Kamu tau
‘heartquake’? Kata itu tiba-tiba muncul di kepalaku saat memikirkan aksi
panggung kami nanti. Awalnya kukira istilah itu hanya muncul dari kepalaku,
tapi rupanya ketika aku iseng browsing
di Google, kata itu cukup banyak bermunculan. Aku pribadi mendefinisikannyanya
sebagai perasaan deg-degan dan gemetar, dan itulah yang aku rasakan. Beberapa
waktu belakangan, aku banyak membaca artikel tentang cara mengatasi rasa cemas
berlebihan, dan konon cokelat hitam bisa sedikit mengurangi perasaan itu
(ditambah banyak berdzikir dan berdoa tentunya).
Sabtu, 15 September.
Sekitar jam
tujuh pagi, aku dan Bu Fitri naik ke lantai lima untuk sarapan. Disana nggak
ada rombongan kami, cuma Pak Yosep sendiri. Mungkin teman-teman masih
bermalas-malasan di kamar. Aku dan Bu Fitri pun lantas mengambil makanan. Aku
mengambil nasi goreng dalam porsi sedikit dan menyantapnya dengan malas.
Tubuhku rasanya kurang fit. Bahu kiriku masih terasa sakit meski udah ditempel
koyo yang kuminta dari Dhea. Sepertinya aku juga hampir terserang flu, ditambah
hati yang deg-degan dan perasaan nervous,
rasanya semakin memperburuk keadaan.
Aku dan Bu
Fitri pun ngobrol-ngobrol sambil sarapan, tentang suaminya yang juga ternyata
bermain musik, juga tentang minimnya tempat wisata di Pekanbaru.
“Orang sini
kalo mau refreshing ya larinya ke
Sumbar. Disana banyak sekali tempat wisata. Kalo disini sedikit sekali.
Paling-paling cuma Alam Mayang dan tempat konservasi gajah itu”, tuturnya. Yah, kurang
lebih Pekanbaru
ini nggak beda jauh sama Cirebon lah. Di Cirebon juga tempat wisatanya sedikit.
Sebaliknya, café dan hotel justru menjamur. Yah, memang nggak cuma ada satu dua tempat wisata sih.
Pekanbaru pun aku yakin sebenarnya memiliki beberapa tempat wisata lain, hanya aja mungkin dua tempat itu yang paling terkenal. Seperti di
Cirebon misalnya, Goa Sunyaragi, Keraton, dan Cirebon Waterland adalah yang
paling banyak dikunjungi wisatawan. Kalo mau yang lebih banyak,
kita bisa bergeser agak jauh ke Kuningan. Disana banyak tempat-tempat
yang bisa banget buat refreshing, karena nggak hanya pemandangannya yang memanjakan mata, tapi juga udaranya yang sejuk.
Ketika kami
tengah asik mengobrol, Pak Yosep bergabung ke meja kami. Mungkin bosan karena
duduk sendirian dari tadi.
“Kok
makannya gitu doang?” tanya beliau sambil menyeret kursi ke meja kami. Aku
hanya tersenyum.
“Sebentar,
saya ambilkan yang enak.”
Kemudian
beliau berlalu sebentar dan kembali dengan membawakan kami teh manis hangat dan
agar-agar. Duh, kok ada Presiden Direktur kayak gini :’))
“Terima
kasih, Pak”, ucapku. Beliau pun duduk di sebelah kami.
“Putri ini
kayak anak saya, makannya susah, makanya badannya kecil”, kata beliau. Aku
nyengir.
“Yosi susah
makan juga, Pak?” tanya Bu Fitri,
bertanyatentanganak Pak Yosep.
“Iya, sayur
nggak suka, buah nggak suka. Maunya makan ayam terus.”
“Tapi kalo
buah sih saya suka, Pak”, kataku.
“Makanya
disini Putri saya kasih makan terus.”
“Iya nih.
Kayaknya pulang dari sini berat saya nambah, Pak”.
Beliau pun
terkekeh. Kemudian selanjutnya kami membicarakan tentang acara yang nanti
digelar. Beliau juga sempat memberiku sedikit arahan untuk penampilan MusTanG
nanti.
