Sabtu, 12 Desember 2015

Wisuda Rasa Biasa

Bagi sebagian besar orang, moment wisuda adalah salah satu moment paling membahagiakan, moment paling berkesan, dan moment paling ditunggu oleh para mahasiswa. Tapi enggak bagiku.

Hari ini perasaanku berkecamuk. Seneng sih, tapi bad feeling-nya lebih banyak. Moment yang menurut kebanyakan orang itu membahagiakan, justru biasa banget buatku. Biasa, nggak ada spesial-spesialnya, bahkan lebih buruk. Sedih, hampa, kecewa.. Rasanya nggak ada menarik-menariknya buat di-share. Tapi belum lega rasanya kalo belum aku lampiaskan.

Hari Jum’at malam, aku sempet susah tidur. Harusnya aku tidur lebih sore, nyimpen tenaga. Tapi yang terjadi justru aku tidur larut malam, lalu terbangun dan terbangun lagi di jam-jam tertentu. Pagi harinya, aku emang berhasil bangun pagi, tapi rasanya mataku masih pengen merem. I dunno.. Malam itu rasanya aku nggak mau kalo malam berlalu lebih cepet. Berbeda dengan kebanyakan orang, aku justru nggak mau kalo hari wisuda itu cepet tiba. Feeling-ku nggak enak.

Keesokan paginya, tepatnya pagi tadi, jam setengah enam, aku dan ibu ke rumah Bu Syawal buat minta didandani. Awalnya aku sempet risih ngeliat alat-alat make up yang banyak banget itu. Agak trauma juga, takut kulit mukaku sensitif lagi kayak dulu. Tapi mengingat hari ini adalah hari wisuda, dan kami—anak-anak perempuan—diwajibkan pake kebaya, jadi aku pikir rasanya nggak cocok kalo wajah kami polos-polos aja. Toh make up ini dipake untuk hari ini aja.

Setelah didandani, aku sempet mematut diri didepan cermin beberapa kali. Sekilas aku kayak nggak mengenali sosok berkebaya merah hati didepanku. Beda banget, kayak bukan aku. Jelas aja wong biasanya aku nggak dandan. Kalopun dandan ya cukup pake bedak dan lipgloss aja, udah.

Sekitar jam tujuh kurang, aku dan ibu pulang. Kami jemput bapak di rumah, sekalian bawa barang-barang yang harus dibawa. Aku juga pake togaku dari rumah. Kemudian kami bareng-bareng naik mobil A’ Maman ke Apita Ballroom, tempat dimana acara wisudaku digelar. Halaman Apita Ballroom udah lumayan rame juga waktu itu. Banyak pedagang, banyak tukang foto, banyak mobil, dan tampaknya nggak sedikit keluarga wisudawan yang datang dari jauh, coz aku lihat ada beberapa keluarga yang kelihatan menggelar tikar di halaman ballroom sambil makan bersama.

Seperti yang udah diinstruksikan Mr Rudi pas acara geladi resik kemarin, aku—dan para wisudawan lainnya—masuk dari pintu belakang dan langsung berbaris sesuai dengan prodi dan nomor urut, sementara para pendamping kami—orangtua kami dan para undangan—masuk dari pintu samping dan langsung duduk di tempat yang udah disediakan.
Dan disinilah hal nggak mengenakkan mulai terjadi. Baru beberapa menit dipake, bandul dari kalung togaku copot dari talinya dan nggak bisa dipasang lagi, kecuali kalo aku menemukan lem dan menempelkannya lagi. Tapi siapa coba yang bawa lem di acara wisuda? Akhirnya dengan terpaksa aku pake kalung tanpa bandul itu selama acara wisuda berlangsung. Belum lagi topi togaku yang selalu copot dari kepalaku. Well, salah aku juga sih yang nggak bawa jarum pentul atau peniti. Untungnya Sherly mau ngasih sebatang jarumnya buatku.

Acara dimulai dengan masuknya para wisudawan dari pintu belakang gedung dengan diiringi musik instrumen orkestra. Setelah seluruh wisudawan masuk dan berdiri di depan kursinya masing-masing, para senat pun masuk, kali ini diiringi musik choral dan penari-penari yang menabur-naburkan bunga. Setelah itu, lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta dinyanyikan, dan acara pun berlangsung. Ada drama kabaret selama beberapa menit, ada tari-tarian, ada pengibaran bendera almamater, ada sambutan-sambutan, ada paduan suara juga.. Sayangnya semua itu nggak bisa aku lihat dengan jelas karena tempat dudukku nggak di depan, kecuali untuk paduan suara, aku bisa lihat dan dengar dengan jelas karena posisi mereka yang berada di pojok sebelah kanan ruangan. Asli, aku merinding waktu dengar mereka membawakan mars kampus. Aah.. kompak banget, dan sama sekali nggak sumbang.

