Minggu, 28 Januari 2018

Welcome to the New Journey, Soul Sister

Pernah nggak sih kamu merasa waktu berjalan begitu lambat saat ditunggu, namun ketika flashback, kita melihat jauh ke belakang, ke sepuluh tahun lalu misalnya, itu rasanya baru terjadi kemarin?
Aku pribadi sering banget merasakan hal itu. Seperti saat ini. Rasanya baru kemarin aku, Ayu, dan Rohayati saling berbagi cerita tentang laki-laki yang sedang ditaksir oleh masing-masing kami, membicarakan kekonyolan teman-teman di kelas, makan bakso di koridor sekolah, berjalan pulang sekolah beriringan, bertiga.. Selalu bertiga. Namun rupanya itu terjadi sekitar enam dan tujuh tahun lalu. Dan bahkan jauh setelah kami lulus SMA, kami masih sering main bareng. Setidaknya sebulan sekali kami bertiga berkumpul dan menghabiskan waktu berjam-jam. Nggak harus di mall ataupun tempat-tempat nongkrong kekinian. Faktanya kami lebih sering ngumpul bareng di rumahku, ngobrolin banyak hal, mulai dari nostalgia masa SMA hingga soal love life.

Yah, seperti perempuan-perempuan normal pada umumnya, kami tentu memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Namun sangat berbanding terbalik dengan Ayu yang udah beberapa kali gonta-ganti pacar dan hobi yayang-yayangan di telepon, aku dan Rohayati justru hampir nggak peduli dengan hubungan percintaan. Kami cukup bahagia hanya perasaan naksir-naksiran terhadap lawan jenis tanpa harus menjalani relationship yang rumit dan belum tentu membuat kami lebih bahagia. We were single, we were free.

Suatu waktu, kami pernah menebak-nebak siapa diantara kami bertiga yang akan melepas masa lajang lebih dulu. Tentu aja saat itu kami yakin bahwa Ayu lah yang mendahului kami. Tapi skenario Tuhan memang penuh misteri. Dua tahun setelah itu, Rohayati datang padaku dan bercerita bahwa ada seorang laki-laki yang tengah menaruh hati padanya. Lucunya lelaki ini nggak berani untuk mendekatinya langsung, melainkan hanya menitip salam pada saudara dari temanku itu. Kebetulan rumah mereka berdekatan. Tetanggaan lah, bisa dibilang. Dan tanpa diduga lagi, laki-laki ini rupanya udah cukup tau banyak mengenai Rohayati, padahal mereka nggak pernah ngobrol. Kemungkinan besar si laki-laki ini melakukan survey gitu deh, tanya-tanya gitu ke saudara-saudaranya. Dan karena sering seperti itu, Rohayati mengaku jadi sering diledekin sama sepupu-sepupunya.

Singkat cerita, laki-laki itupun memberanikan diri untuk menyatakan niatnya melamar Rohayati kepada kedua orangtua temanku itu. Tanpa diduga, kedua orangtua Rohayati menyambut niat itu dengan sangat baik. “Yang mau dilamar saya, tapi yang girang setengah mati malah ibu,” tutur Rohayati padaku saat itu.

Namun berbanding terbalik dengan orangtuanya, Rohayati justru nggak siap dengan hal itu. Pertama, meski bertetangga, namun ia nggak mengenal laki-laki itu dengan cukup baik. Kedua, perbedaan usia mereka terpaut cukup jauh, 10 tahun. Ketiga laki-laki itu berniat menikahinya di bulan Januari, which is terlalu cepat bagi Rohayati yang baru aja wisuda dan masih punya mimpi untuk bekerja dan membahagiakan orangtuanya. But however, Mas Solihin—begitulah panggilannya—merupakan pria sopan dan berakhlak baik. Ia juga udah mapan, udah sangat matang untuk membangun keluarga. Tapi ya tetap aja kan, yang namanya pernikahan nggak bisa diburu-buru. Bukan hanya soal perasaan Rohayati yang belum tumbuh, tapi juga soal kesiapan mentalnya yang sama sekali belum matang.
“Saya masih pingin main, Put. Pengen juga ngerasain kerja, cari duit sendiri,” katanya. Tapi Rohayati yang berhati lembut nggak sampai hati melihat raut kebahagiaan di wajah kedua orangtuanya. Yah, orangtua mana yang nggak senang putrinya dilamar laki-laki baik. Apalagi mereka bertetangga, jadi udah sama-sama tau gimana keseharian mereka. Tapi kalo aku ada di posisi Rohayati, aku juga pasti akan merasakan hal yang sama. Bimbang. Namun sebagai salah satu teman terdekatnya, aku hanya bisa membesarkan hatinya. “Seenggaknya Allah langsung mempertemukan kamu sama orang yang baik, Roha. Nggak ada rasa sakit hati karena diputusin, rasa kecewa karena diselingkuhi, dan yang pasti nggak ada label ‘mantan’ di diri kamu. Kamu seutuhnya buat dia. Dia segitu baiknya sama kamu, saya yakin kamu bakal bahagia sama dia”, kataku. Di hari terakhir kami bertemu sebelum hari pernikahannya, aku peluk dia. Sebuah pelukan singkat, tapi hatiku berkata banyak. Setelah hari itu, kita nggak akan bertemu sesering ini lagi kan? Semuanya tentu akan berubah, nggak akan lagi sama. Tapi saya harap kamu tetap Rohayati yang saya kenal.

