Selasa, 18 September 2018

MusTanG's First Flight : Pekanbaru, Kami Datang

Haaah.. Empat hari yang berkesan. Sejak kemarin, aku nggak sabar banget mau nulis ini. Sebelumnya aku udah sampaikan kan, kalo minggu ini aku dan teman-teman dari MusTanG terbang ke Pekanbaru? Nah, mulai hari ini aku bakal ceritakan semuanya. It will be the veeeeeery long story. Tapi aku membaginya dalam beberapa postingan biar nggak terlalu panjang, dan kemungkinan penulisan pengalaman perjalananku ke dan dari Pekanbaru ini juga membutuhkan waktu beberapa hari. Maklum, sibuk. Mwehehe..

Well, hari Kamis, 13 September sebenarnya bukan hari yang aku tunggu-tunggu. Sejak mendapat tiket sampai dengan hari keberangkatan, perasaanku masih 50:50. Rasanya campur aduk antara ingin dan enggan pergi. Bingung kan? Sama. Sebenarnya yang bikin aku enggan pergi itu pikiran-pikiran negatif di kepala. Aku terus kepikiran performance aku dan teman-teman di hari Sabtu nanti. Apakah bakal sukses atau enggak, berapa banyak orang yang bakal nonton kami, dan bagaimana respon mereka nantinya. Biasa, overthinking. Tapi sisi positifnya, dengan overthinking seperti itu aku jadi semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Wkwkwk..


Kamis, 13 September.

Pagi itu, aku masih ngantor seperti biasa. Hanya aja aku keluar kantor lebih awal. Pagi-pagi, aku menerima serah terima orderan dari para tenaga penjual seperti biasanya. Sekitar jam sebelas siang, aku pamit pulang buat prepare. Namun sebelum itu, aku melakukan serah terima tugas dulu dengan Pak Benny, karena selama aku pergi nanti, beliau yang bakal handle beberapa tugasku.

Sesampainya di rumah, ibu langsung menyambutku. Beliau rupanya udah mempersiapkan sebuah koper yang beliau pinjam dari salah satu sepupuku. Anyway, beberapa hari sebelumnya, aku sempat berniat membeli koper. Tapi setelah aku pertimbangkan lagi, aku batal membelinya, karena kupikir aku jarang banget bepergian jauh, Kalopun pergi jauh, palingan cuma sehari dua hari. Cuma ke Pekanbaru ini aja yang paling jauh dan butuh waktu beberapa hari. Sayang juga kalo beli koper dan cuma dipakai satu kali doang. Aku mau pinjam ke bibiku, tapi koper beliau terlalu besar. Jadi sebagai gantinya, aku memutuskan membawa dua ransel. Itupun ransel satunya juga mendadak beli di online shop. Kebetulan waktu itu sedang ada diskon. Hehe.. Untungnya ransel itu datang sesuai waktu estimasi. Eh, nggak taunya pas tinggal berangkat doang, ibu malah pinjam koper. Alhasil aku harus membongkar kembali perlengkapan menginapku dari ransel dan memindahkannya ke koper itu. Tapi aku bersyukur juga sih, karena ternyata dengan membawa koper, aku jadi nggak terlalu ribet.

Setelah berkemas dan bersiap-siap, ibu menawarkan diri untuk mengantarku hingga stasiun. Kami pergi dengan menumpang Gr*bc*r menuju Stasiun Kejaksan. Rupanya disana Pak Faisal (Bapak Kepala Cabang) dan teman-teman MusTanG udah menunggu di depan Check-in Counter. Untung rumahku nggak begitu jauh dari stasiun, jadi kedatanganku nggak mepet dengan jadwal keberangkatan kereta kami. Setelah ‘menitipkan’ aku pada Pak Faisal dan teman-teman, ibuku pamit pulang. Aku antar beliau ke depan stasiun, lalu aku pesankan Gr*bB*k* untuk beliau. Sayangnya, ojek online rupanya enggan masuk ke depan stasiun karena banyak tukang ojek pangkalan. Akhirnya mau nggak mau, kami harus berjalan sampai ke depan masjid yang terletak nggak jauh dari gang masuk menuju stasiun. Eh, udah jauh jauh berjalan sampai hampir ke gang masuk menuju stasiun, si mas-mas Gr*b nya malah nongol dari tempat kami menunggu di awal tadi. Hadeeehh.. tau gitu mah ngapain capek-capek jalan? Setelah mencium tangan ibu, kami pun berpisah. Ibu pulang ke rumah, aku kembali ke stasiun. Kereta kami berangkat sekitar dua puluh menit lagi.