Ternyata duduk dalam waktu lama disitu nggak enak juga. Leherku pegal, tangan dan kakiku juga. Berkali-kali aku berganti posisi duduk. Belum lagi entah kenapa tiba-tiba gigi geraham kananku sakit sehingga berpengaruh sama kepala bagian kanan yang kebawa sakit juga. Rasanya tersiksa banget. Udah gitu, aku juga mulai BT dan ngantuk. Aku nyesel udah ngikutin aturan untuk nggak bawa HP, sementara banyak dari para wisudawan yang melanggar aturan itu dan pada sibuk selfie-selfie sendiri. Huh, tau kayak gitu, mending aku bawa aja hapeku. Kalo aku bawa kan, aku nggak perlu susah payah nahan kantuk. Aku bisa BBM-an, bisa nge-tweet, bisa ngurusin Sims peliharaanku.. Aku jadi pengin cepet pulang. Tapi acara masih lama, bahkan belum sampai ke acara inti.

Akhirnya sekitar jam sebelas siang, tibalah saatnya prosesi pemindahan tali toga oleh rektor. Nama kami dipanggil satu persatu untuk naik ke atas panggung. Disana kami difoto tiga kali, yakni saat pemindahan tali toga, saat menerima map, dan saat turun dari panggung. Berhubung kalung togaku nggak berbandul, akhirnya aku pinjem kalung toga milik Endah. Yah, nggak lucu aja kalo aku difoto dengan mengenakan kalung tanpa bandul. Dan nggak taulah ekspresiku saat difoto itu kayak apa. Aku tersenyum dengan setengah meringis waktu itu. Gimana enggak? Gigi dan kepalaku senut-senut, ditambah sariawan yang entah kapan munculnya—yang juga sakit. Dan gara-gara itu, aku juga jadi salah langkah. Harusnya begitu turun dari panggung, aku langsung nyamperin ibu dan bapak untuk menyalami mereka, tapi yang terjadi justru aku langsung duduk ke tempatku :’v

Setelah itu, acara terus berlanjut. Masih ada pembacaan janji mahasiswa, pengumuman dan penyerahan penghargaan bagi para mahasiswa terbaik, pembacaan puisi oleh salah satu mahasiswi kampus cabang Indramayu, paduan suara, ada yang nyumbang suara juga.. banyak deh, sampai akhirnya acara ditutup dengan doa. Begitu acara selesai, aku langsung nyamperin ibu dan bapakku yang duduk tepat di belakang kursi para wisudawan. Aku salami mereka berdua. Aku peluk dan cium kedua belah pipi ibu. But damn! Aku nggak bisa melakukan hal yang sama kepada bapak. Masih. Selalu. Padahal jauh sebelum hari ini, aku udah berjanji kepada diriku sendiri kalo aku bakal menyampaikan terima kasihku pada beliau. Tapi yang terjadi hari ini justru aku speechless. Aku kesel, kesel dan kecewa sama diriku sendiri. Dan entahlah.. saat itu aku badmood berat.

Saat itu, setelah acara wisuda selesai, sebenernya aku pengen banget seru-seruan dan foto-foto sepuasnya bareng temen-temenku. Sherly, Ayu, Desi, Fatimah, Eni, Gia, Adel.. Coz aku nggak tau kapan kami bisa ketemu lagi setelah ini. Aku juga pengen foto-foto sepuasnya bareng kedua orangtuaku. Momentnya pas banget. Kapan lagi aku bisa foto-foto bareng mereka—terlebih bapak, karena biasanya beliau menolak kalo diajak foto bareng. Tapi ngeliat temen-temenku yang sibuk sendiri-sendiri sama keluarga besar, dan para kenalannya, suasana hatiku memburuk.

Aneh ya? Yah, badmood-nya sih jujur bukan hanya karena aku nggak sempet foto-foto bareng mereka, tapi juga lebih-lebih karena aku envy ngeliat temen-temenku yang nggak cuma didatengin sama orangtuanya. Ada yang didatengin kakaknya, adiknya, keluarga besarnya, calon pasangannya, temen-temennya.. Aku juga envy ngeliat temen-temenku yang nerima hadiah-hadiah. Well, aku seneng dengan kehadiran kedua orangtuaku. Aku seneng mereka bersedia menyempatkan waktunya untuk dateng ke acara wisudaku, tapi aku nggak bisa bohong kalo aku berharap lebih.

