Hal
yang pertama kami lakukan setelah mendapat restu dari orangtua adalah :
menyusun daftar seserahan. Selanjutnya setelah itu, kami menentukan
tanggal pernikahan. Sebenarnya aku ingin pernikahan kami digelar pada
hari Jum'at yang kupercaya sebagai hari baik, atau pada 'tanggal cantik' 210121. Namun jika
digelar pada hari Jum'at, acara kami tentu akan dijeda dengan waktu
sholat Jum'at. Sedangkan jika digelar pada tanggal 21, aku akan diprotes
teman-temanku karena menggelar hajatan di tanggal tua sekaligus weekday
dimana kegiatan kantor sedang sibuk-sibuknya. Wkwkwk. Akhirnya kami pun
memutuskan untuk menggelar hari pernikahan pada Sabtu 09 Januari 2021.
Karena
status kami merupakan pekerja yang sama-sama disibukkan dengan
aktifitas dari pagi hingga sore, maka sebagian besar keperluan seserahan
kami dapatkan dengan pembelian melalui online shop. Mas
mentransfer uang, sementara aku bebas memilih barang yang kusuka. Uhuy,
ternyata begini rasanya menghabiskan duwit orang. Wkwk.. Engga deng.
Budgetnya dibatasi, tentu saja 😝 Setelah barang-barang keperluan
seserahan itu terkumpul, kami menyerahkannya pada Bibi Cicih, adik ibuku
yang bisa mengemas dan menghias barang-barang seserahan dengan cantik.
Targetnya, awal bulan Januari semuanya sudah rampung dikemas.
Dalam
menentukan desain undangan, rasanya nggak sulit. Kebetulan aku dan Mas
sama- sama menyukai warna hitam. Dan karena kami dipertemukan pertama
kali oleh musik, di tempat les musik, dan kemudian bertemu kembali di
studio musik saat aku bergabung dengan bandnya, rasanya kurang afdol
jika undangan kami nggak mengusung tema musik. Maka undangan dengan background hitam bermotif notasi dan tuts piano hitam-putih menjadi pilihan kami.
Perihal
cenderamata untuk tamu pun, awalnya kami berencana memberikan
cenderamata yang juga bertema musik. Namun cenderamata dengan tema musik
yang banyak dijual dengan harga terjangkau (bahkan bisa dibilang sangat
murah) adalah ganci alias gantungan kunci, dan karena harganya yang
sangat murah ini maka bahannya pun juga kurang bagus, terbuat dari bahan
karet. Ibuku nggak menyukainya. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli
cenderamata yang lebih berguna, yakni bolpoin (karena benda ini adalah
benda yang sangat berharga buat teman-teman kantor, mengingat benda ini
adalah yang paling dibutuhkan sekaligus yang paling sering hilang),
pisau pengupas buah, dan lemonade spoon yang semuanya dikemas dalam kotak mika agar terlihat lebih cantik. Yaa sebenarnya tetap ada
siiih cenderamata berupa ganci, yakni ganci berbentuk boneka dan ganci
motif alat musik yang berbahan resin gitu. Lho, kok tetap beli cenderamata ganci?
Jadi,
ganci berbentuk boneka itu dibuat langsung oleh salah satu kerabat Mas
yang memiliki usaha kecil-kecilan berupa kerajinan tangan bros dan
ganci dari kain flanel. Yah, hitung-hitung kami membantu usahanya itu.
Sedangkan ganci bermotif alat musik itu sebenarnya semacam iseng aja
sih, sekadar tambahan barangkali cenderamata yang kami sediakan kurang.
Wkwk.
Yang cukup sulit adalah ketika mencari Make Up Artist (MUA). Tentunya kami menginginkan MUA yang mampu memberikan hasil baik dengan budget yang terjangkau. Hihi..
