Rabu, 13 Juli 2022 3 komentar

Till We Meet Again

"Habis dicek bukaan, jadi makin mules nih".
"Iya, Teh. Kayak dibukain jalan gitu ya sama bidannya".
"Iya. Udah mau lahiran masih aja dikasih obat sama bidan. Boro-boro mau minum".
"Iya, Teh. Tapi saya mah tetap diminum sih".
"Obat apa sih itu?"
"Lupa euy, Teh. Kalo nggak salah sih vitamin B".

Percakapan WhatsApp itu terhenti di situ. Pukul 14.13. Bahkan hingga sore, pesan WhatsApp terakhirku belum juga menunjukkan centang biru. 

***

Beberapa waktu belakangan ini, aku dan Teh Indri cukup intens berkomunikasi via WhatsApp. Setelah tahun 2020 lalu kehilangan janin yang dikandungnya, Teh Indri diberi amanah untuk mengandung lagi. Usia kandungannya hanya berjarak lima bulan denganku. Karena itu, saat masih mengandung Fathian, kami sempat dua kali kontrol bareng di klinik Dokter Wildan. Mendekati HPL bayinya, ia semakin sering menghubungiku via chat, bertanya seputar kehamilan, pengalaman melahirkan, dan persiapan menuju persalinan. Dan aku selalu menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan antusias. Rasanya senang bisa berbagi pengalaman. 

HPL anak Teh Indri jatuh pada tanggal 11 Juli. Namun ia udah was-was sejak jauh-jauh hari. Ia sering bercerita padaku bahwa ia khawatir anaknya akan lahir melebihi HPL dan harus operasi caesar karena menjelang HPL ia belum merasakan tanda-tanda persalinan apapun. Aku pun hanya bisa menenangkannya agar nggak terlalu memikirkan hal yang justru akan memicu stres.
"Kan belum sampe HPL, Teh. Bayi tau kapan dia mau lahir kok. Saya dulu juga kepikiran kayak Teteh, tapi akhirnya kebukti, Fathian lahir tepat di HPL", kataku waktu itu mencoba menenangkannya.

***

Minggu, 10 Juli.
Teh Indri mengeluh kram perut. Ia juga bertanya soal flek kecoklatan yang ia temui di pakaian dalamnya pagi itu. Aku menyarankannya untuk segera menghubungi bidan. Aku kira hari itu ia akan segera melahirkan, tapi ternyata belum. 

Senin, 11 Juli, pukul 11.35.
Teh Indri mengabariku bahwa ia baru aja pulang dari klinik bidan dan mengecek pembukaan jalan lahir. Rupanya saat itu udah masuk pembukaan satu menuju pembukaan dua. Ia bilang kalo ia mau tidur dulu. Tapi karena rasa sakit di perutnya, ia jadi nggak bisa tidur dan akhirnya kami chatting terus hingga jam dua siang itu. Ketika pesan WhatsApp terakhirku nggak kunjung dibacanya, aku hanya berpikir, ah, mungkin dia udah mules banget dan siap-siap balik ke bidan lagi, jadi nggak sempat baca chat.

Rasanya aku ikut bahagia. Teh Indri akan segera jadi ibu. Anak kami sama-sama laki-laki. Bahkan ketika sama-sama masih mengandung, kami udah membayangkan, kelak mereka akan jadi sepasang sahabat seperti kedua orangtuanya.

Pukul 16.33.
Masku mengabari bahwa Teh Indri dan Mas Ipank udah tiba di klinik. Ia mengajakku untuk mampir sebentar ke klinik sepulang kerja nanti. Aku pun mengiyakan.

Sepulang kerja, aku meminta mas untuk mampir sebentar ke Indomaret karena aku ingin beli Cappuccino Iced di Outlet Point Coffee. Tanpa diduga, ketika tengah menunggu kopiku jadi, aku melihat Mas Ipank yang baru aja dari kasir. Aku pun menyapanya. Ia juga sempat mengobrol sebentar dengan mas di parkiran. Sore itu, kami batal untuk mampir ke klinik.
"Nanti aja habis Magrib Mas ke sana", kata masku waktu itu.

Sesuai janji, setelah sholat Magrib, masku pergi ke klinik di mana Teh Indri akan segera melahirkan, sementara aku tetap di rumah untuk menunggui Fathian. Oh ya, bidan yang menangani persalinan Teh Indri adalah bidan yang sama dengan yang menangani persalinanku dulu. Iya, kami kontrol di dokter yang sama, dan bersalin di klinik bidan yang sama :)

Pukul 18.28.
Mas mengabari bahwa pembukaan udah lengkap. Ia juga menghubungiku via video call. Tapi ia mengarahkan kameranya pada mama Teh Indri yang rupanya menunggu di Ruang Tunggu.
"Sehat, Ma?" sapaku pada beliau.
"Alhamdulillah sehat".
"Nggak nemenin Teteh di dalam?"
"Nggak ah, Ivan aja. Takut lihat darah".
"Oh yaudah bener, mas di sana nemenin Mama ya".
"Iya, kasihan mama sendirian", sahut mas.
"Doain aja lancar lahirannya", ucap beliau.
"Pasti, Ma. Semoga lancar, selamat dua-duanya."
"Aamiin".

Pukul 18.38.
Masku mengabari bahwa anak Teh Indri udah lahir. Tapi ketika kutanya gimana kondisi Teh Indri, mas belum bisa menjawab.
"Nanti Mas kabari, fotoin dedenya juga", katanya.
Saat itu yang bisa kulakukan hanya bersyukur. Alhamdulillah prosesnya cepet banget, hanya sepuluh menit setelah pembukaan lengkap, batinku. Teringat proses melahirkan Fathian bulan Januari lalu yang terasa lamaa banget. Nggak sabar rasanya ketemu Teh Indri dan mendengar ceritanya.

Pukul 19.20.
Mas meneleponku, mengabari bahwa Teh Indri harus dirujuk ke rumah sakit terdekat karena mengalami pendarahan. Hanya Mas Ipank, bidan, dan asistennya yang membawa Teh Indri ke sana. Sementara masku menemani mama Teh Indri dan bayinya di klinik.

Sekitar jam sembilan malam (aku nggak ingat kapan tepatnya karena begitu banyaknya panggilan telepon yang mas lakukan untuk mengabariku), mas bertanya tentang siapa di antara keluargaku yang memiliki golongan darah A, karena Teh Indri butuh donor darah. Saat itu ia udah menyusul ke rumah sakit, sementara mama Teh Indri tetap menunggui bayi di klinik. Kebetulan di keluargaku, ada ibu dan Hardi yang memiliki golongan darah A. Karena dulu ibu sering menjadi pendonor darah, aku pun bertanya pada beliau apakah beliau bersedia jika jadi pendonor darah untuk Teh Indri. Namun sayang, rupanya usia ibu udah nggak memenuhi syarat untuk jadi pendonor darah. Akhirnya aku pun bertanya pada Hardi. Ia bersedia, meski membutuhkan waktu agak lama untuk memutuskan (ia takut karena belum pernah donor darah).

Setelah mendapatkan keputusan itu, aku segera menghubungi mas. Namun rupanya di sana udah ada tante Teh Indri yang bersedia mendonorkan darahnya. 
"Di rumah sakit juga stoknya masih banyak kok. Nanti Mas kabari lagi ya kalo mereka butuh," kata masku. Waktu itu di sana juga berkumpul teman-teman dekat masku dan Mas Ipank. 

Menit-menit berlalu. Nggak ada lagi telepon atau pesan WhatsApp dari mas setelah itu. Aku benar-benar harap-harap cemas. Biasanya jam segitu aku udah tidur, atau sedang mencuci botol-botol susu Fathian. Apalagi Fathian udah tidur, aku bisa bebas meninggalkannya kalo aku mau. Tapi sebelum mendapatkan kabar baik dari Teh Indri, rasanya aku belum bisa tenang dan nggak bisa meninggalkan hapeku.

