Jumat, 21 September 2018

MusTanG's First Flight : Berkenalan Dengan Kota Madani


Alhamdulillah, aku, Pak Faisal, dan teman-teman dari MusTanG tiba di Pekanbaru dengan selamat. Rasanya hampir nggak percaya bahwa akhirnya aku menjejakkan kedua kaki ini disana. Ini perjalanan terjauhku dalam dua puluh empat tahun aku hidup, dan mungkin juga perjalanan terjauh bagi beberapa orang lainnya dalam rombongan kami.

Well, cerita kali ini bakal cukup panjang.

***

Jum’at, 14 September.

Sekitar jam setengah delapan pagi, kami turun untuk sarapan. Aku nggak makan banyak. Cuma beberapa potong melon, sepiring omelet, dan seiris puding mangga. Perutku nggak karuan rasanya. Begah gitu. Makanya makan pun males banget. Aku nggak ingat kalo hari itu jadwal kami bakal sangat padat.

Pagi itu, aku dan teman-teman MusTanG mengenakan kaos seragam band kami, kecuali Dhea (dia mengaku kaosnya tertinggal). Setelah sarapan, kami check-out dari Hotel Amaris dan menuju kantor cabang Pekanbaru. Begitu keluar dari hotel, aku dan Pak Faisal dibuat tersenyum ketika melihat warna angkot di Pekanbaru yang rupanya sama dengan warna angkot di Cirebon, biru telur asin. Di kanan kiri jalan pun rupanya banyak toko dan rumah makan dengan nama yang Jawa banget. Jadi meskipun sedang berada di pulau orang, rasanya nggak jauh beda dengan di pulau Jawa. Dan rupanya bukan cuma aku yang merasakan itu, tapi juga teman-temanku yang lain. Ya iya lah ya.. Kayaknya meski berada di pulau lain, tapi selama itu masih di Indonesia, rasanya mungkin nggak akan jauh berbeda dengan berada di pulau sendiri. Kecuali kalo melancong ke luar negeri. Wah, kalo itu udah pasti bakal terasa banget bedanya.

Mobil kami meluncur membelah pusat kota. Sepanjang perjalanan, mata kami dimanjakan dengan arsitektur gedung-gedung pemerintahan Pekanbaru yang berdesain unik dan megah. Misalnya kantor Badan Perpustakaan dan Kearsipan, dan kantor Gubernur Riau.Fly-over nya pun diwarnai dengan warna biru dan emas, dan ada motifnya gitu. Cantik deh. Tata kotanya benar-benar mengagumkan. Dan satu lagi, meski merupakan ibukota, namun jalannya cukup bersih. Entah kami yang nggak melihat atau gimana, tapi kami nggak menemukan ada sampah menumpuk di pinggir jalan. Salut.

Akhirnya tiba juga lah kami di kantor cabang Pekanbaru yang terletak di kawasan jalan Tuanku Tambusai. Kami memasuki showroom depan, menyalami pramuniaga yang berjaga, lalu terus ke ruang selanjutnya. Di ruang itu kami bertemu tiga orang karyawan yang salah satunya menyambut kami dengan suara riang.
“Ah, ada artis! Ini nih vokalisnya. Ntar mau request ah”, celetuknya. Ia cewek berhijab, mungkin seumuran denganku. Wajahnya lumayan cantik, dan suaranya cempreng, cocok dengan tubuhnya yang mungil. Ia mengingatkanku pada Arafah Rianti, komika yang terkenal itu. Dari sikapnya, aku yakin dia adalah tipe orang yang mudah akrab dengan siapapun. Sejenak aku heran darimana dia tau aku vokalis, namun kemudian aku menyadari bahwa mungkin ia melihat dari kaos band yang aku dan teman-teman MusTanG kenakan.

Kemudian kami naik ke lantai dua. Disana, beberapa orang karyawan tampak tengah berjoget-joget mengikuti alunan musik dangdut di sebuah ruangan yang lebih lapang dari ruangan lainnya (semacam ruang pertemuan).

"Bukan satu kali kamu buat begini..
Bukan satu kali kamu bikin makan hati..
Kalau terus begini serong kanan cari lain lebih baik.."

