Selasa, 29 Maret 2016 4 komentar

FAKER [Part 2]

Postingan sebelumnya : FAKER [Part 1]



PENGALAMAN DI-FAKER-IN

Sekitar tahun 2011 sampai 2012, aku berteman dekat sama Teh Tyas dari Bogor, Maya dari Nganjuk, dan Teh Fany dari Bandung. Ketiganya adalah temen Facebook-ku, dan sama-sama tergabung dalam keluarga MCRmy—penggemar My Chemical Romance. Saking dekatnya, kami sering chat via Facebook, dan saling memanggil dengan awalan ‘Jeng’. Ya know.. panggilan ala ibu-ibu arisan : Jeng Putri, Jeng Tyas, Jeng Maya, dan Jeng Fany.

Suatu hari, dalam sebuah perbincangan di SMS, Teh Tyas tanya, “Jeng, kamu pernah curiga nggak sih kalo Jeng Fany itu sebenernya akun palsu yang dikendalikan sama seseorang?”
Karena heran, aku tanya balik, “Hah? Maksudnya gimana, Jeng?”
“Ya aku curiga aja kalo dia itu sebenernya Faker,” jawab Teh Tyas.
Well, saat itu aku nggak pernah mencurigai siapapun diantara temen-temenku itu. Tapi semenjak Teh Tyas melemparkan pertanyaan itu, aku jadi kepikiran sesuatu, yakni foto-foto di album Teh Fany yang selama ini diakui sebagai foto-foto miliknya. Foto-fotonya tuh extremely pretty banget. Rambut hitam panjang dan lurus, kulit putih, bibir penuh, tubuh langsing dan tinggi semampai (dia pernah bilang kalo dia punya tinggi badan sekitar seratus tujuh puluhan centimeter). Aku yakin, cowok straight manapun nggak ada yang berpendapat kalo dia nggak cantik. Dengan penampilan secantik itu, dia sangat pantas jadi model ataupun pramugari.




Kemudian setelah itu, aku memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Pertama-tama, diam-diam aku selidiki akunnya. Memang aneh sih rasanya. Dia cantik, punya banyak temen, tapi nggak ada satupun foto dia bareng temen-temennya disitu. Aku denger dia adalah mahasiswi jurusan Ekonomi. Pastilah (harusnya) dia punya banyak temen, apalagi didukung sama penampilan fisiknya yang menarik dan kepribadiannya yang supel. Kemudian aku ambil satu fotonya buat aku selidiki. Ya know what? Penyelidikan itu langsung membuahkan hasil dalam satu langkah aja! Akun orang yang selama ini aku kenal bernama Fany Silvia itu, yang selama sekitar setahun lamanya satu gank bareng aku.. ternyata dia FAKE! Geezz.. How the hell didn’t we notice it? Selama ini dia pake fotonya Hoang Thuy Linh—penyanyi asal Vietnam. Langsung aja aku kabarin hal itu ke Teh Tyas.




Nggak cukup sampai disitu, aku terus melakukan penyelidikan. Bersama Teh Tyas, kami berdua mencoba mengungkap siapa pengendali akun Fany itu. Kami telusuri akunnya dari awal pembuatan sampe terakhir kali dia update status. Tapi disamping melakukan penyelidikan, kami masih berkomunikasi sama dia seperti biasa, seolah-olah fakta bahwa dia adalah Faker itu nggak pernah kami ketahui.

Dari penyelidikan itu, kami memperoleh banyak kejanggalan dari akun itu. Nggak hanya janggal dari fotonya, tapi juga dari bahasa dan kata-katanya dari waktu ke waktu. Di awal-awal pembuatan, dia alay banget, kalimat-kalimat di statusnya pun nggak jauh dari kegalauan dan hal-hal berbau cinta. Oke, ini masih bisa dibilang wajar, sebagian besar orang pernah mengalami fase ini, mungkin aja saat itu dia belum ‘dewasa’. Kemudian beberapa lama setelah itu, dia mulai jadi manusia yang ‘normal’, alias nggak alay. Dia jadi sering update status dengan bahasa Indonesia yang bisa dibilang baku. Di sebuah status yang dia update, ada komentar dia yang menyatakan bahwa dia berasal dari sebuah pulau di luar Jawa (Kalimantan atau dimana gitu, aku lupa), sehingga dia nggak bisa berbahasa Sunda dan nggak ngerti kalo ada orang yang ngomong bahasa Sunda. Tapi anehnya, setelah dia mengungkapkan bahwa dia sama sekali nggak bisa berbahasa Sunda di salah satu statusnya, beberapa bulan kemudian dia jadi sering update status dan komen-komenan dengan bahasa Sunda. Bukankah itu aneh? Rasanya mustahil kalo seseorang bisa memahami suatu bahasa dan menggunakannya dalam kurun waktu beberapa bulan aja. Selain itu, status yang dia update pun jadi ‘kecowok-cowokan’ : ngebahas bola, ngebahas kalo dia abis nge-drift dari Bandung ke Jakarta trus balik lagi, ngebahas kalo dia abis minum suatu merk kopi trus mencret setelahnya.. Sangat berbeda dengan bahasa Fany yang dulu pas awal-awal dia bikin akun, sangat ‘kecewek-cewekan’ dan terkesan innocent gitu. Tapi memang justru Fany yang ‘kecowok-cowokan’ inilah yang aku, Teh Tyas, dan Maya kenal selama ini. Kami pikir dia tomboy dan cuek gitu orangnya. Tapi kalo ngeliat perubahan perilaku dia dari waktu ke waktu (yang saat itu baru kami sadari) itu, jelas aja hal ini bikin kami bertanya-tanya.

Selain kejanggalan-kejanggalan itu, aku dan Teh Tyas juga mencurigai seorang cowok yang sebut aja bernama Doing. Doing ini mantannya si Fany, dan kami curiga bahwa si Doing lah si pengendali akun itu. Kami mau menyelidikinya, tapi nggak tau gimana caranya. Aku mau add dia, tapi takut dia mikir macem-macem. Aku nggak puas dengan hanya mengetahui bahwa akun Fany itu fake. Aku penasaran pengen tau siapa dalang dibalik akun palsu itu. Aku terus memutar otak, sampai akhirnya aku mendapat ilham. Haha..

Namanya temen deket, pasti nggak afdol kalo nggak tuker-tukeran nomor kontak. Dan sebagai salah satu temen deket Fany, tentu aku punya nomor hapenya. Kami memang cukup sering SMS-an, tapi sekalipun kami nggak pernah telponan. Teh Tyas pernah bilang bahwa Fany memang selalu menolak kalo diajak telponan. Dia punya masalah pendengaran, katanya. Anehnya, sebelumnya Fany pernah cerita kalo dia suka dengerin musik pake headset selama berjam-jam. Makanya aku terdorong untuk melakukan cara ini untuk membongkar kedoknya. Aku beli kartu perdana baru, lalu aku telpon dia, yah missed call lebih tepatnya, coz aku sama sekali nggak berniat buat ngobrol sama dia. Aku cuma mau dengar suaranya, hanya mau memastikan apakah pemilik nomor hape itu cewek atau cowok. Ketika aku telpon, si pemilik nomor mengangkat telponku, tapi dia nggak ngucapin sepatah katapun. Aku matiin, lalu aku telpon lagi, tapi responnya tetap sama, dia mengangkat telponku tapi nggak ngucapin apa-apa. Akhirnya aku SMS aja dia. Aku nggak yakin bahwa si Doing adalah dalang dibalik akun Fany, tapi aku mencurigainya, jadi aku gambling aja. Aku SMS dengan hanya menyapa, “Doing!”
Dan berhasil! Si pemilik nomor membalas SMS-ku, pake bahasa Sunda, “Ieu saha? Dewi nya?”
Yes! Semakin kuatlah kecurigaanku.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku justru tanya balik. Sengaja, buat memastikan apakah trikku bener-bener tepat sasaran. “Lagi apa, Doing?”
Aku lupa dia jawab apa waktu itu, tapi aku inget dia nanya, “.... Dewi kumaha damang?
Lagi-lagi aku nggak jawab. Aku malah telpon dia lagi. Berhasil! Dia angkat telponku, dan finally bilang “Halo?” Suara cowok.

Damn!

Langsung aja aku sampein hal itu sama Teh Tyas. Awalnya hal ini cuma aku dan Teh Tyas aja yang tau, tapi karena Maya juga satu gank sama kami, akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu Maya juga. Maya shock waktu aku kasih tau hal itu, coz dia sering curhat hal pribadi sama Fany palsu itu, dan dia menyesal banget. “Kalo aku tau dia cowok, aku nggak akan curhat hal-hal pribadiku ke dia, Jeng,” katanya.

