Senin, 31 Desember 2018 0 komentar

New Year : 2019

Hey Everyone!

Hmm.. nggak terasa, kita sudah berada di penghujung tahun 2018. Rasanya tahun ini berlalu begitu cepat. Lebih cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. 2018 bisa jadi merupakan tahun yang kelam bagi tanah air kita. Bagaimana tidak? Berbagai musibah besar yang menelan banyak korban jiwa terjadi beberapa kali di tahun ini, mulai dari meletusnya Gunung Sinabung, gempa dan tsunami di Palu (disusul gempa-gempa di wilayah lainnya), jatuhnya pesawat Lion Air, sampai yang baru kemarin terjadi, yakni erupsi anak Gunung Krakatau yang mengakibatkan tsunami di kawasan Anyer dan sekitarnya. Di Cirebon sendiri kemarin sempat terjadi angin puting beliung di kawasan Panguragan, seolah-olah memberi tanda bahwa alam sudah mulai muak dengan tingkah manusia. Astaghfirulloh.. Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua. Aamiin.

Bagiku pribadi, 2018 adalah tahun yang sangat-sangat berkesan. 2018 bisa dibilang tahun terburukku, bisa juga dibilang sebagai tahun terbaikku, tergantung dari sisi mana aku melihat. Jika aku melihatnya dari sisi negatif, tentu saja ia buruk, namun jika dilihat dari sisi positif, ia bisa dibilang sebagai salah satu tahun terbaik yang pernah aku lewati.

Di tahun ini, banyak banget pengalaman-pengalaman pertama yang aku alami. Di bulan Januari, sahabatku, Rohayati melepas masa lajangnya. Itu pertama kalinya aku melihatnya dekat dengan lawan jenis, setelah sekian lama mengenal dia sebagai seseorang yang ‘alergi’ dekat dengan laki-laki karena sifatnya yang sangat tertutup :) Waktu itu aku menyesal banget nggak bisa nemenin dia. Padahal dua hari sebelum hari pernikahannya, aku berniat pingin dampingi dia dari pagi, pingin lihat akad nikahnya.. Tapi sayangnya, hari itu bertepatan dengan closing penjualan. Aku wajib ngantor. Alhasil, aku baru bisa hadir ketika resepsi pernikahan sudah dimulai.

Di bulan Maret, setelah sekian lama menikmati berkaraoke dengan Smule, untuk pertama kalinya aku mencoba bernyanyi dengan diiringi band betulan saat band yang terdiri dari rekan-rekan kantorku berlatih di studio sebelah kantor. Saat itu aku direkomendasikan seorang teman untuk ikut menyumbang suara pada perayaan hari anniversary perusahaan yang ke-enam. Namun saat itu, aku hanya sekedar iseng ikutan latihan, sedangkan saat hari perayaan anniversary itu, aku nggak tampil karena memang nggak siap. Barulah beberapa minggu kemudian aku resmi bergabung dengan band yang semula bernama MusTanG dan kini berubah menjadi MusTunable itu. Hari itu juga adalah kali kedua aku ikut andil dalam acara perayaan anniversary perusahaan, namun baru kali ini aku merasa benar-benar enjoy. Mungkin karena tahun lalu aku masih berstatus karyawan baru kali ya, jadi masih canggung gitu. Berbeda dengan aku yang kini sudah sedikit lebih pede berbaur sana-sini.

Di bulan Mei, untuk pertama kalinya aku bernyanyi di depan publik. Saat itu ada acara job fair yang diselenggarakan di mall terbesar di kotaku, dan MusTunable menjadi salah satu band yang ikut memeriahkan acara itu. Rasanya nervousbanget. Aku bahkan geli sendiri melihat performance-ku dalam rekaman video yang dikirimkan Pak Yosep di grup Whatsapp band kami. Tapi aku bersyukur karena nggak ada kejadian memalukan yang terjadi selama aku tampil saat itu.

