Selasa, 09 Februari 2021

CHAPTER V : Melepas Jangkar

Dulu pernah terlintas di anganku bahwa jika suatu saat aku menikah, aku ingin dekorasi pernikahanku didominasi dengan warna monokrom, bahkan sampai ke bunga-bunganya. Maka ketika tiba waktunya aku akan menikah dan diminta memutuskan warna tenda dekorasi pernikahan aku dengan Mas, kujawab bahwa aku ingin tenda warna hitam-putih. Namun mendengar itu, teman-teman dan keluargaku tertawa. Menurut mereka, tenda warna hitam adalah warna yang nggak umum digunakan dalam resepsi pernikahan, khususnya resepsi pernikahan orang Indonesia. Padahal sah-sah aja kan ya kalo aku menginginkan warna hitam untuk resepsi pernikahanku sendiri. Meskipun berbeda dari kebanyakan orang, tapi kukira keinginanku ini masih masuk akal. Kecuali kalo aku memberi dresscode kostum Halloween untuk para tamu. Sayangnya meskipun menyukai warna hitam, namun dalam hal ini Mas pun kurang setuju. Mungkin menurutnya warna hitam untuk dekorasi pernikahan terlihat suram dan lebih cocok untuk pesta pemakaman, entahlah 😌

***

Sabtu, 09 Januari 2021. Tenda putih-emas sempurna terpasang. Ya, setelah berdiskusi, akhirnya kami sepakat memilih warna putih-emas untuk tenda pernikahan kami. Flower gate untuk pintu masuk tamu menggunakan bunga-bunga artifisial warna putih. Pelaminan kami juga dihiasi bunga-bunga artifisial warna putih dan warna-warni dari rangkaian bunga hidup.

Pukul 05.25, MUA beserta timnya sudah tiba di tempatku. Mereka berkumpul di salah satu kamar kos milik orangtuaku yang hari itu digunakan sebagai kamar rias pengantin. Melalui panggilan suara di WhatsApp, MUA yang sebut aja Mbak Dea (bukan nama sebenarnya) itu memintaku untuk segera ke kamar kos untuk dirias. Aku yang saat itu tengah menyesap sebungkus Tolak Angin di kamar pribadiku bergegas menghabiskannya. Well, entah kenapa saat itu aku merasa sedikit kurang enak badan.

Sementara menyiapkan peralatan meriasnya, Mbak Dea memerintahkan salah satu asisten riasnya ke kediaman Mas dengan diantar adikku. Perasaanku benar-benar campur aduk saat itu, namun was-was dan gugup terasa lebih dominan. Was-was dengan bagaimana hasil riasan di wajahku, was-was dengan cuaca yang pagi itu tampak mendung, dan gugup karena sebentar lagi akan menjadi istri orang.

Dengan dibantu asisten Mbak Dea, aku melepas pakaian yang kukenakan dan menggantinya dengan manset putih dan busana pengantin dengan warna senada. Setelah itu, Mbak Dea mulai meriasku bersama seorang Henna & Nail Artist yang bertugas merias kuku jari dan punggung tanganku dengan henna putih dan kuku palsu warna merah. Tiga gadis kecil: Tiara, Aura, dan Najwa dengan antusias menyaksikan aku yang saat itu tengah dirias. Aku hanya bisa tersenyum pada mereka yang tampak nggak sabar melihat hasil akhir riasanku. Ya, proses periasan rasanya berlangsung lama sekali, terlebih bagi aku yang nggak terbiasa dan nggak merasa nyaman dengan polesan make-up tebal, ditambah bulu mata palsu yang berlapis-lapis. Saking khawatirnya dengan hasil akhir riasan di wajahku, aku sampai melontarkan pertanyaan yang cukup konyol pada Mbak Dea, "Ini nantinya nggak akan terlalu menor kan, Mbak?"

Singkat cerita, Mbak Dea dan timnya sudah selesai meriasku. Tiga gadis kecil yang sedari tadi menantikan hasil make over wajahku pun bersorak-sorak. Aku menatap cermin di depanku yang memantulkan bayangan perempuan berpakaian pengantin adat Sunda lengkap dengan mahkota siger; tampak seperti bukan aku. Sebenarnya aku cukup puas, meski agak kecewa dengan bagian shade di pipi yang tampak terlalu gelap. Asisten Mbak Dea mengoreksi sedikit bagian itu, namun tampaknya masih terlihat gelap. Saat itu aku hanya berharap warna gelap di pipiku itu nggak terlalu mencolok di mata tamu ataupun kamera.