Sekembalinya aku dari mengantar ibu, teman-teman udah menungguku. Lantas, kami langsung bergegas menuju kereta. Ternyata membawa koper berat dan tas kecil yang tersampir di bahu pun cukup repot rasanya. Belum lagi tali sepatuku yang berkali-kali lepas dari ikatan. Benar-benar rempong deh pokoknya. Dan ketika sampai di tempat duduk di dalam kereta, aku benar-benar lega.

Jam 13.50, kereta Argo Jati yang kami tumpangi meluncur meninggalkan Stasiun Kejaksan. Hari itu aku duduk di sebelah Ryan, dan sebagai rekan sebelahku, ia membantuku memasukkan koper ke bagasi. Ia juga bercerita banyak, mulai dari cerita tentang ayahnya yang berpindah-pindah tempat tugas sehingga mengharuskan ia dan keluarganya tinggal nomaden (berpindah-pindah tempat), tentang pengalaman bermusiknya bersama Jaka dan teman-teman yang ia kenal dari berbagai komunitas, sampai tentang pengalamannya memproduksi musik dengan software yang ia download dari internet. Ia juga sempat memperdengarkan beberapa musik hasil produksinya padaku yang menurutku bagus, tapi ia sendiri belum merasa puas dengan hasilnya. Beberapa waktu lalu, salah satu karyanya pernah ia ikutsertakan dalam Kompetisi Jingle Terbaik Perusahaan saat kantor kami berulang tahun. Ia melakukan rekaman bersama Inggit dan Mbak Weny. Tapi sayangnya, hasil rekaman itu malah nggak sampai ke tangan Pak Yosep selaku juri kompetisi waktu itu.

Beberapa waktu selanjutnya, aku menghabiskan waktu perjalanan dengan mulai membaca Garis Waktu-nya Bvng Fiersa Besari.

Jam 16.15, kereta kami berhenti di Stasiun Bekasi. Kami dijemput oleh Bu Titi yang merupakan salah satu karyawan dari kantor cabang Bekasi. Dari stasiun itu, kami berjalan kaki hingga ke jalan besar, dan lagi-lagi aku kerepotan, ditambah tali sepatuku yang ikatannya lepas berkali-kali benar-benar memperburuk keadaan. Mas Febri menawarkan diri untuk membawakan koperku. Sejak di stasiun, ia memang udah menawarkan bantuan, tapi aku menolak karena nggak enak juga nyusahin orang. Tapi kali ini aku menyerah. Hingga ke jalan besar itu, aku menerima bantuan dari Mas Febri. Kebetulan dia hanya membawa satu ransel di punggungnya. Baru saat tiba di jalan besar, aku bawa lagi koperku sendiri.