Di bulan Juni, umurku bertambah satu tahun. Untuk pertama kalinya aku melewatinya dengan merenung, betapa aku pernah melewati masa-masa sulit, dan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan menyayangiku dengan memberiku nikmat hidup hingga detik ini. Menyesal rasanya mengingat betapa dulu aku sering banyak mengeluh pada Tuhan. Aku bahkan cenderung membenci hidupku. Sekarang aku sadar bahwa hidupku berharga, dan banyak yang sepatutnya aku syukuri dari ini semua.

Di bulan Juli, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kawasan wisata Tangkuban Perahu. Rasanya senang banget bisa kembali menginjakkan kaki di Bandung. Well, Bandung is always been one of my favorite cities mengingat segala daya tariknya yang mampu membuatku jatuh cinta berulang kali.

Di bulan Agustus, untuk pertama kalinya aku nge-camp bareng rekan-rekan kantor di Kuningan. Yah, memang bukan bareng sesama rekan staff sih, melainkan bareng rekan-rekan dari tenaga penjualan Tim Kedawung dan Tim Sumber (tapi yaa ada juga sih beberapa orang yang sesama). Rasanya menyenangkan dan berkesan banget, meski ada sedikit kejadian yang menegangkan dan kurang mengenakkan waktu itu, tapi justru itu yang membuatnya jadi berkesan.

Bulan September, bulan penuh cerita. Untuk pertama kalinya aku dan teman-teman dari MusTunable menginjakkan kaki di Pekanbaru. Yap, kami manggung di pulau orang. Saat itu, untuk pertama kalinya juga aku merasakan naik pesawat. Meski sensasinya nggak jauh beda dengan saat naik lift, namun naik pesawat rasanya lebih menakjubkan, karena pemandangan dari atas kelihatan indah banget. Memang sempat ada sedikit kejadian menegangkan sih waktu itu, yakni ketika dalam penerbangan menuju Sultan Syarif Kasim International Airport, salah satu awak pesawat sempat memberi tahu penumpang bahwa cuaca sedang buruk. “Bagi penumpang yang sedang berada di toilet, harap segera kembali ke tempat duduk Anda dan mengenakan seat-belt”, begitu katanya. Aku sempat khawatir, takut hal yang nggak diinginkan terjadi pada kami. Tapi alhamdulillah, kami tiba di Pekanbaru dan kembali ke Cirebon dengan selamat. Empat hari berada di Kota Madani, rasanya cukup berkesan. Dan empat hari bersama Mister Chokai, Mas Febri, dan yang lainnya itu membuatku merasa memiliki kakak, sedangkan Pak Faisal dan Pak Yosep adalah orangtua kami. Hihi.. Oh ya, one more thing. Aku suka kota itu. Yah, walau pesonanya nggak sekuat kota Bandung yang mampu membuatku jatuh hati berkali-kali, tapi harus kuakui bahwa aku jatuh cinta pada tata kota dan keramahan orang-orangnya. Hanya aja di Pekanbaru sana hawanya gerah banget, bahkan ketika mendung sekalipun.

Di bulan Oktober, aku punya keponakan baruuuuu.. Sepupuku, Gege melahirkan anak pertamanya dengan selamat pada tanggal 23 dengan persalinan normal. Alhamdulillah ia lahir dengan sehat. Pipinya gembul, dan rambutnya lebat. Bayi cantik itu diberi nama Adeeva Naura Putri. Pada bulan Oktober itu juga, MusTunable sempat ‘berantakan’ ketika Mas Febri dan Mas Win memutuskan untuk mengundurkan diri. Hal itu membuat kami kesulitan mencari personil pengganti. Jujur, waktu itu aku merasa kehilangan, walau aku nggak bilang sama mereka. Kami pernah beberapa kali latihan di studio tanpa mereka berdua, dan rasanya hampa banget, nggak ada excited excited nya kayak biasanya.