Singkat
cerita, setelah sarapan aku dan Bu Fitri kembali ke kamar untuk berkemas sambil
melanjutkan nonton film Disney (kami sama-sama suka film Disney. Wkwk..).
Teman-teman menitipkan barang-barangnya di kamar kami, karena pagi itu juga
kami check-out dari CitiSmart.
Lucunya mereka sempat salah mengetuk pintu kamar dan baru ‘ngeh’ saat mereka
melihat Bu Fitri keluar dari kamar kami yang berada beberapa meter dari kamar
yang mereka ketuk.
“Pantesan
aja diketuk nggak ada yang nyahut, ternyata salah ngetuk kamar”, kata Mas Febri
sambil ketawa-ketawa.
“Untung
nggak ada orangnya. Kalo ada yang keluar, malu juga”, sambung Pak Faisal.
Setelah
barang-barang kami terkumpul di kamar, kami pun check-out dari situ. Barang-barang yang dikumpulkan di kamar itu
nantinya akan dijemput oleh sopir Pak Yosep untuk kemudian dipindahkan ke
penginapan kami yang selanjutnya, sementara kami bergegas menuju Alam Mayang.
Waktu itu
sekitar jam sembilan pagi, kami tiba di Alam Mayang. Kali ini aku dan
teman-teman menyempatkan diri untuk berfoto di depan patung batu.
“Mumpung
penampilannya masih belum berantakan,” kata Mas Febri.
Sayangnya
aku lupa berfoto dengan gaya andalanku (memunggungi fotografer atau buang muka
ke samping, buat aku upload ke
sosmed. Wkwk..), atau berfoto berlima dengan teman-teman MusTanG sambil bergaya
ala cover album (pasang muka tanpa
ekspresi, atau mimik blagu sok keren. Haha..).
Ternyataaa..
panggung dan area tempat duduk penonton itu udah di-booking khusus untuk kami doang (karyawan perusahaan dan para
undangan yang diundang ke acara itu), dalam artian nggak diperuntukkan bagi
pengunjung Alam Mayang yang lain. Mengetahui hal itu, aku jadi merasa sedikit
lega karena itu artinya yang menonton kami nantinya nggak sebanyak yang aku
khawatirkan. Hahahaha..Tapi bukan berarti rasa gugupku menghilang. Baru
menginjakkan kaki di lokasi acara aja aku udah kebelet pipis.
“Toilet
disini dimana ya, Bang?” tanyaku pada seorang karyawan kantor cabang.
“Disana..”
jawabnya sambil menunjuk sebuah mushola. Setelah mengucapkan terima kasih, aku
segera menuju ke lokasi yang ditunjuk tadi. Agak seram juga sih toiletnya.
Bukan seram yang gimana-gimana ya, tapi pintunya itu lho, cuma setengah. Ngeri
aja kalo ada yang ngintip. Oh ya, di toiletnya terdapat tulisan ‘Dilarang
Berwudhu di Toilet’, sesuatu yang baru kutemukan di toilet-toilet umum. Benar
juga sih, memang nggak sepatutnya toilet itu dijadikan tempat berwudhu, karena
dikhawatirkan ada najis yang nyiprat sehingga bikin wudhu jadi nggak sah.
Setelah dari
toilet, aku langsung bergabung bersama teman-temanku yang saat itu udah
mengambil posisi untuk check-sound.
Sementara mereka check-sound, aku
pergi ke belakang panggung untuk menaruh tas. Disana ada perempuan bersuara cempreng
yang kemarin menyapa kami dengan riang itu.
“Titip tas
disini ya”, ucapku.
“Boleh,
taruh aja”, katanya. Kemudian aku duduk di sebelahnya.
“Jadi MC,
Kak?” tanyaku kemudian, berbasa-basi.
“Iya. Eh,
Putri kelahiran tahun berapa?”
“1994”.
“Ah, seumuran.
Panggil nama aja”.
“Kakak
namanya siapa? Lupa. Hehehe..” tanyaku sedikit nggak enak, karena dia sendiri
ingat namaku.
