I bet it’s a freaking great and
unforgettable day buat sepupu perempuan terdekatku, Gege. Kenapaaaa? Coz today
is her wedding day dengan pacarnya, Awan. Yaaahh sekarang sih udah jadi
mantan pacar lah yaa, kan statusnya udah beda. Hahaha..
Well, it’s so unbelievable bahwa anak
tunggal dari salah satu adik ibuku ini baru aja melangkah naik ke satu anak
tangga baru dalam hidupnya, ke satu masa yang kata orang adalah ‘awal kehidupan’.
Awal perjalanan hidup yang sesungguhnya. Bagaimana nggak unbelievable? Hampir sebagian masa kecilku kuhabiskan untuk bermain
bareng dia.
Aku bahkan
masih ingat bagaimana asiknya kami waktu main boneka di kamarnya, berpura-pura
menjadi ibu dari boneka-boneka itu. Berbekal kain panjang dan dua buah payung,
kami membangun tenda-tendaan di teras rumah nenek, seolah-olah kami sedang
berkemah; bermain rujak-rujakan di depan rumah nenek; lalu bermain sepeda roda
tiga di lapangan BAPERMAS yang letaknya nggak jauh dari rumah nenek,
berpura-pura menjadi tukang ojek dan penumpang; bolak-balik jajan ke warung;
menghanyutkan perahu kertas bersama-sama ketika banjir dan bersorak girang di
tengah paniknya para orangtua yang menghalau banjir masuk ke rumah; berebut
bermanja-manja dengan kakek; menunggu ibu-ibu kami pulang bekerja, dan girang
bukan kepalang saat mereka membawa buah tangan..
Anyway, kedua orangtuaku masih bekerja
ketika umurku tiga tahun, sehingga mereka menitipkanku pada nenek, hampir
setiap hari. Sampai usiaku lima tahun, rasanya berkunjung ke rumah nenek bisa
dilakukan setiap pekan. Gege yang memang tinggal bersama nenek dan mamanya
sejak lahir menjadi teman bermainku saat itu. Usia kami yang hanya terpaut
sembilan bulan membuat kami benar-benar akrab seperti kakak beradik. Ibu dan
bibi-bibiku seringkali membelikan kami barang-barang dan pakaian yang sama.
Haaahh.. semua itu terjadi sekitar sembilan belas tahun silam, tapi rasanya
baru terjadi hanya beberapa tahun yang lalu. Masih lekat banget dalam ingatan.
Ki-Ka : Gege usia satu tahun, aku beberapa bulan setelah lahir |
Ki-Ka : Aku & Gege, bermain di Taman Ade Irma Suryani |
Love this pict so much! |
Pakai topi dan kantung mini kembaran (kantungnya ketutup flashlight. Topinya ada rambut palsunya gitu :3 |
Ki-Ka : Aku (dengan boneka dibalik baju, jadi kelihatan buncit) & Gege. |
Another picture of our moments together |
Naik
beberapa tahun kemudian, kami berboncengan sepeda besar milik Wak Agus; disuruh
nenek belanja ke pasar berdua; bertukar
surat; bertukar rahasia masing-masing dengan menuliskannya dalam buku khusus yang kami sebut 'Buku Rahasia';
berlomba membuat puisi; menonton film dan menertawakan para pemeran serta
adegan-adegan yang menurut kami lucu; jalan-jalan pagi ke sawah, melihat
matahari terbit, dan dimarahi nenek setelahnya karena nenek khawatir kami
dipatuk ular sawah; menyewa becak mini.. Ahh, ini yang paling unforgettable. Waktu itu usiaku sebelas
tahun, dan Gege dua belas tahun. Kami—aku, Gege, adikku, dan Agis—menyewa dua
buah becak mini untuk kami gunakan memutari komplek. Biaya sewanya cukup murah,
waktu itu satu becak cuma seribu rupiah untuk sejam ato berapa jam gitu, lupa.
