So here’s the last post of the story. Aku bersyukur karena meski ada kekurangan,
namun penampilan aku dan teman-teman MusTanG di Alam Mayang nggak seburuk yang
aku khawatirkan. Sayang, di acara kemarin nggak ada satupun karyawan atau
undangan yang bawain lagu Minang, padahal aku sempat berharap demikian. Kali
aja ada yang bisa diajak duet. Hihi..
Minggu, 16 September.
Jam sembilan pagi, aku, Dhea, dan
Mbak Eka turun untuk sarapan. Tubuhku masih kurang fit rasanya, sehingga
berbagai menu yang tersaji di ruang makan hotel pagi itu nggak mampu menyentuh
selera makanku. Alhasil, pagi itu aku cuma makan omelet dan roti, sementara dua
rekan sekamarku tampaknya nggak cukup dengan hanya menyantap satu dua jenis
makanan.
“Ini sup ikannya enak banget lho,
sumpah. Cobain deh, dikit aja, pasti suka”, kata Mbak Eka.
“Atau ini nih ayam. Enak. Makan
ayamnya aja, nggak usah pake nasi,” sambung Dhea.
Aku menggeleng malas. Boro-boro deh
mau coba yang lain. Ngabisin roti dan omelet aja lama. Wkwk..
Setelah sarapan, aku, Dhea, Mbak
Eka, dan teman-teman MusTanG jalan-jalan keluar. Niatnya sih mau cari oleh-oleh
gitu. Di sekitar Hotel Pangeran, terdapat cukup banyak toko yang menjual
oleh-oleh khas Pekanbaru. Mendung menyelimuti langit Pekanbaru siang itu, tapi
hawanya masih terasa gerah, walau nggak segerah kalo cuaca cerah. Kami terus
berjalan menelusuri trotoar, dengan Dhea—yang waktu itu mengenakan kacamata
hitam—sebagai ‘pemandu’ kami. Sayangnya, baru sekitaran beberapa ratus meter
berjalan, gerimis turun. Cuma rintik-rintik kecil sih, hanya aja kami khawatir
rintiknya akan menderas. Akhirnya kami pun berbalik arah dan memilih untuk
membeli oleh-oleh di toko yang jauh lebih dekat dari hotel tempat kami menginap
: Toko Mega Rasa.
Di toko itu terdapat banyaaaaaak
banget jajanan khas Sumatera, termasuk karupuak sanjai dan karak kaliang. Aku
yang pernah penasaran dengan dua cemilan ini akhirnya tau bahwa sebenarnya
meski disebut-sebut sebagai jajanan khas Sumatera Barat, tapi kedua cemilan ini
sebenarnya pun banyak terdapat di pulau Jawa dengan nama yang berbeda.
Karupuak sanjai merupakan cemilan
khas Bukittinggi berupa keripik yang dibuat dari irisan singkong dan diberi
bumbu sebagai penyedapnya. Kalo di Jawa sih ya disebutnya keripik singkong.
Hihi.. Tapi di ranah Minang, keripik singkong ini lebih beragam rasanya. Ada
yang diberi bumbu pada umumnya, ada yang dilumuri gula merah, dan ada yang
dilumuri sambal balado. Sedangkan karak kaliang itu sejenis kerupuk. Cemilan
ini juga dibuat dengan bahan baku singkong dan dibentuk menyerupai angka
delapan. Karak kaliang ini punya nama yang membingungkan. Dalam bahasa Minang,
‘karak’ berarti ‘kerak’, dan ‘kaliang’ berarti ‘ hitam’, namun faktanya karak
kaliang ini berwarna kuning. Aneh kan? Beda lagi kalo mereka gorengnya sampai
gosong. Wkwk.. Nah, di Jawa juga si karak kaliang ini punya kembaran, ‘lanting’
namanya.
Karak Kaliang dan Karupuak Sanjai |
Aku dan teman-teman berjalan
mengelilingi toko, bingung juga mau beli apa, karena ya itu tadi.. yang
terdapat di toko itu banyak juga terdapat di Jawa. Kacang pukul misalnya. Waktu
jaman SD dulu, aku suka banget ngemil jajanan berbahan dasar kacang tanah itu,
hanya aja di Jawa kami menyebutnya ‘enting’.
“Oh, cemilan kecil yang dibungkus
kertas itu ya? Yang gambarnya rumah gadang?” Ryan juga rupanya tau jajanan itu.
Hanya aja sekarang-sekarang ini jajanan itu udah jarang ditemukan di kota kami.
Entahlah kalo di daerah lain di Jawa.
“Mau yang beda nggak?” tanyaku pada
Ryan yang asik mengabadikan momen belanja kami dengan kamera hape. “Nih..”
Aku menyodorkan sebungkus rempeyek
jangkrik. Serius, rempeyek jangkrik! Ini baru nggak ada di kota kami. Wkwkwk..
Ryan bergidik. Sebaliknya Mas Win
dan Mas Febri justru tertarik.
“Ngambil dimana tuh?” tanya mereka.