Awalnya, aku, Teh Tyas, dan Maya berniat ngerjain dia dengan tujuan membongkar kedok dia di Facebook, biar para MCRmy lain yang bertemen sama dia—termasuk mereka yang naksir setengah mati sama dia—pada tau soal kepalsuan akun itu. Tapi niat itu kami urungkan, coz takutnya hal itu malah mengundang bullying, baik itu kepada mereka yang naksir Fany maupun kepada si Doing itu sendiri. Selain itu, kami kan berpengalaman jadi Faker juga. Kok kayaknya gimana gitu kalo kita mengungkap kedok Faker, tapi kitanya sendiri juga berpengalaman jadi Faker (walaupun dalam dunia per-faker-an kami nggak bisa sejago dia dalam menjalin hubungan pertemanan. just so you know aja, walaupun fake dan fotonya mudah terlacak, tapi dia nggak pake akun palsu lain ataupun autolike lho buat bikin akunnya rame dan hidup). Akhirnya kami memutuskan untuk menyelesaikan hal itu secara personal.

Menjelang Idul Fitri 2012 itu, aku dan temen-temen satu gank-ku itu saling mengirim SMS permohonan maaf lahir batin, termasuk si Fany. Nah, disitulah aku bilang ke dia—via SMS, “Udah mau Lebaran nih, Jeng. Udah maap-maapan juga, jadi topengnya dibuka dong.”
“Maksudnya gimana, Jeng?” balasnya.
Kemudian aku membeberkan semuanya ke dia.. tentang kecurigaan kami, tentang penyelidikan itu, tentang foto dan akun palsunya.. sampe akhirnya dia mengakui kesalahannya. Dia minta maaf atas hal itu, dan meminta aku buat menyampaikan permintaan maafnya juga ke Teh Tyas dan Maya. Dia juga sempat mewanti-wanti kami buat berhati-hati karena diantara para MCRmy Indonesia di sekitar kami, ada enam akun palsu lagi. Kemudian beberapa lama setelah pengakuan itu, akun Fany pun udah nggak ada lagi. Kemungkinan si Doing menonaktifkannya.

Beberapa hari pasca hilangnya akun Fany, grup MCRmy heboh. Banyak yang nyariin dia, banyak yang kehilangan, banyak yang ngerasa kangen.. Well, jujur.. aku, Teh Tyas, dan Maya juga kangen sama sosok Fany. Dan yang pasti yang kami kangenin itu Fany, bukan Doing. Kami kangen nge-chat dan seru-seruan bareng. Andai Fany Silvia itu beneran ada, dia adalah sosok yang bisa banget jadi temen baik kami. Setelah kepalsuan itu kebongkar, kami tentu kecewa berat. Kami nggak bisa bertemen sama Doing. Kalopun bisa, hubungan pertemanan kami tentu nggak bakal sama kayak hubungan pertemanan kami dengan Fany, meskipun mereka adalah orang yang sama.


Gambar ilustrasi kami berempat. Ini temen Teh Tyas lho yang bikin.
[Ki-Ka : aku, Teh Tyas, Fany, Maya]


[Ki-Ka : aku, Maya, Fany, Teh Tyas]


[Ki-Ka : Maya, Fany, Teh Tyas, aku]



PENGALAMAN JADI FAKER

Aku melakukannya beberapa tahun yang lalu, waktu statusku masih merupakan seorang pelajar. Aku pake foto seorang seleb cowok yang kurang terkenal saat itu, dan berperan sebagai seorang mahasiswa dari suatu universitas di sebuah kota besar di Jawa Barat. Tujuan aku membuat akun ini adalah karena aku bosen jadi diriku sendiri.  Aku pengen mencoba jadi orang lain, khususnya jadi cowok. Yah, mungkin karena kepribadianku yang agak boyish juga, makanya aku mencoba ‘menjadi sosok yang berbeda’ di dunia maya. Selain itu saat itu aku juga lagi nge-stalk sebuah grup Facebook yang menghina Islam gitu, dan dengan akun palsuku itu, aku ikut berpartisipasi disana. Bukan koar-koar dengan kata-kata kasar lho ya, melainkan dengan memberikan opini dan pemikiranku terhadap penghinaan mereka.

Aku juga sempat bekerjasama dengan dua Faker lainnya. Yang satu usianya tiga tahun dibawahku. Tapi akhirnya aku memutuskan hubungan kerjasama kami karena Faker yang satu itu kurang hati-hati dalam mengelola akun palsunya (asal comot dan upload foto, dan pura-pura jadi cowok blasteran Thailand, tapi bahasa Inggris dan Thailandnya berantakan karena hasil copy gugel trenslet). Sedangkan Faker yang satunya jarang banget aktif, bahkan dia pensiun duluan dari dunia per-faker-an.

Gimana sih rasanya jadi Faker?
Aku akui rasanya asik. Apalagi saat berperan menjadi sosok yang berbeda dengan gender yang berbeda pula. Dan yang pasti karena aku berperan menjadi seorang cowok yang good-looking, aku jadi menuai banyak pujian dari banyak orang. Percaya atau enggak, inilah hal yang paling disukai oleh Faker pada umumnya, apalagi Faker yang suka banget cari perhatian orang : Sering upload foto, sering nge-tag orang yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan postingan dia, sering mancing komen.. haisshh.. -_-
Tapi selama jadi Faker, aku nggak pernah tuh mencari perhatian dengan sembarangan nge-tag orang kayak gitu, karena ya memang tujuan utamaku bukan buat tebar pesona. Haha..

Karakter asliku yang agak boyish juga membuatku bisa mendalami peran ini. Percaya atau enggak, cowok nge-faker jadi cewek itu gampang. Tapi cewek nge-faker jadi cowok itu susah. Bukan susah MENJALANI-nya, tapi susah MENDALAMI perannya, karena menurutku cewek yang mau jadi Faker untuk jenis kelamin ini harus punya sisi maskulin dulu (ceilah..). Kalopun enggak punya sisi maskulin, seenggaknya dia harus mengetahui, memahami, atau bahkan menyukai hal-hal yang identik dengan cowok, misalnya bola. Semua cowok—apalagi cowok straight alias normal—pasti suka sepak bola, futsal, atau basket. Dan sangat aneh kalo ada cowok straight yang SERING update status tapi sama sekali nggak pernah update status berbau bola, malah cinta-cintaan dan galau-galauan terus yang di-update. Yah, kalo nggak update tentang bola ya update apa kek yang berbau maskulin. Inilah yang sering jadi problem. Sangat jarang Faker cewek yang nge-fakerin cewek. Mereka cenderung nge-fakerin cowok, tapi nggak bisa ‘menjadi cowok’ yang baik (dalam artian sama sekali nggak punya sisi kecowok-cowokan).

Saat itu aku tau.. tau banget kalo apa yang aku lakukan ini adalah salah satu perbuatan tercela, karena meskipun aku nggak melakukan suatu kejahatan kriminal, tapi intinya sama aja ‘bohongin orang’, dan Tuhan nggak suka ini. Tapi nggak tau kenapa, sesuatu yang tercela itu selalu menimbulkan efek ‘nikmat’, semua orang pasti tau itu. Godaan setan banget ya..
Yah, intinya aku nggak sepenuhnya khilaf. Aku melakukan suatu hal yang aku tau bahwa itu salah. Kesadaran akan kesalahan itu membuat aku terpikir untuk melakukan sedikit hal baik, yakni bantuin temen-temen dunia mayaku mengerjakan tugas sekolahnya. Eit, don’t say “Whut!?” :v

Well, temen-temen Facebook dari akun palsuku mostly adalah para pelajar SMP dan SMA. Mereka biasanya sering minta bantuan gitu deh kalo mereka dapet tugas sekolah. Mungkin karena mereka ngeliat title-ku yang sebagai mahasiswa kali ya. Dan jangan tanya kenapa mereka minta tolongnya ke aku, karena aku juga nggak ngerti. Mungkin ini amanah yang dikasih Tuhan biar dosaku nggak numpuk-numpuk banget. Entahlah :v
 Untung tugasnya nggak susah-susah banget dan nggak melampaui kemampuanku, jadi ya sekalian aja aku ajarin. Aneh juga sih sebenernya, aku bisa ngajarin orang via dumay, tapi nggak bisa ngajarin orang secara langsung -_-

Aku baru berhenti jadi Faker ketika aku ‘yang bukan aku’ itu ditaksir sama dua orang cewek di Facebook. Cewek yang pertama adalah seorang pelajar dan bisa dibilang agak freak. Dengan beraninya dia menyatakan perasaannya dan bilang bahwa dia pengen banget jadi pacar aku ‘yang bukan aku’ tersebut. Kadang dia juga minta aku membantunya ngerjain tugas sekolah. Hal itu tentu masih bisa aku penuhi, tapi yang lebih gilanya lagi, dia berani minta diisiin pulsa. WTF!!