Kami
mencari informasi sana-sini, entah itu bertanya pada kerabat ataupun
teman, atau bertanya langsung pada MUA yang kami temukan lewat media
sosial. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami mendapatkan seorang
MUA berdasarkan rekomendasi salah seorang tetangga Mas yang pernah
menggunakan jasanya. MUA ini menyediakan paket pernikahan dengan
fasilitas cukup lengkap dan harga yang terjangkau. Hasil make-up
nya pun cukup bagus, dan koleksi pakaiannya cantik-cantik. Awalnya aku
sempat ragu menggunakan jasa MUA ini, karena ia merupakan seorang
transpuan. Meskipun dirinya (mungkin) nggak memiliki ketertarikan
seksual terhadap perempuan, tapi tetap aja rasanya nggak nyaman
memperlihatkan aurat padanya saat berganti pakaian. Namun ketika mengetahui bahwa pergantian
pakaian nantinya dibantu oleh asistennya yang seluruhnya perempuan, aku
jadi lebih lega.
***
Pada
tanggal 30 Agustus 2020, aku dan Mas meresmikan hubungan kami.
Keluargaku dan keluarga Mas menggelar acara pertemuan. Acara yang dilaksanakan waktu ba'da Ashar itu digelar di rumahku. Meski aku hanya duduk diam dan mendengarkan orang-orang tua berunding, namun rasanya tetap aja gugup. Alhamdulillah, proses khitbah itu berjalan dengan lancar, meski ada dua kejadian lucu yang terjadi di tengah prosesnya.
Yang pertama adalah ketika kami semua duduk
bersila di atas karpet yang digelar di tengah ruangan, alih-alih duduk berdampingan, aku dan Mas malah duduk terpisah. Hal ini tentunya terjadi di luar kehendak kami. Sebenarnya kami ingin sekali duduk berdampingan, namun karena setelah para tamu dipersilahkan duduk, nggak ada lagi celah yang memungkinkan kami untuk duduk berdua, akhirnya kami pun duduk
dimanapun yang akhirnya membuat kami jadi duduk berseberangan. Hal ini
membuat beberapa kerabatku bingung dengan siapa calon suamiku, padahal
aku dan Mas mengenakan batik dengan warna dan motif yang sama hari itu.
Entah mereka nggak ngeh atau gimana. Sepupuku mengira calon
suamiku adalah A Billy, salah seorang teman baik Mas, karena hari itu
dia duduk tepat di sebelahku. Wkwkwk.
Yang kedua adalah di momen puncak
ketika Mas menyematkan cincin di jari manisku. Ketika itu kami terlalu
gugup sehingga momen itu terjadi begitu cepat dan terburu-buru. Mereka
pun memprotes kami karena nggak sempat mengabadikan momen itu. Akhirnya
momen penyematan cincin itu pun harus diulang di halaman depan rumahku
(untuk sekadar difoto aja sih) 😂
Minggu 15 November, aku dan Mas melakukan pemotretan pre-wedding di sebuah studio foto. Kami memilih studio foto itu karena review-nya yang cukup baik di Instagram.
Dua minggu sebelumnya, aku menghubungi pihak studio untuk
memesan sebuah paket couple sekaligus mentransfer uang muka. Jadwal pemotretan kami jam dua siang. Ketika tiba hari
itu, kami tiba satu jam lebih awal dari jadwal pemotretan kami. Sesampainya
disana, kami meminta pada Mbak Admin agar ditunjukkan dressing room untuk
mengganti pakaian dan berdandan (karena itulah alasan kenapa kami tiba satu jam
lebih awal). Setelah diminta menunggu selama beberapa menit, kami pun
dipersilahkan naik ke lantai dua. Tangga menuju lantai dua mengantarkan kami
pada sebuah ruang yang dipergunakan sebagai ruang tunggu. Di bagian kanan dan
kiri ruang tunggu tersebut, terdapat ruangan lain. Ruang sebelah kanan
tampaknya adalah ruang studio foto yang sedang direnovasi, atau mungkin ruang
studio yang baru dibuat karena terlihat agak berantakan. Sedangkan ruang
sebelah kiri merupakan ruang studio foto yang kami kira akan menjadi tempat
dimana kami melakukan pemotretan. Ya, kami kira.