Dengan menumpang G*C*r, kami menuju Bandara Halim Perdana Kusuma. Awalnya kami berencana diantar supir perusahaan, tapi beliau ditugaskan buat ngambil paketan di kantor ekspedisi. Jadi akhirnya ya gitu deh.. kami menumpang transportasi online. Sepanjang perjalanan, dua calon bapak—Mister Chokai dan Mas Win—curhat tentang istri mereka yang tengah mengidam dan permintaannya aneh-aneh. Istri Mister Chokai ngidam makan bakso, tapi nggak mau beli di tukang bakso yang lain.
“Masa malam-malam minta dibeliin bakso. Tapi maunya bakso yang dijual sama Mamang itu, nggak mau sama yang lain. Capek banget ubek-ubek kesana kesini nggak ketemu,” kata Mister Chokai.
“Istri saya malah ngidam kacang rebus. Jaman sekarang dimana yang masih jual kacang rebus?” Mas Win ikut menyambung.
“Biasanya dekat kantor Walikota kalo malam ada”, jawab Mister Chokai.
“Tapi jauh banget dari Palimanan.”
“Atau di Kanoman, biasanya banyak,” sambung Mas Febri.
“Iya lho. Masa kepingin kacang rebus aja sampai kebawa mimpi.”
Kami yang mendengar senyum-senyum aja. Haha.. Semangat ya, para Calon Bapak.


Akhirnya, kami pun sampai di Bandara Halim Perdana Kusuma. Sebelum check-in, kami makan dulu di Rumah Makan Sari Bundo yang terletak di depan bandara. Kami makan dengan lahap. Seekor kucing betina berbelang coklat yang nampaknya tengah hamil duduk menunggu di samping meja kami. Aku dan Ryan lantas menyuapinya dengan daging rendang. Kucing itu memakannya dengan lahap, tapi aku lihat matanya kayak berkaca-kaca gitu, entah kenapa. Apakah terharu karena baru kali ini ada pengunjung yang berbaik hati menyuapinya dengan makanan yang dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia? Atau karena kepedesan?
“Mungkin iya kepedesan, Put. Soalnya rendang saya dekat sambel. Tapi ya mau gimana lagi, orang dianya laper,” kata Ryan. Yehh.. Mudah-mudahan aja kamu nggak mencret ya, Cing :’)


Eh si kucing ini jinak banget lho. Sabar aja gitu duduk nungguin. Biasanya kan kalo kucing liar ada yang berdiri-berdiri, loncat naik ke meja atau kursi, atau bahkan langsung menyambar saat kita sodorkan makanan. Tapi kucing ini enggak. Aku jadi ingat kucing-kucingku di rumah. Hahh.. mereka aja nggak sesabar kucing ini. Tiap ada yang makan, mengeong terus nggak sabaran. Kadang berdiri sambil tangannya berusaha menggapai-gapai, apalagi si Totton. Diam-diam aku jadi kangen mereka. Haha.. padahal baru beberapa jam ditinggal.


Setelah makan, kami baru memasuki bandara. Karena udah masuk waktu Maghrib, kami pun sholat dulu di mushola bandara. Habis itu, baru deh aku, Pak Faisal, Mas Febri, Mister Chokai, Ryan, dan Mas Win melakukan check-in dan mendaftarkan bagasi. Setelah check-in dan mendapatkan boarding pass, kami pun duduk-duduk untuk menunggu waktu penerbangan. Lumayan lama juga kami nunggunya. Ditambah pesawat kami yang delay selama setengah jam. Sambil menunggu, kami pun berfoto-foto.

Candid by Mas Febri
Sekitar jam setengah sembilan malam, kami pun bergegas menuju lapangan. Burung-burung besi berdiri gagah disana. Burung besi kami, Batik Air, telah menunggu. Ini pertama kalinya aku melihat pesawat terbang dari dekat, dan tentu, pertama kalinya pula bagiku dan beberapa orang dari kami menaiki pesawat terbang. Aku mendapat kursi tepat di samping jendela. Di sebelah kananku ada Ryan dan Mas Win. Rasanya senang sekali Allah memberiku kesempatan padaku untuk duduk di samping jendela di pengalaman pertamaku ini. Aku terus memandang keluar jendela, mengamati aktifitas bandara yang masih asing bagiku.