Satu becak dikayuh Gege dengan aku sebagai penumpangnya, sedangkan yang lainnya
dikayuh adikku dengan Agis sebagai penumpangnya. Setelah mendapatkan becak,
kami beli Pop Ice Blend di sebuah warung. Karena Gege dan adikku mengayuh
becak, jadi minuman mereka dibawa sama penumpang mereka masing-masing. Kami pun
asik memutari komplek. Di tengah perjalanan, aku bilang ke Gege, “Ge, Pop Ice
kamu mencair!” sambil ngacungin gelas gitu, biar dia bisa lihat.
“Mana?”
tanyanya.
Tiba-tiba..
GUSRAKK!!!
Becak yang
kutumpangi tiba-tiba terbalik. Dua gelas Pop Ice yang kupegang seketika tumpah
membasahi wajah dan bajuku. Kepalaku terbentur besi penyangga atap becak. Gege
lebih parah. Beberapa bagian tubuhnya lecet, bahkan ada bagian yang lebam biru
juga. Selain itu, salah satu bagian becak ada yang besinya lepas. Rupanya becak
mini itu menghantam trotoar hingga terbalik. Salahku juga sih yang nunjukkin
gelas Pop Ice pas Gege lagi nyetir. Dia jadi hilang fokus. Kami memang nggak
nangis sih, tapi ya lumayan juga sakitnya. Sejak insiden itu, kami jadi kapok
main becak lagi.
Sampai
menginjak usia dewasa, hubungan kami masih dekat. Kami masih suka membicarakan
berbagai hal setiap kali bertemu. Satu-satunya topik yang nggak pernah kami
bicarakan cuma soal love life. Nggak
tau kenapa, sejak dulu itu nggak pernah dilakukan, kecuali waktu jaman SD dulu,
tapi itu nggak bisa dibilang love life sih
ya, melainkan cuma naksir-naksiran.
Time flies. Kini perempuan yang menemani
separuh masa kecilku itu duduk di pelaminan bersama lelaki yang akan menemani
sisa hidupnya.
***
Jam delapan malam kemarin, sepulang ngantor dan berkemas, aku berangkat ke rumah nenek di kawasan Perumnas dengan menumpang Gr*bB*ke dengan driver yang sama untuk ketiga kalinya dalam minggu ini, yakni seorang bapak yang usianya mungkin sekitar empat puluh tahunan. Serem juga, sampe tiga kali gitu. Well, mungkin karena beliau mangkal di Hotel Neo tiap hari kali ya, dan kebetulan rumahku memang nggak jauh dari situ.
Rumah nenek
udah ramai saat aku tiba, karena ada keluarga dari Kuningan yang juga membantu
mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah menyalami semua orang yang ada disitu,
aku masuk kamar si Calon Ratu Semalam yang rupanya udah dihias setengah jadi,
dan kebetulan orangnya juga ada disitu, duduk di tepi tempat tidur.
“Cieee.. Calon
Penganten, deg-degan ya?” sindirku sambil menjabat tangannya.
“Ya
begitulah..” jawabnya. Tapi anehnya, dia bisa tidur cepat. Sekitar jam sebelas
dia udah tidur nyenyak. Kalo aku ada di posisinya, mungkin aku baru bisa tidur
menjelang subuh -_-
Aku sendiri
baru tidur sekitar jam satu dini hari, coz
aku nyoret-nyoret kertas dulu, bikin surat ucapan selamat buat dia, pake
gambar-gambar ilustrasi dia berdua bareng Awan gitu, biar nggak mainstream. Jangan tanya bagaimana
hasilnya. Aku berharap Awan nggak tersinggung, karena perbandingan antara dia
yang asli dengan dia yang di gambarku itu jadi kayak Bondan Prakoso dengan Dede
yang di acara Ini Talkshow itu (well,
ibaratkan saja demikian).