Hingga akhirnya pukul 22.16, mas kembali meneleponku. Namun bukan kabar baik yang kudengar.
"Sayang, Indri udah nggak ada", ucap mas dengan suara bergetar. Aku hampir nggak mempercayai apa yang kudengar. Tapi mendengar isak tangis orang-orang di sekitar mas kala itu, aku jadi yakin bahwa aku nggak salah dengar.
"Innalillahi wa innailaihi rojiuun", ucapku lirih.

Teteh, kenapa secepat ini..?


Proses persalinan Teh Indri baik sekali. Dari pembukaan empat ke pembukaan sepuluh nggak membutuhkan waktu lama. Begitu juga saat proses mengeluarkan bayi. Namun situasi mendadak gawat setelah ari-ari bayi keluar, darah mengalir dengan deras dan nggak kunjung berhenti. Akhirnya ia dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih. Mas Ipank, bunda (sebutan kami untuk bidan yang menangani), dan asisten bunda pergi dengan mobil. Bunda sendiri yang menyetir. Sementara mama Teh Indri dan bayinya tetap di klinik, ditemani masku dan ART klinik.

Di rumah sakit, baru diketahui bahwa Teh Indri memiliki kelainan pembekuan darah. Dalam kasus ini, seharusnya kelainan ini diketahui lebih awal agar bisa segera dicegah atau diobati, karena apabila baru diketahui saat mendekati persalinan atau bahkan saat udah terjadi pendarahan, nyawa pasien yang akan jadi taruhan. Bahkan jika dilakukan operasi caesar, resikonya akan jauh lebih tinggi ketimbang persalinan normal.

Teh Indri belum sempat menerima transfusi darah saat ia keburu 'pergi'. Sesuatu yang nggak kami duga akan terjadi, karena beberapa waktu sebelum kepergiannya, ia masih sempat makan, minum, dan berkomunikasi dengan baik.

"Maafin Bunda ya, Nok. Bunda udah berusaha, tapi teman Nok Putri nggak ketolong," ucap bunda dengan suara penuh penyesalan. Sepanjang karirnya, baru kali ini ia mengalami hal seperti ini. Hal yang kemudian memberinya pelajaran bahwa untuk selanjutnya, ia mewajibkan pasien-pasien hamilnya untuk benar-benar mengecek kondisi kesehatannya dulu, memastikan bahwa nggak ada kelainan apapun. Waktu itu pukul 22.52. Bunda meneleponku dan menceritakan semuanya. Ia meminta maaf berkali-kali, meski aku mengerti bahwa ia nggak harus melakukannya. Memang udah takdir Teh Indri pergi dengan cara seperti ini, dan bunda beserta asistennya udah berusaha sebaik mungkin. Mereka bahkan ikut mengantar jenazah Teh Indri ke kediaman orangtua Mas Ipank di Kedawung.

***

Mas pulang sekitar jam setengah dua belas malam. Tangisku kembali pecah di pelukannya. Kali ini lebih hebat ketimbang saat pertama kali mendengar kabar dan saat ditelepon bunda. Belum genap tiga tahun aku mengenal Teh Indri, tapi ia udah kayak saudara untukku.

Teringat momen-momen kami dulu. Waktu ia dan Mas Ipank masih nge-kost berdua tahun 2020 lalu, karena Mas Ipank sering pulang kerja malam atau pagi, aku cukup sering mengunjungi kediaman mereka untuk menemani Teh Indri. Setiap main ke sana, kami selalu pesan fire chicken-nya Richeese Factory lewat Grabfood. Kami juga ngobrol-ngobrol. Sesekali aku juga curhat soal masku (waktu itu aku dan mas belum menikah, of course). Ketika mereka pindah ke perumahan Puri Hasna, kami juga sering jajan berdua ke warung di belakang rumah. Pemilik warung sering mengira kami kakak beradik, karena menurutnya wajah kami mirip dan kami sama-sama memiliki postur tubuh mungil. Tapi berbeda jauh dengan aku yang mageran, Teh Indri pintar memasak dan membuat camilan. Kue kering, cake dan salad buah buatannya enak. Setiap menjelang Idul Fitri, aku selalu memesan kue kering buatannya. Nggak nyangka, kastengel yang kupesan darinya bulan April lalu adalah kue keringnya yang terakhir :')


Aku benar-benar menyesal karena sepulang kerja waktu itu aku nggak sempatkan waktu untuk menemui Teh Indri di klinik sebentaaaar aja. Terakhir kali kami ketemu tanggal 12 Juni. Iya, satu bulan yang lalu. Kami bareng-bareng pergi ke bidan. Aku menemani Fathian baby spa, sementara dia cek HB. Waktu itu kami sempat becanda kalo suatu saat nanti bisa ajak anak-anak kami baby spa bareng.

Sedih banget rasanyaa. Teh Indri bukan sekedar teman, tapi juga kakak, teman curhat, teman ngegibah, teman jajan, teman sharing apapun. Sulit bagiku untuk menemukan teman yang satu frekuensi. Maka ketika dia pergi, rasanya ada yang hilang. 

***

Kemarin aku dan mas ijin nggak masuk kerja. Kami ikut mengantar almarhumah Teh Indri ke peristirahatan terakhirnya. Sekitar jam tujuh pagi, kami meluncur ke rumah orangtua Mas Ipank di Kedawung. Begitu masuk ruang tamu, yang pertama kali kulihat adalah keranda jenazah yang diletakkan di sebelah kiri ruangan. Beberapa orang perempuan duduk bersimpuh di seberangnya. Mama Mas Ipank mempersilahkan kami masuk. Begitu melihat mama Teh Indri yang duduk bersandar di dinding, mas langsung memeluk beliau sambil mengucapkan belasungkawa. Beliau memukul-mukul bahu mas. Aku tau beliau melampiaskan sedikit kekesalannya karena mas adalah salah satu orang yang 'membohonginya' malam itu. 

Malam itu, sepeninggal Teh Indri, nggak ada satu orang pun yang tega mengabari mama mengenai kepergian almarhumah. Bahkan ketika mas kembali ke klinik untuk mencari kain yang akan digunakan untuk menutupi jasad almarhumah, mas nggak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ketika mama bertanya mengenai kondisi almarhumah, mas hanya menjawab, "Masih ditangani, Ma".

Mama juga masih belum tau apa-apa ketika bunda datang menjemputnya ke klinik untuk ikut bersamanya ke Kedawung dengan membawa serta bayi.

"Indri udah dipulangin ke Kedawung, Bu", ucap bunda waktu itu.

"Alhamdulillah, berarti anak saya nggak dirawat ya, Bun? Anak saya sehat ya?", kata mama dengan penuh syukur. Namun mendengar itu bunda nggak bisa menjawab lagi, dan mama pun nggak menaruh curiga apapun. Bunda nggak menjemput mama sendirian, tapi bersama asistennya dan juga A Mulpi (salah satu teman dekat masku dan Mas Ipank). Di mobil, mereka mengobrol santai, mama juga meladeni mereka yang banyak becanda sepanjang perjalanan.

Mama baru merasa heran ketika melihat banyak orang berkumpul di depan rumah orangtua Mas Ipank. Namun A Mulpi menjawab, "Ah, biasa itu, Ma. Penyambutan".
Keheranan mama baru terjawab ketika beliau melihat seseorang membawa tempat untuk memandikan jenazah. Seketika keceriaan berubah duka. Beliau syok dan menjerit histeris memanggil anaknya. I can't imagine that :') 

Tangisku pecah ketika kupeluk beliau.
"Put, Pitri tuh pingin samaan sama Putri, lahiran di tempat bunda. Tapi takdirnya lain," ucap beliau sambil terisak.
"Yang tabah ya, Ma. Yang ikhlas. Teteh udah tenang. Insya Allah syahid. Husnul khotimah ya, Ma". Kuusap-usap punggung beliau.
"Mama sih ikhlas, mama terima, tapi mama belum bisa lupa".
Yah, kehilangan memang nggak pernah mudah. Terlebih, almarhumah adalah anak semata wayang.

