku dan mas mengajaknya mandi, itupun harus dibujuk dengan melihat ikan-ikan di kolam belakang . Setelah mandi dan mengganti pakaian, Fathian pun diajak mas duduk-duduk di teras. Di situ Fathian main kendaraan-kendaraan kecil bersama Rafan, anak bungsu Mbak Rena (sepupu mas) yang usianya empat tahun di atas Fathian, lari-lari, lompat-lompat. Happy banget. Alhamdulillah, adaptasi berhasil. Hahaha.

***

Awalnya, aku dan Mas Agus berencana menginap bareng Fathian di penginapan atau hotel selama kami di Depok. Tapi ternyata, di Kecamatan Sawangan tempat Om Tip tinggal itu nggak ada penginapan atau hotel. Sedangkan kalo kami menginap di luar kecamatan dengan kondisi Depok yang padat dan rawan macet, rasanya tentu bakal capek di jalan. Jadi selama di sana, kami tidur di rumah Om Tip di lantai dua. Di lantai dua itu ada tiga kamar : kamar Mbak Leni, kamar Mbak Elis, dan kamar yang mereka siapkan untuk kami tidur. Waktu pertama kali aku masuk ke kamar yang mereka siapkan untuk kami itu, aku kaget, karena kamar itu hanya dibatasi gorden dan langsung berhadapan dengan tangga. Kebayang kan ngerinya? Dengan Fathian yang super aktif begitu, aku jadi kepikiran yang enggak-enggak. Mana anak tangganya tinggi-tinggi, dan jarak teralis di pagar pengamannya jarang-jarang. Jadi aku sampaikan kekhawatiranku itu ke Mas Agus. Akhirnya kami 'bertukar kamar' dengan Mbak Elis.

Selama di sana, Fathian hobi banget naik turun tangga. Setiap kali aku dan mas naik atau turun tangga, Fathian selalu minta ikut. Kalo dituntun naik atau turun tangga, jalannya cepat sekali, sampai-sampai yang nuntun kewalahan. Bahkan Fathian pernah hampir nyelonong sendiri dari kamar ke tangga buat turun. Untung keburu aku cegah. Kalo engga, haduuuhh, membayangkannya aja rasanya seram.

***

Jum'at 12 April, kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan. Selain Fathian, aku, Mas Agus, dan Mbak Rena, ada juga Mas Handoko (suami Mbak Rena), Fathan (anak kedua Mbak Rena), Rafan, Mbak Elis, Bulik Yam (istri Om Tip), Mbak Leni, dan Mbak Lia yang ikut serta. Kami berangkat dari rumah Om Tip sekitar jam sepuluh siang, naik empat motor.

Perjalanan sempat terhambat karena ban motor yang ditumpangi Mbak Leni dan Mbak Lia bermasalah, jadi kami mampir makan bakso dulu deh. Kebetulan waktu itu udah jam sebelas, hampir jam makan siang. Sayangnya Fathian nggak mau makan, malah nontonin Rafan makan. Setelah makan bakso dan ban motor Mbak Leni 'sembuh', kami melanjutkan perjalanan ditemani gerimis kecil. Seperti biasa, karena perjalanannya jauh, Fathian tidur di tengah perjalanan.

Singkat cerita, kami sampai di Kebun Binatang Ragunan sekitar jam setengah satu siang. Baru masuk dari loket pemeriksaan tiket, Fathian udah disambut oleh mbak fotografer yang memintanya melihat ke kamera. Wkwkwk. Fathian yang mungkin masih ngantuk, kelihatan lemes banget waktu aku dan Mas Agus tuntun. Karena Fathian anaknya aktif banget, akhirnya aku bilang ke mas untuk membiarkan Fathian jalan sendiri tanpa dituntun, siapa tau dengan begitu Fathian bakal jadi lebih semangat gitu. Ternyata bener dong. Begitu tangannya dilepas dari genggaman kami, Fathian kelihatan lebih happy gitu jalan bareng Rafan dan Fathan, khususnya Rafan sih. Mungkin karena perbedaan umur mereka nggak begitu jauh kali ya, jadi Fathian merasa klop gitu. Lucu banget, selama di sana Fathian selalu pingin gandengan dengan Rafan. Bahkan ketika Rafan mengeluh capek gandengan mulu, dan Fathan menawarkan diri untuk menggandeng Fathian, Fathian menolaknya. Ia keukeuh pingin gandengan dengan Rafan. Wkwk. 