Aku dan teman-teman berpandang-pandangan.
Jam kerja begini kok karyawan nyantai banget pada joget-joget di kantor?
Kemudian kami masuk ke ruang kerja Pak Yosep. Disana, kami ngobrol-ngobrol sebentar. Pak Yosep memperkenalkan kami pada Bu Leni, selaku HRD kantor cabang Pekanbaru. Beliau juga memberi kami multivitamin agar tubuh kami fit saat manggung nanti.

Bu Leni ini blasteran Jawa-Minang. Ibunya dari Jawa, dan bapaknya asal Solok. Hari itu beliau tampak cantik dan anggun dengan baju merah dan rok panjang beserta kerudung dengan warna senada. Tutur katanya halus dan sikapnya ramah. Beliau mengajak kami berkeliling kantor dan memperkenalkan kami pada seluruh karyawan disana. Aku tersenyum lega dan senang. Sambutan di kantor cabang Pekanbaru ini ramah banget, nggak beda jauh dengan waktu hari pertama aku bekerja di kantor cabang Cirebon. Itulah faktor yang bikin aku betah bekerja di perusahaan tempat bekerjaku yang sekarang. Orangnya ramah-ramah. Aku jadi merasa hangat.

Setelah berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya, aku, Mas Win, Ryan, dan Mas Febri berkumpul di ruang Admin Marketing & Purchasing yang terletak di samping ruang pertemuan tadi. Dari situ kami bisa melihat aktifitas para karyawan—sales, lebih tepatnya—yang masih berjoget-joget dengan lagu yang sama.
“Ini memang tiap hari nyantai begini kerjanya, Kak?” tanyaku pada Admin Marketing yang saat itu tengah sibuk dengan komputernya, tapi masih ramah meladeni kami. Namanya Ana. Ia cantik, dan wajahnya mirip dengan Bu Hanny, Staff Akunting di kantor kami di Cirebon. Teman-teman MusTanG pun setuju dengan hal itu.
“Oh enggak. Ini karena besok ada acara aja. Mereka ini lagi bikin yel-yel”, jelasnya. Aku manggut-manggut. Selanjutnya, kami jadi asik memperhatikan para sales itu berjoget.
“Put, ntar jangan bilang-bilang ke yang lain ya kalo disini bikin yel-yelnya kayak gini. Nanti disana juga ikutan lagi, trus saya disuruh joget-joget kayak gini”, celetuk Ryan.
“Ya gapapa. Bagus malah, kreatif gitu,” kataku.

“Mas Win, ikutan, Mas Win!” seruku pada Mas Win yang fokus liatin orang joget. Padahal aku becanda doang. Eh, dia ngikutin, masa. Dengan pedenya gabung sama mereka dan bergerak mengikuti koreografi. Beberapa detik kemudian, aku tergoda untuk bergabung dengan mereka juga. Akuberdiri di sebelah Mas Win, dan mulai mengikuti gerakan mereka. Bodo amat gerakanku ngaco. Well,sebenarnya ini salah satu upayaku untuk mengakrabkan diri dengan mereka, biar pas manggung di hadapan mereka nanti aku nggak begitu canggung. Sementara aku, Mas Win, dan yang lainnya bergerak mengikuti alunan musik, Ryan merekam aksi kami dengan kamera hapenya.
“Hfff..capek juga ya”, kata Mas Win sambil berkacak pinggang setelah satu lagu selesai.
“Iya, padahal bentar doang”, sahutku. Kemudian kami kembali duduk dan memperhatikan aktifitas mereka.

Setelah itu, kami diajak duduk-duduk di ruang HRD yang dihuni oleh Bu Leni sendiri. Dari banyaknya ruangan di gedung itu, ruang inilah yang menurutku paling rapi dan nyaman. Disana kami disuguhi permen jahe kelapa yang katanya merupakan favorit orang Pekanbaru. Rasanya unik sih, tapi aku lebih suka permen jahe biasa ketimbang dengan campuran rasa kelapa. Beberapa lama kemudian, kami  pun pamit untuk check sound di lokasi dimana acara kantor cabang Pekanbaru akan digelar. Alam Mayang.

