Alhamdulillah,
aku, Pak Faisal, dan teman-teman dari MusTanG tiba di Pekanbaru dengan selamat.
Rasanya hampir nggak percaya bahwa akhirnya aku menjejakkan kedua kaki ini
disana. Ini perjalanan terjauhku dalam dua puluh empat tahun aku hidup, dan
mungkin juga perjalanan terjauh bagi beberapa orang lainnya dalam rombongan
kami.
Well, cerita kali ini bakal cukup
panjang.
***
Jum’at, 14 September.
Sekitar jam setengah
delapan pagi, kami turun untuk sarapan. Aku nggak makan banyak. Cuma beberapa
potong melon, sepiring omelet, dan seiris puding mangga. Perutku nggak karuan
rasanya. Begah gitu. Makanya makan pun males banget. Aku nggak ingat kalo hari itu jadwal kami bakal
sangat padat.
Pagi itu,
aku dan teman-teman MusTanG mengenakan kaos seragam band kami, kecuali Dhea
(dia mengaku kaosnya tertinggal). Setelah sarapan, kami check-out dari Hotel Amaris dan menuju kantor cabang Pekanbaru. Begitu
keluar dari hotel, aku dan Pak Faisal dibuat tersenyum ketika melihat warna
angkot di Pekanbaru yang rupanya sama dengan warna angkot di Cirebon, biru
telur asin. Di kanan kiri jalan pun rupanya banyak toko dan rumah makan dengan
nama yang Jawa banget. Jadi meskipun sedang berada di pulau orang, rasanya
nggak jauh beda dengan di pulau Jawa. Dan rupanya bukan cuma aku yang merasakan
itu, tapi juga teman-temanku yang lain. Ya iya lah ya.. Kayaknya meski berada
di pulau lain, tapi selama itu masih di Indonesia, rasanya mungkin nggak akan
jauh berbeda dengan berada di pulau sendiri. Kecuali kalo melancong ke luar
negeri. Wah, kalo itu udah pasti bakal terasa banget bedanya.
Mobil kami
meluncur membelah pusat kota. Sepanjang perjalanan, mata kami dimanjakan dengan
arsitektur gedung-gedung pemerintahan Pekanbaru yang berdesain unik dan megah.
Misalnya kantor Badan Perpustakaan dan Kearsipan, dan kantor Gubernur Riau.Fly-over nya pun diwarnai dengan warna
biru dan emas, dan ada motifnya gitu. Cantik deh. Tata kotanya benar-benar
mengagumkan. Dan satu lagi, meski merupakan ibukota, namun jalannya cukup
bersih. Entah kami yang nggak melihat atau gimana, tapi kami nggak menemukan
ada sampah menumpuk di pinggir jalan. Salut.
Akhirnya
tiba juga lah kami di kantor
cabang Pekanbaru yang terletak
di kawasan jalan Tuanku Tambusai. Kami memasuki showroom depan, menyalami pramuniaga yang berjaga, lalu terus ke
ruang selanjutnya. Di ruang itu kami bertemu tiga orang karyawan yang salah
satunya menyambut kami dengan suara riang.
“Ah, ada
artis! Ini nih vokalisnya. Ntar mau request
ah”, celetuknya. Ia cewek berhijab, mungkin seumuran denganku. Wajahnya lumayan
cantik, dan suaranya cempreng, cocok dengan tubuhnya yang mungil. Ia
mengingatkanku pada Arafah Rianti, komika yang terkenal itu. Dari sikapnya, aku
yakin dia adalah tipe orang yang mudah akrab dengan siapapun. Sejenak aku heran
darimana dia tau aku vokalis, namun kemudian aku menyadari bahwa mungkin ia
melihat dari kaos band yang aku
dan teman-teman MusTanG kenakan.
Kemudian
kami naik ke lantai dua. Disana, beberapa orang karyawan tampak tengah
berjoget-joget mengikuti alunan musik dangdut di sebuah ruangan yang lebih
lapang dari ruangan lainnya (semacam ruang pertemuan).
"Bukan satu kali kamu buat begini..
Bukan satu kali kamu bikin makan hati..
Kalau terus begini serong kanan cari lain
lebih baik.."
Aku dan
teman-teman berpandang-pandangan.