Yang membuatku terharu, mama kadang salah memanggilku. Alih-alih memanggil 'Put', ia malah menyebut 'Pit'. Nama lengkap almarhumah adalah Fitri Indriani, dan orang-orang terdekatnya biasa memanggil 'Fitri' (atau 'Pitri' dalam logat Cirebon). Ada satu momen ketika beliau salah menyebut dan masku mengoreksi. Beliau bilang, "Gapapa lah. Putri, Pitri, sama aja. Putri udah kayak anak Mama." :')

Singkat cerita, jenazah Teh Indri baru dibawa ke pemakaman sekitar jam sepuluh. Niatnya memang lebih pagi, tapi pihak keluarga sedikit menunda penguburan karena menunggu papa almarhumah yang tengah menempuh perjalanan pulang dari rantau. Imagine how badly it hurts, tinggal di perantauan, jarang bertemu anak, sekalinya bertemu malah dalam kondisi udah nggak bernyawa :')


Matahari cukup terik saat kami berjalan mengiringi jenazah ke pemakaman. Setibanya di sana, aku berkesempatan melihat prosesi penguburannya dari dekat. Biasanya aku takut melihat jenazah berbungkus kain kafan. Namun kali ini aku mengabaikan perasaan itu. Aku berdiri di sisi kanan mas yang merangkul bahuku, sementara lengan kiri mas merangkul bahu mama. Di situ aku kembali terisak, sampai seorang bapak menegurku untuk nggak meratapi almarhumah.

***

Aaah, intinya kemarin itu berkecamuk banget rasanya. Sedih pasti. Menyesal karena belum sempat ketemu. Dan juga iri. Bukankah Allah menjanjikan surga untuk perempuan yang meninggal karena melahirkan? Aku iri karena Teh Indri pergi dengan semulia itu. Aku yakin, calon anaknya yang gugur dua tahun lalu udah menunggunya di gerbang surga sana :') Di sisi lain, aku juga kasihan pada Mas Ipank dan terlebih putranya yang harus menjadi piatu sejak baru lahir. Semoga jika suatu saat Mas Ipank kembali menikah, ia menikah dengan perempuan yang penuh kasih sayang sehingga bisa menjadi ibu sambung yang baik untuk putranya. Aamiin yaa robbal alamiin. 


Teteh sayang.. 
Entah amalan apa yang Teteh perbuat hingga bisa pergi dengan sebaik itu, semulia itu. Semoga segala perjuangan Teteh melahirkan Adnan menjadi pemberat timbangan amal baik Teteh di sana. Istirahat yang tenang ya, Teh. Tugas Teteh di dunia udah selesai. Insya Allah, Allah juga udah menyiapkan tempat yang indah buat Teteh di sana, saya yakin. Sementara saya masih harus lanjutin tugas saya. Doain saya ya, Teh, biar bisa jadi istri dan ibu yang baik, biar suatu hari nanti bisa ketemu Teteh lagi di sana. Maafin saya yang kemarin banyak nangis. Orang-orang mungkin mikir saya lebay karena saya bukan siapa-siapa Teteh. Tapi bodo amat, Teh. Sedih karena kehilangan bisa dirasakan siapapun, kan? See you again, Teteh. You'll be missed :') 

Allahummaghfirlaha warhamha wa'afiha wafuanha. 

Jumat, 03 Juni 2022 0 komentar

Semakin ke sini, rasanya blog ini semakin tertinggal. Hahaha. Sebenarnya bukan karena aku berhenti menulis. Nyatanya aku masih menulis catatan harian di blog yang hanya bisa aku akses sendiri. Hanya berupa tulisan-tulisan pendek, karena memang fungsinya hanya sebagai pengingat. Sementara untuk blog ini, sepertinya akan banyaaaakk banget cerita-cerita yang terlambat diposting *tengok draft list :')

Satu hal yang mendorongku untuk menulis ini adalah berita duka yang udah satu pekan ini memenuhi beranda seluruh sosial media yang kupunya. Berita duka yang udah sepekan ini pula menjadi trending topic teratas di Twitter. Yup, everyone knows, berita mengenai hilangnya putra sulung Bapak Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtaz atau biasa dipanggil Eril, di sungai Aare, Swiss.

Ketika pertama kali mendapati kabar itu, aku merasa kaget dan hampir nggak percaya. Rasanya baru beberapa waktu lalu, Pak RK membuatku cengengesan dengan postingan beliau di Instagram. Postingan itu mengungkapkan protes beliau terhadap cuitan seorang warga Twitter yang iseng menyebut bahwa suami Maudy Ayunda adalah Pak RK karena dari belakang, Jesse Choi tampak mirip dengan beliau (waktu itu Maudy Ayunda masih merahasiakan wajah suaminya).

Aku nggak mengenal beliau secara personal. Hanya sebagai follower beliau di media sosial. Broadcaster of Daily Happiness, begitu yang ia tulis pada bio Instagramnya. Selama ini Pak RK memang dikenal sebagai sosok yang humble, dan sering menebar senyum dan tawa pada setiap postingan media sosialnya. Belum lagi hubungan beliau dengan Bu Atalia (atau biasa Pak RK sebut 'Bu Cinta') yang sering membuat orang-orang muda baper. Dan anak-anaknya, nggak ada satupun dari mereka yang show off meskipun mereka merupakan anak dari salah satu orang penting di Indonesia. Bagiku, keluarga Pak RK ini kayak definisi happy family gitu. Nggak heran rasanya kalo Pak RK menjadi sosok yang dicintai dan dihormati banyak orang. Maka ketika beliau dan keluarganya berduka, banyak orang yang ikut merasakan sakitnya.

Setiap kali aku mengakses Twitter, nama itu selalu ada di feed. Eril, Eril, Eril..
Dan nggak bosan-bosan rasanya aku mengklik nama yang menduduki trending topic teratas di Twitter itu, berharap ada berita baik yang muncul di sana : Eril ditemukan dalam kondisi sehat walafiat. Namun lagi-lagi, harapan kembali pupus. Pencarian Eril masih terus dilakukan hingga berhari-hari lamanya.

Seminggu berlalu sejak hilangnya Eril, Kamis malam kemarin, akhirnya KBRI di Swiss menyampaikan bahwa pihak otoritas setempat udah mengubah status pencarian Eril, dari yang tadinya pencarian orang hilang menjadi status mencari orang yang tenggelam. Pak RK dan Bu Atalia sendiri udah ikhlas dan meyakini bahwa putra sulung mereka telah meninggal dunia karena tenggelam. Dan hari ini, sholat ghaib dilaksanakan di masjid-masjid dan mushola untuk almarhum Eril. Di kotaku, tepatnya di Masjid Raya At-Taqwa Cirebon, sholat ghaib ini diikuti oleh 2500 jamaah. Masya Allah. 

It's so heartbreaking ketika membaca tulisan Bu Atalia dalam postingan terbarunya di Instagram.


Dan betapa getirnya melihat video-video yang berseliweran di feed, ketika Pak RK berdiri di tepi sungai Aare sambil mengumandangkan adzan, berharap adzan yang beliau kumandangan sampai di telinga putranya seperti yang putranya dengar saat pertama kali melihat dunia. Ketika Pak RK menyusuri dinginnya sungai Aare sendirian. Dan ketika beliau beserta istri dan putrinya tiba di Indonesia dengan tertunduk lesu sambil menyeret koper. Well, our Broadcaster of Daily Happiness is now at the lowest point of his life. Not sure he'll stay the same after this hard time. I can't imagine that, gimana perasaan mereka ketika tiba di rumah, melihat foto dan kamar Eril yang kini ditinggalkan pemiliknya.  Yah, hati orangtua mana yang nggak remuk saat harus menerima kenyataan pahit ditinggal oleh sang buah hati, apalagi dengan kabar yang nggak pasti apakah masih hidup atau udah tiada. I can't imagine if I were in their shoes :') 

Tapi, di tengah kedukaan mendalam yang tengah dirasakan Pak RK dan keluarga, aku nggak ngerti yah, kenapa masih banyak orang-orang kita yang minus empati. 