“Panggil aja
Ola”, jawabnya. Aku manggut-manggut.
“Ola jadi MC
sendiri?” tanyaku lagi.
“Berdua sih,
sama yang dari Kerinci. Tapi orangnya belum datang”.
Selesai check-sound, aku dan teman-teman MusTanG sempat duduk-duduk di area café yang
terletak bersebelahan dengan area stage.
“Putri kepikiran ya?” celetuk Mas
Febri.
“Hah?”
“Keliatan dari mukanya, pasti kepikiran. Nervous. Tenang, Put, tenang..” kata Mas Febri sambil ketawa. Mendengar itu,
teman-teman yang lain ikut meledekku.
“Mangats!” ucapku hambar sambil mengacungkan kepal dan nyengir getir. You won’t understand what I feel, Guys *mewek dalam hati*
Beberapa
lama kemudian, acara pun dimulai. Karyawan di kantor cabang Pekanbaru nggak
sebanyak karyawan di kantor cabang Cirebon, jadi mereka diperbolehkan membawa
keluarga untuk memeriahkan acara. Itupun masih belum bisa dibilang banyak.
Kurang dari seratus orang. Acara dibuka dengan pelaksanaan ceremonial sebagaimana yang biasa kami lakukan setiap kali
menggelar acara, seperti pembacaan doa, pembacaan visi dan misi perusahaan,
menyanyikan lagu mars perusahaan dll, setelah itu disambung dengan kata-kata sambutan dari keyperson dan perwakilan undangan. Pak Faisal yang diberi kesempatan untuk memberi
kata-kata sambutan nggak lupa untuk memperkenalkan kami, MusTanG Band. Well, aku belum cerita ya kalo sebenarnya nama band kami udah ganti,
meski masih ada embel-embel ‘MUST’ nya. Tapi karena aku lebih suka nama yang lama, jadi ya sebut aja demikian.
Wkwkwk..
“Lihat langitnya deh..” bisikku pada Mister Chokai. Cuaca berubah mendung saat acara ceremonial berlangsung. Diam-diam aku bersyukur juga,
karena hawanya jadi nggak panas-panas banget.
“Gapapa. Pas banget nih nanti kalo kita bawain lagu Hujan”,
katanya menyebut salah satu lagu yang memang udah kami
persiapkan. Anyway, kami
mempersiapkan kurang lebih tiga puluh lima lagu. Yah, hanya sebatas persiapan, karena nggak mungkin lagu-lagu itu dibawakan semuanya.
Waktu terus berlalu, dan
tibalah waktu makan siang.
Setelah menerima nasi kotak dari Seksi Konsumsi acara, aku dan teman-teman MusTanG (nggak termasuk Dhea)
berkumpul di sebuah saung. Aku
yang menerima nasi kotak dengan lauk ayam goreng dan Ryan yang menerima nasi kotak dengan lauk ikan sempat bertukar kotak, karena aku bosan makan ayam dan Ryan
nggak suka ikan. Wkwk..
Oh ya, di tempat ini juga banyak kucing
liar. Sayangnya kucing-kucing itu nggak cukup jinak. Ketika aku menyodorkan secuil daging ikan pada salah satu dari mereka,
kucing itu langsung menyambar dengan salah satu kaki depannya, sehingga kukunya
yang tajam menusuk jariku. Padahal kukira sikap mereka bakal semanis kucing yang kulihat di bandara waktu itu.
“Mas, ada korek?” tanya Mas Win pada salah satu karyawan cowok yang
lewat di depan kami. Well, diantara
kami berlima, cuma Mas Win yang smoker.
“Adanya ini, Bang”, jawab cowok itu sambil mengacungkan sebuah pemantik api gas.
“Ya itu korek kan?”
“Bukan, Bang. Kalo korek itu yang
dari batang kayu”.
“Nah, kalo ini apa namanya?”
“Mancis,
Bang”, jawab cowok itu.
Dan sejak saat tampaknya obrolan tentang perbedaan nama ini cukup berkesan bagi mereka, karena sekembalinya dari Alam Mayang mereka sempat ngobrolin itu lagi, dan beberapa
kata dari bahasa Minang yang mereka dengar selama disana.