Di bulan November, Mister Chokai berhasil membujuk Mas Febri untuk kembali bergabung dengan MusTunable, namun kali ini giliran aku yang mengajukan pengunduran diri dari band. Aku mulai mogok ikut latihan, padahal waktu itu kami seharusnya mempersiapkan diri untuk rekaman perdana. Namun setelah mempertimbangkan kembali keputusanku, akhirnya aku bergabung kembali dengan MusTunable, berikut juga Mas Win.

Daaan.. finally di bulan Desember, bulan yang juga penuh cerita, dilaksanakanlah rekaman perdana MusTunable. Sayangnya, di rekaman perdana ini, aku harus bernyanyi sendirian, karena Dhea, partner duetku menyatakan nggak siap. Well, katanya sih dia mau mengundurkan diri dari band, tapi nggak tau juga sih jadi atau enggaknya. Di bulan ini, untuk pertama kalinya juga, aku mengikuti les vokal. Meski hanya beberapa kali pertemuan, tapi rasanya cukup berkesan, karena di tempat les aku bertemu orang-orang yang ramah. Ada Mas Verry, Mas Ade, Mas Didi, dan Mas Apip. Dan karena hal itu, di hari terakhirku les disana, aku merasa sedikit terharu ketika pamit sama mereka. Yah, rasanya pengen lebih lama aja gitu les disana (kalo bisa sih les alat musik yaa, karena kalo hanya latihan vokal aku pikir berlatih sendiri dengan aplikasi karaoke pun cukup), apalagi ketika mengetahui bahwa Mas Ade dan bandnya cukup sering bawain lagu-lagu rock Western, termasuk Paramore. Yah, kali aja gitu dia bisa jadi sharingpartner dalam hal musik. Hihi..

Oh ya, di pertengahan Desember juga aku sempat hangout bareng Tri, Shinta, dan Yuda. Awalnya sih karena aku iseng ngupload foto voucher buy one get one free-nya Masterpiece di status WhatsApp-ku. Tanpa diduga, ketiga sohibku itu merespon. Diawali oleh Shinta, kemudian menyusul Yuda dan Tri. Akhirnya aku ajak aja mereka berempat, dan mereka mau. Lagian Yuda dan Shinta sebenarnya sama-sama teman sekelasku di SMP sih, palingan Tri aja yang nggak kenal mereka berdua. Jujur sebenarnya aku nggak nyangka Yuda pengen gabung, karena aku pikir dia bukan tipe orang yang hobi sing song, meski dia sendiri mengaku suaranya nggak jelek. Wkwk.. Dan hari itu, menjadi hari pertama dimana aku mendengar dia nyanyi, termasuk juga Shinta. Sayangnya Shinta cuma nyanyi satu kali, seterusnya dia nggak mau nyanyi lagi meski udah kita bujuk, nggak tau kenapa. Sedangkan Yuda sendiri memilih lagu yang aneh-aneh. FYI, dia ini punya selera tua. Favoritnya itu lagu-lagu Western jadul. Alhasil, lagu yang dia cari banyak yang nggak ada. Haha.. Anehnya lagu macam Wikwikwik yang kemarin sempat viral itu justru ada. Aku iseng ngeplay dan kami sukses ngakak-ngakak.

Hahh.. Jika melihat apa-apa aja yang aku lewati selama satu tahun ini, rasanya banyak banget yang mau aku tulis. Banyaaaaak banget. Hahaha.. Well, I was happy too much, but also disappointed too much, and sad too much. Aku ingat hari pertama di tahun 2018 yang kuawali dengan cukup baik. Aku bertekad untuk memperbaiki diri dan mengubah sedikit penampilanku yang membuat sebagian orang yang mengenalku tercengang. Aku pun biasanya nggak banyak berharap di awal tahun, namun berbeda dengan di awal tahun 2018 kemarin. Aku menggantung harapan-harapan besar yang sebelumnya nggak pernah aku utarakan pada Tuhan, di tahun inipula aku mulai berani bermimpi untuk sesuatu yang nggak pernah berani aku impikan sebelumnya, namun nampaknya semua itu menurut Tuhan terlalu berlebihan, atau bahkan kurang baik untukku sehingga harapan-harapan yang kugantung di awal tahun lalu menguap begitu saja tanpa pernah terwujud.

