Aku bersyukur karena
minggu pertama di bulan Maret ini berjalan dengan cukup baik. Yup, dua hari
terakhir di minggu pertama bulan Maret ini, aku dan keluarga besar ibuku
melakukan family trip ke Karawang,
Bekasi, dan Jakarta. Well, sebenernya sih tujuan utamanya ke
Jakarta, hanya aja kami perlu mengunjungi keluarga Om Ade di Karawang dan
jalan-jalan ke Bekasi. Ini pertama kalinya kami jalan-jalan ke luar kota lagi
setelah terakhir kali kami melakukannya di tahun 2013 (waktu itu ke The Jungle,
Bogor), dan lagi-lagi—of course and
always—Bibi Cicih yang ngajak. Hanya aja waktu itu cuma sedikit anggota
keluarga ibu yang bisa ikut. Kali ini semuanya bisa ikut, kecuali Om Herman.
Hari Jum’at malam itu,
aku, adikku, dan ibu nginep di rumah nenek. Kemudian jam dua dini hari kami
mandi dan bersiap-siap. Untuk membawa kami sekeluarga, Bibi Cicih menyewa
sebuah mobil travel yang sekilas mengingatkan aku sama Mystery Machine—mobil
yang dipake Scooby Doo itu—ketika pertama kali ngeliat. Coz kalo dilihat sekilas bentuknya kayak mobil VW Kombi gitu, dan
warnanya biru laut. Haha..
Mobil itu berkapasitas
penumpang kurang lebih delapan belas orang, lebih dari cukup untuk kami yang
berjumlah dua belas orang, yakni aku, ibu, adikku, nenek, Bibi Cicih, Rizki,
Fahrul, Wak Agus, Wak Ning, Agis, Bibi Elly, dan Gege. Bagian dalamnya cukup
nyaman. Jarak antar tempat duduk depan-belakang cukup jauh, sehingga kalo
sandaran kursinya mau dibuat miring pun nggak begitu mengganggu kenyamanan penumpang
di belakang. Sayangnya bagian luar mobilnya berdebu gitu deh, dan nggak ada
fasilitas Wi-Fi seperti yang tertera di stiker yang ditempel di kaca samping
mobil.
Kami berangkat kurang
lebih jam tiga lebih sepuluh menit, dini hari. Aku duduk di kursi ketiga dari
depan bareng ibuku dan Wak Ning, dan seperti biasa di samping jendela. Hehehe..
Sepanjang jalan aku nggak
ngapa-ngapain selain menikmati pemandangan di luar sambil denger musik pake earphone. Setelah menempuh perjalanan selama kurang
lebih dua jam, kami berhenti di sebuah rest
area dimana disitu berdiri sebuah masjid besar. Aku nggak tau sih saat itu
kami berada dimana, coz aku nggak
menemukan keterangan apapun di tempat itu.
Kami turun dan sholat
Subuh di masjid itu. Masjid yang didominasi warna hijau itu lumayan besar
dan bersih. Langit-langit bagian dalam masjid yang berbentuk cekungan
dikelilingi berbagai kaligrafi, salah satunya kaligrafi Ayat Kursi. Setelah
sholat Subuh, kami melanjutkan perjalanan, dan akhirnya tiba di tempat
tujuan—rumah Om Ade—sekitar jam tujuh pagi. Itupun lumayan susah cari rumahnya,
coz kami memang rada lupa jalannya
karena udah lama nggak kesana.
Kedatangan kami disambut
sama Tante Dini yang lagi sendirian di rumah, coz saat itu Om Ade udah berangkat kerja dan Alip udah berangkat
sekolah. Tante Dini baik banget, pake nyiapin brownies kukus buat kami. Tau aja
kalo ada brownies lover disini. Hehe..
Di ruang tamu yang nggak
cukup besar itu, kami duduk dan ngobrol-ngobrol sambil mencicipi brownies enak buatan
Tante Dini dan ngemil-ngemil.
Di tengah acara
ngobrol-ngobrol itu, perutku tiba-tiba sakit. Kayaknya masuk angin gitu deh.
“Tiduran di kamar aja.
Disitu juga ada TV kok,” kata Tante Dini.
Jadi ya udah deh, aku
tiduran di kamar itu ditemani ibu. Eh, nggak taunya beberapa menit kemudian,
kamar itu udah penuh lagi sama beberapa orang sodaraku yang ikut tidur-tiduran
disitu. Hahaha..