Setibanya di Alam Mayang, kami disambut oleh beberapa orang yang tengah duduk-duduk di area loket. Petugas ticketing mungkin? Entahlah.
“Kami mau check sound”, kata Pak Yosep pada mereka. Kemudian mereka mempersilahkan mobil kami masuk.
“Wah, besok-besok kalo kesini lagi bilang aja mau check sound gitu ya,” celetuk Ryan.
“Hahaha.. biar masuknya gratis ya”. Dianggapnya password apa gimana.

Alam Mayang merupakan salah satu (atau mungkin satu-satunya, mengingat minimnya tempat wisata di Pekanbaru) objek wisata di Pekanbaru yang memiliki konsep rekreasi di alam terbuka. Letaknya di pinggir kota, namun masih bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Begitu melalui gerbang masuk, kami disambut oleh pemandangan beberapa patung batu yang menjadi ikon khas Alam Mayang. Namun kami nggak sempat berfoto-foto disana karena diburu waktu.


Mobil kami berhenti di depan sebuah panggung kecil yang terletak di depan sebuah kolam besar. Panggung itu nggak kosong, ada sebuah band yang sedang ‘main’ disitu. Setelah mereka menyelesaikan satu lagu, mereka pun turun dan mempersilahkan kami untuk melakukan check sound. Kami pun lantas mengambil posisi masing-masing. Mister Chokai dan Mas Win mencoba-coba gitar, Ryan mencoba-coba bass, dan Mas Febri mencoba-coba drum, kecuali aku yang malah asyik memotret mereka dan memperhatikan panggung yang ternyata lebih kecil dari yang aku bayangkan. Kemudian kami pun mencoba membawakan tiga buah lagu. Sialnya, belum juga manggung beneran, aku udah nervous sehingga sempat lupa lirik beberapa kali. Ampun deh :’)

Check-sound
Sekitar jam setengah dua belas, kami pun kembali ke mobil dan meninggalkan Alam Mayang. Dari situ, kami keliling-keliling mencari hotel untuk tempat kami menginap selanjutnya. Pengennya Pak Yosep sih cari hotel yang dekat-dekat situ, tapi sayangnya nggak ketemu. Karena udah mendekati waktu sholat Jum’at, akhirnya kami pun beralih untuk mencari masjid.

Singkat cerita, mobil kami berhenti di dekat salah satu masjid di Jalan Sekolah. Pak Yosep memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah bank yang saat itu tutup.
“Orang-orang Sumatra itu begini nih, kalo waktunya sholat, bank dan toko-toko ditutup. Nanti setelah waktu sholat, mereka baru buka lagi”, jelas Pak Yosep yang menambah penilaian positifku tentang kota ini. Pak Faisal, Mister Chokai, Mas Win, Ryan, dan Mas Febri pun bergegas menuju masjid, sementara aku dan Dhea tetap di mobil.

Sambil menunggu rekan-rekan yang sholat Jum’at, kami pun meninggalkan tempat itu untuk mencari rumah makan. Namun sebelum itu, Pak Yosep mengantar aku dan Dhea dulu ke pom bensin karena kami kebelet pipis. Di toilet pom bensin, aku menemukan bahwa airnya keruh. Aku hampir lupa bahwa Pekanbaru merupakan pusat pertambangan minyak, sehingga di kota ini, air yang jernih sulit ditemukan.