Kapan itu terjadi dan bagaimana, kurasa aku nggak perlu menuliskannya, karena aku memang nggak mau menuliskannya. Semua itu biar aku, dia, dan Tuhan yang tau. Ya, ini memang menyangkut tentang seseorang. Rasanya konyol sekali mengingat betapa bodohnya aku waktu itu. Ketika seseorang membawaku ke darat setelah sekian lama terombang-ambing di tengah laut, kukira ia akan menyelamatkanku, nyatanya ia justru menjebloskanku ke lahar panas, membuatku menyesal sedalam-dalamnya. Kuakui aku sempat terpuruk. Tapi hal itu pulalah yang membuat mata hatiku lebih terbuka. Aku sadar bahwa saat itu aku terlalu banyak menggantung harapan dan kepercayaan pada manusia ketimbang pada Tuhan. Aku lupa bahwa Tuhan itu pencemburu. I had never been in relationship before. Namun sekalinya itu terjadi, rasanya benar-benar buruk, meski awalnya manis. Well, seringkali Tuhan memang perlu menegur hamba-Nya agar sadar, meski dengan tamparan keras sekalipun. Aku bersyukur Tuhan telah ‘menamparku’, karena kalo enggak, yang terjadi bisa jadi lebih buruk dari ini. Dan, ya.. aku berterima kasih kepada orang yang telah Tuhan kirimkan untuk memberiku pelajaran berharga. Semoga kamu membaca ini. Kudoakan kamu seperti aku mendoakan mereka yang juga pernah memberiku pelajaran berharga, meski dengan cara yang menyakitkan. Semoga Tuhan senantiasa memberimu kesehatan dan umur panjang, agar kamu bisa memiliki kesempatan untuk menjadi baik dan semakin baik :)

 


Sungguh aku berterima kasih pada tahun 2018 yang telah memberiku pengalaman dan pelajaran yang begitu berharga. Pahit dan manisnya aku terima. Yah, beberapa waktu lalu aku memang sempat berpikir bahwa tahun ini terasa begitu berat, tapi jika aku melihat segalanya dari sisi yang lain, segala yang memberatkan itu justru terasa sebaliknya. Nyatanya hidupku nggak jadi lebih buruk hanya karena semua itu. Hidupku masih sempurna. Aku masih diriku yang bebas, yang bisa melakukan apapun yang aku suka : ngeblog, nge-Smule, baca novel, nonton film.. dan yang terpenting, aku semakin percaya bahwa Tuhan masih sayang aku.


Akhir kata, selamat datang, 2019. Jadilah tahun yang baik, lebih baik dari seniormu ^_^


posted from Bloggeroid
Selasa, 25 Desember 2018 0 komentar

Mana Simpatimu?

Tiga hari berlalu pasca bencana tsunami Selat Sunda yang melanda Anyer dan sekitarnya, namun topik tentangnya masih begitu hangat diperbincangkan. Bagaimana tidak? Bencana ini menelan korban jiwa hingga 429 orang, itupun besar kemungkinan jumlahnya akan terus bertambah, karena hingga saat ini masih banyak korban yang belum ditemukan.

Anyway, I'm not gonna talking about this disaster, tapi tentang sesuatu yang menggelitik benakku hingga mendorongku untuk menulis ini.

Kalian pasti tau kan bahwa salah satu grup band Indonesia ada yang menjadi korban dalam bencana ini? Yup, Seventeen. Band ini tengah mengisi acara gathering sebuah perusahaan BUMN di Tanjung Lesung kala itu. Naas, tiga orang personilnya : Bani, sang bassist; Herman, sang gitaris; dan Andi, sang drummer, meninggal dunia, meninggalkan Ifan sang vokalis sebagai satu-satunya personil band mereka yang selamat. Namun meski jiwanya selamat, Ifan harus menerima pukulan hebat. Istrinya, Dylan Sahara, turut menjadi korban dalam tragedi itu.