Jam kerja begini kok karyawan nyantai banget
pada joget-joget di kantor?
Kemudian
kami masuk ke ruang kerja Pak Yosep. Disana, kami ngobrol-ngobrol sebentar. Pak
Yosep memperkenalkan kami pada Bu Leni, selaku HRD kantor cabang Pekanbaru.
Beliau juga memberi kami multivitamin agar tubuh kami fit saat manggung nanti.
Bu Leni ini
blasteran Jawa-Minang. Ibunya dari Jawa, dan bapaknya asal Solok. Hari itu
beliau tampak cantik dan anggun dengan baju merah dan rok panjang beserta
kerudung dengan warna senada. Tutur katanya halus dan sikapnya ramah. Beliau
mengajak kami berkeliling kantor dan memperkenalkan kami pada seluruh karyawan
disana. Aku tersenyum lega dan senang. Sambutan di kantor cabang Pekanbaru ini ramah
banget, nggak beda jauh dengan waktu hari pertama aku bekerja di kantor cabang
Cirebon. Itulah faktor yang bikin aku betah bekerja di perusahaan tempat
bekerjaku yang sekarang. Orangnya ramah-ramah. Aku jadi merasa hangat.
Setelah
berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya, aku, Mas Win, Ryan, dan Mas
Febri berkumpul di ruang Admin Marketing & Purchasing yang terletak di
samping ruang pertemuan tadi. Dari situ kami bisa melihat aktifitas para
karyawan—sales, lebih tepatnya—yang masih berjoget-joget dengan lagu yang sama.
“Ini memang
tiap hari nyantai begini kerjanya, Kak?” tanyaku pada Admin Marketing yang saat
itu tengah sibuk dengan komputernya, tapi masih ramah meladeni kami. Namanya
Ana. Ia cantik, dan wajahnya mirip dengan Bu Hanny, Staff Akunting di kantor
kami di Cirebon. Teman-teman MusTanG pun setuju dengan hal itu.
“Oh enggak.
Ini karena besok ada acara aja. Mereka ini lagi bikin yel-yel”, jelasnya. Aku
manggut-manggut. Selanjutnya, kami jadi asik memperhatikan para sales itu
berjoget.
“Put, ntar
jangan bilang-bilang ke yang lain ya kalo disini bikin yel-yelnya kayak gini.
Nanti disana juga ikutan lagi, trus saya disuruh joget-joget kayak gini”,
celetuk Ryan.
“Ya gapapa.
Bagus malah, kreatif gitu,” kataku.
“Mas Win,
ikutan, Mas Win!” seruku pada Mas Win yang fokus liatin orang joget. Padahal
aku becanda doang. Eh, dia ngikutin, masa. Dengan pedenya gabung sama mereka
dan bergerak mengikuti koreografi.
Beberapa detik kemudian, aku tergoda untuk bergabung dengan mereka juga. Akuberdiri di sebelah Mas Win, dan mulai
mengikuti gerakan mereka. Bodo amat gerakanku ngaco. Well,sebenarnya ini salah satu upayaku untuk mengakrabkan diri dengan
mereka, biar pas manggung di hadapan mereka nanti aku nggak begitu canggung.
Sementara aku, Mas Win, dan yang lainnya bergerak mengikuti alunan musik, Ryan merekam
aksi kami dengan kamera hapenya.
“Hfff..capek juga ya”, kata Mas Win
sambil berkacak pinggang setelah satu lagu selesai.
“Iya, padahal bentar doang”,
sahutku. Kemudian kami kembali duduk dan memperhatikan aktifitas mereka.
Setelah itu, kami diajak duduk-duduk
di ruang HRD yang dihuni oleh Bu Leni sendiri. Dari banyaknya ruangan di gedung
itu, ruang inilah yang menurutku paling rapi dan nyaman. Disana kami disuguhi permen
jahe kelapa yang katanya merupakan favorit orang Pekanbaru. Rasanya unik sih, tapi
aku lebih suka permen jahe biasa ketimbang dengan campuran rasa kelapa. Beberapa
lama kemudian, kami pun pamit untuk check sound di lokasi dimana acara kantor
cabang Pekanbaru akan digelar. Alam Mayang.