Sebelum pesawat meninggalkan bandara, awak kabin memberi kami berbagai instruksi dan peringatan, salah satunya adalah larangan mengaktifkan peralatan elektronik (termasuk charging hape dengan menggunakan powerbank) saat pengisian bahan bakar pesawat. Perangkat elektronik baru boleh diaktifkan setelah pesawat lepas landas, asalkan flight-mode nya pun harus aktif. Jangan lupa juga mengenakan seat-belt. Dan seperti standar penerbangan pada umumnya, pramugari memperagakan bagaimana caranya melakukan penyelamatan apabila terjadi hal-hal yang nggak diinginkan. Karena duduk di pojokan, aku nggak bisa melihat aktifitas peragaan yang dilakukan pramugari itu. Alhasil aku cuma bisa membaca dan melihat gambar ilustrasi dari buku panduan yang udah tersedia di masing-masing kursi penumpang.

Setelah segalanya siap, lampu pesawat dimatikan, dan pesawat pun mulai meluncur. Mula-mula pelan.. meluncur pelan.. berbelok pelan.. pelan.. kemudian mesin berdesing semakin keras dan pesawat meluncur semakin cepat, lalu WUSSSH.. pesawat lepas landas. Ternyata begitu rasanya. Well, ketika roda pesawat lepas dari landasan, rasanya nggak jauh berbeda dengan saat menaiki lift.

Sesaat setelah pesawat take-off, pandanganku nggak lepas dari jendela. Ada ratusan, ribuan, jutaan, milyaran kerlip lampu dibawah sana. Indah. Indah banget. Semakin lama, kerlip lampu kian mengecil seiring pesawat yang membawa kami terbang semakin tinggi. Mengecil, semakin mengecil.. dan SPLASS.. pemandangan pun hilang. Hitam, hanya hitam sejauh mata memandang, dengan bulan sabit sebagai pemanis yang saat itu tampak lebih dekat, meski ukurannya nggak jauh berbeda dengan seperti yang biasa kulihat dari daratan. Kusandarkan punggungku pada sandaran kursi. Bosan, akhirnya kukeluarkan earphone-ku. Aku memutar lagu Iris dan Repray milik Aimer yang belakangan ini lagi sering banget aku dengar berulang-ulang.

Aroma lezat menguar. Awak kabin memerintahkan kami untuk membuka meja lipat di depan kami. Nggak lama kemudian, beberapa orang pramugari cantik membagikan satu kotak persegi panjang dan sebotol air mineral kepada masing-masing penumpang. Rupanya aroma lezat itu berasal dari kotak tadi. Isinya pandan muffin dan focaccia chicken—roti khas Italia dengan toping daging ayam dan keju mozarella. Enak sih, tapi masih kalah enak sama Indomie Rasa Ayam Spesial pakai telor, seenggaknya begitu menurutku.



Sekitar jam setengah sebelas, pesawat kami mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru. Pak Yosep, udah menunggu kami disana bersama keponakannya yang kuliah di Pekanbaru dan seorang supir. Ada dua mobil yang menjemput kami malam itu. Sebagian ikut mobil Pak Yosep, sebagian lagi ikut mobil yang dikendarai supir beliau. Sebelum meninggalkan bandara, kami berfoto-foto sejenak di depan bandara.

Setelah berfoto-foto, mobil kami meluncur meninggalkan bandara. Kukira malam itu kami langsung menuju penginapan, tapi rupanya Pak Yosep mengajak kami dulu ke salah satu warung makan mie aceh di Jalan Arifin Ahmad. Karena udah malam, kondisi warung nggak begitu ramai, sehingga kami bisa langsung mendapatkan meja. Pak Yosep menyodorkan buku menu.
“Wah, ada kopi aceh,” kata Mas Win. Konon Aceh memang surganya kopi. Dengan semangat, Mas Win memesan secangkir kopi aceh pada pelayan.
“Terong belanda kayak apa ya?” kali ini Ryan yang angkat bicara.
“Belum tau kan? Nah, makanya pesan, biar nggak penasaran, mumpung disini”, kata Pak Yosep. Akhirnya Ryan pun memesan segelas jus terong belanda. Ada juga yang pesan jus pinang, entah siapa.

