Rabu, 22 April 2020
Salah satu hal yang mengingatkan bahwa dirimu udah cukup tua adalah ketika teman-temanmu mulai membagi-bagikan undangan pernikahan, atau memposting foto keluarga kecilnya di media sosial. Benar nggak? Benar dong. And I can't lie I hate it. Wkwk.. Eh jangan salah paham dulu lho ya. Bukannya nggak bahagia dengan kebahagiaan orang lain, aku hanya benci diingatkan kalo aku udah setua ini. Huhu.. Bahkan di masa pandemi ini pun rupanya aku tetap dihadapkan dengan peringatan semacam ini. Hari ini, Dewi, teman masa kecilku menikah.

Time flies. Rasanya baru kemarin kami main bareng. Yah, beberapa bulan lalu kami memang masih main bareng sih, meski mainnya hanya sebatas ngobrol berempat (waktu itu bareng adikku dan Tri) dan makan pizza di Pizza Hut Kartini. Sedih juga sebenarnya. Rumah kami berdekatan, hanya terpisah dengan beberapa rumah, tapi jarang sekali kumpul bareng. Diantara kami berempat, hanya Dewi yang pandai bersosialisasi. Selain itu, ia juga cantik dan bersuara emas. No wonder, temannya banyak. Tri juga sebenarnya cukup pandai bersosialisasi sih, hanya aja dia anak rumahan, sama seperti aku dan adikku. Dengan kata lain, kami bertiga memiliki circle yang kecil, sedangkan Dewi sebaliknya. Maka ketika kami bertiga menganggap Dewi adalah teman terbaik kami, Dewi memiliki daftar teman baik dan kami bukanlah teman baik yang berada di posisi teratas. Hahaha.

Tapi dulu, lebih dari lima belas tahun yang lalu, kami pernah dekat layaknya saudara. Aku nggak ingat kapan dan bagaimana kami saling mengenal. Aku justru lebih mengingat perkenalanku dengan kakaknya, Mbak Weni. Waktu itu, Mbak Weni dan kakeknya mencari cacing untuk umpan pancing di belakang rumahku. Aku ikut nimbrung mereka berdua mencari cacing. Dan setelah hari itu, entah bagaimana ceritanya aku kemudian mengenal Dewi. Usia kami terpaut dua tahun. Waktu itu kalo nggak salah aku masih kelas satu atau kelas dua SD gitu, sedangkan Dewi belum sekolah.

Hampir setiap hari, setiap pulang sekolah, aku, Dewi, dan adikku menghabiskan waktu bersama. Bahkan di akhir pekan, kami bisa menghabiskan waktu seharian. Kok nggak sama Tri? Well, kami baru main bareng Tri itu sekitar tahun 2008. Jadiii hal-hal yang akan kuceritakan berikut ini kami lakukan tanpa dia. Hehe..

Halaman belakang rumahku yang dulu masih luas (dan belum dijual) menjadi taman bermain kami. Di salah satu pohon mangga paling besar di belakang rumah, bapak membuat empat buah ayunan sederhana untuk kami. Satu ayunan biasa, dua ayunan untuk bergelantungan (ketiganya dibuat dengan kayu dan tambang yang kokoh oleh bapak sendiri), dan satu ayunan dari hammock jaring. Di halaman belakang itu juga terdapat beberapa buah ban mobil bekas yang bisa kami gunakan untuk duduk ataupun sekedar iseng digelinding-gelindingkan. Wkwk..

Selain bermain ayunan dan ban mobil bekas, kami juga biasa main rujak-rujakan, ataupun main 'hias cake'. Kami mencetak tanah dengan mangkok lalu menghiasnya dengan tumbuhan di sekitar kami. Dulu orangtuaku memiliki kebun dengan berbagai jenis tanaman, sehingga apa yang kami butuhkan untuk menghias 'cake' tersedia, entah itu bunga-bunga, atau buah-buahan seperti buah tanaman soka yang dulu tumbuh cukup banyak di halaman rumahku. Dulu ibuku sering marah karena terkadang kami lupa membereskan peralatan dapur yang kami pakai untuk bermain seperti sendok, pisau, mangkok, dan gelas, sehingga peralatan tersebut sering hilang, diambil oleh tukang rongsok. Wkwkwk..

Kami juga suka menggambar di atas tanah, kemudian menilai gambar siapa yang paling bagus. Terkadang kami berpura-pura menjadi Star Rangers yang waktu itu serialnya tayang di RCTI setiap hari Minggu pagi. Aku masih ingat, dulu aku selalu menjadi Ranger Merah karena dulu aku tomboy banget dan seringkali mengambil peran sebagai tokoh laki-laki yang aku anggap keren, adikku menjadi Ranger Biru, dan Dewi menjadi Ranger Pink.

