Cukup banyak hal yang terjadi pada H-2 dan H-1 pernikahanku.
Aku mengajukan cuti selamat empat hari, yakni hari Sabtu
tanggal 9, Senin tanggal 11, Selasa tanggal 12, dan Rabu tanggal 13.
Namun Pak Bos hanya memberiku jatah cuti tiga hari. Memang sih, hal itu
bukan tanpa alasan. Kepala HRD dan rekanku yang sesama Staf HRD sedang
sakit, begitu juga dengan salah seorang Staf Akunting yang ditugaskan
untuk meng-handle beberapa tugasku selama aku cuti. Pak Bos khawatir tugas-tugasku akan terbengkalai.
Kamis 7 Januari—H-2, Pak Teguh, Kepala HRD-ku menghubungiku via video call.
Beliau menghubungiku dari rumah sakit tempat dimana beliau dirawat.
Seperti teman-temanku yang lain, beliau kaget mendengar bahwa aku akan
segera menikah, dan beliau benar-benar menyesal karena nggak bisa
menghadiri resepsi pernikahanku. Begitu juga dengan Pak Ben yang
mengungkapkan penyesalannya lewat pesan WhatsApp. Kubilang, "Gapapa,
Pak, yang penting Bapak cepat sehat dulu. Minta doanya aja ya, Pak".
Padahal di dalam hatiku rasanya ambyar banget. Seusai berbincang dengan
Pak Teguh melalui video call, tangisku pecah. Aku menangis
sendirian di Ruang HRD. Mereka sudah seperti bagian dari keluargaku.
Rasanya sedih banget ketika orang-orang yang paling dekat di kantor
justru nggak bisa hadir di acara pernikahanku.
***
Hari
Jum'at malam itu, hujan turun. Aku yang semula menunggu kedatangan
teman-teman Mustunable Band akhirnya memutuskan untuk beranjak ke kamar.
Sebelumnya Inggit dkk berencana menemaniku malam itu. Namun melihat
kondisi cuaca malam itu yang turun hujan, rasanya nggak mungkin mereka
datang, terlebih malam itu mereka baru aja latihan di studio band untuk
persiapan nyumbang lagu di resepsiku keesokan harinya (terniat banget
memang mereka ini). Berbeda dengan Mas yang malam itu mengaku nggak bisa tidur, aku
justru langsung mengantuk setelah masuk kamar. Ajaib, padahal selama ini aku mengenal diriku sebagai sosok yang sangat mudah overthinking dengan hal sekecil apapun. Tapi anehnya menjelang hari besar dalam hidupku ini, aku malah bisa tidur cepat seakan hari esok adalah hari biasa.
Baru beberapa
saat aku terlelap, sekitar pukul sebelas malam, aku dan keluarga dikejutkan dengan kabar buruk bahwa
Arul, anak Bibi Cicih kecelakaan. Malam itu ia baru aja mengantar bibiku
itu ke rumahku. Namun di perjalanan menuju pulang, ia mengalami
kecelakaan tunggal (karena menghindari becak). Mendengar
berita itu, Bibi Cicih dan Wa Agus langsung menuju RS Ciremai, tempat
dimana Arul dievakuasi oleh warga sekitar.
Jam 00.11, Bibi Cicih meneleponku. Ia meminta tolong agar aku memesankan taksi daring untuk memindahkan Arul dari RS Putera Bahagia ke RSUD Gunung Jati. Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung melakukan apa yang diminta bibiku itu.
Singkat cerita, taksi daring yang kupesan selesai mengantar Arul dan bibiku ke rumah sakit tujuan. Namun di luar dugaan, sang supir tiba-tiba mengirimiku pesan bernada amarah,
"Lain kali kira-kira dong, Mbak, kalo pesan taksi online buat angkut orang kecelakaan. Jok mobil saya banyak darah jadinya!"
Bingung juga rasanya, aku harus merespon bagaimana. Saat itu aku sendiri bahkan belum mengetahui bagaimana kondisi sepupuku itu. Aku nggak menyangka bahwa kondisinya sedemikian parah. Kakinya cedera berat, bahkan aku menolak melihat
ketika Wa Agus menunjukkan foto kondisi Arul pasca kecelakaan. Sedih rasanya, kenapa hal semacam ini harus menimpa kerabatku di satu hari menjelang hari terpenting di hidupku :')
NEXT : Chapter V - Melepas Jangkar
0 komentar:
Posting Komentar