Miris banget, kemarin aku lihat di Twitter, ada postingan seorang warga Twitter berupa foto hasil screenshot dari halaman Youtube sebuah media berita gitu, yang bisa dipastikan media berita abal-abal sih. Di situ terbaca jelas headline berita '8 Hari Tidak Makan, Eril Kamil Ditemukan Terbaring Lemas di Barat Sungai Aare', lengkap dengan foto thumbnail yang menampilkan beberapa warga yang tengah menggotong tubuh seseorang dari sungai. Views-nya puluhan ribu, nggak ngerti apakah views yang jumlahnya nggak sedikit ini berasal dari orang-orang yang segitu polosnya sampai bisa terpancing click-bait, atau orang-orang yang sengaja mengklik video itu hanya untuk menghujat di kolom komentar. Kenapa aku bilang para viewers itu polos? Lha wong dari thumbnail-nya aja kelihatan Indonesia banget : warga-warga yang menggotong seseorang dari sungai itu nggak ada bule-bulenya sama sekali, dan sungai yang menjadi latar dari foto itu berwarna coklat kayak kopi susu, beda jauh lah sama Sungai Aare, astaga. Dan kalo mereka nge-view tujuannya untuk menghujat, sayang sekali, kolom komentarnya dikunci, Pemirsa. Jadiii kelihatan banget kalo media abal-abal ini memang berniat mencari untung. Anyway, daripada menghujat mereka, mending langsung report aja akunnya, nggak usah klik videonya karena ntar yang ada views mereka malah makin banyak dan mereka kesenengan.

Trus barusan ada lagi tuh, kasus selebgram yang mengajak foto Pak RK saat mereka bertemu di bandara dan memposting foto itu di akun Instagram miliknya. Di foto itu terlihat jelas wajah lelah dan mata sembab Pak RK, namun beliau masih berusaha tersenyum. Nggak habis pikir, kok bisa-bisanya mereka kepikiran minta foto bareng beliau di situasi kayak gitu. Gila banget sih, nggak ngerti lagi kenapa orang-orang kita kok pada minus empati. Apa-apa dijadikan konten. Bahkan orang sedang berduka pun dijadikan konten, biar apasiii? Biar bisa pamer gitu kalo dia udah ketemu dan ngobrol duluan sama Pak RK sebelum yang lainnya? Oh damn, maaf emosi. 

Give them a break lah yaa. Saat ini mereka lagi butuh waktu untuk menenangkan diri. Dan nanti, kalo mereka udah bisa diajak berbincang, kalo sampai ada wartawan media yang pakai nanya, "Gimana perasaan bapak kehilangan....", hih! Berhenti aja klen jadi wartawan. Nggak ngotak, kayak nggak ada pertanyaan lain aja. Maaf esmosi lagi -_--

Well, indeed we belong to Allah, and to Him we shall return. My deepest condolence and prayers untuk Pak RK dan keluarga. May Allah give them patience along with ease to pass this hard times. Aamiin, aamiin yaa robbal alamiin. 

Rabu, 13 April 2022 0 komentar

Back to Work Day-1

Akhirnya setelah tiga bulan beristirahat dari kegiatan kantor, hari ini aku kembali pada rutinitasku sebagai karyawan perusahaan. Perasaanku campur aduk. Meski senang, tapi aku juga sedih karena harus ninggalin Fathian dari pagi hingga sore. Gimana nggak sedih? Tiga bulan lamanya, hampir seluruh waktuku buat dia, dan ketika masa cutiku habis, aku harus rela membagi waktuku. Pagi tadi sebelum berangkat, kutatap lamat-lamat wajahnya yang sedang tertidur pulas. Rasanya kayak berat banget, nggak tega.

Sesampainya di kantor, aku bertemu Bu Mila di parkiran. Ia menyambutku dengan gaya lebay khasnya. Rata-rata mereka yang kutemui menyapaku, menanyakan kabar, dan tentunya pertanyaan-pertanyaan umum seperti "anaknya perempuan atau laki-laki?", "nama anaknya siapa?", "dedenya di rumah sama siapa?" Yaaah begitulah.

Everything went well sampai aku masuk ke Ruang HRD untuk menemui Pak Teguh dan Pak Ben. Kami berbasa-basi sebentar, dan tiba-tiba Pak Teguh meminta Pak Ben untuk ke luar ruangan karena mau bicara empat mata denganku. Tiba-tiba perasaanku nggak enak. Dari dulu aku selalu gugup setiap kali ada orang yang tiba-tiba pingin bicara empat mata. Entahlah, aku takut mendengar berita buruk, atau diberi pertanyaan yang nggak bisa kujawab. 

Setelah Pak Ben ke luar ruangan, beliau langsung mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan yang intinya adalah mengenai jabatanku di perusahaan. Selama menjadi bagian dari Divisi HRD, aku seringkali dituntut untuk pulang terlambat, dan aku nggak begitu merasa keberatan dengan hal itu. Tapi melihat kondisiku sekarang yang sudah berkeluarga, Pak Teguh khawatir aku jadi nggak bisa bekerja dengan tuntutan seperti itu lagi. Oleh karena itu, beliau bermaksud untuk memindahkanku ke Divisi Collection sebagai Admin AR (Account Receivable), karena menurutnya dengan bekerja sebagai Admin AR, aku bisa pulang tepat waktu dan nggak sering-sering dituntut pulang terlambat. Tapi beliau nggak langsung memutuskan, melainkan memintaku untuk memilih.

Intinya beliau memberiku pilihan, apakah ingin tetap menjadi Admin HRD dengan tuntutan sering pulang terlambat atau pindah ke posisi Admin AR. Saat itu aku bingung. Aku sempat berpikir, apakah Pak Teguh sebenarnya ingin menggantiku dengan Diah, karyawan baru yang kemarin meng-handle pekerjaanku selama cuti, namun dengan cara yang halus? Karena jujur aja, aku sudah nyaman dengan jabatanku saat ini, dan ketika kuutarakan hal itu, beliau membanding-bandingkan kinerjaku dengan kinerja Diah (yang menyiratkan bahwa kinerjanya lebih baik dari kinerjaku). "Kerjanya cepat. Yang lain belum selesai, dia sudah bisa santai," katanya. Siapa coba yang nggak panas dibanding-bandingkan seperti itu? I'm pretty sure I'm better than her. Jelas kerjanya cepat, karena sebagai karyawan baru, tuntutan pekerjaannya belum sebanyak pekerjaan yang selama ini aku handle. Aku bisa aja bilang begitu, tapi aku nggak berani. Jadi kutelan mentah-mentah aja kata-kata beliau. 

Beliau nggak menuntutku untuk memutuskan saat itu juga. Maka aku pun menemui Bu Mila untuk menanyakan alur pekerjaan Admin AR itu seperti apa. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Bu Mila malah bilang bahwa pekerjaan di divisinya ribet banget 😂 Ia pun meminta tolong pada Ryan untuk menjelaskan padaku mengenai alur pekerjaannya.

Jadi lah siang itu Ryan menjelaskan alur pekerjaan Admin AR, panjang lebar, dari awal hingga akhir. Hebatnya Ryan mengelola data konsumen yang bejibun itu dengan caranya sendiri, tapi tetap terarah, dan surprisingly minim kesalahan. Dan yah, seperti yang kukhawatirkan di awal, bahwa pressure di Divisi AR itu berat. Kita dituntut untuk sangat teliti dan tegas, khususnya pada Collector, karena jika ada di antara mereka yang bermain curang dengan uang angsuran konsumen, maka Admin AR pun akan kecipratan imbasnya. Belum lagi berkomunikasi dengan konsumen dengan berbagai karakter.

Setelah diberi penjelasan oleh Ryan dan mengucapkan 'terima kasih', aku pun ke luar dari Ruang AR dan duduk di depan mushola. Di sana aku menelepon Mas untuk meminta pendapatnya. Melihat pressure pekerjaan di AR lebih berat, tentunya Mas menyarankan aku untuk tetap pada jabatanku yang sekarang, di mana aku hanya berhubungan dengan karyawan dan calon karyawan. Nggak masalah pulang terlambat, toh nggak setiap hari, dan nggak sampai larut malam. Daripada being under pressure setiap hari.

Selesai menelepon Mas, aku pun pergi ke ruangan Pak Teguh untuk mengutarakan keputusanku. Kubilang aku ingin tetap pada jabatanku yang sekarang. Setelah memastikan keyakinanku atas keputusan yang kubuat, Pak Teguh pun memintaku untuk memanggil Diah. Kami berbicara enam mata di ruangan itu. Singkat cerita, ditetapkanlah bahwa aku tetap pada jabatanku sebagai Admin HRD, dan Diah sebagai Admin AR. Win win solution, karena Diah sendiri puas dengan keputusan itu.