Karena BT nggak ada acara
TV yang bagus, Gege mengusulkan buat nonton film. Kebetulan Alip punya cukup
banyak koleksi DVD film. Kami sampe bingung mau nonton film apa. Tadinya sih
kami mau nonton Fast and Furious 7, tapi akhirnya batal karena subtitle-nya tenggelam (terlalu kebawah
gitu, jadi nggak kelihatan di layar). Akhirnya kami nonton film Vision. Tapi
baru nonton beberapa menit, eh aku malah ketiduran, dan pas bangun ternyata
sodara-sodaraku yang tadi nonton film bareng juga pada tidur. Jiahaha..
Sekitar jam dua sore,
kami semua jalan-jalan. Kali ini, kami jalan-jalan berempat belas orang—karena
ditambah Alip dan Tante Dini. Awalnya aku kira, kami bakal jalan-jalan buat
ngeliat air terjun (coz aku sempat
denger Tante Dini ngobrolin tentang salah satu wisata air terjun di daerah
itu). Eh, nggak taunya mobil kami terus meluncur sampe Bekasi, dan baru aku tau
kalo kami bakal mengunjungi salah satu mall besar disana.
Waktu itu aku pikir,
ngapain jauh-jauh ke Bekasi kalo cuma mau ke mall? Tapi ibuku bilang kalo mungkin
Bibi Cicih mau nostalgia waktu Om Sukim masih ada dan waktu keluarganya masih
tinggal di kota itu. Jadi deh kami keliling-keliling nggak jelas di salah satu
mall disana. Kami sempat sih mampir di salah satu resto chinese food disana, tapi cuma buat nemenin Rizki yang merengek
minta makan disitu. Nyesel juga kami mampir kesitu, abisnya menunya mahal-mahal
banget. Air mineral aja harganya sepuluh ribu, dan es teh harganya belasan
ribu. Yah, emang sih disitu namanya ‘iced
tea’ bukan ‘es teh’ walaupun rasanya sama aja kayak di warteg, tapi mahal
-_- Sambil nunggu Rizki makan, kami minum jus dan nyicip jamur enoki goreng dan
makanan sejenis omlet yang disiram saus Thai gitu (entah apa namanya, tapi enak
sih, walau makannya repot karena kudu pake sumpit). Kami baru pulang dari mall
itu sekitar jam enam sore.
Besoknya, pagi-pagi
banget kami prepare buat perjalanan
ke tujuan utama kami : Jakarta. Aku mandi agak terlambat, dan pas masuk kamar
mandi, aku agak shocked ngeliat
gentong penampung air yang penuh dengan air keruh, dan ternyata memang air yang
mengucur dari kran itu nggak jernih. Untung aja di kamar mandi itu ada dua buah
gentong, dan gentong yang satunya itu terisi dengan air yang lebih jernih
dibanding gentong dengan air keruh tadi. Jadi aku mandi pake air dari gentong
yang satunya itu tadi. Anyway, aku
bersyukur karena aku tinggal di daerah yang dimana air bersih masih mudah
didapat.
Sekitar jam enam pagi,
mobil kami meninggalkan Karawang. Kali ini Tante Dini dan Alip nggak ikut,
giliran Om Ade yang ikut. Kami meluncur menuju pusat kota Jakarta, tepatnya ke
kawasan Monumen Nasional atau Monas. Sepanjang jalan aku nggak berhenti-berhenti
memandang ke luar jendela. Takjub gitu ngeliat gedung-gedung tinggi. Maklum, di
daerah tempat tinggalku, gedung tertinggi yang pernah kulihat paling cuma Hotel
Apita, Hotel Aston, dan Hotel Metland. Yup, semuanya hotel, dan itupun nggak
ada yang namanya ‘gedung kembar’. Beda sama Bekasi dan Jakarta yang bukan hotel
doang yang punya gedung tinggi, tapi juga gedung-gedung perkantoran, kampus dan
apartemen, dan dalam satu nama gedung aja, bangunannya bisa lebih dari tiga
(yang aku sebut gedung kembar tadi). Tapi bukan berarti aku berharap Cirebon
bisa kayak Bekasi dan Jakarta. Aku justru berharap Cirebon tetep kayak gini
aja, nggak banyak-banyak banget gedung-gedung tingginya. Aku nggak mau Cirebon
jadi makin panas dan makin macet. Ngomong-ngomong soal macet, perjalanan kami
ke Jakarta alhamdulillah lancar jaya. Kami sama sekali nggak terjebak macet.