Ki-Ka : Rafan, Fathian, Fathan

Hewan yang kami lihat pertama adalah jerapah. Harapanku sih Fathian bakal excited gitu, eh ternyata reaksinya biasa aja. Yah, Fathian kelihatan tertarik sih melihat si jerapah, tapi nggak banyak nanya dan heboh kayak biasanya, malah lebih kayak kelihatan bingung gitu. Kami juga lihat burung pelikan. Trus kami juga sempat naik kereta wisata selama kurang lebih sepuluh menitan.




Selama di sana, kalo nggak sedang gandengan dengan Rafan, Fathian pinginnya digendong Mas Agus. Ia kelihatan kurang enjoy jalan-jalan di sana. Mungkin karena banyak orang kali yah, jadi ia nggak nyaman di tengah keramaian gitu. Saat kami istirahat untuk makan, Fathian merengek dan membuat mas kewalahan. Akhirnya Mas Agus mengajaknya pergi. Lalu saat kembali ke tempat, Fathian udah menenteng jaring berisi bola karet. Wkwkwk. Bola itu ia mainkan bersama Rafan dan Fathan. Di situ Fathian kelihatan happy banget main bola bareng mereka, nggak peduli meskipun beberapa kali jatuh. Aku dan Mas Agus cuma bisa geleng-geleng melihat kaos putih dan sepatu putihnya yang belepotan tanah basah :')

Setelah itu, kami lanjut lagi keliling-keliling melihat hewan. Gerimis kembali menemani kami, membuat tanah semakin basah dan licin. Kami melihat-lihat gajah, singa afrika, harimau sumatera, kapibara, rusa, kancil, kura-kura, buaya, berbagai jenis ikan, ular, dan berbagai jenis burung. Sayangnya di sana nggak ada burung hantu. Padahal Fathian suka banget dengan burung hantu. Saat melihat-lihat spesies primata, Fathian merengek dan tampak takut. Padahal orangutan yang kami lihat kemarin lucu banget. Dia tampak narsis bergelayutan sambil mengulurkan tangan ke pengunjung. Entahlah. Mungkin Fathian pikir, "Ini orang tapi kok badannya berbulu, telanjang, mukanya hitam dan aneh", gitu kali ya? 😅


Sekitar jam empat sore, kami memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, lagi-lagi Fathian tidur. Karena hujan, Mbak Rena meminjamkan jas hujan kecil untuk menutupi kepalanya. Mas Agus ngebut menyetir. Ngeri juga rasanya, apalagi kata Mas Agus gasnya terasa berat dan remnya sedikit blong. Aku sampai dzikir mulu sepanjang perjalanan. Alhamdulillah, sekitar jam lima sore, kami sampai di rumah Om Tip dengan selamat.

***

Pagi tadi, kami bangun lebih pagi untuk bersiap pulang ke Cirebon. Untunglah jam setengah enam Fathian udah bangun. Jam tujuh, kami sarapan. Fathian seperti biasa menggelayut pada mas sampai papanya itu nggak bisa makan. Dibujuk makan bareng aku, dia nggak mau. Fathian baru mau lepas dari Mas Agus ketika diajak Om Tip melihat ikan-ikan di kolam belakang.