"Sebentar ya, A, masih ada pemotretan anak-anak
wisuda", ucap seorang karyawan studio ketika melewati kami berdua. Kami
bisa mendengar suara-suara cempreng nan riuh dari ruangan yang karyawan itu
maksud, membuatku yakin bahwa peserta pemotretan itu pastilah perempuan semua.
"Iya, A, santai aja. Oh ya, ini kalo mau ganti baju dan
dandan dimana yah?" tanya Mas.
"Disitu aja, A", karyawan tadi menunjuk ruangan
satunya.
"Oke terimakasih, A".
Aku pun mengecek ruangan yang
dimaksud karyawan tadi, ruangan yang kusebut agak berantakan tadi,
padahal sebelumnya kukira studio mereka memiliki dressing room.
Sayangnya ketika aku mengecek ruangan tersebut, aku melihat disana terdapat beberapa
tas dan barang-barang yang sepertinya milik anak-anak yang sedang
melakukan pemotretan wisuda itu. Kami jadi ragu untuk bersiap-siap di
ruangan tersebut, karena khawatir jika terjadi kehilangan diantara
barang-barang milik mereka maka bisa-bisa kami yang diminta
bertanggungjawab.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengganti pakaian di ruang tunggu tadi.
Aku mengenakan gamis berwarna dusty pink dan khimar dengan warna senada,
dengan begitu aku nggak perlu melepas pakaianku, cukup dirangkap aja.
Sedangkan Mas cukup mengganti jaketnya dengan jas hitam.
Nggak
berapa lama kemudian, anak-anak wisuda itu keluar dari ruang studio,
namun mereka nggak bergegas mengemasi barang-barang mereka, melainkan
selfie-selfie dulu. Kami jadi harus menunggu lagi. Waktu itu sekitar jam
setengah dua siang. Masih ada waktu sekitar setengah jam bagi kami untuk
bersiap. Aku bukan tipe perempuan yang suka menggunakan banyak jenis make up. Cukup pelembab, BB cream, dan lipstik, aku bisa berdandan kurang dari waktu lima belas menit.
"Mas,
masih mau dandan kan si Tetehnya? Ini boleh diseling sebentar nggak
buat satu pemotretan aja?" tanya salah seorang karyawan lain kepada
kami. Aku dan Mas pun mengangguk. Kemudian Mas menyuruhku untuk segera
berdandan. "Kamu dandan disini aja, bisa kan?" katanya.
Akhirnya dengan terpaksa, aku pun berdandan di ruang tunggu dengan bantuan cermin kecil seukuran compact powder yang biasa kubawa.
Dan yah, kami kira pemotretan itu benar-benar hanya sebentar seperti
yang dikatakan karyawan tadi, namun yang nggak kami duga adalah, mereka
melakukan pemotretan bayi, atau mungkin foto keluarga bersama bayi.
Bayangkan, pemotretan bersama bayi, Gaes! Ditambah lagi si bayi terus
menangis dan orang-orang dewasa yang berada di dalam studio terdengar
berkali-kali berusaha menenangkannya.
Wah, bakalan lama nih,
batinku. Hingga jam dua siang, pemotretan itu belum selesai, bahkan si
bayi masih belum menghentikan tangisnya. Kukira sepertinya si bayi masih
merupakan kerabat dari pemilik studio itu deh, karena kami melihat sang
pemilik studio dan anak-anaknya yang kembar beberapa kali keluar-masuk
ruangan itu.
Sekitar jam setengah tiga sore, seorang fotografer
berkacamata dan berkemeja kuning memanggil kami, dan mempersilahkan kami
untuk masuk ke.. ruang sebelah kanan dari tangga. Iya, ruang studio
foto setengah jadi itu. Sementara pemotretan bersama bayi di ruang sebelahnya masih belum
jelas kapan selesainya. Fotografer berkemeja kuning itu sedikit
membereskan ruangan tersebut agar sedikit lebih rapi, dan meletakkan
beberapa pemanis agar latar belakang foto terlihat sedikit lebih
estetik, yang sebenarnya masih cukup jauh dari estetik menurut kami.
