How I Met Him
"Wuih,
suka Paramore ya?" tegurnya waktu itu. Saat itu merupakan hari
pertamaku mengikuti les vokal di sebuah Lembaga Pendidikan dan
Keterampilan dalam bidang musik (yang juga memperjualbelikan berbagai
alat-alat musik) di kotaku. Kebetulan ia adalah karyawan disana. Ia
menegurku saat dirinya melihat logo band Paramore di hoodie yang
kukenakan hari itu. Setelah itu terjadilah perbincangan antara kami. Ia
bercerita bahwa bandnya cukup sering membawakan lagu-lagu mereka.
"Kapan-kapan
kita coba kolaborasi deh ya", katanya. Kami pun bertukar nomor kontak.
Namun 'pertemanan' kami rupanya hanya sekedar lewat. Seiring berakhirnya
masa les vokalku (yang sangat singkat karena berlangsung hanya tiga
hari), berakhirlah pula pertemanan kami, karena beberapa hari setelah
aku berhenti les, sepertinya ia menghapus nomorku (karena status
WhatsApp-nya nggak pernah muncul lagi). Kami bahkan sama sekali nggak
pernah chatting. Wkwkwk.
Namun sepertinya, kata-katanya yang tampak hanya sekedar basa-basi itu didengar Tuhan. Setengah tahun setelah itu, Tuhan mempertemukan kami kembali secara nggak sengaja. Satu hari sebelum hari ulang tahunku yang keseperempat abad, seseorang mengirimiku direct message melalui Instagram. Ia menuturkan bahwa bandnya tengah mencari vokalis baru, dan bermaksud mengajakku untuk bergabung. Sebelum menyetujui ajakannya, terlebih dahulu aku mencari tau mengenai band ini. Ketika itulah aku terkejut, mengetahui bahwa Mas adalah salah satu personilnya.
Kalo kamu berpikir apakah hal ini di-setting, atau mungkin Mas sendiri yang meminta temannya untuk mengirimiku direct message
itu, jawabannya adalah enggak, karena pada pertemuan pertamaku dengan
para personil band tersebut, Mas sendiri lupa bahwa kami pernah bertemu
dan pernah ngobrol sebelumnya (iya, dia memang sedikit pelupa.
hahaha..). Atau mungkin benar, pertemuan kami memang di-setting. Tuhan lah yang men-setting itu semua.
How We Started
Awalnya
kami memang nggak lebih dari rekan satu band. Namun diantara para
personil, dia adalah yang paling perhatian. Aku seperti menemukan sosok
abang dalam dirinya. Iya, kuakui, hubungan yang berawal dari
kakak-adikan ini memang sangat klise. Kami cukup sering mengobrol di
telepon, membicarakan hal-hal yang sebenarnya nggak penting. Karena aku
bukan tipe pencerita, maka aku yang paling sering mendengar
cerita-ceritanya; tentang teman-temannya, tentang bandnya, tentang
mantan-mantannya, terkadang ia iseng memintaku memperkenalkan dirinya
pada teman perempuanku yang single.
Aku pernah memperkenalkannya pada salah satu temanku yang saat itu tengah mengalami sulit move on.
Namun perkenalan mereka nggak berlanjut karena ditentang oleh keluarga
temanku yang nggak berkenan apabila dirinya dekat lawan jenis yang
bertitle 'anak band'.