Setelah makan siang, aku dan teman-teman MusTanG pun mengganti pakaian
kami dengan kaos seragam band kami. Dan.. SHOW TIME!!
“ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULLAHI
WABARAKATUH!!” seruku pada penonton.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”,
jawab mereka serempak.
“APA KABAR??”
“Baiiiiikk..”
“Masih kurang semangat. APA KABAR??”
“Baiiiiiikkkk..”
“Siap seru-seruan bareng ya!”
Hari itu penampilan kami dibuka dengan lagu Bendera milik Cokelat. Aku
bersyukur karena kali ini aku nggak sampai lupa lirik kayak
waktu check-sound sehari sebelumnya. Tapiya tetap aja, waktu itu rasanya jantungku mau loncat sehingga ketika berkomunikasi dengan penonton,
aku beberapa kali salah ucap. Tapi untunglah ketika menyampaikan
ucapan terima kasih, aku bisa menyampaikannya dengan lancar.
“Pertama-tama, kami berterima kasih kepada teman-teman dari *******
Riau, khususnya kepada Pak Yosep yang telah mengundang
kami jauh-jauh dari Cirebon. Benar-benar suatu kehormatan bagi kami
untuk bisa tampil disini”, ucapku, “Dan tentunya kami juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada******* Riau, semoga selalu jaya,
profitnya semakin meningkat, dan gaji karyawannya pun meningkat! Betul,
Pak?” Aku melirik Pak Yosep yang tersenyum lebar di tengah para penonton.
Selanjutnya, giliran Dhea yang
tampil membawakan lagu Kangen milik Dewa 19. Seperti biasa,
meski ia mengaku nervous, tapi ia tampak percaya diri dan lebih mampu ‘membawa’ penonton. Jelas, da dia mah urat malunya udah putus kali, ditambah ini
bukan pertama kalinya ia berada di Pekanbaru. Mungkin seluruh karyawan kantor
cabang sana juga udah bosan kali ketemu dia. Wkwk..
Setelah itu, kami membawakan lagu berjudul Tua Tua Keladi.
Kali ini aku berduet bersama Dhea.
“Siapa yang masih… eh, udah tua tapi masih kecentilan?” saking nervous-nya, lagi-lagi aku salah ucap. Tapi melihat beberapa orang yang ikut bernyanyi dan menggerakkan badannya mengikuti lagu,
rasanya menyenangkan banget. Walau hanya segelintir orang, tapi hal itu cukup membesarkan hatiku. Aku jadi paham bahwa respon audience itu berarti banget buat para performer.
Saat break, Mister Chokai ngomel-ngomel padaku.
“Put, kamu kok tadi nyanyinya langsung masuk Reff sih?”
“Iya, harusnya sebelum Reff tadi masih ada satu bait”,
Ryan ikut menyambung.
“Hah? Yang mana?” tanyaku heran,
karena sepanjang bernyanyi tadi aku nggak merasa ada yang salah.
“Yang sebelum Reff, itu harusnya jadi bagian Dhea, tapi kamu malah langsung ke Reff.”
Aku masih berusaha mengingat-ngingat. Tapi kalo ada lebih dari satu orang
yang bilang gitu, berarti aku memang salah.
“Makanya kalo nyanyi tuh yang tenang, jangan buru-buru,
jangan nervous! Santai aja”, ujar Mister Chokai lagi. Aku bersungut-sungut dalam hati. Ini udah mati-matian berusaha tenang lhooo.. Siapa juga yang kepengen nervous coba?
:’(
Lagu keempat, kelima..aku masih berusaha melawan rasa gugup,
sehingga sempat blank di salah satu baris lagu It’s My Life milik Bon Jovi.
Sungguh, perihal menghafal lagu itu mudah. Aku sebenarnya bisa menyanyikan lagu itu tanpa teks. Tapi jika diserang rasa gugup luar biasa,
apapun yang udah di luar kepala rasanya buyar. Untuk
menyamarkannya, aku menyodorkan mikrofonku pada penonton seolah-olah meminta mereka untuk bernyanyi.