Sedangkan cewek yang satunya adalah seorang karyawan sebuah produk. Berbeda dengan cewek yang pertama, cewek yang satu ini baik banget, dan kami sangat klop. Kami bisa ngobrolin apapun sampe berjam-jam dan hampir nggak ada putusnya karena setiap kami berkomunikasi, ada aja topik yang dibahas. Dia memang nggak pernah menyatakan perasaannya secara langsung kayak cewek yang pertama itu, hanya aja dia sering ngasih kode baik itu lewat kata-katanya saat kami berkomunikasi maupun lewat status-statusnya. Dia juga mengaku kagum sama aku ‘yang bukan aku’ yang care sama dedek-dedek itu (temen-temen Facebook-ku yang masih pelajar yang sering aku bantuin itu). Dari situ aku jadi sadar bahwa dia mulai punya perasaan khusus terhadap aku ‘yang bukan aku’ itu. Karena aku nggak mau bikin dia tenggelam terlalu jauh kedalam perasaannya, akhirnya ya begitulah.. Aku pensiun jadi Faker.

Awalnya memang sulit. Di awal-awal pensiun, aku masih suka log in akun palsuku walau nggak sesering dulu. ‘Menjadi orang lain’ di dunia maya rasanya udah menjadi candu saat itu, sehingga rasanya beteeee banget kalo aku menghentikan aktifitas itu. Tapi lama-lama akhirnya aku berhenti juga sih dari aktifitas pemalsuan identitas itu, walaupun kadang-kadang masih iseng log in buat sekedar nengokin aja (barangkali ada pesan gitu, dan memang bener, cukup banyak yang kehilangan aku dan mengirim pesan gitu, tapi of course nggak aku balas). Pernah suatu hari adikku memergoki aku saat aku lagi log in ke akun palsuku itu. Trus dia bilang, “Masih aja ngerjain orang. Awas lho, setiap kali log in ke situ, dosa nambah satu,” gitu katanya. Dia kira aku masih nge-faker, padahal sebenernya cuma nengokin doang. Sebenernya tanpa dia bilang gitu pun aku tau itu kok. Bahkan aku pikir, dosa itu mungkin bukan cuma nambah setiap kali log in, melainkan nambah dari setiap kata atau kalimat yang kita sampaikan dari akun palsu itu. Naudzubillah..

***

Intinya, buat para Faker—khususnya buat para Faker yang merugikan, mending berhenti deh eksis di dunia maya dengan cara kayak gitu. Well, sebenarnya sah-sah aja sih jadi Faker, toh semua orang butuh hiburan dan dosa juga diri sendiri yang nanggung. Nggak masalah juga bagi kita yang bukan Faker tapi mau berteman sama Faker, karena toh memang dunia maya itu dunia penuh tipuan (yang real aja banyak yang menipu, apalagi yang jelas-jelas fake). Asalkan si Faker itu ya seperti yang aku sebut tadi : nggak merugikan orang lain.

Faker yang merugikan tuh yang kayak gimana?

Faker yang membuat kita/orang lain percaya sepenuhnya.
Ada Faker yang berusaha membuat kita nyaman dan percaya, sehingga kita merasa si Faker ini sahabat yang baik, sampe-sampe rahasia kita yang paling pribadi pun diungkapin ke dia.
Faker yang membuat kita/orang lain sampe jatuh cinta.
Banyak banget Faker semacam ini, dan ini bahaya banget. Dengan penampilan yang good looking, sangat mudah bagi para Faker buat menarik lawan jenis. Apalagi kebanyakan dari para Faker itu nggak cuma good looking doang, tapi biasanya mereka itu jaim dan manis (ada yang smart, sopan, alim, baik, romantis.. pokoknya baik deh, nggak tau aslinya kayak gimana). Mudah bagi para Faker itu buat bikin orang lain suka bahkan sampe in love segala. Nah, kalo rasa sukanya udah level berat—pakai perasaan—gitu, gimana coba perasaan korban kalo sampe si Faker ketauan palsu? Pasti kecewa banget kan? Lebih gawat lagi kalo si Faker menghilang (atau pura-pura meninggal, misalnya) tanpa korban pernah tau bahwa dia itu palsu. Itu pasti bakal sangat memukul dia banget. Bahkan bukan nggak mungkin lho si korban bakal kepikiran atau depresi karena kehilangan.

Ah, si Putri lebay nih. Mana ada yang kayak gitu!
Hey, just so you know aja, Guys. Aku menulis ini karena aku pernah melakukan, mendengar, mengamati, dan mengalami. Kan diatas tadi udah aku ceritain pengalamanku di-faker-in dan nge-faker. Kejadian nyatanya juga udah ada, bahkan pernah diangkat kasusnya di salah satu episode reality show Rumah Uya lho.
Tapi masa bisa sampe depresi segala?
Bisa. Bukan nggak mungkin. Namanya udah percaya dan jatuh cinta gimana sih rasanya? Bayangin, kita udah buang banyak waktu buat dia—si Faker, udah ngasih apa yang dia minta (misalnya si Faker minta dikirimin pulsa atau barang gitu), udah nutup hati buat orang lain demi dia.. tapi dianya malah menghilang ninggalin kita. Apa nggak kecewa? Apa nggak sakit dan sedih rasanya? Nah, kalo korban udah nge-down gitu, apa si Faker bakal tanggung jawab? I don’t think that they would :)


Gitu aja sih pesanku. Jangan gampang percaya sama orang asing, khususnya mereka yang kamu kenal lewat dunia maya. Apalagi kalo mau cari pasangan. Jangan terlalu mudah tertarik sama penampilan luar. Kenali dulu dia dengan baik, ajak komunikasi, ajak ketemuan.. baru kalo udah klop, terserah deh mau dipacarin, mau dinikahin, atau apalah. REMEMBER? Orang baik di dunia maya itu banyak, tapi yang nakal lebih banyak :)

Mau tau lebih banyak tentang Faker? Tengok page ini aja, or like this page if you don't mind :)   >>   All About Faker
0 komentar

FAKER [Part 1]

Mungkin ini kesekian kalinya aku menulis topik tentang ini. Faker, yakni julukan keren bagi para pemalsu identitas di dunia maya. Well, aku yakin, di dunia ini banyak banget pengguna akun media sosial yang jadi pemalsu identitas, mulai dari akun Facebook, Line, WhatsApp, KakaoTalk, Twitter, bahkan Instagram dan BBM-pun these days banyak yang memalsukan.

Mungkin diantara Pembaca juga ada yang pernah jadi Faker. Bahkan aku sendiri mengakui bahwa aku pernah melakukannya. Hahaha.. ^^v

Alright, menurut pengalaman dan pengamatanku, seseorang bisa menjadi Faker karena beberapa faktor :
  1.  Bosen menjalani peran sebagai diri sendiri
  2.  Pengen cari ribut, memprovokasi, atau mengolok-olok seseorang, suatu grup, atau komunitas tanpa diketahui identitas aslinya
  3. Pengen cari temen buat diajak ngobrol soal *ifyouknowwhatImean*
  4. Pengen mata-matain / nge-stalk seseorang atau mencari tau informasi tentang sesuatu
  5. Kelewat jones , jadi bikin akun palsu buat dijadiin partner (palsu)-nya
  6. Benci sama seseorang, jadi bikin akun palsu atas nama orang yang dia benci buat merusak nama baiknya
  7. Gila jempol alias likers ataupun followers. Saking kepengennya postingan dia banyak yang nge-like atau akunnya di-follow banyak orang, jadi sampe bela-belain bikin akun-akun palsu buat jadi likers ataupun followers (palsu)-nya
  8. Pengen cari perhatian dan sensasi
  9. Sengaja pengen ngejahilin orang.

Aku pribadi menyebut ini sebagai ‘kegiatan bermain peran’, walaupun sebenernya ‘bermain peran’ merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh para Roleplayer sih ya.

Well, Roleplayer dan Faker memang serupa tapi nggak sama. Seperti yang aku sebut di atas tadi, Roleplayer adalah mereka yang membuat akun sosial media atas nama idolanya dan menggunakan akun tersebut untuk memerankan idolanya tersebut. Status-status yang mereka update juga bener-bener mencerminkan kelakuan si artis yang sebenernya. Yup, HANYA MEMERANKAN, bukan mengaku-ngaku bahwa dia adalah real artis yang diperankannya. Sedangkan Faker adalah mereka yang melakukan pemalsuan identitas dengan mengaku-ngaku sebagai orang lain. Jadi, Roleplayer bisa dibilang sama sekali bukan merupakan bentuk penipuan, karena para Roleplayer mengakui bahwa mereka hanyalah penggemar yang sedang bermain peran menjadi tokoh idolanya, jadi orang lain nggak bakal salah mengira bahwa Si Roleplayer itu adalah artis atau tokoh idola yang sesungguhnya.

Berbeda dengan Faker. Karena niat mereka memalsukan identitas, jadi ya nama yang mereka pakai berbeda-beda, alias nggak sesuai dengan nama orang yang fotonya mereka pakai atau mereka akuin sebagai foto mereka. Mereka biasanya nyari foto dari tokoh idola yang mereka pikir kurang dikenal masyarakat. Misalnya, (sebut aja) Si A pengen jadi Faker. Lalu dia bikin akun media sosial dengan nama Alexander Kevin (maaf nih kalo ada yang namanya sama). Setelah itu, dia ngambilin foto-foto Mario Maurer buat dia upload ke akun palsu tadi dan dia akui sebagai foto-foto miliknya, karena dia pikir masyarakat Indonesia nggak bakal tau kalo foto-foto yang dia pake di akun itu sebenernya  adalah foto Mario.