Bodohnya, aku nggak bisa menyembunyikan perasaan badmood-ku. Setelah berfoto-foto sebentar, aku minta pulang cepat, dan rasanya sulit banget buat senyum. Ini yang bikin aku nyesel setengah mati. Apalagi kalo inget bapak yang dari kemarin malam keliatan semangat dateng ke acara wisudaku. Beliau yang biasanya cuek sama penampilan fisiknya, semalam aku dengar beliau minta pendapat ibu, “Bu, bapak lebih bagus pakai baju yang mana?”
Beliau juga ngomel-ngomel waktu kami pulang telat dari rumah Bu Syawal. Kalo inget semua itu,  aku bener-bener nyesel banget sama sikapku. Harusnya aku nggak boleh begitu.
Dan berbeda dengan temen-temen dan para wisudawan pada umumnya yang foto-foto sepuasnya di hari wisuda. Aku nggak demikian. Bukan hanya karena aku nggak pegang hape selama acara wisuda berlangsung, tapi juga karena aku bukanlah tipe orang yang gemar berselfie-selfie ria di keramaian—kecuali kalo ada yang ngajak. Alhasil foto yang ada di hapeku cuma foto bareng ibu, foto bareng Adel, dan foto bareng Ayu. Selebihnya, foto-foto itu ada di hapenya Rahman, kameranya Sherly, dan kameranya fotografer yang diutus pihak kampus buat mengabadikan prosesi wisuda, dan sampe sekarang aku belum nerima foto-foto itu dari mereka :’(

Intinya hari ini aku kecewa, dan kecewanya tuh multiple. Terlepas dari insiden copotnya bandul almamater, gigi yang tiba-tiba sakit, dan sariawan yang entah kapan munculnya, aku kecewa karena mengingkari janjiku kepada diri sendiri untuk bisa ‘ngomong’ sama bapak, aku kecewa karena aku nggak seberuntung temen-temenku (ya, ya, aku tau ini salahku yang terlalu kuper dan nggak bisa menciptakan hubungan pertemanan yang baik, kompak dan super klop banget kayak mereka), aku kecewa karena nggak banyak moment yang aku abadikan dengan kamera (well, ini juga salahku yang memutuskan untuk pulang lebih cepet), aku kecewa karena nggak bisa menyembunyikan suasana hatiku yang buruk, dan yang terakhir.. aku kecewa karena nggak bisa lulus dengan predikat cum laude seperti yang dulu pernah aku cita-citakan. Oke, aku paham. Kampus mana sih yang mau ngasih predikat cum laude buat mahasiswanya yang ‘antara ada dan tiada’ kayak aku gini? Maaf, Bu, Pak.. Saya nggak berhasil membuat kalian bangga hari ini. Anyway, selamat untuk Juningsih, Teh Ai, dan Deden yang berhasil meraih predikat ini.

Haaahh.. rasanya nggak percaya kalo aku udah menamatkan pendidikan akhirku. Padahal rasanya baru kemarin aku dan temen-temen seangkatan beridiot-idiot ria di acara PSPL kampus. Sekarang aku udah bukan pelajar lagi. Dan mungkin berbeda dengan temen-temenku yang para wisudawan pada umumnya yang ngerasa lega atas kelulusannya, aku justru ngerasa masih ada yang mengganjal. Seumur hidup, sebagian besar waktuku aku habiskan untuk sekolah, termasuk menjalani pendidikan akhir di lembaga yang aku rasa bukan duniaku. Dan ketika title-ku bukan lagi seorang pelajar, aku ngerasa ganjil. Aku masih merasa kosong. Aku masih haus. Aku masih pengen sekolah. Dan aku yakin perasaan ini akan terus ada sebelum aku bener-bener terjun ke duniaku, passion-ku. Mungkin inilah yang menyebabkan bandul almamaterku copot dari tempatnya. Dia nggak sudi dikenakan sama mahasiswa kayak aku—mahasiswa yang berusaha keras mencintai almamater dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus tapi nggak pernah berhasil.


Jika aja ada kesempatan bagiku buat sekolah lagi, aku pengen banget menempati salah satu kursi didalem sebuah kelas di fakultas sastra. Sastra Inggris, lebih tepatnya. Aku pengen banget memperdalam skill bahasa Inggrisku—yang udah aku pelajari jauh sebelum Bahasa Inggris dipelajari secara resmi di SD-ku tapi belum berhasil aku kuasai sampe sekarang. Aku juga pengen banget mempelajari ilmu sastra seperti yang dimiliki penulis-penulis favoritku. Aku yakin, disana aku bisa lebih ‘hidup’. But is there still a chance? I can only wish..

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;