Beda sama kunjunganku bareng teman-teman kampus ke studio Trans Corp dua tahun
yang lalu. Haaah.. jangan tanya deeh..
Kami tiba di tempat
tujuan sekitar jam delapan pagi. Sopir kami memarkir mobil di kawasan Lenggang
Jakarta. Dari situ, kami berjalan kaki menuju kawasan Monas sambil
melihat-lihat aktifitas warga Jakarta di hari Minggu. Yup, namanya juga akhir
pekan, kawasan itu bisa dibilang sangat ramai saat itu dimana sebagian warga Jakarta
menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, pacar, atau bahkan sendirian. Yah,
nggak cuma warga Jakarta aja sih, tapi banyak juga pengunjung dari luar daerah
kayak kami ini. Wisatawan asing juga ada. Aktifitas di Lenggang Jakarta ini
mengingatkanku sama aktifitas di kawasan alun-alun dan balai kota Cirebon. Pasalnya
di kawasan ini banyak pedagang yang menjajakkan dagangannya dan berbagai
aktifitas pengunjung mulai dari jogging,
bersepeda, makan, main sepatu roda, ataupun sekedar jalan-jalan.
Sesampainya
di kawasan Monas, kami pun berfoto-foto. Beberapa orang dari kami juga ada yang
ngemil-ngemil dan minum susu hangat. Kemudian sekitar jam sembilan, Bibi Cicih
mengajak kami naik ke puncak Monas. Mendengar ajakan itu, aku excited banget. Aku udah cukup lama
penasaran sama pemandangan dari atas sana, dan kali ini aku nggak akan
penasaran lagi (meskipun awalnya sempat ragu karena takut biaya masuknya
mahal).
That's my real face. I swear it :p |
Keluarga kami nggak
semuanya ikut naik, melainkan cuma beberapa, yakni cuma aku, adikku, Bibi Cicih,
Rizki, Fahrul, Gege, dan Agis. Kami bertujuh masuk bersama para pengunjung
lainnya melalui pintu masuk yang berupa terowongan bawah tanah yang terletak di
seberang tugu Monas, tepatnya di dekat patung Pangeran Diponegoro. Disana ada
tangga menurun menuju loket, dan di loket itulah kami mengantre untuk membeli
tiket masuk. Awalnya kami pikir harga tiketnya berapa puluh ribu gitu, nggak
taunya cuma dua ribu rupiah untuk pelajar dan sepuluh ribu rupiah untuk umum.
Setelah itu, kami berjalan menelusuri terowongan sampe akhirnya kembali naik ke
permukaan tanah dan disambut sama pemandangan relief-relief sejarah perjuangan
Indonesia yang terletak di setiap sudut halaman luar tugu Monas.
Sebelum benar-benar naik
ke puncak tugu, kami sempat melihat-lihat kedalam Museum Sejarah Nasional.
Museum itu berupa ruangan besar berlapis marmer yang menampilkan
diorama-diorama sejarah Indonesia sejak jaman pra sejarah sampe jaman Orde
Baru. Kemudian dari museum itu, kami menaiki tangga menuju pintu masuk tugu
Monas, dan.. daaaaaammmmnnnn.. antreannya
panjang banget! Dan aku beserta kelima sodaraku merasa haus berat. Celakanya,
kami nggak bawa air minum selain dua gelas air mineral yang dibawa adikku. Alhasil
kami harus membagi air itu, satu gelas untuk tiga orang. Hahaha.. Tapi akhirnya
kami dapet dua botol air mineral dingin juga sih. Nggak tau tuh dari siapa. Aku
pikir kayaknya sih Bibi Cicih yang beliin.
Antrean menuju puncak
Monas itu terdiri dari dua saf, dan dua-duanya panjang banget, sehingga kami
terpaksa menunggu sangat lama. Saking lamanya, banyak pengunjung yang
berguguran. Bukan, bukan karena mereka pingsan kayak kalo lagi ngantre sembako, melainkan
karena mereka membatalkan niat mereka untuk masuk kesana, termasuk beberapa
pengunjung yang berbaris didepanku. Tapi aku dan sodara-sodaraku nggak
mengikuti jejak mereka. Kami tetap sabar mengantre. Yah, sayang juga uang untuk
beli tiketnya kalo sampe terbuang percuma gitu. Lagian aku mengantre bareng
sodara-sodaraku, dan kami juga cukup terhibur dengan lagu-lagu nasional yang
mengalun dari speaker dan hal-hal
yang terjadi di sekitar kami, jadi selama mengantre nggak bete-bete banget.