Tapi Faker sekarang udah banyak yang pinter lho. Kalo dulu, Faker biasanya menggunakan foto artis ataupun foto tokoh terkenal, tapi sekarang, Faker udah banyak banget yang menggunakan foto-foto orang lain yang bukan artis atau tokoh terkenal—tapi tentu aja dengan penampilan yang menarik. Kenapa mereka nggak lagi pake foto artis atau foto tokoh terkenal? Karena sekarang foto artis dan foto tokoh terkenal bisa dengan gampang terlacak. Yah, ada sih Faker yang masih nge-faker pakai foto artis dan foto tokoh terkenal, hanya aja biasanya foto yang dia pakai adalah foto artis atau tokoh terkenal dari negara yang masih tetanggaan dekat dengan Indonesia (karena orang-orang yang berasal dari negara tetangga biasanya wajahnya mirip dengan wajah orang Indonesia), itupun biasanya foto-foto itu udah dimodifikasi ataupun diedit biar nggak mudah terlacak. Kecuali kalo Faker-nya masih pemula banget, biasanya dia nggak mempertimbangkan apakah fotonya bakal terlacak atau enggak.

Dalam mengupload foto orang pun, Faker yang ‘mikir’ biasanya pilih-pilih dalam mencomot dan mengunggah foto. Mereka biasanya mencomot dan mengupload foto yang ‘masuk akal’ agar nggak mudah dicurigai. Sedangkan Faker pemula biasanya asal upload. Misalnya nih, seorang Faker pengen mengupload foto orang—yang dia akui sebagai dirinya—yang sedang menyetir mobil dengan caption “Jalan-jalan ke Ciwalk dulu ah”. Foto itu dia ambil dari akun orang Vietnam. Kita tau kan kalo posisi kemudi mobil di negara kita terletak di sebelah kanan, sedangkan posisi kemudi mobil di Vietnam terletak di sebelah kiri. Faker Pro biasanya akan mengedit foto itu dulu sebelum diunggah. Sedangkan Faker pemula mungkin nggak memikirkan hal ini.

Faker dulu juga biasanya cuma punya satu akun. Tapi Faker sekarang udah banyak yang punya akun palsu lebih dari tiga. Apa tujuannya? Jelas, agar akun palsunya terlihat lebih real.

Logikanya gini. Kita yang punya akun asli pasti sering, atau seenggaknya pernah saling komen atau saling nge-wall sama temen ‘nyata’ atau temen deket kita. Misalnya gini :
A   : “Eh, Curut. Hape lo kenapa? Gw telpon nggak aktif mulu”
B   : “Maap, Nyet, hape gw rusak. Ngapain lo telpon gw?”
A   : “Gapapa, cuma mo ngajak lo jalan-jalan. Sumpek dirumah terus.”
B   : “Ayo. Kapan? Kemana?”
A   : “Pangandaran yuk, ntar Sabtu. Ajak Si Buncul juga sekalian.”

Yah, begitulah kira-kira. Nah, Faker juga sama. Pasti mencurigakan kan kalo ada akun milik seseorang dengan penampilan menarik tapi akunnya sepi banget, nggak ada yang komen, nggak ada yang nge-wall.. Mungkin aja sih kalo dia kelewat pendiam, menderita Fobia Sosial, ataupun memiliki masalah sosial lainnya, makanya dia nggak punya temen. Tapi kalo hampir atau bahkan setiap hari mereka bisa upload foto lebih dari lima alias kelewat narsis, rasanya pemikiran bahwa mereka memiliki masalah sosial itu mustahil banget. Makanya, seorang Faker bisa bikin akun palsu sampe lebih dari tiga agar nggak dicurigai demikian. Faker yang punya akun banyak ini biasanya punya satu atau dua akun utama (paling menonjol, paling sering update, paling sering online, paling eksis lah pokoknya). Nah, akun palsu lainnya itu ya untuk mendukung akun utama itu agar terlihat lebih rame dan real. Biasanya akun-akun itu berperan sebagai teman, keluarga, atau pacar dari akun utama, dan biasanya mereka sering muncul kalo si akun utama posting sesuatu (beberapa akun ada juga yang memenuhi wall si akun utama). Akun-akun itu juga biasanya baru dibuat dan jarak waktu pembuatannya nggak jauh antara akun yang satu dengan akun lainnya. Lalu, apabila akun utama mati (vakum, dinonaktifkan, ketauan palsu, etc..) maka biasanya akun palsu lainnya pun bakal stop beroperasi.

Tapi ada juga lho Faker yang bekerjasama dengan sesama Faker lainnya agar akun palsu buatan mereka bener-bener terlihat rame seperti akun real. Hanya aja, meskipun asik (karena akun palsu bisa terlihat lebih real), metode kerjasama ini resikonya lebih besar. Karena kalo satu akun ketauan palsu, maka kedok akun lainnya pun terbongkar, termasuk akun milik Faker yang melakukan kerjasama dengan Faker yang kedoknya terbongkar tersebut. Lalu ada juga Faker yang pakai aplikasi autolike. Yah, pokoknya banyak lah cara yang dilakukan Faker biar akunnya ‘hidup’.

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya di awal September tahun lalu, aku dikejutkan dengan sebuah akun Facebook atas namaku. Well, bukan namaku sih, melainkan nama penaku, ‘Vidialesta’. Sejauh ini, yang aku tau, nama Vidialesta itu cuma aku yang menggunakan. Berbeda dengan nama ‘Vidia Lestari’ yang sangat berjibun. Makanya aku terdorong untuk nge-stalk akun itu. Apalagi akun itu menggunakan foto Zee Matanawee sebagai foto profilnya. Sebenernya beberapa tahun yang lalu juga pernah ada sih akun Facebook palsu yang mengatasnamakan aku. Aku pernah mengeluhkan hal ini di salah satu status yang aku posting, dan kebetulan aja ada anak MCRmy yang komen dan mengaku bahwa akun itu dibuat sama temannya yang berniat buat merusak nama baikku, hanya aja dia nggak mau nyebut nama temannya itu. Aku memang mencurigai satu nama sih, cewek, anak MCRmy juga dan pernah ada di friendlist Facebookku sebelum akhirnya dia memblokirku dari friendlist-nya. Tapi syukurnya, perusakan nama baik itu nggak bener-bener terjadi. Semua itu akhirnya berlalu, dan nggak lama setelah itu akun palsu atas nama ‘Putri Vidialesta’ itu menghilang dari peredaran. Aku lega atas hal itu, sebelum akhirnya dibuat kesel lagi sama akun palsu bernama ‘Vidialesta’ yang baru kutemukan awal September tahun lalu itu.

Si pemilik akun palsu itu memang nggak berniat buat merusak nama baikku sih, hanya aja yang bikin kesel, akun berjenis kelamin cowok (tapi aku yakin pengelolanya adalah cewek) itu menggunakan foto-foto yang diposting di blogku. Nggak cuma foto-foto Zee aja yang dia comot dan dia akui sebagai foto-fotonya, tapi juga foto temen-temen kampusku pas tanding futsal dua tahun lalu pun dia upload ke Facebooknya. Nah, gimana nggak kesel coba? Udah pakai namaku, pakai foto-foto dari blogku juga.


Foto pertandingan futsal kampusku tahun 2013 lalu
yang dicomot sama Si Vidialesta abal-abal


Selain itu, ada juga wallpaper dengan teks ‘I’m sick of this life’ yang pernah aku buat tahun 2010 lalu, dan foto My Chemical Romance dengan formasi lama—Gerard Way, Mikey Way, Ray Toro, Frank Iero, dan Bob Bryar—yang pernah aku posting ke blog pas jaman-jamannya nama MCR masih berkibar. Di foto MCR yang Si Vidialesta Abal-Abal upload ke Facebook itu, dia kasih caption, “MCR. Fans berat gue nih, Gan. Gak berat-berat banget sih. Takut ngga kuat ngangkat. Hahaha.. Kalo kamu suka nggak?”


Udah jadi Vidialesta abal-abal, jadi MCRmy abal-abal
juga nih orang :v

Well, yang beneran MCRmy alias fans alias penggemar MCR pasti tau kalo MCR udah bubar sejak tahun 2013 lalu. Kalo dia beneran penggemar MCR, maka caption yang sangat mungkin dia tulis adalah, “Kangen banget sama MCR..” atau “Gue harap MCR muncul lagi dan bersatu dengan formasi ini lagi kayak jaman-jamannya The Black Parade dulu”, atau caption-caption serupa lainnya.