Latar belakang foto kami adalah sebuah dinding tanpa cat, melainkan
hanya dilapisi semen abu-abu dengan warna yang nggak merata, entah
sengaja dibuat begitu atau mungkin dinding itu masih setengah jadi, kami
nggak tau. Selain itu kami berpijak di atas kain putih yang sangat
kontras dengan warna dinding. Kecewa sih, tapi aku dan Mas nggak berani
protes saat itu. Mengingat studio foto itu cukup terkenal di kota kami,
kami benar-benar mempercayakan sepenuhnya pada karyawan mereka. Mungkin
nantinya foto-foto kami akan mereka edit sedemikian rupa sehingga
terlihat estetik seperti yang mereka post di Instagram mereka, begitu pikir kami.
Kami berpose sebanyak sekitar 80 jepretan saat itu. Semua file
foto itu ditransfer dari komputer mereka ke flashdiskku, kemudian Mbak
Admin meminta kami untuk memilih tiga buah foto dari keseluruhan foto
tadi untuk diedit.
"Fotonya ditunggu dua sampai tiga minggu ya, Teh.
Nanti kami kirimkan hasil editnya melalui WhatsApp", katanya. Kemudian
setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Mas pun meninggalkan studio
tersebut.
"Lama banget ya. Jangan-jangan mereka lupa tuh, foto kita sama sekali belum disentuh", ucap Mas khawatir.
"Sabar, Mas, kan mereka bilang tunggu dua sampai tiga minggu. Kita tunggu seminggu lagi."
"Tapi masa iya lama banget, ngedit doang".
"Mungkin customer mereka kelewat banyak, Mas. Trus mereka ngeditnya telaten banget gitu, jadi hasilnya bakal bagus banget", aku mencoba terus menenangkan.
Namun setelah menunggu selama tiga minggu, foto-foto itu belum juga dikirimkan. Perasaanku jadi nggak enak, sementara Mas sudah mulai kesal karena foto itu harus segera dicetak untuk dipajang di depan pintu masuk tamu pada resepsi pernikahan kami. Akhirnya aku pun mencoba menghubungi pihak studio lewat pesan WhatsApp,
"Selamat siang, Min. Maaf, untuk foto edit Paket Couple atas nama Putri sudah selesai belum ya? Terima kasih sebelumnya."
"Sebentar yah, Kak, kami cek dulu".
Setelah itu, Si Admin membalas lagi,
"Sudah, Kak".
Namun belum sempat kubalas, Si Admin menghapus pesan tadi. Ia baru mengirimkan pesan lagi satu setengah jam kemudian,
"Foto tanggal berapa, Kak?"
Kujawab,
"Tanggal 15 November, Min".
Setelah itu kembali jeda, nggak ada jawaban. Perasaanku tiba-tiba nggak enak.
Lagi-lagi satu setengah jam, Si Admin baru mengirimkan pesan lagi. Kali ini ia mengirimkan tiga buah file dengan format dokumen. Dengan nggak sabar sekaligus was-was, akupun segera membuka file itu. Dan.. ASTAGAAA.. hasil editan fotonya hampir nggak ada bedanya dong! Mereka cuma sedikit memperhalus tampilan wajah kami dan menghilangkan beberapa bagian warna dinding yang terlihat kontras. Hanya itu. Ya ampuuuunn.. Kalo cuma begitu, ngapain harus capek-capek nunggu tiga minggu kan ya? Aku dan Mas bahkan bisa melakukannya sendiri kurang dari sepuluh menit.
"Bener kan kata Mas, mereka pasti lupa. Foto kita selama tiga minggu pasti sama sekali nggak disentuh, dan hari ini baru ngedit mendadak", kata Mas dongkol.
"Iya, Mas, bikin kapok banget".