Tapi Alhamdulillah, beberapa waktu setelah itu, rasa gugupku berangsur-angsur menghilang.
Dan ajaibnya, sakit di bahuku juga ikut hilang. Wkwk..
Hari itu aku
membawakan sepuluh lagu, nggak termasuk lagu ‘Happy Birthday’ yang dibawakan
saat acara tiup lilin dan 'We Are The Champion’ yang dibawakan saat pengumuman
pemenang hadiah utama. Saat menyanyikan lagu Pergilah Kasih yang di-cover D’Masiv, aku mengajak Ola untuk berduet,
karena sejak awal acara ia bilang bahwa ia ingin duet denganku membawakan lagu
Jika Cinta Dia-nya Geisha. Tapi sayangnya hari itu, lagu itu nggak kami
bawakan.
Oh ya, aku
dan teman-teman MusTanG juga berkesempatan buat ikut undian door prize lho. Tapi rupanya diantara
kami dan Pak Faisal, hanya Ryan dan Mas Win yang ketiban rejeki nomplok. Ryan
mendapat hadiah lemari hias, dan Mas Win mendapatkan hadiah dispenser.
Sementara yang lainnya mendapatkan hadiah door
prize yang kecil-kecil. Pak Faisal mendapat kotak plastik (semacam
Tupperware) kecil, Dhea mendapatkan kemoceng, Mas Febri mendapatkan gayung
kecil, Mister Chokai entah dapat apa aku lupa, sedangkan aku sendiri mendapatkan
steker T tiga lubang. Lumayan lah, buat jaga-jaga kalo butuh banyak colokan.
Wkwkwk..
“Lemari
bawanya gimana ya?” Ryan bingung sendiri. Kami ketawa-ketawa aja. Yakali
bawa-bawa lemari ke pesawat.
“Udah, ntar
dilelang aja sama karyawan sini. Pasti banyak yang mau”, kata Dhea. Ryan pun
setuju
Singkat
cerita, acara pun selesai. Waktu itu sekitar jam lima sore. Kami berfoto dan
bareng dengan seluruh karyawan kantor cabang Pekanbaru, dan beberapa orang yang
mengajak aku dan teman-teman MusTanG untuk berfoto bareng. Begitu juga dengan
Bu Fitri yang meminta untuk difotokan berdua denganku. Sejenak kami merasa
seperti artis dadakan. Wkwkwk..
“Terima
kasih ya. Kapan-kapan kesini lagi”, ucap seorang karyawan sambil menyalami
kami. Seneng banget dengarnya ^^
Sebelum
meninggalkan Alam Mayang, aku dan teman-teman sempat menonton performance sebuah band yang main
setelah acara kemarin (band yang sama yang main sebelum kami check-sound sehari sebelumnya). Band ini
keren deh. Suara vokalis ceweknya memukau. Mister Chokai aja sampai mengajukan buat
duet bareng. Dan kami semakin terpukau ketika vokalis cowoknya yang bertubuh
gempal perform. Daaaaaamnnn..
suaranya melengking banget! Ia mampu membawakan lagu-lagu dengan nada tinggi
seperti Sweet Child O’ Mine dan She’s Gone dengan saaaangat epic. Benar rupanya bahwa mostly penyanyi Sumatra itu range suaranya tinggi. Keren. Kereeeen
banget. Nggak ada diantara kami yang nggak terkagum-kagum dengan performance-nya. Aku aja sampai
megap-megap saking kagumnya. Dengar-dengar sih dia ini seorang polisi juga.
Duh, keren banget sih, Udaaaa :’))
|
Dhea sedang lipsync dengan latar belakang lagu She's Gone |
Sekitar jam
setengah enam sore, kami keluar dari Alam Mayang dan langsung check-in di Hotel Pangeran. Berbeda
dengan dua hotel tempat kami menginap sebelumnya, hotel ini letaknya sangat
strategis karena berdiri di pusat kota. Di hotel ini, aku tidur sekamar dengan
Dhea dan Mbak Eka—Sekretaris Kantor Pusat. Tempatnya nyaman banget. Sayang,
letak kamar kami kurang strategis, sehingga ketika kami membuka tirai jendela,
yang kami lihat bukanlah pemandangan kota ataupun pemandangan kolam renang
seperti yang kami harapkan, melainkan atap bangunan. Wkwkwk..