Dan yah, setelah melakukan serah terima tugas dengan Diah, aku pun mulai bekerja. Namun karena baru kembali bekerja setelah sekian lama libur, rasanya agak bingung. Apalagi aku juga dituntut untuk segera melakukan update data karyawan dan menyiapkan data untuk pengajuan THR, aku bingung mana dulu yang harus lebih dulu kukerjakan. Ditambah suasana hati yang tiba-tiba berubah melankolis. I miss my lil boi. Dia lagi apa? Apakah anteng bersama ibu dan bapak di rumah?

Sepulang bekerja, Fathian sedang bersama bapak di teras. Ia berbaring di stroller, sementara bapak mengajaknya ngobrol. Ketika motor kami masuk ke halaman, tiba-tiba ia merengek.
"Lhaaa.. mau anteng. Mbok karo bapae teka jeh nangis (tadi anteng. Mama papanya dateng kok nangis)", kata bapak. Wkwkwk.

Yaaaaah begitulah pengalaman hari pertama bekerja lagi. Rasanya masih agak bingung, juga pusing melihat tumpukan berkas formulir pengajuan kredit calon konsumen beserta hasil survey Analis di bawah kursi yang harus kuarsip (karena Diah nggak mengarsip itu semua). Mungkin hari Sabtu nanti akan kubereskan. Semoga aku bisa menuntaskan semuanya.

Jumat, 08 April 2022 0 komentar

 Kemarin sore, aku membuka kembali akun Facebookku. Well, memang semenjak menikah, aku akhirnya memutuskan untuk menutup akun Facebookku, meski nggak secara permanen, karena biar bagaimanapun, aku nggak rela untuk kehilangan momen-momen yang pernah terjadi di sana : kenangan-kenangan bersama teman-teman MCRmy, keluh kesah di status, bahkan status-status alayku yang udah aku private semua. Wkwkwk. 

Alasanku menutup akun Facebookku karena untuk menghindari hal yang nggak diinginkan sih. Sedikit trauma karena beberapa hari sebelum menikah, aku sempat ada selisih paham dengan Mas gara-gara Facebook. Makanya untuk menghindari hal semacam itu terjadi lagi, aku memutuskan untuk menutupnya, meski sebenarnya Mas nggak pernah menyuruhku untuk melakukannya.

Nah, kemarin entah kenapa tiba-tiba aku penasaran dengan kabar teman-teman MCRmy yang masih aktif di sana. Tentunya sebagian besar dari mereka udah berkeluarga, dan tentunya ada juga yang masih mencari kebahagiaannya.

Satu akun yang nggak luput dari perhatianku adalah akun milik seorang teman MCRmy berinisial VS. Hmm.. Sebenarnya aku nggak yakin apakah hubungan kami bisa disebut teman, karena sebenarnya kami hanya terhubung di Facebook dan hampir nggak pernah berinteraksi. Kami hanya pernah beberapa kali berinteraksi pada statusku atau statusnya, entah itu dengan komentar singkat atau sekedar 'like'. Hanya aja, selama kami terhubung di Facebook, aku selalu tertarik dengan status-status yang ia tulis. Entah kenapa apa yang ia tuliskan seringkali relate dengan apa yang aku rasakan. Seperti bercermin. Jujur, aku pingin banget mengenalnya dan jadi temannya, tapi aku selalu khawatir nggak bisa jadi teman yang baik dan akhirnya mengecewakannya, karena kurasa aku bukan tipe orang yang bisa menjaga komunikasi dan pertemanan dengan baik 😕

Bertahun-tahun aku mengenalnya dalam diam, sampai akhirnya ia berhenti aktif di Facebook. Status terakhirnya diupdate pada Oktober 2018. Sebelum menutup akunku, aku masih sering menjenguk akunnya, berharap ada kabar darinya yang kuharap kabar baik mengingat selama ini ia sering mengeluh soal kehidupan yang ia rasa nggak seindah cerita-cerita dalam novel yang ia baca. Namun isinya tetap nihil.

Dan yah, kemarin sore pun akun milik VS nggak menunjukkan aktifitas baru. Namun kali ini, aku melihat ada dua pesan dinding yang dikirim oleh seorang teman dekatnya. Pesan itu dikirim pada Februari dan November 2021, isinya menanyakan kabar dan harapan bahwa dirinya baik-baik aja.

Aku terkejut, karena bahkan teman dekatnya pun nggak mengetahui kabar VS dan jujur, ini membuatku khawatir. Bahkan hingga saat ini. Beberapa menit lalu, ketika kubuka playlist Spotify-ku dan menekan 'play' pada lagu Disenchanted milik My Chemical Romance, tiba-tiba aku kembali teringat dia. Sungguh, aku berharap di manapun VS berada, aku harap dirinya baik-baik aja. Dulu ia merasa dunia lebih berwarna saat ia menutup mata, aku harap kini ia bisa melihat dunia yang berwarna dengan mata terbuka. Kuharap ia hidup bahagia. May Allah bless her wherever she is.

Minggu, 06 Februari 2022 1 komentar

Dunia Baru

Kini aku betul-betul paham kenapa Allah begitu memuliakan ibu ketimbang bapak. Satu minggu ini benar-benar luar biasa buatku, ketika Allah menunjukkan bagaimana perjuangan ibu begitu berat, dan kuasa Allah begitu besar.

Dini hari Minggu, 30 Januari, aku merasa tidurku kurang nyenyak. Ada saat di mana aku merasakan kram perut dan nyeri pinggang hingga membuatku terbangun. Hal itu terjadi berulang-ulang meski nggak terjadi dalam waktu yang berdekatan.

Pagi harinya, aku menemukan lendir bercampur darah di pakaian dalamku. Sebenarnya aku sudah mengalami hal itu beberapa hari belakangan, namun kali ini berjumlah lebih banyak ketimbang sebelumnya. Aku menceritakan hal itu pada Mas, namun hal itu nggak menyurutkan niat kami untuk jalan-jalan pagi.

Memang, pada minggu-minggu terakhir menjelang persalinan, aku dan Mas rutin berjalan-jalan ke alun-alun kota setiap hari Minggu pagi. Kami membeli beberapa potong gorengan, kemudian menyantapnya berdua di alun-alun. Kami juga sempat membeli dan menyantap beberapa tusuk dadar gulung di sana. Setelah cukup kenyang, Mas baru menemani aku berjalan kaki memutari alun-alun, namun kali ini aku hanya kuat memutarinya sebanyak dua putaran, padahal biasanya bisa lebih dari itu. Perutku benar-benar nggak nyaman waktu itu. Akhirnya kami pun pulang.

Beberapa jam kemudian, aku merasakan kontraksi. Hal itu terjadi selama sekitar satu menit dalam interval waktu kira-kira setengah jam. Karena terjadi beberapa kali, akhirnya setelah Dhuhur, aku dan Mas memutuskan untuk memeriksakan kondisiku ke bidan. Awalnya kami berencana menghubungi Bidan Oom, namun karena kliniknya tutup dan pesan WhatsApp yang dikirim Mas nggak direspon, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke klinik Bidan Evi di kawasan Suratno.

Singkat cerita, pertama-tama Asisten Bidan melakukan pemeriksaan berat badan dan tekanan darahku. Alhamdulillah tekanan darahku normal, padahal aku sudah khawatir tekanan darahku tinggi karena stres menjelang persalinan. Setelah itu, Bidan Evi mempersilahkan aku masuk ke Ruang Pemeriksaan di mana ia melakukan pemeriksaan bagian dalam untuk mengetahui apakah jalan lahirku sudah terbuka atau belum.

Setelah itu, bidan pun berkata pada Mas bahwa waktu persalinan sudah dekat, dan jalan lahirku sudah masuk pembukaan dua yang berarti kami masih harus menunggu delapan pembukaan lagi. Aku pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. 