Aku berbaris di belakang
dua laki-laki yang kalo aku dengar dari logat dan bahasanya itu sepertinya
berasal dari Tegal. Selama mengantre, mereka lebih sering jongkok, lalu
sesekali berdiri dan jongkok lagi. Mungkin karena capek nunggu lama. Mereka
berdua juga saling bercanda-bercanda garing satu sama lain, sampe kemudian
ketika salah satu dari mereka ngomong.. BRUT!
Salah satu dari mereka
kentut! Aku yang tepat berdiri di belakang mereka spontan membalikkan badanku
buat menyembunyikan tawa yang bener-bener nggak bisa kutahan. Sepupu-sepupuku
yang mendengar suara ‘ledakan’ itu juga pada ketawa-ketawa gitu.
Trus pas lagi ngantre kan
ada dua cewek lewat, salah satunya itu albino. Eh, Rizki—sepupuku yang masih
kelas lima SD—nyeletuk gini, “Itu pasti korban kebakaran.” Geezz.. Jelas aja kami ketawa geli. Kemudian Gege menjelaskan bahwa
orang itu mengalami kelainan gen, bukan korban kebakaran. Entah Rizki ngerti
atau enggak. Lalu ada juga sepasang anak kecil yang bertingkah seperti orang
pacaran. Adikku yang ngeliat mereka kemudian berpura-pura jadi dubber gitu dengan bikin percakapan
antara mereka berdua dari bahasa tubuh mereka.
Kami mengantre selama
lebih dari dua jam. Kami mulai mengantre sekitar jam sembilan, dan baru naik ke
Monumen Nasional menjelang Dzuhur. Didalam pintu masuk menuju naik itu terdapat
sebuah tangga dan penunjuk arah menuju Ruang Kemerdekaan. Masuk sedikit, ada
elevator (lift) dan tangga lain. Elevatornya cuma satu, dan kapasitasnya kurang
lebih sebelas orang, jadi of course
kami harus naik dan turun bergantian.
Finally, sampailah kami di puncak Monas. Pemandangan di pelataran
puncak Monas rupanya kontras dengan pemandangan di bawah tadi. Berbeda dengan
pemandangan dibawah yang penuh dengan antrean pengunjung, pelataran puncak
terlihat lebih sepi karena memang tempat ini cuma menampung sekitar lima puluh
orang. Dengan kata lain, kapasitasnya terbatas sehingga pengunjung yang berada
didalamnya pun dibatasi waktu.
Memang ya sepertinya
batas waktu yang dikasih selama di pelataran puncak itu nggak sebanding dengan
waktu yang kita habiskan selama mengantre, but
however, pengalaman naik ke salah satu bangunan kebanggaan Indonesia ini
jadi salah satu pengalaman yang cukup berharga (seenggaknya buatku, karena ini
pertama kalinya aku ngeliat pemandangan dari ketinggian ratusan meter.
Awalnya aku pikir
pelataran puncak itu dikelilingi dinding kaca gitu. Tapi ternyata aku salah.
Pelataran itu dikelilingi dinding marmer setinggi sekitar satu setengah meter
dan jeruji-jeruji (atau entah apa namanya) diatas dinding itu. Beruntunglah
mereka yang memiliki tubuh tinggi semampai. Mereka bisa dengan bebas menikmati
panorama Jakarta dari sudut mana aja. Berbeda dengan aku yang harus
jinjit-jinjit gitu. Memang sih disitu disediakan semacam tangga besi gitu buat
para pengunjung yang kurang tinggi, ada juga beberapa teropong, tapi kan kita
harus gantian sama pengunjung yang lain, nggak boleh egois dengan memuaskan
diri sendiri.
Anyway, pemandangan dari atas sana luar biasa indah meskipun saat
itu langit Jakarta diselimuti kabut dan awan mendung. Andai aja naik kesananya
pas malam hari, pasti keindahannya bakal bertambah dua kali lipat dimana kita
disuguhi pemandangan Jakarta yang terang benderang dengan lampu warna warni.
Huaaahh..