Setelah
beristirahat sejenak, aku, Dhea, dan Mbak Eka turun ke area kolam renang. Aku
cuma nemenin mereka aja waktu itu. Sebenarnya aku juga kepingin ikut renang
sih, hanya aja saat itu aku merasa badanku agak meriang. Jadi ya aku cuma
duduk-duduk aja di tepi kolam bareng Pak Faisal, Pak Yosep, dan Ryan yang waktu
itu juga nggak ikut berenang. Waktu itu Pak Yosep iseng banget ngerjain
‘anak-anaknya’ yang nggak renang. Mister Chokai yang nggak berniat nyebur ke kolam
beliau dorong. Dan karena udah terlanjur basah, akhirnya Mister Chokai malah jadi
ngajarin Mbak Eka renang. Aku juga hampir aja jadi korban keisengan Pak Yosep.
Kursi plastik tempatku duduk udah siap beliau angkat, tapi aku bilang kalo aku
nggak enak badan. Begitu juga dengan Ryan yang sibuk dengan hapenya.
“Ryan, saya
pinjam hapenya, Yan. Hape saya lowbat,
saya mau nelpon penting”, ucap Pak Yosep bohong, padahal sengaja biar Ryan
lepas dari hapenya dan bisa beliau ceburin ke kolam.
“Jangan ah,
Pak. Ini ‘senjata’ saya”, jawab Ryan yang rupanya udah ngerti akal-akalannya
Pak Yosep. Wkwk..
Dhea
berbaring tengkurap di bagian pembatas kolam sambil menopang kepalanya dengan
satu tangan.
“Berasa jadi
mermaid ya?” seruku pada Dhea.
“Iya, gua
lagi jadi mermaid nih”, katanya
sambil ketawa.
“Difoto,
Put, kirim ke grup MusTanG,” bisik Pak Faisal padaku.
Aku
memotretnya, tapi kualitas gambarnya kurang bagus. Akhirnya Pak Faisal yang
iseng memotretnya dan mengirimkannya ke grup. Dan bukannya disebut mermaid, Dhea malah habis diledekin.
‘Paus terdampar’. Tapi memang dasar urat malunya udah putus, dia girang-girang
aja diledekin gitu.
Setelah
berenang, kami kembali ke kamar. Aku mempersilahkan Dhea dan Mbak Eka yang
habis berenang untuk mandi duluan. Sementara sambil menunggu mereka, aku
melanjutkan membaca buku Garis Waktu. Sebenarnya dalam keadaan badan meriang,
rasanya malas banget buat mandi. Apalagi di kamar hotel itu, hawa dingin AC
juga sangat terasa di kamar mandi, sehingga ketika melepas pakaian, rasa dingin
langsung menusuk kulit. Hanya aja badanku terasa lengket karena keringat. Pekanbaru
rupanya lebih panas dibanding kota kami. Kalo aku tinggal disini, mungkin aku
bisa mandi tiga kali sehari. Wkwk.. Benar aja, ketika air mulai membasahi
punggungku, rasanya badanku semakin nggak enak. Aku mulai merasa nyaman ketika
suhu air berangsur-angsur menghangat, membuatku jadi ingin berlama-lama. Tapi
begitu mematikan shower, rasa dingin
kembali menjalari tubuh. Samarasa banget deh pokoknya.
Sekitar jam
setengah sembilan malam, kami semua keluar hotel untuk dinner. Malam itu Pak Yosep mengajak kami makan di Warung Era 51 di
Jalan Kaharuddin Nasution. Kami duduk berhadap-hadapan didepan sebuah meja
panjang.