“Putri pesan apa?” Pak Yosep bertanya padaku.
“Masih kenyang, Pak. Hehe..”
“Belum pernah coba mie aceh kan?” tanya beliau lagi.
“Belum, Pak,” jawabku.
“Nah, ya pesanlah.”
Karena merasa nggak enak, akhirnya aku memesan satu porsi mie aceh rebus. Tapi rupanya satu porsi mie aceh rebus itu banyak banget. Mana pedas pula. Kalo tau gitu, mending pesan setengah porsi aja, itupun kalo bisa sih.

Singkat cerita, kami pun makan sambil ngobrol-ngobrol.
“Ternyata kopi aceh gini ya rasanya. Mirip kopi K*p*l *p*”, ucap Mas Win sambil menyebut merk kopi hitam yang biasa ia minum.
“Wah, berarti kopi K*p*l *p* dari Aceh tuh”, timpal Mas Febri.
Jus terong belanda rupanya rasanya nggak jauh beda dengan jus jambu biji, sedangkan jus pinang rasanya mirip jahe (seenggaknya begitu kata Ryan, Mas Win, dan Mas Febri yang mencicipinya). Kami ketawa-ketawa melihat ekspresi Mas Win saat mencicipi jus pinang. Dia bilang rasanya aneh dan terlalu kuat di lidah, sehingga kopi yang dia minum pun nggak mempan menghilangkan rasa anehnya. Aku susah payah menghabiskan mie-ku. Rasanya perutku udah benar-benar penuh dan nggak bisa diisi lagi. Dan ketika tinggal separuh, aku benar-benar menyerah. Maaf ya Allah, maaf Pak Yosep. Nggak sanggup deh, beneran.

Makan mi aceh di Jalan Arifin Ahmad

Setelah selesai makan, kami pun berangkat menuju penginapan. Sebelum itu, Pak Yosep terlebih dahulu mengantarkan keponakannya ke sebuah hotel, baru deh beliau lanjut mengantarkan kami. Mobil kami meluncur dan berhenti di depan Hotel Amaris di Jalan Hangtuah. Setelah menurunkan barang-barang dari mobil, kami pun melakukan check-in.
“Nanti Putri sekamar sama Dhea ya,” kata Pak Yosep. Aku mengangguk.

Setelah semuanya melakukan check-in, Pak Yosep mengantarku ke kamar dimana Dhea udah terlebih dahulu menginap. Beliau juga membantu membawakan koperku. Sesampainya di salah satu kamar, Pak Yosep mengetuk pintu beberapa kali hingga seseorang di dalam membukanya. Dhea menyambutku dengan ekspresi wajah mengantuk. Sepertinya dia udah tidur, dan terbangun saat Pak Yosep mengetuk pintu. Setelah menitipkanku pada Dhea, Pak Yosep beranjak dari situ.

Kondisi kamar itu nggak cukup rapi saat aku datang. Koper milik Dhea tergeletak begitu aja dalam kondisi terbuka. Kutaruh koperku di samping meja rias. Meja itupun berantakan. Ada gelas cup dengan logo restoran cepat saji dan kotak bekas fastfood yang dibiarkan terbuka begitu aja dengan beberapa potong sisa makanan didalamnya. Di sebelahnya, berjejer beberapa botol air mineral yang masih utuh dan tersegel.
“Aku lanjut tidur ya. Ngantuk banget dari kemarin belum tidur”, kata Dhea.
“Iya gapapa, lanjut aja,” jawabku.

Dhea pun kembali pulas, sementara aku mengganti pakaian dengan yang lebih longgar, mencuci kaki, menyikat gigi, mencuci muka, lalu bergabung dengan Dhea. Perjalanan hari itu cukup melelahkan.

*Bersambung*
posted from Bloggeroid

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;