Selasa, 09 Februari 2021

CHAPTER II : Skenario Tuhan

 How I Met Him

"Wuih, suka Paramore ya?" tegurnya waktu itu. Saat itu merupakan hari pertamaku mengikuti les vokal di sebuah Lembaga Pendidikan dan Keterampilan dalam bidang musik (yang juga memperjualbelikan berbagai alat-alat musik) di kotaku. Kebetulan ia adalah karyawan disana. Ia menegurku saat dirinya melihat logo band Paramore di hoodie yang kukenakan hari itu. Setelah itu terjadilah perbincangan antara kami. Ia bercerita bahwa bandnya cukup sering membawakan lagu-lagu mereka.
"Kapan-kapan kita coba kolaborasi deh ya", katanya. Kami pun bertukar nomor kontak. Namun 'pertemanan' kami rupanya hanya sekedar lewat. Seiring berakhirnya masa les vokalku (yang sangat singkat karena berlangsung hanya tiga hari), berakhirlah pula pertemanan kami, karena beberapa hari setelah aku berhenti les, sepertinya ia menghapus nomorku (karena status WhatsApp-nya nggak pernah muncul lagi). Kami bahkan sama sekali nggak pernah chatting. Wkwkwk.

Namun sepertinya, kata-katanya yang tampak hanya sekedar basa-basi itu didengar Tuhan. Setengah tahun setelah itu, Tuhan mempertemukan kami kembali secara nggak sengaja. Satu hari sebelum hari ulang tahunku yang keseperempat abad, seseorang mengirimiku direct message melalui Instagram. Ia menuturkan bahwa bandnya tengah mencari vokalis baru, dan bermaksud mengajakku untuk bergabung. Sebelum menyetujui ajakannya, terlebih dahulu aku mencari tau mengenai band ini. Ketika itulah aku terkejut, mengetahui bahwa Mas adalah salah satu personilnya.

Kalo kamu berpikir apakah hal ini di-setting, atau mungkin Mas sendiri yang meminta temannya untuk mengirimiku direct message itu, jawabannya adalah enggak, karena pada pertemuan pertamaku dengan para personil band tersebut, Mas sendiri lupa bahwa kami pernah bertemu dan pernah ngobrol sebelumnya (iya, dia memang sedikit pelupa. hahaha..). Atau mungkin benar, pertemuan kami memang di-setting. Tuhan lah yang men-setting itu semua.


How We Started

Awalnya kami memang nggak lebih dari rekan satu band. Namun diantara para personil, dia adalah yang paling perhatian. Aku seperti menemukan sosok abang dalam dirinya. Iya, kuakui, hubungan yang berawal dari kakak-adikan ini memang sangat klise. Kami cukup sering mengobrol di telepon, membicarakan hal-hal yang sebenarnya nggak penting. Karena aku bukan tipe pencerita, maka aku yang paling sering mendengar cerita-ceritanya; tentang teman-temannya, tentang bandnya, tentang mantan-mantannya, terkadang ia iseng memintaku memperkenalkan dirinya pada teman perempuanku yang single.

Aku pernah memperkenalkannya pada salah satu temanku yang saat itu tengah mengalami sulit move on. Namun perkenalan mereka nggak berlanjut karena ditentang oleh keluarga temanku yang nggak berkenan apabila dirinya dekat lawan jenis yang bertitle 'anak band'.

Singkat cerita, pada Oktober 2019, ia datang ke rumah. Rasanya lucu melihat dirinya yang biasanya tampil cuek dengan kaos dan ripped jeans, hari itu mengenakan kemeja biru rapi, karena tujuan utamanya hari itu memang bukan untuk menemuiku melainkan menemui bapak dan ibu untuk mengutarakan niatnya menjalin hubungan serius denganku. Jujur, sebagai seorang perempuan, aku sangat kagum dan terharu, karena selama dua puluh lima tahun aku hidup, dialah orang pertama yang berani menghadap orangtuaku untuk melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki sejati. Tapi ironisnya persepsi negatif terhadap 'anak band' ini ternyata juga dimiliki oleh orangtuaku. Padahal anak perempuan mereka yang satu ini pun mulai berkecimpung dalam dunia anak band pula. Well, sebagai orangtua, mereka tentu menginginkan seorang menantu laki-laki yang lebih baik dari anak perempuannya, seorang menantu yang kelak mampu menjadi imam yang baik bagi anaknya. Jadi tanpa kusebutkan pun, sepertinya Teman-teman Pembaca bisa menerka lah ya apa respon orangtuaku saat itu. Namun apa yang terjadi sejak hari itu nggak lantas membuat kami menjaga jarak. Hampir setiap pulang mengajar les musik di akhir pekan, ia mengunjungiku ke rumah. Intinya, kami masih keep in touch, meski pada akhirnya di awal tahun 2020, jarak diantara kami perlahan-lahan tercipta.

Our Decision

Selama kami menjaga jarak satu sama lain, aku sempat dekat dengan dua orang laki-laki yang kebetulan keduanya merupakan teman satu kantor. Satu orang merupakan karyawan senior yang tahun 2016 lalu pernah mencoba mendekatiku dan kali ini mencoba mendekatiku lagi; sedangkan yang satunya lagi merupakan karyawan baru yang mengingatkanku pada tokoh Dilan karena dirinya memiliki sisi manis dan puitis tapi juga agak rebel. Begitu juga dengan Mas Agus yang sempat dekat dengan beberapa orang perempuan. Namun masing-masing dari kami nggak pernah memulai hubungan baru dengan siapapun dari mereka karena nggak menemukan kecocokan. Kecuali antara aku dan 'Si Dilan' yang kusebutkan tadi, karena menurutku sebenarnya dia sangat boyfriend material. Hanya aja aku memiliki alasan tersendiri mengapa aku nggak memutuskan untuk menjadikannya pasangan :)

Pada Agustus 2020, Mas kembali menghubungiku (setelah sebelumnya ia sempat memblokir nomor kontakku). Hari itu bertepatan dengan hari ulangtahunnya, dan untuk kedua dan terakhir kalinya ia 'memintaku'.
"Saya pingin (menjalin hubungan) serius sama kamu. Niat saya baik. Sekali lagi, terakhir kalinya, pikirkan ini dengan matang, yakinin ibu ya," katanya waktu itu.

Kalimat itu terus berputar-putar di kepalaku. Dalam setiap doaku, aku terus meminta agar Tuhan membimbingku untuk membuat keputusan terbaik. Aku juga mencoba berbincang dan meminta saran dari orangtuaku. Hingga pada akhirnya ibuku berkata, "Kalo sampai sekarang dia masih 'meminta' Teteh, insya Allah berarti dia benar-benar sayang sama Teteh. Bismillah, semoga dia memang jodoh yang baik buat Teteh".

Ya, dengan kata lain, orangtuaku merestui aku dengan Mas.

Hari itu hari Jum'at, hari yang kupercaya sebagai hari terbaik dari semua hari. Dengan mantap, aku menyampaikan berita itu padanya, dan ia sangat, sangat, sangat bahagia.
"Besok ulangtahun mama. Ini jadi hadiah ulangtahun terbaik buat mama," katanya. Aku terharu.


Dan dimulailah persiapan-menjelang-sepasang kami yang bagai permen Nano-Nano. Hal-hal menyenangkan, menggelikan, mengesalkan, dan menyesalkan, semua kami rasakan selama mempersiapkan pernikahan kami yang kelak akan menjadi momen yang selalu kami ingat dan sesekali kami bahas dalam perbincangan ringan.

NEXT : Chapter III - Menjelang Sepasang

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;