“Ayo, ayo,
mau pesan apa?” Pak Yosep menyodorkan daftar menu. Sebelum melihat daftar menu,
aku sempat mengira bahwa rumah makan itu adalah rumah makan masakan Minang,
tapi ternyata bukan, meski ada juga menu dendeng disana. Ketika melihat daftar
menu, aku langsung tertarik pada satu makanan yang paling aku suka : sate. Aku
pun memesan seporsi sate, sup, dan segelas es jeruk. Dan rupanya kebanyakan
dari kami juga memesan sate dan sup. Sambil menunggu hidangan tersaji, kami
mencemil beberapa bungkus makaroni yang memang udah tersedia di atas meja.
Beberapa
lama kemudian, pelayan mulai menata pesanan kami di atas meja. Kami yang baru makan
di rumah makan itu memperhatikan sate yang kami pesan. Seporsi sate terdiri
dari enam tusuk yang masing-masing berisi tiga daging dengan potongan yang
cukup besar, disajikan di atas piring berwarna oranye, lengkap dengan potongan
mentimun dan tomat.
“Ini sate
rusa,” kata Pak Yosep. Kami pun surprised,
nggak terkecuali aku yang semula mengira bahwa sate yang kupesan terbuat dari
daging ayam atau kambing. Mula-mula aku mencoba mencium aromanya yang ternyata
nggak berbeda jauh dengan sate-sate pada umumnya. Lalu aku menuangkan bumbu di
dalam sebuah mangkuk kecil ke atas sate, dan mulai menyantap. Awalnya kukira
sate rusa itu alot seperti sate kambing, tapi rupanya enggak lho. Meski
bertekstur padat, tapi dagingnya benar-benar lembut dan empuk. Yah mungkin
tergantung cara pengolahannya juga kali ya, entahlah. Rasa sate rusa ini agak
manis. Mungkin karena mereka menggunakan kecap manis sebagai bumbunya. Dan
memesan sup sebagai pendamping makan sate ini adalah pilihan yang ternyata
sangat tepat, karena rasa gurih dari sup ini bisa membuatnya jadi balance. Ah, mantap deh pokoknya.
Kenyang
makan malam, kami pun kembali ke hotel. Tapi begitu tiba di halaman hotel, aku,
Dhea, Mbak Eka, dan teman-teman MusTanG berubah pikiran. Malam itu malam
Minggu, dan rasanya kurang afdol kalo kami nggak menikmati satnight di tempat yang jauh dari kota kelahiran kami itu. Akhirnya
kami bertujuh pun kembali ‘ngebolang’, sementara kedua ‘bapak kami’ kembali ke
hotel. Kami berjalan kaki menelusuri trotoar di Jalan Sudirman. Malam itu kami hangout di sebuah cafe yang sepertinya
merupakan cafe yang cukup digemari oleh anak-anak muda Pekanbaru, karena
tempatnya yang cukup ramai, padahal waktu menunjukkan sekitar pukul sepuluh
malam. Karambia Cafe, namanya. Letaknya nggak begitu jauh dari Hotel Pangeran. Tempatnya
lumayan nyaman dan instagramable. Selain
itu, di tempat itu ada live music nya
juga. Mula-mula Mister Chokai dan Dhea masuk duluan untuk memastikan apakah ada
meja kosong untuk kami, dan syukurlah ada. Kami pun menempati sebuah meja panjang
yang terletak di salah satu sudut cafe. Muat untuk kami bertujuh.
“Ingat
cerita Pak Yosep tentang nasi dengan wadah batok kelapa? Nah, disini tempatnya,”
tutur Dhea. Well, beberapa waktu
lalu, Pak Yosep memang menceritakan sebuah cafe di Pekanbaru yang menyajikan
hidangan unik dimana nasinya disajikan di dalam batok kelapa, dan beliau sempat
berniat untuk mengajak kami mencobanya, juga teh talua—teh dengan campuran telur
dan jeruk nipis khas Sumatera Barat. Tapi sepertinya beliau lupa. Tapi rasanya
malam itu nggak mungkin bagi aku ataupun teman-teman untuk mencoba nasi dalam
wadah batok kelapa itu, karena kami baru aja makan dan perut kami masih cukup
penuh.