Ketika kukirimkan hasil foto studio itu pada ibu, ibu tertawa. Kata beliau,
"Mendingan foto di sawah"
😑
Kecewa banget rasanya, karena yang kami terima sangat jauh dari ekspektasi. Tadinya aku berencana mengungkapkan unek-unekku itu di Google Review, mengutuk-ngutuk kenapa foto-foto yang di-post di Instagram bagus-bagus sementara foto aku dan Mas buluk banget. Tapi Mas mencegahku melakukannya. Katanya, "Kita cukup tau aja. Jangan foto di studio itu lagi".
Dan yah, kukira aku akan kesulitan mencari pakaian pengantin untuk perempuan dengan postur miniatur sepertiku, tapi ternyata nggak juga. Aku pun cukup puas dengan pantulan bayanganku di cermin ketika mengenakan pakaian-pakaian itu, terlebih ketika mengenakan gaun hitam yang kupilih. Gaun itu memiliki bagian rok yang dilapisi petticoat sehingga mekar seperti sangkar burung. Terlihat indah, meski membuatku sedikit merasa berat dan repot saat berjalan. Tak apalah, toh hanya sekali seumur hidup. Oh ya, rasanya lucu sekali melihat ekspresi Mas yang agak tersipu, entah karena melihat calon istrinya mengenakan pakaian pengantin, atau karena tetangganya terus meledeknya. Wkwk.
Awal Januari, aku, Mas, Ibu, dan Bapak mulai membagikan undangan pernikahan, baik itu secara langsung maupun melalui media sosial. Sebanyak 600 undangan disebarkan. Rasanya senang sekali mendapati ekspresi teman-temanku yang sebagian besar tampak kaget menerima undangan dariku, apalagi teman-teman kantor.
"Kok tiba-tiba sebar undangan aja? Kapan pacarannya?" ucap mereka. Kemudian mereka memberondongku dengan serentetan pertanyaan. Ketemu dimana? Pacaran berapa lama? Calonnya tinggal dimana? Hal itu membuatku cukup kewalahan menjawab pertanyaan mereka satu persatu. Tapi benar lho, memang benar kata sebuah postingan yang pernah kubaca di Instagram, lebih baik terlihat jomblo kemudian tiba-tiba sebar undangan pernikahan daripada sering mengumbar kemesraan lalu tiba-tiba putus. Muehehehehe.
Pada tanggal 3 Januari, untuk pertama kalinya aku memanjakan diri di salon spa. Aku memilih salon muslimah yang tentunya hanya menerima customer wanita, karena tempatnya nggak bercampur dengan laki-laki dan tentunya lebih private dan nyaman. Kebiasaanku sebelum menyambangi suatu tempat baru adalah melakukan survey, salah satunya melalui IG. Aku tuh paling malas kalo survey tempat pelayanan jasa atau jual-beli barang di IG tapi Si Admin nggak mencantumkan tarif jasa ataupun harga barang yang mereka tawarkan. Wkwk.. Maklum, bukan sultan, jadi memastikan ketersediaan budget adalah suatu kewajiban. Hehe.
Ada beberapa salon khusus wanita di kotaku. Kebetulan dari beberapa salon spa wanita yang kusurvey, tarif pelayanan di salon yang kudatangi ini relatif lebih terjangkau dibanding salon spa wanita yang lain. Salon ini terletak di sebuah komplek perumahan. Di salon spa ini, hanya dengan 100 ribu rupiah aja, kita bisa menikmati tiga dari beberapa pilihan layanan yang mereka tawarkan. Ada pijat, lulur tradisional, totok wajah, body mask, creambath, dan masker wajah. Hanya aja yang disayangkan, lokasi salon itu cukup jauh dari rumahku sehingga ongkos untuk pergi kesana cukup mahal. Agak berat sebenarnya. Haha.. Derita orang yang nggak bisa bawa kendaraan sendiri ya begini nih. Namun untuk kali ini aku mengesampingkan kendala perihal ongkos itu. Gapapa deh sekali-kali. Toh nggak ada salahnya memanjakan diri sebelum berubah status, pikirku.