Well, aku hanya tau sekilas tentang siapa Ifan Seventeen dan bandnya. Aku mendengar lagu mereka pertama kali belasan tahun lalu, tepatnya waktu aku masih duduk di bangku SD. Waktu itu lagu mereka yang pertama kali kudengar adalah Jika Kau Percaya dan Seisi Hati, and I like them. Tapi singkatnya, I'm not their fan, hanya salah satu orang yang menyukai lagu-lagu mereka.

Namun meski begitu, entah kenapa mendengar berita tentang mereka, dan melihat-lihat postingan sang vokalis di Instagram pribadinya, aku ikut merasa sedih. I just can't imagine if I were in his position. Ditinggal orang-orang terdekat dalam waktu yang begitu singkat, that must be so hard. Tapi di tengah-tengah kedukaan seperti itu, ada aja orang-orang yang entah punya hati atau enggak, seenaknya 'menceramahi' orang yang bersangkutan. You know like menuding-nuding kena azab dan segala macamnya. Rasanya miris dan nggak habis pikir aja gitu. Aku nggak bilang menceramahi itu buruk lho ya, hanya aja, please lah tau waktu. Lihat situasi dan kondisinya. Itu orang lagi kena musibah, psikisnya lagi terguncang. Could you imagine that? Kehilangan orang terkasih dan kawan-kawan seperjuangan gimana rasanya? Mbok ya tunggu kondisi psikisnya membaik dulu kek, ini malah asal sembur aja. Udah gitu kata-katanya menohok pula, nggak baik-baik gitu.

Ada lagi yang lebih menggemaskan, yakni ketika aku melihat salah satu seleb Indonesia yang ikut mengucapkan rasa belasungkawanya di kolom komentar postingan Ifan, sebut saja namanya MJ. Rupanya si MJ ini punya banyak haters. Maka ketika si MJ memposting komentar yang berisi ungkapan rasa belasungkawanya disana, postingan itu lantas dibanjiri hujatan dari para haters si MJ ini. Ada yang bilang cari muka lah, munafik lah, dan berbagai hujatan lainnya. For God's sake, what the hell is wrong with you, Netizens!? Menghujat orang lain di postingan orang yang lagi berduka? Are you really heartless or just stpd? Kok nggak pada bisa banget mengerti perasaan orang?

Kenapa sih para netijen Indonesia ini? Malu deh sama netijen-netijen luar yang ketika mendengar berita tentang musibah ini, mereka dengan tulusnya mengungkapkan rasa simpati mereka. Harusnya kita juga bisa dong kayak gitu. Bukankah bangsa Indonesia pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah? Ada orang kena musibah, ya dibantu semampunya, atau paling enggak ya sampaikanlah ungkapan belasungkawa, lalu doakan yang baik-baik. Soal ceramah-menceramahi ya urusan belakangan, kalo kondisi psikis korban udah membaik (itupun harus dengan cara penyampaian yang baik). Lha ini, udah nggak bantu, nyakitin perasaan orang pula. Terlalu banget!

Duh, maaf ya Readers kalo aku jadi emosi sendiri kayak gini. Habisnya gemes banget, dari kemarin ketemu netijen yang begitu lagi, begitu lagi.