Akhirnya
malam itu, kami memesan cemilan yang bisa kami makan bareng-bareng, yakni
seporsi french fries dan seporsi chicken fingers. Untuk minumnya, awalnya
aku memesan yoghurt stroberi, tapi karena yoghurt sedang kosong, aku
menggantinya dengan strawberry milkshake.
“Saya ini
aja deh...” ucap Mas Win sambil melihat buku menu, “Tebemelebebele”.
“HAH?” kami
mengernyit, nggak ngerti Mas Win ngomong apa.
“Tebemelebebele,”
ulang Mas Win.
“Apaan sih?”
Kami pun serempak melihat menu minuman yang ditunjuk Mas Win di buku menu.
“Ya ampun..”
Kalian tau
apa? Memang ada lho menu dengan nama itu. Tebe Melebe Bele. Kami ketawa-ketawa,
bukan hanya karena namanya yang aneh, tapi lebih karena pengucapan Mas Win yang
nggak tau kenapa kedengaran lucu, apalagi dia kan kalo ngomong ada sedikit medhok Jawa gitu.
“Tau nggak
apa? Aku kira dia becanda lho ngomong gitu,” kata Mbak Eka sambil ketawa geli.
Aku iseng browsing, cari tau apa itu
Tebe Melebe Bele, tapi nggak ketemu.
“Kayaknya
itu cuma satu-satunya disini deh”, kata Ryan. Aku manggut-manggut. Mungkin ya,
dan sengaja dibuat aneh biar pengunjung cafe penasaran. Ketika pelayan
menghampiri meja kami, Mas Win menanyakan apa itu Tebe Melebe Bele.
“Itu jeruk
belanda dengan campuran soda”, jawab pelayan. Sayangnya kami lupa bertanya
kenapa dinamakan aneh begitu. Tapi aku yakin sih kalo itu memang semacam
strategi marketing, biar pengunjung penasaran. Namun meskipun begitu, Mas Win
tetap memesan minuman tadi karena penasaran gimana rasanya jeruk belanda (yang
ternyata setelah ia coba, dia bilang rasanya mirip jambu biji juga, nggak beda
jauh sama terong belanda, tapi lebih asam), Mbak Eka juga memesan minuman yang
sama, Dhea pesan Cadbury, Mas Febri pesan kopi vietnam, Ryan pesan mojito, dan Mister Chokai pesan melon squash.
Selanjutnya
yaa begitulah.. Kami ngemil-ngemil, minum-minum (bukan mabok lho ya), dan
foto-foto tentunya. Jujur, acara hangout
malam itu bisa jadi menyenangkan buatku kalo aja badanku lebih fit, karena
selama nongkrong di cafe itu, aku merasa benar-benar payah. Kepalaku sakit dan
perutku perih, entah kenapa. Mas Win bilang kalo wajahku kelihatan pucat waktu
itu, tapi aku meyakinkan mereka kalo aku gapapa. Well, sebenarnya aku benar-benar pengen cepat kembali ke hotel
waktu itu, tapi aku nggak mau ngecewain mereka, karena aku yakin mereka pasti
nggak mau kalo kesempatan mereka berada di pulau orang ini sia-sia cuma buat
berdiam di hotel doang.
Kami baru
kembali ke hotel ketika waktu menunjukkan sekitar jam setengah duabelas malam. Pak
Yosep dan Pak Faisal rupanya belum kembali ke kamar mereka. Mereka tampak
sedang berbincang-bincang berdua di tempat semacam cafe gitu di dekat lobby, ditemani lagu Minang mengalun mendayu-dayu. Pak Yosep melambai ke
arah kami, mengajak bergabung, namun aku, Dhea, dan Mbak Eka memilih untuk kembali
ke kamar. Entahlah keempat cowok itu. Aku sebenarnya mau aja bergabung bersama
mereka, karena kalo soal mata, aku belum merasa ngantuk. Tapi masalahnya
tubuhku udah nggak bisa diajak kompromi. Maka ketika kurebahkan tubuhku di
kasur.. hahh.. nikmat, nikmat sekali rasanya.
Malam itu malam
terakhir kami di Pekanbaru. Besoknya kami harus terbang lagi, kembali ke pulau
kelahiran kami.
*Bersambung*