Sekitar tiga minggu yang
lalu—tepatnya tanggal 7 Januari, aku, adikku, dan dua teman masa kecil kami—Tri
dan Dewi—mengunjungi toko buku baru yang berdiri di kawasan Cipto. Hari itu
Dewi baru aja mentraktir kami makan di Urban Chicken, coz di hari ultahnya—tanggal 19 Desember—lalu dia belum sempat
nraktir kami. Karena letak toko buku itu nggak jauh dari tempat kami makan,
makanya kami mampir ke toko buku baru yang memiliki bangunan tersendiri itu.
Toko buku baru itu jauh
lebih luas dibanding toko pertamanya yang terletak di dalam salah satu mall
terbesar di kota Cirebon. Kalo toko pertamanya cuma memiliki dua lantai, toko baru
ini memiliki tiga lantai (nggak termasuk lahan parkir yang terletak di lantai
dasar) dengan ruangan yang jauh lebih luas dan lahan parkir sendiri. Lantai
satu berisi berbagai macam mainan anak dan dekorasi ruangan; lantai kedua
berisi berbagai macam ATK dan alat musik; dan baru deh lantai paling atas
berisi berbagai buku, kamus, kitab, dan novel. Sebelumnya aku sempat pikir, wah, dengan toko seluas ini, koleksi bukunya
pasti luar biasa lengkap. Tapi ternyata dugaanku nggak sepenuhnya bener,
karena di toko buku—yang kukira lengkap—ini aku tetep nggak menemukan novel
Lucian karya Isabel Abedi. Padahal aku penasaran banget sama kisah tentang pria
misterius tanpa masa lalu itu sejak salah satu rekan dunia mayaku menggembar-gemborkan betapa serunya novel itu dua tahun yang lalu. Jangankan novel itu deh, novel pertama My Creepy
Diary karya Ayumi Chintiami aja nggak ada. Eh tapi ada novel Sybil lho. Novel yang aku idamkan sejak jaman SMA itu ternyata lebih tebal dari yang aku kira, dan baru liat label harganya aja aku udah ciut duluan. Hahaha..
Memasuki tahun 2016 lalu,
aku sempat berharap bahwa novel berjudul Matahari yang disebut-sebut bakal
terbit tahun ini akan menjadi novel karya Tere Liye yang pertama aku baca di
tahun 2016 ini. Tapi ketika aku baru sadar sesuatu ketika aku melihat novel
karya Tere Liye dengan cover berwarna
tosca yang terpajang di etalase toko
itu. ‘Pulang’, judul novel itu. Aku baru sadar bahwa aku belum punya karya
terbaru Tere Liye yang rilis bulan September 2015 itu, makanya aku memutuskan
buat menambahkan novel ini ke perpustakaan miniku.
Jadi, dua hari kemudian
aku memesan buku itu kepada Bu Imas—pemilik lapak buku di depan Cirebon Mall—bersama
beberapa buku karya Tere Liye lainnya. Seminggu kemudian, tepatnya hari Sabtu
lalu, aku menebus buku-buku itu. Aku beli tiga buku, dan semuanya karya Tere
Liye. Selain Pulang, aku juga membawa pulang Rembulan Tenggelam di Wajahmu dan
Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.
Sepulang dari lapak buku
Bu Imas, aku langsung menelanjangi buku itu. Pulang. Waktu pertama kali melihat
judulnya, membaca sinopsis di back
cover novelnya, dan membaca sedikit
bagian perkenalan di bab pertama, aku sempat menebak-nebak bahwa novel ini akan
bercerita tentang seorang pejuang yang pergi ke medan perang untuk melawan
penjajah. Hahaha..
Tapi ternyata tebakanku
benar-benar salah. Harusnya aku sadar bahwa seorang author yang aktif menelurkan karya sekelas Tere Liye nggak akan
menulis kisah yang gampang tertebak seperti itu.
Lewat novel ini, Bang
Tere Liye alias Bang Darwis mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang
anak dari desa terpencil yang akhirnya
bertransformasi menjadi seseorang yang disegani. Jangan salah. ‘Seseorang
yang disegani’ yang aku maksud bukanlah presiden, menteri, maupun pejabat,
melainkan tukang pukul yang kuat dan jenius dari sebuah keluarga yang bermain
ekonomi dalam pasar gelap.