Anyway, aku turut berduka cita atas musibah tsunami yang menerjang Anyer dan sekitarnya. Semoga arwah para korban jiwa ditempatkan di tempat terbaik di sisi Tuhan, yang belum ditemukan segera diketemukan dalam keadaan selamat, keluarga dari para korban diberi ketabahan serta kekuatan, dan semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua. Aamiin yaa robbal alamiin.

posted from Bloggeroid

Selasa, 11 Desember 2018 0 komentar

MUST (be) TUNABLE

Yeeaaaahh.. it's finally done for all recording sessions! Well, sebenarnya udah selesai sejak tanggal enam kemarin sih, hanya aja aku baru bisa nulis sekarang. Kenapa? Karena selesai rekaman, aku ambruk, Pemirsa. Sakit selama beberapa hari dan cuma bisa berbaring di kasur. Tapi sekarang alhamdulillah, udah mendingan meski vertigo dan migrain masih sering kambuh.

Hari Selasa minggu lalu adalah hari pertama sesi rekaman aku dan teman-teman MusTanG. Oke, mulai sekarang aku akan menyebut kami dengan MUSTUNABLE ya, karena seperti yang pernah aku ceritakan dalam postinganku sebelumnya bahwa band kami sebenarnya telah mengalami perubahan nama sejak beberapa waktu lalu dikarenakan nama MusTanG udah diresmikan sebagai nama klub futsal bagi para karyawan di perusahaan tempatku bekerja. Hmm.. padahal jujur, aku sebenarnya lebih menyukai nama MusTanG ketimbang MUSTUNABLE. Kenapa? Karena nama MUSTUNABLE sejatinya merupakan padanan dua kata, yakni MUST yang berarti 'harus' dan TUNABLE yang berarti 'merdu'. Nama yang cukup berat bagi kami, khususnya aku selaku vokalis yang merasa kualitas vokalku masih jauh dari kata 'merdu'. Tapi ya sudahlah. Nurut aja apa kata Bapak Manager. Wkwk..

Back to the story. Sekitar jam tiga sore, Mas Febri berangkat ke studio yang berlokasi di kawasan Weru dengan diantar Ryan. Awalnya aku pikir aku nggak perlu datang kesana, tapi sekitar jam empat sore, Inggit meneleponku untuk segera datang ke studio. Akhirnya berangkatlah aku kesana dengan menumpang Gr*bB*k*. Namun karena nggak tau dimana lokasi tepatnya, aku turun di depan sebuah toko sepatu, kemudian menunggu Inggit menjemputku disana

Studio rekaman itu rupanya nggak besar. Bangunannya hanya terdiri dari lima ruangan, yakni ruang rekaman, ruang control and mixing, toilet, ruang gaming, dan sebuah distro. Yap, pemiliknya memang nggak cuma punya usaha home studio aja, tapi juga usaha rental game dan distro. Sesampainya disana, aku langsung diperkenalkan Pak Yosep kepada dua orang crew dari Jakarta, yakni Mas Anggit Galih dan salah seorang crew yang tempo hari ikut ngasih pengarahan tentang sesi rekaman ini, Mas Arfin Iyonk. Begitu sampai disana, Mas Febri baru aja menyelesaikan rekamannya.

"Haaaahhh.. susahhh.." katanya sambil keluar dari ruang rekaman. Wajahnya mengilat karena keringat. Dalam proses rekaman drum ini, Mas Febri dibantu oleh Mas Anggit yang tentunya lebih senior dalam dunia per-drummer-an. Wkwk.. Iya dong. Kalo nggak dibantu gitu kasian juga dia, gebuk drum berjam-jam. Karena yang namanya song recording itu kan nggak cukup waktu satu-dua jam (entahlah kalo buat musisi yang udah profesional ya). Pasti ada aja yang namanya pengulangan-pengulangan, sampai dirasa mantap. Sementara aku diminta ke studio hari itu hanya untuk melakukan sampling vokal.

Mas Febri is in action






Alhamdulillah, sesi rekaman drum yang awalnya dikira bakal selesai jam sembilan malam itu rupanya bisa rampung lebih cepat. Sekitar jam enam sore, kami pun meninggalkan studio itu untuk kemudian kembali keesokan harinya. Sementara kami, para personil MUSTUNABLE beristirahat, dua mas-mas bewok nan kece ini masih harus melanjutkan pekerjaan mereka. Yup, editing.