Sebelumnya aku melakukan reservasi dulu via WhatsApp. Aku minta pelayanan jam satu siang. Aku mengambil sebuah paket treatment khusus calon pengantin yang terdiri dari lulur, pijat, sauna, body mask, ratus V, dan mandi susu. Semua itu aku dapatkan dengan tarif dua ratus lima puluh ribu rupiah, belum termasuk panties atau celana dalam sekali pakai karena hari itu aku nggak membawa celana dalam ganti (maklum, kan baru pertama kali).
Begitu masuk ke area salon, suara lantunan ayat suci Al-Qur'an dari speaker langsung memanjakan pendengaran. Aku tiba tepat waktu. Setelah melakukan konfirmasi pesanan pada Resepsionis, aku diminta menunggu sebentar (sambil ngelus-ngelus kucing peliharaan Owner) sementara Mbak Terapis mempersiapkan ruangan dan perlengkapan terapinya. Setelah itu aku dipanggil dan dipersilahkan untuk menaruh barang-barang bawaanku di loker, kecuali hape. Kemudian Mbak Terapis membimbingku masuk ke sebuah ruangan dengan dua ranjang pijat yang disekat oleh gorden. Ruangan itu cukup nyaman dengan pencahayaan kuning redup dan pendingin ruangan. Nggak ada suara bising yang terdengar. Hanya suara pendingin ruangan dan lantunan murottal yang terdengar sayup-sayup di ruangan itu. Mbak Terapis pun meninggalkanku sebentar untuk mengganti pakaianku dengan sehelai kemben dan panties yang sudah ia siapkan. Aku terdiam sejenak. Entah kenapa saat itu aku bingung. Wkwk. Karena bingung ini sepertinya aku memakan waktu cukup lama hanya untuk berganti pakaian, karena si Mbak Terapis bertanya, "Sudah selesai, Mbak?" sebanyak tiga kali 🤣
Setelah aku selesai berganti pakaian dan menaruh pakaianku di hanger dan lemari penyimpanan barang (yang ternyata memiliki fungsi ganda sebagai pintu geser menuju toilet), Mbak Terapis pun mulai melayaniku. Ia melumuriku dengan body scrub, kemudian memijatku dengan pijatan yang nggak terlalu kuat, tapi juga nggak terlalu lembut. Sambil memijatku, ia mengajakku mengobrol ringan, mungkin maksudnya biar suasana nggak terlalu canggung gitu. Namun karena aku nggak pandai bicara (dan karena nggak berminat untuk mengobrol juga sih), aku pun hanya menjawab seperlunya, tapi bukan dalam artian menjawab ketus lho ya.
Setelah selesai memijatku, Mbak Terapis membimbingku keluar ruang pijat dan mempersilahkan aku untuk masuk ke ruang sauna berbentuk kubus berukuran 1x1 meter yang seluruh dinding dan langit-langitnya terbuat dari kayu, begitu juga dengan pintunya yang memiliki jendela kaca kecil berbentuk persegi. Aroma kayu lembab menguar di dalam ruangan itu. Disana aku duduk sendiri, merasakan suhu ruangan yang berangsur-angsur semakin hangat.
Beberapa lama kemudian, Mbak Terapis kembali membimbingku masuk ke ruangan pertama dan lanjut memberiku pelayanan body mask dan ratus V. FYI, ratus V adalah perawatan tradisional yang dilakukan dengan penguapan atau pengasapan rempah pada organ intim wanita. Pada praktiknya, Mbak Terapis mempersilahkan aku untuk duduk di kursi khusus yang dibawahnya sudah dipersiapkan bakaran rempah. Sekitar lima belas menit kemudian, aku diminta membasuh organ intimku, lalu kembali masuk ke ruang sauna, dan kemudian menikmati pelayanan terakhir dari paket perawatanku hari itu, yakni mandi susu.
NEXT : Chapter IV - Menghitung Hari
0 komentar:
Posting Komentar