Aku pun menunjukkan etalase dimana berbungkus-bungkus
rempeyek jangkrik berjajar. Mereka pun memasukkan beberapa bungkus rempeyek
jangkrik ke keranjang mereka. Ewhh.. Aku sebenarnya penasaran juga sih. Tapi
melihat jangkriknya yang lumayan besar-besar, aku jadi geli juga.
Singkat cerita, hari itu aku membeli
dua bungkus karupuak sanjai, sebungkus karak kaliang, sebungkus keripik nanas,
dan dua kotak bolu kemojo (ini juga nggak ada di Jawa). Kok sedikit? Iya, soalnya Dhea dan Mbak Eka bilang kalo Pak Yosep
udah menyiapkan sekardus oleh-oleh buat kami. Jadi biar bawanya nggak begitu berat,
ya udah beli oleh-olehnya nggak usah banyak-banyak. Wkwkwk.. Sekitar jam
sebelas kurang, kami pun kembali ke hotel untuk berkemas. Siang itu juga kami
harus udah check-out dari hotel,
kecuali Dhea karena dia masih harus tinggal beberapa hari di Pekanbaru untuk
menyelesaikan tugas. Haha..
Jam duabelas siang, kami tiba di
Bandara Sultan Syarif Kasim. Menjelang check-in,
kami berpamitan dengan Dhea dan Pak Yosep yang mengantar kami ke bandara,
khususnya kepada beliau yang udah begitu baik merangkul dan menjamu kami selama
di Pekanbaru. “Terima kasih banyak, Pak”, ucap kami. Lucunya, barang
bawaan kami saat pulang jadi jauh lebih banyak, apalagi Pak Faisal yang nggak
hanya membawa oleh-oleh untuk keluarganya, tapi juga untuk tiga kepala divisi
kami di kantor. Wkwkwk.. Begitu juga dengan Mas Win yang nggak hanya membawa
pulang dua kardus oleh-oleh, tapi juga dispenser hadiah door-prize itu. Teman-teman MusTanG meledeknya sebagai pemudik.
Haha.. Dan karena barang bawaan kami banyak, stiker bagasi yang kami dapat juga
banyak banget, udah kayak habis menang lotre. Wkwkwk..
Hari itu kami terbang dengan pesawat
Citilink, dan beruntungnya aku duduk di samping jendela lagiiiii.. Hihi..
Sayangnya, kali ini aku dan teman-teman duduk terpisah. Mas Win duduk di deretan
kursi di depanku, sedangkan teman-teman kami yang lain duduk jauh di kursi
belakang.
Sekitar jam satu siang, pesawat kami
terbang meninggalkan Sumatera. Berbeda dengan pemandangan milyaran kerlip lampu
yang kulihat dari pesawat tiga hari sebelumnya, kali ini aku melihat atap-atap
bangunan, jalan-jalan, dan pohon-pohon yang semakin mengecil seiring pesawat
kami yang membawa kami terbang semakin tinggi.. semakin tinggi.. dan SPLASS..
pemandangan di luar jendela berganti
dengan warna putih.. putih sejauh mata memandang, lalu kemudian berganti dengan
pemandangan gumpalan awan yang kini berada di bawah pesawat kami. Kami ada di
atas awan! Perasaanku campur aduk. Ada rasa kagum dengan keindahan ciptaan
Tuhan, ada pula perasaan sesak yang bergumul di dada, entah kenapa. Yah, inilah akhir perjalanan
kami di Kota Madani. Selamat
tinggal, Pekanbaru.
***
Well, empat hari tiga malam yang
menguras perasaan. Ya, menguras perasaan. Guilty
pleasure. Itu kan yang pernah aku tuliskan di postinganku sebelumnya?
Ingat bahwa
beberapa waktu yang lalu, aku pernah sangat ingin berada disana. Sangat ingin,
hingga pada akhirnya keadaan berbalik, dan keinginan itu musnah begitu aja.
Namun ironisnya, apa yang dulu kuinginkan justru baru terwujud ketika aku udah
nggak menginginkannya lagi. Oh ya.. Aku mencoba menerima dan menikmatinya. Dan ya, aku senang. Aku senang bisa merasakan
naik pesawat, senang bertemu orang-orang Pekanbaru yang ramah, senang bisa
berjalan-jalan di kota yang dulu hanya bisa kutelusuri dengan Google
Streetview.. Tapi di sisi lain, apa yang telah lama kukubur kembali muncul ke
permukaan. Berbanding terbalik dengan tagline
yang tercantum di cover buku yang
kubaca saat itu, Garis Waktu : Sebuah Perjalanan Menghapus Luka, perjalanan ini
justru memaksaku memutar kembali memori yang ingin kuhapus, mencabik luka yang
belum genap sembuh, hingga membuatnya terbuka lagi. Memang nggak seharusnya aku
berada di tempat yang justru seharusnya aku hindari. Hahh..
Dear, Inner me. Selamat mengulang lagi
dari awal. Jangan lupa jahit lukamu.
0 komentar:
Posting Komentar