Rabu 5 Desember, giliran Mister Chokai, Ryan, dan Mas Win yang beraksi. Setelah magrib, mereka berkumpul di studio. Aku ikut serta kesana bersama Pak Teguh, Pak Ben, dan Kepala Cabang kami, Pak Faisal yang ingin turut menyaksikan proses rekaman. Hari itu juga aku meminta ijin pada Pak Yosep agar jadwal rekamanku diundur sedikit, mengingat waktunya yang agak bentrok dengan jadwal les vokal. Akhirnya jadwal rekamanku yang semula akan dilaksanakan jam dua siang itu diundur menjadi jam tiga sore. Oh ya, hari itu aku sempat di-coaching sama Mas Anggit mengenai sesi rekaman vokal. Awalnya ia mengetes suaraku terlebih dahulu. Ia memainkan gitar, sementara aku bernyanyi. Setelah itu, ia memberiku berbagai masukan dan koreksi-koreksi terhadap nada yang menurutnya kurang pas.

Giliran Mas Win yang action


Karena yang rekaman ada tiga orang, proses rekaman ini berjalan lebih lama dari kemarin. Jam setengah dua belas malam aja mereka belum selesai. Wkwkwk.. Dan rasanya geli melihat mereka yang dipaksa mendengar suara aku bernyanyi selama puluhan kali. Iya, kan mereka rekaman sambil dengerin sample vokalku. Hahaha.. Aku sendiri aja geli dengarnya. Bosan juga dengar suaraku diputar berulang-ulang dengan lagu yang sama. Apalagi mereka. Bisa jadi besok-besok mereka nggak mau dengar aku nyanyi lagi :'v Karena hari sudah larut, aku pun diantar pulang oleh Pak Teguh dan Pak Ben. Saat itu aku mulai merasa kurang fit. Entahlah, mungkin karena nggak terbiasa kena angin malam.

Kamis 6 Desember, aku bangun dengan sekujur badan sakit. Ya Allah, kenapa harus sekarang? batinku waktu itu. Kondisiku hari itu benar-benar kurang fit, namun aktifitas justru sedang padat-padatnya. Pagi itu seperti biasa kantor mengadakan meeting bulanan, dan seperti biasa situasi ini memaksaku untuk banyak bergerak. Seriously, waktu itu rasanya tersiksa banget. Bangun dari kursi aja kudu pelan-pelan, udah kayak nenek-nenek. Satu-satunya penguatku saat itu hanyalah support dari teman-teman, baik itu teman-teman kantor, teman-teman dekat, serta teman-teman dari dunia maya. Well, jika kalian membaca ini, I really thank you, Guys, khususnya Ivy. I heard you wish to be in a band too. I do wish you will. You're so talented! (^_^)

Sekitar jam satu siang, aku pamit pada atasan untuk keluar kantor, karena jam setengah dua adalah jadwal lesku bersama Mas Verry. Aku tiba di tempat les jam dua lebih beberapa menit. Kulihat Mas Didi duduk tertidur di kursi dekat pintu masuk dengan tangan terlipat. Ada Mas Ade di dekatnya yang langsung mempersilahkanku masuk ke studio, karena ternyata Mas Verry udah datang.
"Maaf nih telat, Mas. Tadi ada meeting dulu", ucapku.
"Iya gapapa. Lagian saya juga baru datang", katanya. Lalu kami pun ngobrol-ngobrol sejenak. Kali ini kami lebih akrab ketimbang pertemuan sebelumnya. Entahlah. Sejak mengetahui dia adalah salah satu alumni di SMA tempatku bersekolah dulu, aku jadi merasa lebih santai, nggak canggung kayak waktu itu.