Setelah itu, baru deh kami mencari rumah makan. Aku dan Dhea terheran-heran ketika Pak Yosep membawa mobil kami  berbelok ke sebuah tempat yang bisa dibilang agak terpencil. Kanan kiri kebun, dan rumah penduduknya jarang-jarang.
“Mana ada rumah makan terkenal di tempat kayak gini, Pak”, kata Dhea. Aku sendiri sependapat dengannya. Rupanya Pak Yosep sendiri belum pernah kesitu. Beliau hanya mengikuti rekomendasi dari Bu Leni. Akhirnya setelah beberapa ratus meter mobil kami meluncur dari jalan besar, tampaklah sebuah bangunan sederhana dengan papan nama besar di atasnya bertuliskan “RM Racha” lengkap dengan gambar berbagai jenis masakan yang mungkin merupakan menu andalan mereka. Beberapa unit mobil dan motor terparkir di halaman depannya yang nggak bisa dibilang luas. Aku terbengong-bengong. Pemikiran aku dan Dhea jelas terpatahkan. Lingkungan di sekitarnya boleh sepi, tapi rumah makan itu bukan main ramainya. Pak Yosep dan Dhea lalu turun buat booking tempat.
“Saya perlu turun juga nggak nih?” tanyaku.
“Nggak usah, tunggu disini aja. Bentaran doang kok,” jawab Dhea sambil menutup pintu mobil dan berlalu kedalam rumah makan. Nggak berapa lama kemudian, mereka pun kembali.
“Nggak bisa booking,” kata Dhea sambil masuk ke dalam mobil.
“Jadi..?”
“Ya siapa cepat, dia dapat.”
“Jadi ntar kita makannya misah-misah dong ya.”
“Ya gitu deh..”

Kami pun kembali ke masjid tadi untuk menjemput rekan-rekan kami. Kami tiba tepat pada waktunya, sholat Jum’at udah selesai.
“Siang ini kita makan di rumah makan yang unik”, kata Pak Yosep setelah semuanya sempurna masuk ke dalam mobil.

Singkat cerita, mobil kami kembali berhenti di depan RM Racha. Kali ini Pak Yosep memarkirkan mobil kami disitu. Hal pertama yang membuat rumah makan ini unik adalah, kita harus melepas alas kaki saat masuk ke dalamnya. Di depan pintu masuk ada rak sepatu, kita tinggal masukkan aja alas kaki kita disitu. Hal unik kedua, disana nggak bisa booking tempat duduk, sehingga kalo rumah makan penuh ya pengunjung yang mau makan disitu harus rela menunggu. Dan kalo datangnya itu rombongan, maka harus rela makan berpencar-pencar, kecuali kalo rombongan kita datangnya berbarengan dengan bubarnya rombongan pengunjung lain yang makan dalam satu meja. Tapi ini kayaknya jarang terjadi sih.

Rombongan kami pun mengantre untuk mengambil makanan. FYI, menunya buanyaaaaak banget, dan kita dipersilahkan untuk mengambil sendiri nasi dan lauknya, seperti prasmanan pada hajatan. Kalo nggak biasa makan di rumah makan Minang, pasti bingung deh mau ambil apa. Aku contohnya. Wkwkwk.. Alhasil aku hanya mengambil telur dan sup daging sapi. Hanya aja, aku nggak tau kalo sup daging sapi itu ngambilnya harus satu porsi gitu. Waktu lagi menyendokkan sup itu ke piring, tiba-tiba abang pelayannya nyerobot dan bilang kalo sup itu dihitung satu porsi. Ia lantas mengambilkan sup itu kedalam satu mangkuk, dan rupanya itu lumayan banyak, bisa buat tiga orang. Tadinya niatnya sup itu mau dimakan barengan bareng Mas Febri dan Ryan, coz mereka juga sempat mau ambil sup itu. Eh nggak taunya, kami malah berpencar. Mereka udah dapat tempat, sementara aku dan Dhea masih bingung mau makan dimana karena hampir semua tempat udah terisi. Syukurlah, akhirnya kami dapat tempat kosong di sebelah Pak Faisal. Alhasil, aku harus menghabiskan sup itu sendirian. Haaah.. aku rasa rumah makan itu butuh memperbesar tempat mereka. Ini pertama kalinya aku makan di rumah makan dan dibikin bingung sama tempat, sampai muter-muter gitu cari meja dan kursi kosong. Daaaan.. satu lagi minusnya adalah, pengunjung diperbolehkan merokok di dalam ruangan. Itu sungguh mengurangi kenyamanan. Tapi positifnya, masakan disana enak-enak, dan nasinya nggak ‘berderai’ seperti kebanyakan nasi di wilayah Sumatra. Harganya pun muraaaaaahhh banget, dan minumnya gratis dengan dua pilihan minuman, yakni es teh manis dan es mentimun. Kami makan berdelapan orang cuma habis sekitar dua ratus ribuan. Benar-benar murah.