Setibanya di Alam Mayang, kami
disambut oleh beberapa orang yang tengah duduk-duduk di area loket. Petugas ticketing mungkin? Entahlah.
“Kami mau check sound”, kata Pak Yosep pada mereka. Kemudian mereka mempersilahkan
mobil kami masuk.
“Wah, besok-besok kalo kesini lagi bilang
aja mau check sound gitu ya,” celetuk
Ryan.
“Hahaha.. biar masuknya gratis ya”.
Dianggapnya password apa gimana.
Alam Mayang merupakan salah satu
(atau mungkin satu-satunya, mengingat minimnya tempat wisata di Pekanbaru)
objek wisata di Pekanbaru yang memiliki konsep rekreasi di alam terbuka.
Letaknya di pinggir kota, namun masih bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Begitu
melalui gerbang masuk, kami disambut oleh pemandangan beberapa patung batu yang
menjadi ikon khas Alam Mayang. Namun
kami nggak sempat berfoto-foto disana karena diburu waktu.
Mobil kami berhenti di depan sebuah panggung kecil yang terletak di depan sebuah kolam besar. Panggung itu nggak kosong, ada sebuah band yang sedang ‘main’ disitu. Setelah mereka menyelesaikan satu lagu, mereka pun turun dan mempersilahkan kami untuk melakukan check sound. Kami pun lantas mengambil posisi masing-masing. Mister Chokai dan Mas Win mencoba-coba gitar, Ryan mencoba-coba bass, dan Mas Febri mencoba-coba drum, kecuali aku yang malah asyik memotret mereka dan memperhatikan panggung yang ternyata lebih kecil dari yang aku bayangkan. Kemudian kami pun mencoba membawakan tiga buah lagu. Sialnya, belum juga manggung beneran, aku udah nervous sehingga sempat lupa lirik beberapa kali. Ampun deh :’)
Check-sound |
Sekitar jam setengah dua belas, kami
pun kembali ke mobil dan meninggalkan Alam Mayang. Dari situ, kami
keliling-keliling mencari hotel untuk tempat kami menginap selanjutnya.
Pengennya Pak Yosep sih cari hotel yang dekat-dekat situ, tapi sayangnya nggak
ketemu. Karena udah mendekati waktu sholat Jum’at, akhirnya kami pun beralih
untuk mencari masjid.
Singkat cerita, mobil kami berhenti
di dekat salah satu masjid di Jalan Sekolah. Pak Yosep memarkirkan mobilnya di
parkiran sebuah bank yang saat itu tutup.
“Orang-orang Sumatra itu begini nih,
kalo waktunya sholat, bank dan toko-toko ditutup. Nanti setelah waktu sholat,
mereka baru buka lagi”, jelas Pak Yosep yang menambah penilaian positifku
tentang kota ini. Pak Faisal, Mister Chokai, Mas Win, Ryan, dan Mas Febri pun
bergegas menuju masjid, sementara aku dan Dhea tetap di mobil.
Sambil menunggu rekan-rekan yang
sholat Jum’at, kami pun meninggalkan tempat itu untuk mencari rumah makan.
Namun sebelum itu, Pak Yosep mengantar aku dan Dhea dulu ke pom bensin karena
kami kebelet pipis. Di toilet pom bensin, aku menemukan bahwa airnya keruh. Aku
hampir lupa bahwa Pekanbaru merupakan pusat pertambangan minyak, sehingga di
kota ini, air yang jernih sulit ditemukan.
Setelah itu, baru deh kami mencari
rumah makan. Aku dan Dhea terheran-heran ketika Pak Yosep membawa mobil kami berbelok ke sebuah tempat yang bisa dibilang
agak terpencil. Kanan kiri kebun, dan rumah penduduknya jarang-jarang.
“Mana ada rumah makan terkenal di
tempat kayak gini, Pak”, kata Dhea. Aku sendiri sependapat dengannya. Rupanya
Pak Yosep sendiri belum pernah kesitu. Beliau hanya mengikuti rekomendasi dari
Bu Leni. Akhirnya setelah beberapa ratus meter mobil kami meluncur dari jalan
besar, tampaklah sebuah bangunan sederhana dengan papan nama besar di atasnya
bertuliskan “RM Racha” lengkap dengan gambar berbagai jenis masakan yang
mungkin merupakan menu andalan mereka. Beberapa unit mobil dan motor terparkir
di halaman depannya yang nggak bisa dibilang luas. Aku terbengong-bengong. Pemikiran aku dan Dhea jelas
terpatahkan. Lingkungan di sekitarnya boleh sepi, tapi rumah makan itu bukan
main ramainya. Pak Yosep dan Dhea lalu turun buat booking tempat.