Kurang dari satu Minggu sebelum hari pernikahannya, Rohayati bertandang ke rumahku bersama calon suaminya dengan membawa beberapa lembar undangan. Tapi aku masih di kantor waktu itu, alhasil ibu yang nerima. Undangan-undangan itu ditujukan kepadaku dan beberapa teman SMA kami. Dia meminta tolong padaku untuk menyampaikannya kepada mereka. Karena waktunya yang mepet banget, sehingga beberapa undangan aku sampaikan via Facebook. Untuk Rizka dan Diny, aku sempat berkeinginan untuk menyampaikannya langsung kepada mereka. Setauku Rizka bekerja di sebuah toserba, aku bisa mampir kesana sepulang ngantor. Sementara rumah Diny sebenarnya nggak bisa dikategorikan dekat dari rumahku, hanya aja aku pernah kesana waktu masih sekolah dulu. Tapi sebelum itu, kupastikan dulu apakah mereka ada di tempat. Bukan apa-apa. Masalahnya untuk menuju kesana aku cuma bisa mengandalkan transportasi umum, nggak pake kendaraan pribadi. Jadi kalo sampe di tempat orangnya nggak ada atau udah nggak disana lagi kan sayang juga ongkosnya -,- Namun sayangnya, Rizka nggak segera membalas private message-ku, sedangkan Diny entah kenapa tiba-tiba lost contact,padahal kemarinnya dia sempat ngomentarin postinganku, ngajak pergi kondangan bareng.




Yang paling menyesakkan dari semuanya adalah, satu hari sebelum hari pernikahan Rohayati, aku pulang ngantor dengan membawa setumpuk tugas, dan yang lebih kampretnya lagi, hari ini yang notabene hari Minggu pun, aku dan rekan-rekan diwajibkan ngantor. Padahal beberapa hari sebelum hari ini, aku sempat berniat untuk main ke rumah Rohayati sepulang ngantor di hari Sabtu dan menemaninya sampai malam. Aku yakin, sehari sebelum hari pernikahan, perasaannya pasti berkecamuk. Hey, siapa coba yang nggak deg-degan menjelang satu hari penting dalam hidup? Seenggaknya dengan menemani dia, aku bisa memberi dia sedikit motivasi, walau aku nggak yakin itu membantu banyak. Dan aku juga sempat berniat untuk datang ke hari pernikahannya sedari pagi untuk melihat prosesi akad. Sebagai teman baik, rasanya kurang afdol jika aku nggak menyaksikan momen paling sakral baginya itu.

Lepas waktu Dzuhur, aku baru bisa hadir ke acara itu bareng ibu. Rohayati yang siang itu tampil dengan balutan gaun merah muda kelihatan extremely cantiiiiiiiiik banget. Mungkin karena sehari-harinya dia jarang banget dandan, jadi kelihatannya pangling gitu. Absolutely awesome deh. Ia tersenyum lebar saat melihatku. Kupeluk dia dan kuucapkan selamat.
“Foto bareng dulu dong,” katanya. Kemudian kami berfoto bersama.




Setelah berfoto, aku dan ibu pun lanjut ke meja prasmanan dan menikmati hidangan. Harusnya hari ini aku bahagia, tapi yang ada perasaanku berkecamuk antara bahagia dan sedih, tapi lebih banyak sedihnya sih. Bukan sedih karena pernikahan sahabatku ini ya, tapi karena siang tadi itu aku memang benar-benar lagi bad mood banget. Bad mood karena disuruh ngantor di hari penting, dan bad mood karena satu masalah pribadi.

Setelah makan dan menyaksikan sajian hiburan, aku dan ibu beranjak, dan sekali lagi aku meminta foto bareng. Hanya aja kali ini aku meminta foto berdua bareng Rohayati menggunakan hapeku. Habis itu kami berpelukan lagi. Haaaahh.. will it be still  the same after this?

Selepas pulang dari hajatan itu, penyesalanku semakin menjadi karena waktu iseng stalking Facebook nya, banyak teman kampus Rohayati yang mengupload foto kebersamaan mereka sejak menjelang akad sampai acara resepsi. Seketika aku berpikir, teman kampusnya aja hadir pas akad nikah, aku yang udah sohiban sama dia sejak SMA dan sering menghabiskan waktu bareng malah telat banget hadirnya.Haaahh.. perasaanku nggak karuan banget deh pokoknya. Tapi yaaah.. nggak ada gunanya juga menyesal ya.



Well, teruntuk soul sister-ku, Rohayati..
Mulai hari ini peran orangtuamu digantikan oleh laki-laki yang akan menjadi teman hidup sekaligus imam kamu, penyempurna agamamu, yang mana surgamu ada dalam ridhonya. Selamat datang di bab kehidupanmu yang baru, Kawan. Bahagia terus yaa.. Bahagialah lebih dari sebelumnya :)

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;