"Kalo sudah merasa mulas seperti mau BAB, langsung kesini lagi ya. Tapi langsung dibawa semua perlengkapan ibu dan bayinya", katanya. Bidan Evi ramah sekali. Ia bicara kepada pasien seperti seorang ibu yang bicara pada anaknya. Hangat dan bersahabat. Sesekali ia juga melemparkan candaan yang membuat kami terkekeh.

Akhirnya aku dan Mas pun kembali ke rumah dengan membawa beberapa plastik obat yang diberikan bidan. Sesampainya di rumah, aku meminum obat seperti yang sudah dianjurkan sebelumnya oleh Bidan Evi.

Menjelang jam tiga sore, aku merasakan kontraksi dengan jarak waktu yang lebih dekat, yakni durasi sekitar satu menit dalam interval waktu sekitar tiga menit. Mas pun mendesakku untuk segera kembali ke bidan karena aku masih bilang 'nanti aja'. 

"Kalo nunggu nanti-nanti, Mas khawatir kamu bakal susah jalan", katanya.

Akhirnya aku dan Mas kembali ke klinik tersebut, namun kali ini kami membawa dua tas besar berisi perlengkapan keperluan aku dan bayi. Awalnya ibu dan adikku mau ikut, namun aku menyarankan mereka untuk menunggu kabar dariku. Kasihan juga kalo mereka harus ikut menunggu terlalu lama. 

Sesampainya di sana, bagian dalamku diperiksa oleh salah satu asisten bidan. Ternyata pembukaannya masih bukaan dua setengah. Waktu itu aku diperiksa dua kali. Pertama dengan asisten bidan, selanjutnya dengan Bidan Evi sendiri. Mungkin untuk memastikan. Jujur, mengecek pembukaan jalan lahir adalah tindakan yang membuatku ngilu.

Karena aku sudah merasakan mulas-mulas yang cukup sering, Bidan Evi mempersilahkan aku untuk berbaring dan menunggu di Ruang Bersalin. Ruang yang dihiasi wallpaper bermotif flamingo dan didominasi warna pink itu terdiri dari dua ranjang pasien, satu baby box, satu meja panjang, satu meja kecil, satu wastafel, pendingin ruangan, kipas angin, dan berbagai peralatan lainnya.

Aku memilih berbaring di ranjang pasien yang paling dekat dengan pintu. Sementara Mas menyiapkan segala perlengkapan aku dan bayi, sambil menemani dan sesekali menenangkan aku.

Sekitar jam lima sore, aku diminta asisten bidan untuk pindah ke ranjang sebelahnya karena spacenya lebih luas. Waktu itu rasa mulasku semakin menjadi. Di situ, aku dipasangi selang infus. Ini pertama kalinya dalam hidup aku mengenakan infus. Aku selalu membayangkan sesakit apa rasanya, ditusuk di pergelangan tangan selama berjam-jam. Namun kini ketika merasakannya sendiri, rasanya nggak lebih sakit ketimbang rasa mulas yang saat itu aku rasakan. Setiap kali bidan melakukan pemeriksaan bukaan jalan lahir membuat aku meringis. Mas dan ibu (yang datang setelah dikabari oleh Mas) berdiri di sisi kiri dan kananku. 

Seiring berjalannya waktu, pemeriksaan bukaan nggak lagi membuat aku meringis, melainkan berteriak. Rasa mulasku semakin nggak tertahankan. Aku mulai meracau, mengaduh, dan meneriakkan istighfar. Terkadang aku terdorong untuk mengejan, namun bidan dan para asistennya melarang aku melakukannya dan menyuruh aku untuk mengatur napas.

"Mules banget, Teh. Pingin ngeden!" sergahku.

"Belum boleh, Sayang. Masih bukaan lima. Kalo ngeden, nanti jalan lahirnya bengkak". Masya Allah, baru bukaan lima sudah sesakit ini, bagaimana di bukaan-bukaan selanjutnya, pikirku.

Pada bukaan ke tujuh, ketubanku pecah (tapi menurut ibu dan Mas sengaja dipecahkan oleh bidan). Rasanya seperti ada yang meletus di dalam, kemudian aku merasa ada cairan hangat merembes begitu aja. Rasa mulas yang aku rasakan pun sudah nggak bisa digambarkan lagi. Aku dipaksa untuk terus berbaring ke kiri untuk mempertahankan detak jantung bayiku. Namun berbaring ke kiri benar-benar membuatku begitu tersiksa. Setiap kali aku mengubah posisi, bidan dan asistennya akan mendorong punggungku agar tetap berbaring ke kiri. Ketika itulah aku akan berteriak-teriak. Sakit sekali rasanya. Kakiku juga kram. Mereka bilang, itu karena kakiku terlalu tegang. Aku diminta untuk melemaskan kakiku, namun sulit sekali. Setiap kali rasa mulas mendera, aku nggak bisa menahannya. Kakiku menjejak-jejak, keringat menjalari tubuhku, namun aku merasakan dingin hingga tanganku gemetar. Bahkan infus yang terpasang pun sempat terlepas dari lenganku, dan Asisten Bidan segera memasangkannya lagi. Aku peluk Mas yang terus menerus membisikkan istighfar dan kata-kata penyemangat di telingaku. Sementara ibu yang juga menemani aku terus memperingatkan aku untuk melafalkan doa. Saat itu rasanya seperti berada dalam penantian panjang. Menanti untuk mengejan dan mengakhiri semua itu dengan air mata bahagia.

Akhirnya tiba lah waktu di mana Bidan mulai meminta aku untuk mengejan. Aku pun mengejan sekuat tenaga. Namun rupanya cara mengejanku dianggap kurang tepat.

"Nok, tarik napas dari hidung, trus ngeden. Jangan bersuara! Matanya lihat ke perut!" katanya. Aku pun menurut. Namun seringkali rasa mulasnya tiba-tiba hilang ketika aku tengah mengejan. Hal itu membuat tenaga yang aku keluarkan menjadi nggak maksimal. Salah satu asisten bidan pun meminta Mas untuk menyingkir dari sisiku, karena waktu persalinan benar-benar akan dimulai.

Mas pun pindah ke sudut ruangan, menunggu bersama ibu. Aku dipasangi selang kateter. Dan mungkin karena melihat kondisiku yang banyak membuang tenaga untuk berteriak, Bidan Evi memasang selang oksigen untukku. Ia juga memanggil seorang temannya yang merupakan salah satu dokter dari RS Sumber Kasih untuk membantunya. Selama proses persalinanku, Bidan Evi didampingi oleh dua asistennya dan dokter tadi. Bidan yang memberi komando, satu asisten bidan menahan paha kiri aku agar terbuka, sementara asisten bidan yang satunya dan dokter itu bertugas untuk mendorong perutku. Namun lagi-lagi ketika mereka tengah berusaha mendorong bayi untuk ke luar, rasa mulasku hilang dan aku berhenti mengejan. Ketika itulah Bidan Evi murka. Yah, memang bukan marah-marah, melainkan memperingatkan aku untuk terus mengejan jika ia perintahkan, karena akan fatal akibatnya jika aku terus berhenti mengejan di tengah-tengah usaha mereka mengeluarkan bayi. Bidan juga menyuruh aku untuk membuka pahaku dan menahannya dengan kedua tangan.

Akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang aku miliki, aku mengejan dan terus mengejan. Mungkin karena pegangan di pahaku kurang kencang, di detik-detik terakhir, Bidan Evi memanggil Mas dan memintanya untuk membantu memegangi pahaku. Mas yang tengah berdiri di sudut ruangan hanya bisa manut. Aku bisa melihat raut kecemasan di wajahnya.

"Ya! Terus, terus! Sedikit lagi!" Bidan Evi memberi komando. Aku mengejan sekuat tenaga. Kemudian kris, kris, kris, aku mendengar suara gunting. Seketika rasa sakit dan mulas luar biasa yang aku rasakan bertambah dengan rasa perih. Seketika aku berteriak-teriak, sakit. Entahlah, sepertinya hari ini aku mengguncang seantero klinik dengan teriakan-teriakanku.

Hana waladat Maryam, Maryam waladat 'Iisa, ukhruj ayyuhal mauluud, biqudratil malikil ma'buud.