Jam delapan pagi, kami berangkat naik taksi online ke Stasiun Citayam. Ada Mbak Rena, Rafan, Mbak Elis, dan Mbak Lia yang ikut mengantar kami ke sana. Dari sana, kami naik KRL menuju stasiun transit Manggarai. Ini pertama kalinya Fathian naik kereta, dan pertama kalinya aku naik KRL. Awalnya Fathian duduk dipangkuanku, tapi kemudian ia berontak minta digendong Mas Agus. Karena mas berdiri, jadi aku dan Mas Agus bertukar posisi. Mas yang duduk sambil memangku Fathian, aku yang berdiri dekat pintu keluar-masuk.

Tiba di Stasiun Manggarai, Fathian mulai tantrum kepingin naik turun tangga dan membuat Mas Agus yang menenteng koper jadi kewalahan. Dari stasiun Manggarai itu, kami naik KRL lagi menuju stasiun transit Jatinegara. Nah, di stasiun Jatinegara ini, harusnya kami naik KRL ketiga menuju stasiun Pasar Senen untuk naik kereta Tegal Bahari yang akan mengantar kami ke Cirebon. Tapi nggak seperti di stasiun sebelumnya, kali ini kami cukup lama menunggu KRL datang. Akhirnya sambil mengisi waktu, kami foto-foto di situ. Lalu seorang petugas menghampiri kami dan menyampaikan bahwa siang itu KRL-nya sedang ada trouble. Karena waktu benar-benar sempit, jadi kami dibantu petugas stasiun untuk naik kereta Tegal Bahari tanpa harus ke stasiun Pasar Senen. Alhamdulillah. Akhirnya sebelum masuk lift menuju peron, kami berpamitan pada Mbak Rena dan yang lainnya.

Ketika kereta Tegal Bahari tiba, Bapak Kondektur Kereta membimbing kami untuk naik ke sembarang gerbong dan duduk di kursi manapun. Sampai di Stasiun Senen, baru deh kami naik ke gerbong dan duduk di tempat yang sesuai dengan yang tertera di tiket. Kami dapat gerbong paling belakang, di tempat duduk kedua dari belakang. Fathian masih terus merengek dan berteriak ke Mas Agus, entah maunya apa. Mungkin bosan. Penumpang di belakang kami membawa anak bayi. Bayinya menangis, kaget mendengar teriakannya. Ibunya buru-buru menenangkan. Aku yang merasa nggak enak pun meminta maaf. Susah banget rasanya waktu itu membujuk Fathian untuk diam. Alih-alih menurut, Fathian malah mengoceh semakin keras, "Cici, caca, cici, CAACAAAA!" seolah-olah aku Mas Agus sedang mengajaknya bercanda‍. 

Entah berapa kali bayi itu menangis kaget mendengar ocehan Fathian dan berapa kali ibu bayi itu menenangkan bayinya sambil mengucap "It's okay". Akhirnya apa? Fathian baru bisa diam saat ibu bayi itu menatapnya sambil berkata lembut, "Kakak jangan berisik dulu yaa. Dede bayinya kaget, mau tidur" :') Setelah tenang, dan berhenti mengoceh, Fathian tidur di pelukan mas.

Singkat cerita, sekitar jam setengah dua, kami sampai di Stasiun Kejaksan Cirebon. Lagi-lagi Fathian merengek manja pada papanya. Andai dua tanganku nggak penuh dengan tas jinjing berisi pakaian, bekal, dan oleh-oleh, pasti udah kubawa koper itu biar mas bisa menggendong Fathian. Tapi situasi sore tadi benar-benar repot, sedangkan Fathian belum bisa mengerti  kerepotan kami. Akhirnya mas yang nggak pernah memarahi Fathian, sore tadi harus sedikit lebih tega mengomel dan membiarkannya tantrum dengan berbaring di trotoar saat kami menunggu jemputan :')

Bahkan ketika sampai di rumah pun Fathian masih rewel, yah walaupun nggak separah saat di stasiun tadi. Well, sepertinya ia kehilangan teman kali ya. Sepi. Kemarin-kemarin happy banget punya teman baru, sekarang harus main sendiri lagi. 

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;