Di awal-awal pembuatan akun, dia sering banget upload foto Zee Keenan, dan semuanya adalah foto-foto Zee yang pernah aku posting di blogku. Kemudian setelah SEMUA foto Zee yang (kuduga kuat) ia comot dari blogku itu dia upload di Facebooknya, dia sempat vakum ngupload foto. Eh, nggak taunya setelah vakum ngupload foto, dia nongol lagi dengan foto orang baru berwajah sangat Indonesia, berkulit gelap, dengan poni lempar. Lalu di foto-dengan-wajah-baru yang dia upload itu,
seseorang berkomentar, “Ini beneran foto kamu?”
Kemudian beberapa hari setelah itu, dia ganti foto lagi, kali ini foto seorang cowok putih berwajah Asia. Kali ini seorang cewek asal Myanmar berkomentar, “I think I know him.” Dan beberapa hari kemudian setelah itu, Si Vidialesta Abal-Abal ganti foto lagi dengan foto orang yang lain—yang sampai sekarang dia gunakan. Foto-foto Zee, foto cowok polem berkulit gelap, dan foto orang yang dikomen sama cewek Myanmar itu dihapusnya. Hahaha.. Konyol kan xD

Aku yakin banget sih kalo Si Vidialesta abal-abal itu sekarang pakai foto-foto cowok Myanmar. Coz ada salah satu foto dia dengan latar belakang pagoda putih di Myanmar gitu. Konyolnya, dia mengaku bahwa foto itu dia ambil di Bali, dan aku cuma bisa ketawa geli ketika cewek Myanmar yang waktu itu mengomentari fotonya kembali berkomentar, “It has in Myanmar (mungkin artinya, “Ini ada di Myanmar”). Haisshh.. Mungkin harusnya Faker itu piknik ke Bali dulu, dan memastikan apakah ada pagoda seperti itu di Bali :v
Sayangnya foto itu udah di-delete sama dia (mungkin takut ketauan gara-gara komentar cewek Myanmar itu), jadi nggak bisa aku publikasikan disini. Tapi ada sih beberapa foto yang membuktikan bahwa dia itu bukan orang Indonesia.


Liat tulisan yang ada di tas itu kan? Tulisannya MYAN MAR


Produk yang dia konsumsi juga tampaknya bukan produk Indonesia :3

Mirisnya, Si Vidialesta abal-abal ini pacaran sama seorang cewek innocent yang nggak sadar kalo dia palsu. Setauku cewek ini udah berteman di Facebook sama Vidialesta abal-abal sejak dia pake foto Zee. Kok bisa cewek itu nggak nyadar? (=__=)

Dan ini.. temennya Si Vidialesta abal-abal yang udah pasti fake juga. Ngakunya mau sholat Magrib, padahal jagat masih terang benderang. Hahaha..
Just to let you know, Guys. Sebagian besar cowok di Myanmar hampir setiap hari memakai sarung (kalo disana namanya ‘longyi’), termasuk kalo berangkat sekolah.


Mau sholat Magrib katanya :3

Anyway, setahuku, Vidialesta punya beberapa teman fake, dan semuanya menggunakan foto-foto cowok Myanmar (hanya aja aku belum tau siapa nama-nama pemilik asli foto-fotonya). Akun-akun itu juga merupakan akun-akun yang baru dibuat (akun Vidialesta dibuat tahun 2015, sementara akun teman-temannya ada yang dibuat tahun 2015 dan tahun 2016). Aneh kan? Masa serombongan akunnya baru semua :3 Aku yakin sih, akun-akun ini dikelola sama orang yang sama, dan aku udah mencurigai satu nama. Tapi ya biarlah.. Liat aja nanti. Aku masih pengen tau sejauh mana Faker ini beraksi :3

Kemudian ada lagi akun Facebook seseorang yang mengaku blasteran Inggris-Indonesia.
Ia mengaku lahir dan besar di Manchester, Inggris dan hanya saat liburan aja dia bisa ke Indonesia. Dia juga mengaku bahwa saat ini dia sedang belajar berbahasa Indonesia. Memang sih, setiap kali berbahasa Indonesia, orang itu menggunakan bahasa Indonesia yang baku layaknya orang bule baru belajar Bahasa. Tapi anehnya, bahasa Inggris dia pun banyak yang keliru. Contoh kecilnya kayak gini :


Dari penulisan jam aja udah salah. Jam 6.35 kok pake "o'clock" -_-


Sebenarnya ini ajakan yang baik sih dari Si Faker, ngajakin belajar
bahasa asing gitu. Tapi caranya salah :v


Lucunya lagi, dia juga sering banget memamerkan iris matanya yang berwarna cognac. Upload foto matanya lah, atau foto tampak wajah dia dengan teks ‘look my eyes’.
Rasanya pengen aku komen aja, “Lantas kenapa gitu kalo saya lihat mata situ? Saya bakal kehipnotis?” Geez.. Teknologi sekarang sudah maju, Buddy. Semua orang juga bisa punya iris mata berwarna kalo pake lensa kontak -_-
Lagipula faktanya, orang yang beneran punya warna iris mata yang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya, pasti nggak akan merasa perlu buat menonjolkan (atau memamerkan) perbedaan itu.


Si Faker pamer kalo dia itu blasteran.


Ada juga Faker yang merasa dirinya jelek, tapi rajin upload foto. Padahal kenyataannya, orang yang merasa jelek kebanyakan minder dan jarang upload foto. Kalaupun jelek tapi pede, biasanya mereka nggak perlu mencantumkan caption yang memancing komen atau pendapat bahwa dirinya jelek atau enggak.

Lalu ada Faker yang menyanjung-nyanjung dirinya sendiri kayak gini.



Oh ya, mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa akun sosmed yang fake itu biasanya baru dibuat. Emang bener sih. Tapi ada juga lho akun fake yang udah lama dibuat, itupun akunnya transgender, kayak gini :v

Profilnya sih pake nama cowok, tapi coba liat link akunnya :v


Huaaahh.. pokoknya banyak banget deh orang-orang kayak gitu, apalagi di Facebook yang aksesnya mudah. Mudah buat akunnya, mudah cari temannya, mudah cari likers dan commenters.. Begitu juga dengan BBM yang sekarang bisa digunakan lebih dari tiga akun dalam satu device.


Anehnya masih banyak aja yang ketipu sama orang-orang kayak gitu, khususnya para cewek. Aku sendiri udah nggak mudah percaya lagi sama seseorang dengan penampilan good-looking di dumay, apalagi mereka yang kelewat friendly banget, sampe-sampe temen-temen dumaynya disapa, di-tag, ataupun di-summon gitu di postingan yang sebenernya nggak penting dan nggak berhubungan dengan orang yang mereka tag. Karena apa? Sangat jarang orang—yang benar-benar good-looking—yang seramah itu, bahkan sama temen-temen dumay-nya yang notabene nggak mereka kenal secara langsung. Apalagi cowok, mereka biasanya dingin. Seperti yang udah aku bilang sebelumnya, para Faker biasanya haus like dan comment, makanya mereka hobi nge-tag ataupun summon orang untuk mengundang perhatian agar postingan mereka di-like ataupun di-comment. Padahal logikanya, orang yang REALLY good-looking nggak butuh tuh pengakuan dari orang lain atas kegantengan atau kecantikannya. Nggak percaya? Gampang kok cara buktiinnya. Coba ajak mereka ketemuan, atau video call. Kalo mereka mau, dan ternyata sosoknya sama dengan yang kamu kenal di dunia maya, berarti kamu beruntung, nggak kena tipu. Tapi kalo dia nggak mau, nah itu patut dicurigai. Kayak si Vidialesta abal-abal ini nih, diajak video call sama ceweknya sendiri tapi ngeles. Aku yakin kalo diajak ketemuan, nih orang pasti bakal ngeles, ngilang, atau nggak pura-pura mati :3




Mau tau lebih banyak tentang Faker? Tengok page ini aja, or like this page if you don't mind :)   >>   All About Faker
Minggu, 27 Maret 2016 0 komentar

Hold On Till May

She sits up high, surrounded by the sun
One million branches and she loves everyone
“Mom and Dad, did you search for me?
I’ve been up here so long, I’m going crazy!”

And as the sun went down, we ended up on the ground
I heard the train shakes the windows, you screamed over the sound
And as we own this night, I put your body to the test with mine
This love was out of control, 3-2-1 where did it go?

Now don’t be crazy, yes now of course you can stay here
You know we’ve gone on ten years
“Big deal, I guess you’re official”
I only said cause I know what it’s like to feel

Burned out, and down
We’ve all been there sometimes
But tonight I’ll make you feel beautiful once again

If I were you, I’d put that away
See you’re just wasted thinking about the past again
Darling, you’ll be okay
She said,
If you were me, you’d do the same
Coz I can’t take anymore
I’ll draw the shades and close the door
I’m not alright, and I would rather

***

Sebenarnya lagu milik Pierce The Veil ini udah cukup lama ada di playlist-ku, mungkin sekitar satu tahun yang lalu. Lagu ini terdiri dari dua versi, yakni versi rock dan versi akustik. Waktu awal-awal, aku lebih sering menikmati versi akustik dari lagu ini ketimbang yang versi rock. Entahlah, menurutku vokal Vic Fuentes di versi akustik ini lebih menyayat dan suasana sedihnya tuh kentara banget sehingga aku terdorong buat search liriknya di Google (maklum, listening skill-ku masih perlu diasah, jadi nggak bisa nangkep kalimat-kalimat English secara sempurna, apalagi kalo lewat lagu). Tapi ketika aku baca liriknya, nggak tau kenapa aku malah nggak bisa memahami makna lagu ini, sehingga kesan sedih yang semula aku dapat ketika mendengar lagu ini jadi sedikit menguap karena aku pikir liriknya nggak semenyedihkan yang kukira (karena ya itu tadi, nggak paham). Akhirnya aku lupain lirik lagu itu dan kunikmati lagunya aja.