Setelah kenyang, kami pun melanjutkan perjalanan. Siang itu, Pak Yosep mengajak kami ke pusat latihan gajah. Perjalanannya cukup panjang, dan aku sempat mengantuk. Oh ya, di rumah makan tadi, Dhea membeli beberapa buah bolu kemojo mini. Ia menawarkannya padaku dan pada Pak Faisal. Ternyata rasanya enak. Bolu kemojo sendiri merupakan kue basah khas Pekanbaru. Warnanya hijau, berbentuk bunga. Teksturnya kasar di luar, tapi lembut di dalam.
“Berapa harganya ini?” tanyaku pada Dhea.
“Lima ribu dapat tiga”, jawab Dhea. Murah banget. Nyesel juga aku nggak beli.

Akhirnya, tiba juga lah kami di pusat latihan gajah. Awalnya kukira pusat pelatihan gajah ini semacam tempat rekreasi keluarga dimana kita bisa melihat gajah-gajah sirkus dengan berbagai atraksinya, tapi rupanya bukan. Di tempat itu, selain bisa melihat gajah, kita juga bisa ikut memandikan dan menunggangi mereka. Di dalam rombongan kami, hanya Dhea dan Mas Febri yang turun ke sungai untuk memandikan gajah, sementara yang lainnya menonton dari atas jembatan. Gajah-gajah itu pintar sekali. Disuruh duduk, mereka duduk, disuruh berdiri, mereka berdiri, disuruh berbaring, mereka pun berbaring. Saat dimandikan, mereka pun diam, nggak berontak. Hanya aja ada satu ekor gajah yang ketika dimandikan, ia malah buang air besar. Wkwkwk..



Setelah dimandikan, gajah-gajah itupun naik ke daratan dan bersiap untuk kami tunggangi. Awalnya aku nggak mau, namun Pak Yosep terus menggodaku.
“Kapan lagi bisa naik gajah? Mumpung disini lho,” kata beliau.
Akhirnya aku pun mencobanya. Aku menunggang gajah bersama Dhea dan seorang pawang. Gajah yang kami tunggangi Doni namanya. Seorang bapak menawarkan diri untuk memotret kami. Kuserahkan hapeku pada beliau. Gajah-gajah kami berjalan pelan melintasi hutan dan sungai-sungai kecil, dan selama itu pula bapak yang memegang hapeku itu mengikuti kami untuk memotret. Beliau nggak sendirian sih. Ada juga beberapa orang rekan beliau yang juga melakukan hal yang sama, menjadi ‘juru potret’ bagi gajah-gajah yang lain. Hal itu mereka lakukan agar para penunggang gajah nggak melakukan selfie di atas gajah, berbahaya.

Menunggang gajah ternyata cukup mengasyikan dan memicu adrenalin. Apalagi ketika gajah itu melalui turunan ataupun tanjakan. Namun aku tertegun ketika melihat ada jejak airmata di sekitar mata para gajah. Nggak hanya satu, tapi semua gajah yang kami tunggangi mengeluarkan airmata (entah Doni, karena aku berada di atasnya dan nggak melihat). Aku jadi teringat pada satu artikel yang pernah kubaca bahwa menunggangi gajah dapat membuat tulang punggung gajah cedera. Mungkinkah mereka merasa sakit, sehingga mereka mengeluarkan airmata? Ah, mengingat hal itu, aku jadi merasa bersalah udah menungganginya. Maafkan kami, Doni dan kawan-kawan. Semoga kalian selalu sehat.



Setelah menghabiskan waktu di pusat pelatihan gajah, kami melanjutkan perjalanan lagi. Hari udah sore waktu itu. Pak Yosep mengajak kami makan gorengan di pinggir jalan, masih di kawasan Minas. Sementara menikmati gorengan, Dhea browsing-browsing hotel tempat menginap kami selanjutnya. Akhirnya pilihan jatuh pada Hotel CitiSmart.

Kami check-in di Hotel CitiSmart sekitar jam enam sore. Sore itu, kami baru check-in aja, belum memindahkan barang, karena barang-barang kami masih dititipkan di mes Pak Yosep pasca check-out dari Hotel Amaris.