Awalnya, Bujang—si tokoh
utama—hanyalah seorang remaja berusia lima belas tahun yang pendiam. Ia tinggal
bersama ibunya yang sangat mengasihinya dan ayahnya yang berwatak keras di
sebuah rumah panggung di sebuah desa terpencil di pedalaman Sumatera. Suatu
hari, desa terpencil itu kedatangan beberapa pemburu dari kota. Mereka datang untuk
berburu babi hutan yang kerapkali meresahkan masyarakat. Rupanya, pimpinan
pemburu itu kenal dekat dengan ayah Bujang, dan Bujang ditawarinya untuk ikut
berburu.
Singkat cerita, setelah
perburuan, pimpinan pemburu yang disebut Tauke Muda itu menawarkan diri untuk
membawa Bujang ke kota dan menjadikan ia sebagai anak angkatnya. Ayah Bujang
menyambut tawaran itu dengan senang hati. Bujang pun setuju dengan tawaran itu.
Sedangkan ibunya harus terpaksa melepasnya, karena ia tau akan jadi apa anaknya
di kota. Satu pesan ibunya, “Apa pun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah
Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga
perutmu dari makanan haram dan segala minuman haram. Berjanjilah kau akan
menjaga perutmu dari semua itu, Bujang. Agar besok lusa, jika hitam seluruh
hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu
berguna. Memanggilmu pulang.”
Bujang tumbuh menjadi
pemuda yang tinggi dan gagah. Ia dibesarkan oleh Keluarga Tong, sebuah keluarga
penggerak shadow economy, yang
dikepalai oleh Tauke Muda. Oleh Tauke Muda, ia dididik untuk mendalami dunia
hitam—menjalani bisnis pasar gelapnya. Ia disekolahkan hingga ke perguruan
tinggi, dan diberi pelatihan fisik agar menjadi petarung yang unggul. Benar-benar
diperlakukan secara istimewa. Well,
dari sudut pandang pembaca, hal ini pasti merupakan sesuatu yang negatif dan
tercela ya mengingat pasar gelap merupakan suatu kejahatan bisnis yang
merugikan banyak pihak, termasuk negara. But
don’t worry, however masih banyak kok hal positif yang terselip yang bisa kita
ambil dari tokoh-tokoh itu, diantaranya kesetiaan, perhatian, dan sikap pantang
menyerah.
Novel ini menggunakan sudut
pandang orang pertama. Hal ini memberikan efek seakan kita adalah Bujang, si
tokoh utama dalam novel ini. Kita juga bisa merasakan perubahan karakter si
tokoh utama dari waktu ke waktu lewat alur ceritanya yang maju mundur.
Aku membaca novel ini selama tiga hari. Mulai baca hari Sabtu, dan selesai baca sore ini. Membaca novel ini,
rasanya seperti menonton film action. Adegan baku tembak, baku hantam,
permainan pedang, dan pertarungan ala ninja berkelebat di kepalaku. Seru
banget. Apalagi ada tokoh-tokoh yang menurutku unik, yakni si kembar Yuki dan
Kiko. Siapa sangka bahwa dua cewek imut yang terlihat seperti turis Jepang itu
merupakan pencuri kelas dunia? Gila! Kalo aja novel ini difilmkan, aku sangat
mendukung, tapi seenggaknya minimal harus sebagus The Raid. I think Iko Uwais cocok berperan jadi
Bujang. Hahaha.. :P
***
Berikut ini adalah
beberapa quotes yang aku ambil dari
novel ini :
“Kesetiaan terbaik adalah
pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain.”
“Hidup ini adalah
perjalanan panjang yang tidak selalu mulus. Pada hari keberapa dan pada jam
keberapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita
tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk,
untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat
kita bangga, sedangkan sisanya lebih banyak menghasilkan penyesalan.”
“Sejatinya, dalam hidup
ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali
tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian.
Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang, maka
pertempuran lainnya akan mudah saja.”
“Sepanjang kita mau
melihatnya, maka kita selalu bisa menyaksikan masih ada hal indah di hari
paling buruk sekalipun.”
“Ketahuilah, Nak, hidup
ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang
kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah
memenangkan seluruh pertempuran.”