Hingga pada suatu hari di malam yang galau (tepatnya kemarin lusa) seperti biasa aku selalu mendengarkan lagu-lagu dari playlist-ku yang kuberi judul ‘Lullaby’, dimana dalam playlist ini berisi kumpulan lagu-lagu slow yang rutin aku dengarkan sebagai pengantar tidur, dan lagu Hold On Till May versi akustik adalah salah satu lagu yang termasuk kedalam playlist ini. Waktu itu, lagu ini aku putar, dan entah kenapa dalam kondisi setengah down itu telingaku jadi peka sehingga suddenly aku bisa menangkap dan memahami beberapa baris lirik lagu ini dengan cukup baik.

If I were you, I’d put that away
See you’re just wasted thinking about the past again
Darling, you’ll be okay
She said,
If you were me, you’d do the same
Coz I can’t take anymore...

Dan dari lirik yang aku dengar itu, entah kenapa tiba-tiba aku bisa langsung menginterpretasikan lagu itu sebagai lagu yang menyiratkan tentang rasa depresi yang dirasakan oleh seorang cewek, namun seseorang datang dan meyakinkannya bahwa dia akan baik-baik aja.

Jadi setelah sekian lamanya lirik lagu itu terlupakan, malam itu juga aku search lagi lirik lagu itu buat menterjemahkan maknanya secara menyeluruh. Dan baru deh, hari itu aku bisa memahami makna lagu itu. Ternyata bener lho, makna lagunya tuh dalem banget. Rupanya benar yang dikatakan anonymous, “If you’re happy, you enjoy the music. But when you’re sad, you understand the lyrics.” Aku memahami makna lagu itu, tepat ketika aku nggak sedang baik-baik aja. Damn! I really fall in love with this song! Efeknya mengingatkanku ketika pertama kali mendengar lagu Samar milik Fiersa Besari, coz makna lagunya kurang lebih sama dengan makna lagu Hold On Till May ini.

Wahai gadis bermata sendu
Mengapa kau merenung?
Tertunduk di sudut dunia
Apa yang kau sesali?

Tak tahukah dirimu, hidup takkan menunggu
Buka sedikit hati, agar kau tahu kau tidak sendiri

Lupakah kau cara tersenyum?
Apa sayapmu patah?
Jika begitu tak mengapa
Izinkan ku memapah

Berhentilah memaki semua yang tlah dicuri
Buka sedikit hati, agar kau tahu kau tidak sendiri

Pakailah pundakku saat kau menangis
Keluarkanlah hingga tak berbekas
Biarkan kupungut puing yang tersisa
Biar kupeluk hingga kau tersenyum

Pakailah pundakku saat kau menangis
Keluarkanlah hingga tak berbekas
Biarkan kupungut puing yang tersisa
Kan kupeluk hingga kau kembali tersenyum

Wahai gadis bermata sendu
Mengapa kau menangis?


Balik lagi ke topic tentang lagu Hold On Till May. Sekarang sih aku udah suka sama kedua versi dari lagu ini. I dunno.. Setelah memahami liriknya secara sempurna, aku jadi totally jatuh cinta sama lagu ini, sehingga dalam versi rock pun, lagu ini tetep terdengar sedih. Apalagi di part-nya Lindsey Stamey. Pada part ini, seolah-olah terjadi percakapan di antara Vic dan Lindsey.
Vic : Kalau aku jadi kau, aku akan melupakannya. Lihatlah, kau hanya membuang-buang waktu dengan memikirkan masa lalu. Percayalah, kau akan baik-baik saja.
Lindsey : Jika kau ada di posisiku, kau pasti akan melakukan hal yang sama. Aku tak bisa lagi menahan semua ini. Segalanya kacau. Aku ingin mengakhiri semuanya.”




See?
Aku sendiri bingung mau menyebut lagu ini sebagai lagu sedih atau lagu yang memberi semangat, coz lagu ini memang memilukan, tapi juga terselip pesan untuk melupakan masa lalu yang kelam dan nggak menyerah dalam menghadapi segala persoalan hidup (khususnya menyerah dengan cara bunuh diri), makanya nggak sedikit penggemar Pierce The Veil yang merasa terselamatkan dengan adanya lagu ini. Ah, keren deh. Kabarnya sih lagu ini memang didedikasikan untuk seorang teman Vic Fuentes yang mengalami depresi karena nggak dianggap oleh orangtuanya. Ada juga yang bilang bahwa lagu ini menceritakan tentang seorang cewek bernama Alicia—yang merupakan penggemar Pierce The Veil—yang bunuh diri karena depresi atas pem-bully-an yang dialaminya. Lewat lagu ini Vic dkk ingin menyampaikan kepada penikmat lagu mereka bahwa bunuh diri sama sekali bukanlah jalan untuk membuat segalanya menjadi lebih baik. Mereka ingin meyakinkan bahwa semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Aaah.. I think every musician should have (at least one) motivational song like this :3
Senin, 07 Maret 2016 0 komentar

Family Trip to Jakarta

Aku bersyukur karena minggu pertama di bulan Maret ini berjalan dengan cukup baik. Yup, dua hari terakhir di minggu pertama bulan Maret ini, aku dan keluarga besar ibuku melakukan family trip ke Karawang, Bekasi, dan Jakarta.  Well, sebenernya sih tujuan utamanya ke Jakarta, hanya aja kami perlu mengunjungi keluarga Om Ade di Karawang dan jalan-jalan ke Bekasi. Ini pertama kalinya kami jalan-jalan ke luar kota lagi setelah terakhir kali kami melakukannya di tahun 2013 (waktu itu ke The Jungle, Bogor), dan lagi-lagi—of course and always—Bibi Cicih yang ngajak. Hanya aja waktu itu cuma sedikit anggota keluarga ibu yang bisa ikut. Kali ini semuanya bisa ikut, kecuali Om Herman.

Hari Jum’at malam itu, aku, adikku, dan ibu nginep di rumah nenek. Kemudian jam dua dini hari kami mandi dan bersiap-siap. Untuk membawa kami sekeluarga, Bibi Cicih menyewa sebuah mobil travel yang sekilas mengingatkan aku sama Mystery Machine—mobil yang dipake Scooby Doo itu—ketika pertama kali ngeliat. Coz kalo dilihat sekilas bentuknya kayak mobil VW Kombi gitu, dan warnanya biru laut. Haha..

Mobil itu berkapasitas penumpang kurang lebih delapan belas orang, lebih dari cukup untuk kami yang berjumlah dua belas orang, yakni aku, ibu, adikku, nenek, Bibi Cicih, Rizki, Fahrul, Wak Agus, Wak Ning, Agis, Bibi Elly, dan Gege. Bagian dalamnya cukup nyaman. Jarak antar tempat duduk depan-belakang cukup jauh, sehingga kalo sandaran kursinya mau dibuat miring pun nggak begitu mengganggu kenyamanan penumpang di belakang. Sayangnya bagian luar mobilnya berdebu gitu deh, dan nggak ada fasilitas Wi-Fi seperti yang tertera di stiker yang ditempel di kaca samping mobil.

Kami berangkat kurang lebih jam tiga lebih sepuluh menit, dini hari. Aku duduk di kursi ketiga dari depan bareng ibuku dan Wak Ning, dan seperti biasa di samping jendela. Hehehe..
Sepanjang jalan aku nggak ngapa-ngapain selain menikmati pemandangan di luar sambil denger musik pake earphone.  Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam, kami berhenti di sebuah rest area dimana disitu berdiri sebuah masjid besar. Aku nggak tau sih saat itu kami berada dimana, coz aku nggak menemukan keterangan apapun di tempat itu.

Kami turun dan sholat Subuh di masjid itu. Masjid yang didominasi warna hijau itu lumayan besar dan bersih. Langit-langit bagian dalam masjid yang berbentuk cekungan dikelilingi berbagai kaligrafi, salah satunya kaligrafi Ayat Kursi. Setelah sholat Subuh, kami melanjutkan perjalanan, dan akhirnya tiba di tempat tujuan—rumah Om Ade—sekitar jam tujuh pagi. Itupun lumayan susah cari rumahnya, coz kami memang rada lupa jalannya karena udah lama nggak kesana.