Dan yah, malam ini, sekitar pukul setengah sembilan malam, Si Kecil lahir. Ketika bayi keluar, aku bisa melihat perutku yang bergetar sesaat. Namun salah satu Asisten Bidan mengatakan bahwa bayiku terlilit tali pusar. Nggak ada tangisan bayi terdengar. Sesaat setelah mereka mengeluarkan bayiku dari rahim, mereka menjatuhkannya ke pangkuanku, kemudian membungkusnya dengan kain, dan membawanya ke meja panjang. Entah apa yang mereka lakukan, hingga akhirnya suara tangis bayi pecah di ruangan itu. Seketika ungkapan syukur menggema. Alhamdulillah. Bayi kami selamat. Nggak terbayang rasanya jika sampai segala perjuanganku tadi berakhir sia-sia.

"Makasih, Sayang", ucap Mas sambil memeluk dan mencium keningku. Suaranya bergetar menahan tangis bahagia. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Yah, bagaimana enggak? Hari ini kami terlahir sebagai orang tua :') 

Setelah membersihkan bayi dan memakaikannya popok dan topi, Bidan meletakkan bayi mungil itu ke dadaku. Aku lantas memeluk dan menciumnya.

"Makasih ya, Sayang. Sudah berjuang bareng sama Mama".

Ya Allah, rasanya baru kemarin aku merengek pada ibu minta dibelikan gelang Panji Manusia Milenium, dan kini aku resmi menjadi seorang ibu.

"Alhamdulillah. Sudah ya. Sekarang tenang, nggak usah ngeden-ngeden lagi. Sisanya tinggal tugas kita", ucap Bidan Evi. Aku pun menghembuskan napas lega. Mereka lantas melepaskan selang oksigen dan selang kateter di tubuhku karena sudah nggak dibutuhkan lagi.

Tapi rupanya aku merasa lega terlalu cepat. Masih ada satu tindakan lagi yang harus mereka lakukan kepadaku : menjahit luka bekas guntingan tadi. Aku meringis. Periiiih sekali rasanya.

"Nok fokus sama dedenya aja, jangan sama rasa sakitnya. Seneng kan udah ada dede?"

Ya senang sih, tapi ya tetap ajaaa.. :')

Selesai menjahit lukaku dan memakaikan aku popok dewasa, mereka pun membawa bayiku untuk dibersihkan lagi, karena ia sempat buang air besar. Bahkan kotorannya menempel di perutku. Hahaha. Kali ini bayiku nggak hanya dibersihkan, tapi juga dibedong agar ia merasa hangat. Setelahnya, Mas mengadzankan bayi kami. 

Aku yang masih berbaring di ranjang pun membersihkan kotoran bayi yang menempel di atas perutku dengan tisu basah. Ibu memanggil adikku yang sedari sore setia menunggu di luar, memperkenalkan ia pada keponakan barunya.

Singkat cerita, aku dipindahkan dari Ruang Bersalin ke Ruang Nifas yang terletak di seberangnya. Saat itu klinik kedatangan satu orang lagi yang akan bersalin. Sepasang suami-istri yang segera akan memiliki anak ketiga. Aku dipindahkan dengan menggunakan kursi roda. Ruangan Nifas tentunya berukuran lebih kecil. Luasnya mungkin hanya 2,5m x 2,5m dan hanya terdiri dari satu ranjang pasien, satu boks bayi, satu bangku sudut panjang, satu meja dengan laci-laci yang bisa digunakan untuk menyimpan barang-barang dan pakaian pasien, dan sebuah gym ball.

Setelah membantu membaringkan aku dan menyimpan segala perlengkapanku, ibu dan adikku pamit. Malam itu, kami hanya bertiga : Aku, Mas, dan bayi kami.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagi kami. Bayi kami menangis terus, dan kami nggak tau harus melakukan apa. Aku belum bisa duduk, namun aku juga nggak tega melihat Mas yang terus begadang menjaga dan menenangkan bayi kami. Sesekali ia membaringkan badannya di kursi sudut atau di lantai untuk meluruskan tubuhnya, namun ketika bayi kami menangis, ia langsung sigap menghampirinya. Begitu terus berulang-ulang. Ia tentu capek sekali. Nggak sabar rasanya menunggu pagi datang.

Dan yah, sejak hari itu, lembar baru aku dan Mas dimulai. Tidur kami tentu aja nggak lagi setenang dulu karena ada Si Jagoan yang harus kami prioritaskan kebutuhannya. Jika ia tidur, kami ikut tidur. Jika ia terbangun, kami ikut bangun. Kadang aku dan Mas menjaga bergantian. Melelahkan memang, tapi kami jadi belajar bahwa menjadi orangtua itu nggak mudah. 

***

Fathian Putra Azzafran, nama bayi kami. Awalnya aku ingin menamainya Afkar Fathian Putra Azzafran, namun Mas berpikir nama itu terlalu panjang dan khawatir memberatkan anak kami di kemudian hari. Akhirnya kami memutuskan untuk menghilangkan nama depannya. 

Nama 'Fathian' dipilih Mas, memiliki arti 'kemenangan' atau 'keberuntungan'. Nama 'Putra' diambil dari nama tengah Mas yang juga merupakan versi laki-laki dari namaku. Sedangkan nama 'Azzafran' aku yang pilih karena sejak nama 'Zafran' muncul di film 5cm, aku menyukai nama itu. Wkwkwk. Entahlah, menurutku nama itu terdengar sangat laki-laki dan seperti menggambarkan sosok laki-laki yang tampan, penuh semangat, dan percaya diri. Selain itu, nama itu juga memiliki arti yang bagus, yakni 'bunga yang berwarna keemasan'. Bunga identik dengan keindahan, dan emas identik dengan kesuksesan. Dengan begitu kami berharap anak kami kelak akan menjadi anak laki-laki tampan yang selalu beruntung dan sukses. Aamiin. 

Fathian lahir dengan berat 2,9 kg dan panjang 48 cm, ukuran yang terbilang normal untuk bayi baru lahir. Ia lahir tepat pada HPL, yang Bidan Evi bilang jarang terjadi. Bidan Evi juga mengaku bahwa awalnya ia pesimis bisa membantuku. Melihat postur tubuhku yang kurus, pendek, dan ringkih, kecil rasanya kemungkinan untukku melahirkan secara normal. 

Ah, jangankan Bidan Evi, orang awam pun mungkin akan berpikir demikian. Bahkan sejak awal hamil, aku sudah banyak di-underestimate orang. Teman-teman kantorku misalnya. 

"Lahiran caesar aja, Put. Enak, nggak sakit".

" Nggak mau ah, Pak. Nggak sakit, tapi pemulihannya lama. Pingin normal aja, biar pemulihannya cepat", jawabku. 

"Lahiran normal? Memang kamu bisa?" ejeknya. 

Ada juga yang selalu julid mengomentari apa yang aku makan dan minum, menanyakan hasil pemeriksaan berat badan bayiku kemudian menyebut bahwa berat badan bayiku kurang, mengomentari bentuk perutku yang menurutnya terlalu turun, dan yah.. meragukan bahwa aku bisa melahirkan secara normal. 

But see? Takdir bukan berasal dari omongan orang lain. Tuhan yang punya kuasa atas segalanya. Aku benar-benar bersyukur, sangat bersyukur bahwa aku bisa, meski aku nggak yakin komentar mereka akan berhenti sampai di sini. Ke depannya, pasti akan tetap ada komentar-komentar baru. Aku harus bisa kebal. 

Sabtu, 22 Januari 2022 0 komentar

Minggu-Minggu Menjelang Persalinan

Sudah sebelas hari sejak aku resmi cuti dari kantor. Sebenarnya dengan hari kelahiran bayi yang diperkirakan jatuh pada tanggal 30 Januari, aku berencana mengajukan cuti mulai tanggal 18 Januari. Maksudnya agar tanggalnya nggak terlalu jauh dari HPL, sehingga aku bisa berada di rumah lebih lama selama waktu pemulihan setelah melahirkan. Namun Dokter Wildan menyarankanku untuk mengambil cuti lebih awal.
"Karena ibu hamil itu nggak hanya butuh mempersiapkan materi, tapi juga fisik dan mental. Jangan sampai ketika mendekati HPL, bumil terlalu capek dan banyak pikiran karena pengaruh omongan sana-sini", katanya.