Aku mendapatkan sebuah kamar di lantai dua, hampir bersebelahan dengan kamar Dhea (kamar kami dipisahkan oleh satu kamar). Kamar itu terdiri dari dua ranjang. Malam itu, aku dan Dhea nggak lagi tidur satu kamar, namun saat itu aku belum tau siapa teman sekamarku nantinya.

Sekitar jam tujuh malam, aku merebahkan tubuhku di kasur. Rasanya nikmat banget. Hari itu benar-benar melelahkan. Beberapa bagian tubuhku terasa sakit, khususnya bagian bahu sebelah kiri. Lama kelamaan rasa sakit itu menghilang. Rasa kantuk membawaku tertidur pulas.

Aku terbangun ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku buka, rupanya Dhea.
"Tidur ya? Aku telpon dari tadi nggak kamu angkat", katanya.
"Iya nih, capek banget. Hehe.."
"Barang-barang kamu ada di bawah. Masukin ke kamar aja sekarang", katanya lagi sambil berlalu ke kamarnya.
Kuambil hapeku. Ada beberapa panggilan tak terjawab, juga WhatsApp dari Pak Yosep yang belum kubaca. Waktu itu sekitar jam setengah sembilan. Rupanya aku tidur selama satu setengah jam. Cukup lama juga. Dan selama itu pula aku nggak kebangun. Itu tidur apa pingsan coba?

Aku pun turun ke lantai satu dengan menggunakan lift. Di lobby, Pak Yosep tengah duduk di sofa bersama seorang perempuan yang mungkin berusia sekitar empat puluh tahunan. Di depan beliau ada koperku. Pak Yosep lalu memperkenalkan aku pada perempuan itu yang kemudian aku panggil Bu Fitri. Bu Fitri ini merupakan salah satu karyawan dari kantor cabang Duri. Beliau lah yang akan menjadi teman sekamarku malam itu.

Setelah berkenalan, aku dan Bu Fitri pun menuju kamar. Nggak lupa aku membawa koperku. Di kamar kami ngobrol-ngobrol sedikit. Rupanya Bu Fitri ini asli Medan, tapi tinggal di Duri. Saat belum menikah, beliau juga pernah bekerja di Bandung.

Sekitar jam sembilan, Pak Yosep mengajak kami makan malam. Aku kira makan malamnya di dekat-dekat hotel, nggak taunya lumayan jauh. Malam itu kami makan mie pangsit ijo di Jalan Rajawali. Yang lain udah pada seger-seger gitu kan, nah aku masih kucel karena baru bangun, belum sempat mandi, dan nggak pakai make-up. Wkwkwk.. Bodo amat lah, udah malam juga.




Setelah kenyang, kami pun kembali ke hotel. Sebenarnya Pak Yosep kayaknya masih pengen ngajak kami jalan-jalan gitu, tapi aku bilang kalo aku pengen istirahat. Akhirnya kami pun kembali ke hotel.

Sesampainya di hotel, aku dan Bu Fitri mandi bergantian. Di hotel ini kamar mandinya menggunakan kaca buram, sehingga kalo kita sedang berada di dalam kamar mandi, maka partner sekamar kita bisa melihat siluet tubuh kita. Wkwkwk.. Kalo malu dan nggak mau terlalu terlihat, cukup matikan aja lampu kamar mandinya.

Menjelang waktu tidur, aku dan Bu Fitri dibuat panik dengan kondisi AC kamar yang bocor. Kami pun menghubungi Pak Yosep yang kemudian memanggil roomkeeper. Sayangnya perihal AC bocor itu di luar kemampuan pihak hotel untuk memperbaikinya (jelas karena itu tugasnya teknisi AC). Kami pun mengajukan untuk pindah kamar, dan akhirnya kami pindah ke sebuah kamar di lantai satu. Kamar baru kami ini sedikit lebih luas dan terdapat jendela lebar yang menghadap langsung ke halaman depan hotel. Setelah merasa nyaman, kami pun tidur.

Besok adalah hari yang mendebarkan, seenggaknya buatku.

*Bersambung*

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;