“Saya perlu
turun juga nggak nih?” tanyaku.
“Nggak usah,
tunggu disini aja. Bentaran doang kok,” jawab Dhea sambil menutup pintu mobil
dan berlalu kedalam rumah makan. Nggak berapa lama kemudian, mereka pun
kembali.
“Nggak bisa booking,” kata Dhea sambil masuk ke
dalam mobil.
“Jadi..?”
“Ya siapa
cepat, dia dapat.”
“Jadi ntar kita
makannya misah-misah dong ya.”
“Ya gitu
deh..”
Kami pun
kembali ke masjid tadi untuk menjemput rekan-rekan kami. Kami tiba tepat pada
waktunya, sholat Jum’at udah selesai.
“Siang ini
kita makan di rumah makan yang unik”, kata Pak Yosep setelah semuanya sempurna
masuk ke dalam mobil.
Singkat
cerita, mobil kami kembali berhenti di depan RM Racha. Kali ini Pak Yosep
memarkirkan mobil kami disitu. Hal pertama yang membuat rumah makan ini unik
adalah, kita harus melepas alas kaki saat masuk ke dalamnya. Di depan pintu
masuk ada rak sepatu, kita tinggal masukkan aja alas kaki kita disitu. Hal unik
kedua, disana nggak bisa booking
tempat duduk, sehingga kalo rumah makan penuh ya pengunjung yang mau makan
disitu harus rela menunggu. Dan kalo datangnya itu rombongan, maka harus rela makan
berpencar-pencar, kecuali kalo rombongan kita datangnya berbarengan dengan bubarnya
rombongan pengunjung lain yang makan dalam satu meja. Tapi ini kayaknya jarang
terjadi sih.
Rombongan
kami pun mengantre untuk mengambil makanan. FYI, menunya buanyaaaaak banget,
dan kita dipersilahkan untuk mengambil sendiri nasi dan lauknya, seperti
prasmanan pada hajatan. Kalo nggak biasa makan di rumah makan Minang, pasti
bingung deh mau ambil apa. Aku contohnya. Wkwkwk.. Alhasil aku hanya mengambil
telur dan sup daging sapi. Hanya aja, aku nggak tau kalo sup daging sapi itu
ngambilnya harus satu porsi gitu. Waktu lagi menyendokkan sup itu ke piring,
tiba-tiba abang pelayannya nyerobot dan bilang kalo sup itu dihitung satu
porsi. Ia lantas mengambilkan sup itu kedalam satu mangkuk, dan rupanya itu
lumayan banyak, bisa buat tiga orang. Tadinya niatnya sup itu mau dimakan
barengan bareng Mas Febri dan Ryan, coz
mereka juga sempat mau ambil sup itu. Eh nggak taunya, kami malah berpencar.
Mereka udah dapat tempat, sementara aku dan Dhea masih bingung mau makan dimana
karena hampir semua tempat udah terisi. Syukurlah, akhirnya kami dapat tempat kosong
di sebelah Pak Faisal. Alhasil, aku harus menghabiskan sup itu sendirian. Haaah..
aku rasa rumah makan itu butuh memperbesar tempat mereka. Ini pertama kalinya
aku makan di rumah makan dan dibikin bingung sama tempat, sampai muter-muter
gitu cari meja dan kursi kosong. Daaaan.. satu lagi minusnya adalah, pengunjung
diperbolehkan merokok di dalam ruangan. Itu sungguh mengurangi kenyamanan. Tapi
positifnya, masakan disana enak-enak, dan nasinya nggak ‘berderai’ seperti
kebanyakan nasi di wilayah Sumatra. Harganya pun muraaaaaahhh banget, dan
minumnya gratis dengan dua pilihan minuman, yakni es teh manis dan es mentimun.
Kami makan berdelapan orang cuma habis sekitar dua ratus ribuan. Benar-benar
murah.