Jam empat
pagi, aku bangun. Agak pusing, karena mungkin waktu tidurnya kurang, plus agak
kurang nyenyak juga. Aku mandi di rumah Bibi Cicih karena kamar mandi di rumah nenek
antreannya banyak. Hari ini aku mengenakan celana jeans dan baju batik yang baru kubeli dua minggu yang lalu untuk
acara ini. Aku menolak untuk menggunakan kebaya dan didandani seperti Agis,
Empit, dan Yessica—tiga sepupuku yang lain—karena nggak mau ribet. Tapi ujung-ujungnya
aku agak menyesal juga sih, coz Gege
kayak yang rada kecewa gitu. Trus pas berfoto, aku jadi beda sendiri. Haaahh..
kenapa di acara pernikahan sepupu terdekatku aja aku masih nggak mau tampil ribet
sih (-.-“) Satu lagi yang aku sesali adalah, fotoku bareng dia ataupun bareng
kedua mempelai nggak banyak, karena selain canggung, aku juga banyak mondar
mandir kesana-kesini; bikin kopi buat crew
panggung lah, bawa ini-bawa itu.. Jadi rada envy
ngeliat adik dan sepupu-sepupuku saling kirim foto gitu dari hape
masing-masing.
Oh ya,
sebenarnya siang tadi aku pengeeeeen banget tampil di panggung, membawakan
seenggaknya satu buah lagu. Aku kepikiran buat membawakan salah satu lagu yang
lagi super duper hits banget belakangan ini. Ya know.. lagu Akad-nya Payung Teduh. Pas banget kan tuh, dibawakan
di hari pernikahan. Yaaah meskipun sebenarnya honestly—so sorry to say—aku
sangat sangat muak dengan lagu ini. Bukan apa-apa, pasalnya lagu ini
benar-benar terdengar anytime anywhere.
Nonton TV, ada lagu ini; scrolling Instagram
timeline, ada lagu ini; buka Smule,
ada invitation dan rekomendasi buat menyanyikan
lagu ini; masuk Showroom, ada lagu ini; bahkan staff Akunting di kantorku
memutar lagu ini setiap hari berulang-ulang. Bayangkaaaan.. setiap hari dan
berulang-ulang! Dan timeline BBM pun
begitu. ‘Si Anu listening to Akad (Payung
Teduh)’. Oke, ini kenapa aku jadi bahas lagu Akad? Well, intinya aku sempat berniat mau membawakan lagu ini. Nggak
apa-apalah, kupikir, hitung-hitung hadiah buat kedua mempelai. Kebetulan
Pembawa Acara nya memberi kesempatan pada siapapun buat sumbang suara. Tapi
niat untuk tampil ke atas panggung itu kuurungkan. Pertama, karena aku nggak
yakin lagu ini ada di playlist crew panggung; kedua, karena aku malu,
nggak ada orang seumuranku yang tampil; ketiga, karena aku nggak hafal lagu ini
*ditimpuk Readers*
Daaaan..
seperti biasa, di acara pernikahan seperti ini hampir selalu ada aja yang
melempar pertanyaan, “Kapan nyusul?”
Mbak Eni
misalnya—anak dari salah satu kakak bapakku—yang bilang, “Puput kapan? Itu,
Gege ngeduluin.” Tapi lebih banyak yang mendoakan sih, ketimbang melempar
pertanyaan ini. Yaaah meskipun yang mereka doakan adalah agar aku cepat
menyusul jejak sepupuku ini, bukan mendoakan agar mata hati dan pikiranku
terbuka, karena problem terbesarku
yang sesungguhnya adalah aku nggak yakin apakah yang namanya ketulusan cinta
benar-benar ada di jaman ini. That’s why,
meski masih bisa merasakan fall in love,
aku cenderung canggung untuk akrab dengan lawan jenis, meski aku menyukai orang
itu, apalagi sampai menjalani hubungan relationship.
Forget that. Well, sebagai sepupu yang
baik, aku mendoakan yang terbaik buat Gege. Semoga dia dan Awan menjadi
keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah, dikaruniai anak-anak yang
ganteng-cantik, dan sholeh-sholehah, serta bahagia sampai akhir hayat. Aamiin.
Dan aku juga berharap, semoga ini semua nggak lantas membuat hubungan keluarga
kami jadi renggang. Semoga dia tetap Gege yang aku kenal :)
Dear, Sist. Happy Wedding Day!
0 komentar:
Posting Komentar