Singkat cerita, pada Oktober 2019, ia datang ke rumah. Rasanya lucu melihat dirinya yang biasanya tampil cuek dengan kaos dan ripped jeans, hari itu mengenakan kemeja biru rapi, karena tujuan utamanya hari itu memang bukan untuk menemuiku melainkan
menemui bapak dan ibu untuk mengutarakan niatnya menjalin hubungan serius
denganku. Jujur, sebagai seorang perempuan, aku sangat kagum dan terharu, karena selama dua puluh lima tahun aku hidup, dialah orang pertama yang berani menghadap orangtuaku untuk melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki sejati. Tapi ironisnya persepsi negatif terhadap 'anak band' ini
ternyata juga dimiliki oleh orangtuaku. Padahal anak perempuan mereka yang satu ini pun mulai berkecimpung dalam dunia anak band pula. Well, sebagai orangtua, mereka tentu menginginkan seorang
menantu laki-laki yang lebih baik dari anak perempuannya, seorang
menantu yang kelak mampu menjadi imam yang baik bagi anaknya. Jadi tanpa
kusebutkan pun, sepertinya Teman-teman Pembaca bisa menerka lah ya apa
respon orangtuaku saat itu. Namun apa yang terjadi sejak hari itu nggak
lantas membuat kami menjaga jarak. Hampir setiap pulang mengajar les musik di akhir pekan, ia mengunjungiku ke rumah. Intinya, kami masih keep in touch, meski pada akhirnya di awal tahun 2020, jarak diantara kami perlahan-lahan tercipta.
Selama
kami menjaga jarak satu sama lain, aku sempat dekat dengan dua orang
laki-laki yang kebetulan keduanya merupakan teman satu kantor. Satu
orang merupakan karyawan senior yang tahun 2016 lalu pernah mencoba
mendekatiku dan kali ini mencoba mendekatiku lagi; sedangkan yang
satunya lagi merupakan karyawan baru yang mengingatkanku pada tokoh Dilan karena dirinya memiliki sisi manis dan puitis tapi juga agak rebel. Begitu juga dengan Mas Agus yang sempat
dekat dengan beberapa orang perempuan. Namun masing-masing dari kami
nggak pernah memulai hubungan baru dengan siapapun dari mereka karena
nggak menemukan kecocokan. Kecuali antara aku dan 'Si Dilan' yang
kusebutkan tadi, karena menurutku sebenarnya dia sangat boyfriend material. Hanya
aja aku memiliki alasan tersendiri mengapa aku nggak memutuskan untuk
menjadikannya pasangan :)
Pada
Agustus 2020, Mas kembali menghubungiku (setelah sebelumnya ia
sempat memblokir nomor kontakku). Hari itu bertepatan dengan hari
ulangtahunnya, dan untuk kedua dan terakhir kalinya ia 'memintaku'.
"Saya pingin (menjalin hubungan) serius sama kamu. Niat saya baik.
Sekali lagi, terakhir kalinya, pikirkan ini dengan matang, yakinin ibu ya," katanya waktu itu.
Kalimat itu terus berputar-putar di
kepalaku. Dalam setiap doaku, aku terus meminta agar Tuhan membimbingku
untuk membuat keputusan terbaik. Aku juga mencoba berbincang dan meminta
saran dari orangtuaku. Hingga pada akhirnya ibuku berkata, "Kalo sampai
sekarang dia masih 'meminta' Teteh, insya Allah berarti dia benar-benar
sayang sama Teteh. Bismillah, semoga dia memang jodoh yang baik buat
Teteh".
Ya, dengan kata lain, orangtuaku merestui aku dengan Mas.
Hari
itu hari Jum'at, hari yang kupercaya sebagai hari terbaik dari semua
hari. Dengan mantap, aku menyampaikan berita itu padanya, dan ia sangat,
sangat, sangat bahagia.
"Besok ulangtahun mama. Ini jadi hadiah ulangtahun terbaik buat mama," katanya. Aku terharu.
Dan dimulailah persiapan-menjelang-sepasang kami yang bagai permen Nano-Nano. Hal-hal menyenangkan, menggelikan, mengesalkan, dan menyesalkan, semua kami rasakan selama mempersiapkan pernikahan kami yang kelak akan menjadi momen yang selalu kami ingat dan sesekali kami bahas dalam perbincangan ringan.
NEXT : Chapter III - Menjelang Sepasang
0 komentar:
Posting Komentar