Setelah
kenyang, kami pun melanjutkan perjalanan. Siang itu, Pak Yosep mengajak kami ke
pusat latihan gajah. Perjalanannya cukup panjang, dan aku sempat mengantuk. Oh
ya, di rumah makan tadi, Dhea membeli beberapa buah bolu kemojo mini. Ia menawarkannya
padaku dan pada Pak Faisal. Ternyata rasanya enak. Bolu kemojo sendiri
merupakan kue basah khas Pekanbaru. Warnanya hijau, berbentuk bunga. Teksturnya
kasar di luar, tapi lembut di dalam.
“Berapa
harganya ini?” tanyaku pada Dhea.
“Lima ribu dapat tiga”, jawab Dhea. Murah banget. Nyesel juga aku nggak beli.
“Lima ribu dapat tiga”, jawab Dhea. Murah banget. Nyesel juga aku nggak beli.
Akhirnya,
tiba juga lah kami di pusat latihan gajah. Awalnya kukira pusat pelatihan gajah
ini semacam tempat rekreasi keluarga dimana kita bisa melihat gajah-gajah
sirkus dengan berbagai atraksinya, tapi rupanya bukan. Di tempat itu, selain
bisa melihat gajah, kita juga bisa ikut memandikan dan menunggangi mereka. Di
dalam rombongan kami, hanya Dhea dan Mas Febri yang turun ke sungai untuk
memandikan gajah, sementara yang lainnya menonton dari atas jembatan.
Gajah-gajah itu pintar sekali. Disuruh duduk, mereka duduk, disuruh berdiri,
mereka berdiri, disuruh berbaring, mereka pun berbaring. Saat dimandikan,
mereka pun diam, nggak berontak. Hanya aja ada satu ekor gajah yang ketika
dimandikan, ia malah buang air besar. Wkwkwk..
Setelah dimandikan, gajah-gajah itupun naik ke daratan dan bersiap untuk kami tunggangi. Awalnya aku nggak mau, namun Pak Yosep terus menggodaku.
“Kapan lagi
bisa naik gajah? Mumpung disini lho,” kata beliau.
Akhirnya aku
pun mencobanya. Aku menunggang gajah bersama Dhea dan seorang pawang. Gajah yang
kami tunggangi Doni namanya. Seorang bapak menawarkan diri untuk memotret kami.
Kuserahkan hapeku pada beliau. Gajah-gajah kami berjalan pelan melintasi hutan
dan sungai-sungai kecil, dan selama itu pula bapak yang memegang hapeku itu
mengikuti kami untuk memotret. Beliau nggak sendirian sih. Ada juga beberapa
orang rekan beliau yang juga melakukan hal yang sama, menjadi ‘juru potret’
bagi gajah-gajah yang lain. Hal itu mereka lakukan agar para penunggang gajah
nggak melakukan selfie di atas gajah, berbahaya.
Menunggang
gajah ternyata cukup mengasyikan dan memicu adrenalin. Apalagi ketika gajah itu
melalui turunan ataupun tanjakan. Namun aku tertegun ketika melihat ada jejak
airmata di sekitar mata para gajah. Nggak hanya satu, tapi semua gajah yang
kami tunggangi mengeluarkan airmata (entah Doni, karena aku berada di atasnya
dan nggak melihat). Aku jadi teringat pada satu artikel yang pernah kubaca
bahwa menunggangi gajah dapat membuat tulang punggung gajah cedera. Mungkinkah
mereka merasa sakit, sehingga mereka mengeluarkan airmata? Ah, mengingat hal
itu, aku jadi merasa bersalah udah menungganginya. Maafkan kami, Doni dan
kawan-kawan. Semoga kalian selalu sehat.
Setelah menghabiskan waktu di pusat pelatihan gajah, kami melanjutkan perjalanan lagi. Hari udah sore waktu itu. Pak Yosep mengajak kami makan gorengan di pinggir jalan, masih di kawasan Minas. Sementara menikmati gorengan, Dhea browsing-browsing hotel tempat menginap kami selanjutnya. Akhirnya pilihan jatuh pada Hotel CitiSmart.