Kemudian kebun di sebelah rumah yang dulu banyak ditumbuhi pohon singkong, srikaya, delima dan berbagai jenis pepohonan lainnya pun seperti hutan kecil bagi kami. Disana kami sering berpura-pura menjadi para petualang yang berkemah di hutan. Kami menggunakan payung sebagai tenda dan bernaung di dalamnya. Kadang lucu kalo dipikir-pikir, dulu tubuh kami sekecil apa ya, kok bisa muat di dalam payung. Wkwk.. Kadang kalo nggak 'berkemah' di kebun, kami 'berkemah' di dalam rumahku dengan memanfaatkan meja makan yang sekeliling mejanya ditutupi kain agar menyerupai tenda.

Banyak banget hal yang kami lakukan bersama di masa lalu dan nggak bisa aku ceritakan semuanya karena saking banyaknya. Kami main dokter-dokteran lengkap dengan 'infus' yang kubuat sendiri, main tembak-tembakan dengan suntikan bekas yang diisi air hingga lantai rumahku becek dan baju kami basah kuyup, main uji nyali di spot-spot yang kami anggap seram di sekitar rumah (karena ada kebun, jadi banyak tempat yang bisa jadi lokasi uji nyali kami, tinggal pilih mau kebun samping atau kebun belakang rumah. Wkwk..), main sepeda, bertukar koleksi kertas binder, main gelembung sabun, main petak umpet, main ABC lima dasar, main guru-guruan, main rumah-rumahan, bahkan main dukun-dukunan, semuanya kami lakukan bersama hampir setiap hari, selama bertahun-tahun. Terkadang kami makan di satu piring yang sama. Ibuku nggak hanya menyuapi aku dan adik, tapi juga Dewi. Bahkan saking asyiknya kami bermain, Dewi bisa sampai lupa pulang. Kadang orangtuanya datang menjemput ke rumahku, padahal rumah kami hanya terpisah oleh dua rumah. Ketika bulan puasa, terkadang kami tarawih bersama. Tapi kalo tarawih bareng dia, rasanya sulit banget kalo nggak becanda. Akhirnya hampir sepanjang sholat kami cekikikan menertawakan hal-hal konyol, sampai-sampai ibu menegurku dan nggak memperbolehkan aku untuk sholat bersebelahan dengan Dewi. Wkwk..

Tapi meski sering menghabiskan waktu bersama, bukan berarti kami nggak pernah musuhan. Kami pun pernah saling ejek, pernah nggak saling bicara selama beberapa waktu. Aku pernah kesal karena ia memungut Pusi, kucing kampung yang dulu sering main ke rumahku dan akhirnya kuanggap sebagai kucingku. Padahal sebenarnya nggak salah kalo dia memungut Pusi, karena toh orangtuanya nggak melarang ia memelihara kucing, sementara orangtuaku (pada saat itu) nggak setuju kalo aku memelihara kucing. Tapi memang dasarnya anak-anak, mana bisa kepikiran sampai situ.

Seiring berjalannya waktu, kami semakin jarang menghabiskan waktu bersama. Palingan sekali-kali aja ngumpul bareng, itu pun cuma buat ngobrol dan nostalgia. Dan meskipun berteman dari kecil, sebenarnya kami nggak benar-benar dekat sampai mengetahui kehidupan pribadi masing-masing. Aku cuma tau Dewi telah berpacaran beberapa kali, itupun melalui status-status di media sosialnya. Dia nggak pernah bercerita tentang saat ini dia berpacaran dengan siapa, apalagi sampai curhat tentang love life-nya (dan aku juga nggak pernah tertarik buat nanya sih). Sedangkan Dewi sendiri hanya sebatas tau bahwa aku naksir kakak kelas (waktu itu aku masih kelas satu SMA) karena nggak sengaja melihat fotonya di kamarku. Wkwk..

Tahun-tahun berlalu, akhirnya tempo hari dia memposting pas foto dengan background warna biru di status WhatsApp-nya. Aku pun lantas memberondongnya dengan pertanyaan. Aku benar-benar nggak pernah mengira dia akan menikah secepat ini, maksudku, di masa pandemi ini yang hanya memperbolehkan pelaksanaan akad tanpa resepsi.

Aah, aku nggak tau kapan lagi kami bisa kumpul bareng dan bernostalgia seperti dulu. Dan rasanya sedih mengingat kami sama sekali nggak punya foto masa kecil kami saat main bareng. Satu-satunya kenangan masa kecil kami bersama adalah sebuah kaset pita yang dulu merekam suara kami, entah itu suara kami bernyanyi, ataupun hanya sekedar bercakap-cakap ala anak-anak. Itupun kasetnya entah masih bisa diputar atau enggak :')


Foto terakhir berempat. Ternyata kami terakhir kumpul bareng tahun lalu :')


Selamat menunaikan ibadah terpanjang, Teman Masa Kecil.
Semoga selalu bahagia ^^

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;