Mbak Henna Artist juga tampaknya puas dengan hasil pekerjaannya. Ia lantas memintaku untuk bergaya dengan menunjukkan henna dan nail art di kedua tanganku, kemudian mulai memotret dan membuat rekaman video dengan hapenya sambil sesekali mengarahkan aku harus bergaya seperti apa. Entah bagaimana ekspresiku saat itu. Pasti aneh sekali, karena rasa gugupku semakin tumbuh berlipat-lipat. Terlebih ketika MC di luar mengumumkan bahwa rombongan Mas dan keluarga sudah tiba di lokasi hajat, detak jantungku rasanya seperti drum beat pada lagu Over The Hills And Far Away yang dibawakan Nightwish.

Dari kamar rias, aku hanya bisa mendengar suara MC dan yang lainnya dari suara speaker. Aku nggak bisa melihat bagaimana ekspresi Mas dan kedua orangtuaku. Aku bertanya-tanya di dalam hati tentang bagaimana perasaan Mas. Apakah dia segugup aku? Atau bahkan mungkin lebih? Karena sebentar lagi dirinya akan mengucapkan janji sakral di hadapan para saksi.

***

Prosesi akad pun dimulai. Tenggorokanku rasanya kering, dan degupan jantungku terasa semakin menjadi ketika kudengar bapak mulai mengucapkan kalimat ijab qabul. Kemudian kalimat itu disambut Mas dengan tegas dan mantap dalam sekali ucap. Selanjutnya aku bisa mendengar para tamu berucap 'alhamdulillah' dan bersorak sesaat setelah saksi menyatakan sah.
"Wah, latihannya siang malam pasti nih!" celetuk salah satu asisten Mbak Dea. Aku hanya tersenyum sambil menahan haru. Setelah dinyatakan sah sebagai suami dan istri, aku baru dipanggil untuk duduk berdampingan dengan Mas di hadapan penghulu untuk menandatangani buku nikah dan serah terima mahar.


 
Yang mengharukan adalah ketika prosesi sungkeman. Tangisku pecah tatkala aku memeluk bapak. Entah kapan terakhir kali aku memeluk beliau sebelum ini, mengingat hubungan kami yang nggak bisa dibilang dekat. Sifatnya yang agak keras membuatku canggung hingga hubungan kami seakan berjarak selama hampir dua dekade. Aku sangat ingin hubungan kami kembali seperti dulu lagi, saat bapak masih suka menceritakan dongeng, membuatkan aku mainan, menggendongku ke kamar apabila aku ketiduran di depan televisi.. Ya, itu semua pernah terjadi. Dulu. Dulu sekali. Aku kangen bapak. Kangen banget. Andai aku bisa mengembalikan momen indah itu. Sedih rasanya mengingat hubungan kami yang belum membaik, sementara beliau semakin menua dan kini sudah harus melepasku. Sebuah kutipan mengatakan,
"Ayah adalah laki-laki yang paling cemburu ketika anak perempuannya dekat dengan laki-laki; yang paling sedih ketika kelak anak perempuannya menikah; yang paling hancur hatinya ketika beliau harus menyerahkan anak perempuannya kepada laki-laki yang asing baginya. Ayah adalah satu-satunya laki-laki yang menyadari bahwa kelak anak perempuannya tidak lagi mengabdi kepadanya."

Entah bapak merasakan itu atau enggak, tapi sedih rasanya menyadari bahwa hubungan aku dengan bapak yang bahkan nggak lebih dekat ketimbang hubungan antara aku dengan Mas.
"Maafin Puput, Pak, kalo banyak salah", ucapku sambil terisak. Hanya itu yang bisa kuucapkan pada beliau, meski sebenarnya banyak sekali yang ingin kuungkapkan hingga dadaku rasanya sesak.

Namun belum habis rasa sesak di dalam dadaku, Mas Fotografer sudah meminta aku dan Mas Agus untuk berdiri dan berfoto dengan gaya ceria.
"Nanti dulu", ucapku sambil sesenggukan. Namun entah kenapa Mas Fotografer itu tampak berdiri dengan ekspresi nggak sabar. Susah payah aku menghentikan tangisku dan menghapus air mata yang masih mengalir deras. Rasanya nggak enak sekali. Yah, gimana bisa berfoto dengan gaya ceria dan tersenyum kalo sedih dan haru masih menggelayut. Menahan rasa ingin kentut aja rasanya nggak enak kan?