Kami check-in di Hotel CitiSmart sekitar jam
enam sore. Sore itu, kami baru check-in
aja, belum memindahkan barang, karena barang-barang kami masih dititipkan di
mes Pak Yosep pasca check-out dari
Hotel Amaris.
Aku mendapatkan sebuah kamar di lantai dua, hampir bersebelahan dengan kamar Dhea (kamar kami dipisahkan oleh satu kamar). Kamar itu terdiri dari dua ranjang. Malam itu, aku dan Dhea nggak lagi tidur satu kamar, namun saat itu aku belum tau siapa teman sekamarku nantinya.
Sekitar jam tujuh malam, aku merebahkan tubuhku di kasur. Rasanya nikmat banget. Hari itu benar-benar melelahkan. Beberapa bagian tubuhku terasa sakit, khususnya bagian bahu sebelah kiri. Lama kelamaan rasa sakit itu menghilang. Rasa kantuk membawaku tertidur pulas.
Aku terbangun ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku buka, rupanya Dhea.
"Tidur ya? Aku telpon dari tadi nggak kamu angkat", katanya.
"Iya nih, capek banget. Hehe.."
"Barang-barang kamu ada di bawah. Masukin ke kamar aja sekarang", katanya lagi sambil berlalu ke kamarnya.
Kuambil hapeku. Ada beberapa panggilan tak terjawab, juga WhatsApp dari Pak Yosep yang belum kubaca. Waktu itu sekitar jam setengah sembilan. Rupanya aku tidur selama satu setengah jam. Cukup lama juga. Dan selama itu pula aku nggak kebangun. Itu tidur apa pingsan coba?
Aku pun turun ke lantai satu dengan menggunakan lift. Di lobby, Pak Yosep tengah duduk di sofa bersama seorang perempuan yang mungkin berusia sekitar empat puluh tahunan. Di depan beliau ada koperku. Pak Yosep lalu memperkenalkan aku pada perempuan itu yang kemudian aku panggil Bu Fitri. Bu Fitri ini merupakan salah satu karyawan dari kantor cabang Duri. Beliau lah yang akan menjadi teman sekamarku malam itu.
Setelah berkenalan, aku dan Bu Fitri pun menuju kamar. Nggak lupa aku membawa koperku. Di kamar kami ngobrol-ngobrol sedikit. Rupanya Bu Fitri ini asli Medan, tapi tinggal di Duri. Saat belum menikah, beliau juga pernah bekerja di Bandung.
Sekitar jam sembilan, Pak Yosep mengajak kami makan malam. Aku kira makan malamnya di dekat-dekat hotel, nggak taunya lumayan jauh. Malam itu kami makan mie pangsit ijo di Jalan Rajawali. Yang lain udah pada seger-seger gitu kan, nah aku masih kucel karena baru bangun, belum sempat mandi, dan nggak pakai make-up. Wkwkwk.. Bodo amat lah, udah malam juga.
Setelah kenyang, kami pun kembali ke hotel. Sebenarnya Pak Yosep kayaknya masih pengen ngajak kami jalan-jalan gitu, tapi aku bilang kalo aku pengen istirahat. Akhirnya kami pun kembali ke hotel.
Sesampainya di hotel, aku dan Bu Fitri mandi bergantian. Di hotel ini kamar mandinya menggunakan kaca buram, sehingga kalo kita sedang berada di dalam kamar mandi, maka partner sekamar kita bisa melihat siluet tubuh kita. Wkwkwk.. Kalo malu dan nggak mau terlalu terlihat, cukup matikan aja lampu kamar mandinya.
Menjelang waktu tidur, aku dan Bu Fitri dibuat panik dengan kondisi AC kamar yang bocor. Kami pun menghubungi Pak Yosep yang kemudian memanggil roomkeeper. Sayangnya perihal AC bocor itu di luar kemampuan pihak hotel untuk memperbaikinya (jelas karena itu tugasnya teknisi AC). Kami pun mengajukan untuk pindah kamar, dan akhirnya kami pindah ke sebuah kamar di lantai satu. Kamar baru kami ini sedikit lebih luas dan terdapat jendela lebar yang menghadap langsung ke halaman depan hotel. Setelah merasa nyaman, kami pun tidur.
Besok adalah hari yang mendebarkan, seenggaknya buatku.
*Bersambung*
0 komentar:
Posting Komentar