Kedatangan kami disambut sama Tante Dini yang lagi sendirian di rumah, coz saat itu Om Ade udah berangkat kerja dan Alip udah berangkat sekolah. Tante Dini baik banget, pake nyiapin brownies kukus buat kami. Tau aja kalo ada brownies lover disini. Hehe..
Di ruang tamu yang nggak cukup besar itu, kami duduk dan ngobrol-ngobrol sambil mencicipi brownies enak buatan Tante Dini dan ngemil-ngemil.

Di tengah acara ngobrol-ngobrol itu, perutku tiba-tiba sakit. Kayaknya masuk angin gitu deh.
“Tiduran di kamar aja. Disitu juga ada TV kok,” kata Tante Dini.
Jadi ya udah deh, aku tiduran di kamar itu ditemani ibu. Eh, nggak taunya beberapa menit kemudian, kamar itu udah penuh lagi sama beberapa orang sodaraku yang ikut tidur-tiduran disitu. Hahaha..

Karena BT nggak ada acara TV yang bagus, Gege mengusulkan buat nonton film. Kebetulan Alip punya cukup banyak koleksi DVD film. Kami sampe bingung mau nonton film apa. Tadinya sih kami mau nonton Fast and Furious 7, tapi akhirnya batal karena subtitle-nya tenggelam (terlalu kebawah gitu, jadi nggak kelihatan di layar). Akhirnya kami nonton film Vision. Tapi baru nonton beberapa menit, eh aku malah ketiduran, dan pas bangun ternyata sodara-sodaraku yang tadi nonton film bareng juga pada tidur. Jiahaha..

Sekitar jam dua sore, kami semua jalan-jalan. Kali ini, kami jalan-jalan berempat belas orang—karena ditambah Alip dan Tante Dini. Awalnya aku kira, kami bakal jalan-jalan buat ngeliat air terjun (coz aku sempat denger Tante Dini ngobrolin tentang salah satu wisata air terjun di daerah itu). Eh, nggak taunya mobil kami terus meluncur sampe Bekasi, dan baru aku tau kalo kami bakal mengunjungi salah satu mall besar disana.

Waktu itu aku pikir, ngapain jauh-jauh ke Bekasi kalo cuma mau ke mall? Tapi ibuku bilang kalo mungkin Bibi Cicih mau nostalgia waktu Om Sukim masih ada dan waktu keluarganya masih tinggal di kota itu. Jadi deh kami keliling-keliling nggak jelas di salah satu mall disana. Kami sempat sih mampir di salah satu resto chinese food disana, tapi cuma buat nemenin Rizki yang merengek minta makan disitu. Nyesel juga kami mampir kesitu, abisnya menunya mahal-mahal banget. Air mineral aja harganya sepuluh ribu, dan es teh harganya belasan ribu. Yah, emang sih disitu namanya ‘iced tea’ bukan ‘es teh’ walaupun rasanya sama aja kayak di warteg, tapi mahal -_- Sambil nunggu Rizki makan, kami minum jus dan nyicip jamur enoki goreng dan makanan sejenis omlet yang disiram saus Thai gitu (entah apa namanya, tapi enak sih, walau makannya repot karena kudu pake sumpit). Kami baru pulang dari mall itu sekitar jam enam sore.

Besoknya, pagi-pagi banget kami prepare buat perjalanan ke tujuan utama kami : Jakarta. Aku mandi agak terlambat, dan pas masuk kamar mandi, aku agak shocked ngeliat gentong penampung air yang penuh dengan air keruh, dan ternyata memang air yang mengucur dari kran itu nggak jernih. Untung aja di kamar mandi itu ada dua buah gentong, dan gentong yang satunya itu terisi dengan air yang lebih jernih dibanding gentong dengan air keruh tadi. Jadi aku mandi pake air dari gentong yang satunya itu tadi. Anyway, aku bersyukur karena aku tinggal di daerah yang dimana air bersih masih mudah didapat.

Sekitar jam enam pagi, mobil kami meninggalkan Karawang. Kali ini Tante Dini dan Alip nggak ikut, giliran Om Ade yang ikut. Kami meluncur menuju pusat kota Jakarta, tepatnya ke kawasan Monumen Nasional atau Monas. Sepanjang jalan aku nggak berhenti-berhenti memandang ke luar jendela. Takjub gitu ngeliat gedung-gedung tinggi. Maklum, di daerah tempat tinggalku, gedung tertinggi yang pernah kulihat paling cuma Hotel Apita, Hotel Aston, dan Hotel Metland. Yup, semuanya hotel, dan itupun nggak ada yang namanya ‘gedung kembar’. Beda sama Bekasi dan Jakarta yang bukan hotel doang yang punya gedung tinggi, tapi juga gedung-gedung perkantoran, kampus dan apartemen, dan dalam satu nama gedung aja, bangunannya bisa lebih dari tiga (yang aku sebut gedung kembar tadi). Tapi bukan berarti aku berharap Cirebon bisa kayak Bekasi dan Jakarta. Aku justru berharap Cirebon tetep kayak gini aja, nggak banyak-banyak banget gedung-gedung tingginya. Aku nggak mau Cirebon jadi makin panas dan makin macet. Ngomong-ngomong soal macet, perjalanan kami ke Jakarta alhamdulillah lancar jaya. Kami sama sekali nggak terjebak macet. Beda sama kunjunganku bareng teman-teman kampus ke studio Trans Corp dua tahun yang lalu. Haaah.. jangan tanya deeh..

Kami tiba di tempat tujuan sekitar jam delapan pagi. Sopir kami memarkir mobil di kawasan Lenggang Jakarta. Dari situ, kami berjalan kaki menuju kawasan Monas sambil melihat-lihat aktifitas warga Jakarta di hari Minggu. Yup, namanya juga akhir pekan, kawasan itu bisa dibilang sangat ramai saat itu dimana sebagian warga Jakarta menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, pacar, atau bahkan sendirian. Yah, nggak cuma warga Jakarta aja sih, tapi banyak juga pengunjung dari luar daerah kayak kami ini. Wisatawan asing juga ada. Aktifitas di Lenggang Jakarta ini mengingatkanku sama aktifitas di kawasan alun-alun dan balai kota Cirebon. Pasalnya di kawasan ini banyak pedagang yang menjajakkan dagangannya dan berbagai aktifitas pengunjung mulai dari jogging, bersepeda, makan, main sepatu roda, ataupun sekedar jalan-jalan.

Sesampainya di kawasan Monas, kami pun berfoto-foto. Beberapa orang dari kami juga ada yang ngemil-ngemil dan minum susu hangat. Kemudian sekitar jam sembilan, Bibi Cicih mengajak kami naik ke puncak Monas. Mendengar ajakan itu, aku excited banget. Aku udah cukup lama penasaran sama pemandangan dari atas sana, dan kali ini aku nggak akan penasaran lagi (meskipun awalnya sempat ragu karena takut biaya masuknya mahal).

                               
That's my real face. I swear it :p



Keluarga kami nggak semuanya ikut naik, melainkan cuma beberapa, yakni cuma aku, adikku, Bibi Cicih, Rizki, Fahrul, Gege, dan Agis. Kami bertujuh masuk bersama para pengunjung lainnya melalui pintu masuk yang berupa terowongan bawah tanah yang terletak di seberang tugu Monas, tepatnya di dekat patung Pangeran Diponegoro. Disana ada tangga menurun menuju loket, dan di loket itulah kami mengantre untuk membeli tiket masuk. Awalnya kami pikir harga tiketnya berapa puluh ribu gitu, nggak taunya cuma dua ribu rupiah untuk pelajar dan sepuluh ribu rupiah untuk umum. Setelah itu, kami berjalan menelusuri terowongan sampe akhirnya kembali naik ke permukaan tanah dan disambut sama pemandangan relief-relief sejarah perjuangan Indonesia yang terletak di setiap sudut halaman luar tugu Monas.

Sebelum benar-benar naik ke puncak tugu, kami sempat melihat-lihat kedalam Museum Sejarah Nasional. Museum itu berupa ruangan besar berlapis marmer yang menampilkan diorama-diorama sejarah Indonesia sejak jaman pra sejarah sampe jaman Orde Baru. Kemudian dari museum itu, kami menaiki tangga menuju pintu masuk tugu Monas, dan.. daaaaaammmmnnnn.. antreannya panjang banget! Dan aku beserta kelima sodaraku merasa haus berat. Celakanya, kami nggak bawa air minum selain dua gelas air mineral yang dibawa adikku. Alhasil kami harus membagi air itu, satu gelas untuk tiga orang. Hahaha.. Tapi akhirnya kami dapet dua botol air mineral dingin juga sih. Nggak tau tuh dari siapa. Aku pikir kayaknya sih Bibi Cicih yang beliin.

Antrean menuju puncak Monas itu terdiri dari dua saf, dan dua-duanya panjang banget, sehingga kami terpaksa menunggu sangat lama. Saking lamanya, banyak pengunjung yang berguguran. Bukan, bukan karena mereka pingsan kayak kalo lagi ngantre sembako, melainkan karena mereka membatalkan niat mereka untuk masuk kesana, termasuk beberapa pengunjung yang berbaris didepanku. Tapi aku dan sodara-sodaraku nggak mengikuti jejak mereka. Kami tetap sabar mengantre. Yah, sayang juga uang untuk beli tiketnya kalo sampe terbuang percuma gitu. Lagian aku mengantre bareng sodara-sodaraku, dan kami juga cukup terhibur dengan lagu-lagu nasional yang mengalun dari speaker dan hal-hal yang terjadi di sekitar kami, jadi selama mengantre nggak bete-bete banget.