Akhirnya, aku pun merevisi surat cutiku. Tanggal cuti yang semula dimulai pada tanggal 18 kumajukan ke tanggal 11, itu pun nggak langsung di-acc karena Pak Teguh memintaku untuk bekerja satu hari lagi lantaran karyawan penggantiku dikhawatirkan belum begitu memahami job desk-nya. 

Jadi, sejak akhir bulan Desember lalu, kami mulai sibuk merekrut karyawan baru untuk meng-handle pekerjaanku selama aku cuti. Aku bertugas memasang iklan lowongan kerja dan memberikan tes komputer, Pak Ben bertugas menyortir lamaran yang masuk dan memberi tes tertulis, sementara Pak Teguh dan Pak Faisal yang mewawancarai para calon karyawan. 

Meski peminat untuk posisi Staf Admin sangat bejibun, namun mendapatkan kandidat yang cocok rasanya lumayan sulit. Ada yang nggak meminta upah tinggi dan nggak keberatan dengan ketentuan perusahaan namun hasil tesnya kurang baik. Ada yang sesuai kriteria namun keberatan dengan ketentuan perusahaan. Ada yang hasil tesnya baik tapi mengajukan gaji yang tinggi. Ada pula yang hasil tesnya kurang baik tapi berani meminta gaji tinggi. Wkwkwk.

Karena sulit mendapatkan kandidat yang benar-benar cocok, akhirnya kami pun memilih untuk memanggil calon karyawan dengan hasil tes yang dinilai cukup. Hari Senin tanggal 10 Januari, penandatanganan surat kontrak kerja dan serah terima jabatan pun dilakukan. Nama karyawan baru itu, Diah. Hari itu, dari pagi sampai sore aku sibuk menjelaskan apa-apa aja tugas yang kukerjakan setiap harinya yang nantinya akan ia handle selama aku cuti. Namun tampaknya ia masih bingung, sehingga sore harinya, ketika aku berpamitan pada Pak Teguh, atasanku itu memintaku untuk bekerja satu hari lagi untuk memastikan bahwa Diah sudah benar-benar paham dengan tugasnya.
"Kali ini Putri hanya mengawasi aja, biar dia yang kerjakan tugasnya", kata beliau. Akhirnya aku menyetujuinya. Keesokan harinya, aku membiarkan Diah mengerjakan sendiri tugasnya, sementara aku hanya mengawasi, membimbing, dan mengoreksi apabila ada sesuatu dari tugasnya yang belum dikerjakan dengan benar. Berbeda dengan hari kemarin yang benar-benar sibuk, hari Selasa itu aku benar-benar kebanyakan nganggur sehingga waktu terasa berjalan sangat lambat.

Jujur, menghabiskan waktu di rumah tentunya membuatku cukup jenuh dan kesepian. Meski memiliki banyak waktu untuk melakukan senam hamil, tapi entah kenapa rasanya lebih menyenangkan 'berolahraga' dengan berjalan bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan lain seperti yang biasa kulakukan di kantor. Wkwk. Tapi di sisi lain, ada baiknya juga sih aku mengambil cuti lebih cepat, pasalnya belakangan ini kulit wajahku breakout parah sehingga membuatku nggak PD untuk bertemu orang lain.

Duluuuu sebelum menikah dan akhirnya hamil, aku mengira bahwa keluhan wanita hamil hanya sebatas pada perut yang membuncit, mual muntah, berat badan meningkat, dan kaki bengkak. Tapi ternyata, setelah mengalaminya sendiri, realitanya keluhan ibu hamil bisa bermacam-macam dan lebih dari itu. Selain berbagai hal tadi, aku juga mengalami sakit gigi, migrain, pusing, napas terasa engap, nyeri punggung dan selangkangan, perut ngilu, dan yah.. kulit kering dan gatal.

Mula-mula hanya masalah kulit kering dan mengelupas di bawah mata. Keluhan ini muncul ketika usia kehamilanku memasuki delapan bulan. Namun lama kelamaan, area tersebut terasa gatal, mendorongku untuk menggaruk hingga akhirnya timbul luka. Seiring bertambahnya usia kehamilan, kulit kering dan gatal itu terasa semakin parah hingga meninggalkan bekas berwarna merah kehitaman. Di hari-hari terakhir aku ngantor, teman-temanku sudah memperhatikan kondisi kulitku itu. Beberapa mengira aku kena herpes, sementara ibuku bilang wajahku terlihat seperti wanita yang babak belur karena KDRT. Huhu..

Dokter Wildan menyarankanku untuk berkonsultasi ke dokter kulit. Awalnya aku berpikir nggak perlu, karena dari yang aku dengar dan aku baca katanya kondisi ini muncul karena hormon kehamilan. Aku pikir toh sebentar lagi aku akan melahirkan dan kondisi kulitku akan kembali normal. Lagipula berkonsultasi dan berobat ke dokter kulit tentunya memerlukan biaya yang nggak sedikit. Sayang uangnya. Namun karena kondisinya semakin parah dan membuatku uring-uringan, aku pun akhirnya memutuskan untuk mengkonsultasikan kondisi kulitku ke salah satu klinik kecantikan di kotaku secara online. Dari reviewnya sih, klinik ini cukup bagus dan terkenal karena memiliki beberapa cabang di kota lain, selain itu harga resepnya pun nggak terlalu mahal.

Namun rupanya, pelayanan klinik yang kuharapkan bisa menangani permasalahanku dengan cepat itu nggak sesuai ekspektasi. Aku mengajukan permintaan konsultasi pada hari Rabu 12 Januari, dan baru ditanggapi keesokan harinya. Itu pun responnya lambat sekali hingga aku merasa akan meledak. Bayangkan, aku mengajukan permintaan konsultasi di hari Rabu, dan baru menerima resep yang kubutuhkan pada hari Sabtu :')

Dari konsultasi itu, aku menerima satu botol sabun pembersih wajah, satu botol toner, dan dua krim wajah. Sejauh ini, semua itu belum memberi hasil yang signifikan. Tapi alhamdulillah aku merasa kondisi kulitku cukup membaik meski jejak-jejak berwarna merah kehitaman itu belum hilang dan kini terlihat seperti bekas luka bakar. Ya Allah, sabar, sabar :')

Dan oh ya, tanggal 17 lalu, untuk pertama kalinya aku merasakan gelombang cinta dari Si Kecil. Malam itu, aku merasakan kram yang cukup hebat di sekitar perut. Rasa kram itu bukan hanya kurasakan di area perut bawah, tapi juga menjalar hingga pinggang, punggung, dan kaki, persis seperti nyeri haid hari pertama. Senyum Mas merekah. Ia memang sangat menantikan kelahiran bayi kami, namun ia juga tampak bingung dengan apa yang harus kami lakukan. Apakah kami perlu segera ke bidan saat itu juga?
"Nanti aja, Mas", ucapku sambil menahan sakit. Aku masih yakin ini belum saatnya. Selama belum muncul flek (seperti yang kudengar dan kubaca dari berbagai sumber), sepertinya kami harus menahan diri. Alhasil, malam itu Mas hanya bisa menenangkan seraya mengelus-elus pinggangku

Hingga lebih dari pukul tiga dini hari aku sulit sekali untuk tidur, karena disamping merasakan kontraksi yang hilang timbul, aku juga terus menerus ke toilet untuk buang air kecil. Kontraksi yang aku rasakan bisa dibilang cukup intens. Frekuensinya bisa mencapai tiga sampai lima menit tiap waktu dua menit hingga aku merasa bayi kami mungkin akan lahir hari itu juga. 

Namun hingga hari ini, gelombang cinta selanjutnya belum lagi aku rasakan. Padahal waktu itu aku sudah yakin sekali bahwa aku akan melahirkan dalam waktu dekat. Mungkin memang belum saatnya kali yah. Toh, HPL-nya masih satu minggu lagi. Jujur aku cemas, namun tetap berusaha untuk tenang dan nggak terlalu overthinking. Semoga semuanya akan baik-baik aja.

Total Tayangan Halaman

 
;