Setelah puas menikmati
panorama Jakarta dari atas, kami pun turun. Berbeda dengan saat naik, kami
turun lebih cepat karena nggak harus mengantre panjang. Oh ya, buat yang punya
kesempatan naik ke puncak Monas, simpan tiket masuknya baik-baik karena tiket
itu nantinya bisa kita gunakan untuk menumpang kereta mini yang disediakan
untuk mengantar penumpang berkeliling kawasan Monas dan Lenggang Jakarta, jadi
kita nggak perlu capek-capek berjalan kaki. Tadinya aku dan sodara-sodaraku
juga mau naik kereta itu, hanya aja sayangnya tiket milik Rizki hilang. Kami
nggak mau egois dengan meninggalkan dia, apalagi dia masih kelas lima SD, kan
kasian kalo ditinggal gitu. Alhasil kami berjalan kaki sampe ke kawasan parkir Lenggang
Jakarta, tempat dimana mobil kami diparkir dan anggota keluarga kami yang lain
menunggu. Asli, capek banget, dan haus banget. Udah gitu pundakku juga sakit
karena bawa ransel. Untung aja adikku mau berbaik hati bawain. Hehehe..
After that, kami meluncur ke Ancol. Biaya masuknya tiga ratus empat
puluh lima ribu rupiah untuk tiga belas orang. Awalnya lumayan susah juga cari
tempat karena dimana-mana penuh (maklum, weekend),
tapi akhirnya kami dapat juga tempat parkir, yakni di pinggir jalan depan area
pantai deket dua romantic seat gitu.
Dibawah sebuah pohon, kami
menggelar dua karpet dan makan siang bareng disitu. Setelah itu kami
berfoto-foto dan main air di area pantai. Awalnya aku main-main bareng
sodara-sodaraku, tapi semakin siang kami berpisah, ada yang tidur-tiduran, ada
yang jajan ke McD, ada yang main air.. Aku sendiri memilih duduk sendirian
menghadap pantai sambil dengerin lagu Summer Paradise. Well, meskipun lagu ini bertema pantai, tapi sebenernya lagu ini
lebih cocok untuk mengenang kebersamaan di pantai bareng pasangan kali ya.
Sementara aku pribadi nggak pernah punya kenangan semacam itu. Hahaha.. But whatever..
Sore harinya, aku, Gege,
Bibi Elly, dan Agis mencoba naik perahu tradisional. Tarif naik perahu itu
sepuluh ribu rupiah perorang untuk satu kali putaran., dan kapasitas
penumpangnya kurang lebih mungkin dua puluh orang. Tapi waktu kami naik cuma
ada beberapa orang aja sih, yah tiga belas orang kalo nggak salah. I dunno exactly.
Perahu itu dijalankan
dengan mesin oleh dua orang awak perahu. Kami dibawa berkeliling di laut pantai
Ancol selama sekitar lima belas menit. Yah, cukuplah untuk menikmati semilir
angin dan riak gelombang laut. Aku paling suka kalo gelombang lautnya agak gede
gitu, perahunya jadi goyang-goyang. Seru deh. Kami kembali ke daratan sekitar
jam lima sore, dan semburat keunguan udah terlihat melintang di kaki langit. Sayang
banget kami nggak sempet ngeliat sunset
karena kami udah harus kembali ke Cirebon. Sayang banget.
Kepulangan kami diiringi
gerimis. Dan ketika mobil kami meninggalkan Karawang setelah nganterin Om Ade
pulang ke rumahnya, gerimis itu berubah menjadi hujan deras. Seperti biasa,
sepanjang jalan aku dengerin musik dan nggak kerasa, aku pun tidur. Ketika
bangun, mobil kami rupanya udah meluncur di kawasan Kanggraksan yang mana
berarti kami udah tiba di Cirebon. Ketika bangun juga aku rada upset karena earphone-ku rusak tanpa sebab. Nggak bersuara gitu deh. Aneh,
padahal nggak ketarik-tarik lho. Haiisshh..
Kami tiba di rumah nenek
sekitar jam sepuluh malam. Karena malam udah mulai larut, aku, ibu dan adikku
jadi baru pulang keesokan harinya.
That’s all folks! Intinya aku cukup puas dengan perjalanan kemarin
itu. Yah, seenggaknya lebih baik daripada kurang piknik. Haha..
NB : Thanks to One Ok Rock dan L’arc~n~Ciel yang udah menemaniku selama
perjalanan dengan lagu-lagunya d^_^b
Oh ya, untuk yang mau membeli minum di kawasan Monas, berhati-hati ya, coz di kawasan ini kabarnya banyak pedagang kaki lima nakal yang menjual minuman dengan air yang berasal dari limbah dan air bekas minum orang lain. Jadi alangkah lebih baik kalo kita bawa minum sendiri, atau kalo enggak, beli air minum dalam kemasan tersegel aja :)
0 komentar:
Posting Komentar