Aku berbaris di belakang dua laki-laki yang kalo aku dengar dari logat dan bahasanya itu sepertinya berasal dari Tegal. Selama mengantre, mereka lebih sering jongkok, lalu sesekali berdiri dan jongkok lagi. Mungkin karena capek nunggu lama. Mereka berdua juga saling bercanda-bercanda garing satu sama lain, sampe kemudian ketika salah satu dari mereka ngomong.. BRUT!
Salah satu dari mereka kentut! Aku yang tepat berdiri di belakang mereka spontan membalikkan badanku buat menyembunyikan tawa yang bener-bener nggak bisa kutahan. Sepupu-sepupuku yang mendengar suara ‘ledakan’ itu juga pada ketawa-ketawa gitu.

Trus pas lagi ngantre kan ada dua cewek lewat, salah satunya itu albino. Eh, Rizki—sepupuku yang masih kelas lima SD—nyeletuk gini, “Itu pasti korban kebakaran.” Geezz.. Jelas aja kami ketawa geli. Kemudian Gege menjelaskan bahwa orang itu mengalami kelainan gen, bukan korban kebakaran. Entah Rizki ngerti atau enggak. Lalu ada juga sepasang anak kecil yang bertingkah seperti orang pacaran. Adikku yang ngeliat mereka kemudian berpura-pura jadi dubber gitu dengan bikin percakapan antara mereka berdua dari bahasa tubuh mereka.

Kami mengantre selama lebih dari dua jam. Kami mulai mengantre sekitar jam sembilan, dan baru naik ke Monumen Nasional menjelang Dzuhur. Didalam pintu masuk menuju naik itu terdapat sebuah tangga dan penunjuk arah menuju Ruang Kemerdekaan. Masuk sedikit, ada elevator (lift) dan tangga lain. Elevatornya cuma satu, dan kapasitasnya kurang lebih sebelas orang, jadi of course kami harus naik dan turun bergantian.

Finally, sampailah kami di puncak Monas. Pemandangan di pelataran puncak Monas rupanya kontras dengan pemandangan di bawah tadi. Berbeda dengan pemandangan dibawah yang penuh dengan antrean pengunjung, pelataran puncak terlihat lebih sepi karena memang tempat ini cuma menampung sekitar lima puluh orang. Dengan kata lain, kapasitasnya terbatas sehingga pengunjung yang berada didalamnya pun dibatasi waktu.

Memang ya sepertinya batas waktu yang dikasih selama di pelataran puncak itu nggak sebanding dengan waktu yang kita habiskan selama mengantre, but however, pengalaman naik ke salah satu bangunan kebanggaan Indonesia ini jadi salah satu pengalaman yang cukup berharga (seenggaknya buatku, karena ini pertama kalinya aku ngeliat pemandangan dari ketinggian ratusan meter.

Awalnya aku pikir pelataran puncak itu dikelilingi dinding kaca gitu. Tapi ternyata aku salah. Pelataran itu dikelilingi dinding marmer setinggi sekitar satu setengah meter dan jeruji-jeruji (atau entah apa namanya) diatas dinding itu. Beruntunglah mereka yang memiliki tubuh tinggi semampai. Mereka bisa dengan bebas menikmati panorama Jakarta dari sudut mana aja. Berbeda dengan aku yang harus jinjit-jinjit gitu. Memang sih disitu disediakan semacam tangga besi gitu buat para pengunjung yang kurang tinggi, ada juga beberapa teropong, tapi kan kita harus gantian sama pengunjung yang lain, nggak boleh egois dengan memuaskan diri sendiri.

Anyway, pemandangan dari atas sana luar biasa indah meskipun saat itu langit Jakarta diselimuti kabut dan awan mendung. Andai aja naik kesananya pas malam hari, pasti keindahannya bakal bertambah dua kali lipat dimana kita disuguhi pemandangan Jakarta yang terang benderang dengan lampu warna warni. Huaaahh..



Jakarta from above


Setelah puas menikmati panorama Jakarta dari atas, kami pun turun. Berbeda dengan saat naik, kami turun lebih cepat karena nggak harus mengantre panjang. Oh ya, buat yang punya kesempatan naik ke puncak Monas, simpan tiket masuknya baik-baik karena tiket itu nantinya bisa kita gunakan untuk menumpang kereta mini yang disediakan untuk mengantar penumpang berkeliling kawasan Monas dan Lenggang Jakarta, jadi kita nggak perlu capek-capek berjalan kaki. Tadinya aku dan sodara-sodaraku juga mau naik kereta itu, hanya aja sayangnya tiket milik Rizki hilang. Kami nggak mau egois dengan meninggalkan dia, apalagi dia masih kelas lima SD, kan kasian kalo ditinggal gitu. Alhasil kami berjalan kaki sampe ke kawasan parkir Lenggang Jakarta, tempat dimana mobil kami diparkir dan anggota keluarga kami yang lain menunggu. Asli, capek banget, dan haus banget. Udah gitu pundakku juga sakit karena bawa ransel. Untung aja adikku mau berbaik hati bawain. Hehehe..

After that, kami meluncur ke Ancol. Biaya masuknya tiga ratus empat puluh lima ribu rupiah untuk tiga belas orang. Awalnya lumayan susah juga cari tempat karena dimana-mana penuh (maklum, weekend), tapi akhirnya kami dapat juga tempat parkir, yakni di pinggir jalan depan area pantai deket dua romantic seat gitu.

Dibawah sebuah pohon, kami menggelar dua karpet dan makan siang bareng disitu. Setelah itu kami berfoto-foto dan main air di area pantai. Awalnya aku main-main bareng sodara-sodaraku, tapi semakin siang kami berpisah, ada yang tidur-tiduran, ada yang jajan ke McD, ada yang main air.. Aku sendiri memilih duduk sendirian menghadap pantai sambil dengerin lagu Summer Paradise. Well, meskipun lagu ini bertema pantai, tapi sebenernya lagu ini lebih cocok untuk mengenang kebersamaan di pantai bareng pasangan kali ya. Sementara aku pribadi nggak pernah punya kenangan semacam itu. Hahaha.. But whatever..

Sore harinya, aku, Gege, Bibi Elly, dan Agis mencoba naik perahu tradisional. Tarif naik perahu itu sepuluh ribu rupiah perorang untuk satu kali putaran., dan kapasitas penumpangnya kurang lebih mungkin dua puluh orang. Tapi waktu kami naik cuma ada beberapa orang aja sih, yah tiga belas orang kalo nggak salah. I dunno exactly.

Perahu itu dijalankan dengan mesin oleh dua orang awak perahu. Kami dibawa berkeliling di laut pantai Ancol selama sekitar lima belas menit. Yah, cukuplah untuk menikmati semilir angin dan riak gelombang laut. Aku paling suka kalo gelombang lautnya agak gede gitu, perahunya jadi goyang-goyang. Seru deh. Kami kembali ke daratan sekitar jam lima sore, dan semburat keunguan udah terlihat melintang di kaki langit. Sayang banget kami nggak sempet ngeliat sunset karena kami udah harus kembali ke Cirebon. Sayang banget.

Kepulangan kami diiringi gerimis. Dan ketika mobil kami meninggalkan Karawang setelah nganterin Om Ade pulang ke rumahnya, gerimis itu berubah menjadi hujan deras. Seperti biasa, sepanjang jalan aku dengerin musik dan nggak kerasa, aku pun tidur. Ketika bangun, mobil kami rupanya udah meluncur di kawasan Kanggraksan yang mana berarti kami udah tiba di Cirebon. Ketika bangun juga aku rada upset karena earphone-ku rusak tanpa sebab. Nggak bersuara gitu deh. Aneh, padahal nggak ketarik-tarik lho. Haiisshh..

Kami tiba di rumah nenek sekitar jam sepuluh malam. Karena malam udah mulai larut, aku, ibu dan adikku jadi baru pulang keesokan harinya.

That’s all folks! Intinya aku cukup puas dengan perjalanan kemarin itu. Yah, seenggaknya lebih baik daripada kurang piknik. Haha..








NB : Thanks to One Ok Rock dan L’arc~n~Ciel yang udah menemaniku selama perjalanan dengan lagu-lagunya d^_^b

Oh ya, untuk yang mau membeli minum di kawasan Monas, berhati-hati ya, coz di kawasan ini kabarnya banyak pedagang kaki lima nakal yang menjual minuman dengan air yang berasal dari limbah dan air bekas minum orang lain. Jadi alangkah lebih baik kalo kita bawa minum sendiri, atau kalo enggak, beli air minum dalam kemasan tersegel aja :)

Total Tayangan Halaman

 
;