***

Jujur, sebenarnya aku merasa nggak nyaman dengan kuku palsu di jari-jariku. Memegang dan menyentuh apapun rasanya janggal. Untung aja saat penandatanganan buku nikah, aku bisa menggunakan bolpoin dengan baik, sehingga aku cukup puas dengan hasil tanda tanganku. Karena hal ini, maka hampir selama resepsi, aku nggak memegang hape. Ya, bahkan untuk memegang hape pun rasanya malas, karena hanya untuk membuka kuncinya aja aku perlu bantuan Mas. Padahal aku ingin sekali mencatat jam dan momen-momen tertentu untuk mempermudah penulisan blog ini.

Aku nggak ingat pada jam berapa aku diminta untuk mengganti pakaianku dengan gaun pengantin warna hitam. Kalo nggak salah, setelah Dhuhur. Begitu keluar dari kamar rias, teman-teman dari perusahaan tempatku bekerja mulai berdatangan. Senang sih, namun ada rasa sedih ketika menyadari Pak Ben, Pak Teguh, Bu Hani, dan Pak Faisal yang nggak ada di tengah-tengah mereka.

Sesuai rencana, teman-teman dari Mustunable naik stage untuk menyumbang beberapa lagu. Dewi, teman kecilku juga turut menyumbangkan satu lagu milik Dewa19 yang berjudul Pupus dengan diiringi teman-teman bandku itu. Setelah membawakan beberapa lagu, Inggit mengundangku naik ke stage untuk bernyanyi. Hari itu aku dan Mustunable membawakan lagu Kaulah Segalanya yang dipopulerkan oleh Ruth Sahanaya, dan lagu Kangen milik Dewa19. Sempat ada hal awkward yang terjadi waktu itu. Sebelum menyanyikan lagu Kangen, aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa lagu itu dipersembahkan untuk Mas sambil mengarahkan pandanganku padanya. Namun alih-alih berbalas menatapku dan tersenyum, Mas tampaknya nggak ngeh karena dirinya saat itu sedang mengomel pada soundman karena menurutnya sound yang dihasilkan kurang bagus. Wkwkwk.. *gagalromantis* 😂



Sayangnya, aku nggak sempat berfoto dengan teman-teman Mustunable, karena mereka keburu pamit pulang ketika aku tengah berganti gaun. Aku sempat meminta mereka menunggu sebentar untuk berfoto bersama, namun cuaca mendung dengan sedikit gerimis memaksa mereka untuk nggak berlama-lama tinggal. Khawatir turun hujan besar, karena hari itu mereka membawa alat musik masing-masing.

Sepulang teman-teman Mustunable, Aghatri Band yang waktu itu menjadi band utama kembali naik stage setelah sebelumnya membuka acara resepsi dengan lagu A Thousand Years. Sesuai permintaanku, Aghatri membawakan lagu The Only Exception milik Paramore, sebuah lagu yang dari dulu aku inginkan ada di resepsi pernikahanku jika kelak aku menikah. Namun tanpa diduga, Wangi dan A Lukman, duo vokalis mereka, meminta aku dan Mas naik ke stage untuk berkolaborasi bersama mereka. Jadilah aku berduet bersama Wangi, sementara Mas menggantikan drummer mereka.

Sebenarnya banyak sekali hal yang kusayangkan pada resepsi pernikahanku, seperti banyaknya orang terdekat yang nggak hadir, banyak pula orang terdekat yang hadir tapi nggak ada dalam dokumentasi, dan hal-hal yang disayangkan lainnya yang sepertinya kurang enak aku ungkapkan dalam tulisan ini. Biarlah bagian-bagian itu aku ungkapkan dalam tulisan terpisah.


Sabtu, 09 Januari 2021, aku dan Mas Agus mulai melepas jangkar. Berdua kami berada dalam satu bahtera yang sama. Entah seberapa kuat ombak, angin, dan badai yang kelak kami hadapi. Aku dan Mas sama-sama tau, apa yang ada di depan kami nggak akan mudah. Semoga Tuhan senantiasa melapangkan hati kami agar selalu sabar dan ikhlas melalui aral sebesar apapun, senantiasa melindungi kami, dan merestui kami membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;