Hari itu, Mas Verry mulai mengetesku untuk menyanyikan lagu yang akan kunyanyikan untuk recording nanti. Ia mengetesku dengan musik karaoke versi aslinya. Setelah itu, seperti biasa ia memberiku penilaian dan masukan. Katanya, "Menurut saya kamu lebih cocok bawain lagu dengan versi ini. Saya malah nggak kebayang kalo lagu ini dibuat agak nge-rock seperti yang kamu bilang itu nantinya bakal kayak gimana".
Well, you'll know soon, jawabku dalam hati.
"Saya justru lebih suka bawain lagu yang nge-beat gitu, Mas. Saya ngerasa suara saya masih sering nggak stabil. Kalo bawain lagu slow kentara banget," kataku kemudian.
"Nah, itulah kenapa latihan dasar itu dibutuhkan".
Kemudian ia mulai menekan tuts-tuts keyboardnya dan memintaku untuk menyanyikan nada-nada dasar seperti yang kami lakukan di pertemuan sebelumya. Wkwkwk..

Jam setengah tiga sore, les berakhir. Yap, hari itu jadwal lesku dibuat satu jam, biar kebut. Jadi pertemuan yang seharusnya empat hari itu menjadi tiga hari. Sepulang les, sebenarnya aku ada rencana makan dulu di salah satu cafe yang ada di dekat-dekat situ. Tapi karena waktunya nggak memungkinkan, akhirnya aku pun langsung menuju studio. Aku kira hari itu aku di studio bakal berempat aja bareng Pak Yosep, Mas Anggit, dan Mas Iyonk, tapi ternyata disana ada Mister Chokai juga.

Singkat cerita, recording vokal pun dimulai. Aku dipersilahkan mengenakan headphones dan berdiri di depan mikrofon yang biasa kita lihat dalam proses perekaman vokal pada umumnya dengan posisi menghadap ke arah jendela kaca yang memisahkan antara ruang rekaman dengan ruang control & mixing. Dari jendela kaca itu aku bisa melihat Mas Anggit dan Mas Iyonk yang memberiku arahan. Kemudian setelah itu Mas Anggit memintaku untuk menyanyikan satu lagu penuh, barulah mereka memberiku berbagai masukan, entah itu mengenai posisi mulutku yang kurang dekat dengan mikrofon; bahwa jika menyanyikan nada tinggi maka kepalaku harus sedikit menjauh dari mikrofon, dan berbagai masukan lainnya. Namun yang paling sering mereka koreksi adalah caraku mengambil nada tinggi yang menurut mereka salah.
"Kamu harus bisa bedakan dong, mana teriak mana nyanyi," kata Mas Iyonk. Wkwkwk.. Anyway, diantara mereka berdua, tampaknya Mas Anggit yang paling sabar, sementara Mas Iyonk udah tampak ekspresi kesalnya. Wajar sih, karena selama proses rekaman ini, dia yang paling banyak mengarahkan kami, dan mengarahkan para amatiran seperti kami ini tentu nggak mudah. Haha.. Maaf ya, Mas, Mas, da kita mah belum profesional :'v

Sesi rekaman vokal, didampingi Mas Iyonk


Haaah.. sekarang aku jadi tau, bahwa betapa proses recording sebuah lagu itu nggak mudah, dan juga melelahkan. Ditambah kondisiku yang benar-benar nggak fit saat itu, plus belum sempat makan juga. Haha.. Pantas aja para musisi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk menelurkan satu album. Nggak kebayang juga gimana rasanya jadi vokalis band Metal yang lagu-lagunya penuh teriakan kayak gitu.

Akhirnya, proses recording vokal pun berakhir sekitar jam lima sore. Aku meninggalkan studio bersama Mister Chokai yang waktu itu minta tolong aku nemenin dia ke rumah Pak Herman buat mengembalikan gitar yang ia pinjam. Sepulang dari sana, aku turun di CSB untuk mampir ke Foodilicious. Lapar. Haha.. 

Selesai makan, aku pulang. Kondisi badan makin parah waktu itu. Rasanya kayak udah nggak sanggup jalan, pengen banget cepat sampai rumah. Alhasil aku minta jemput adikku, biar bisa sekalian mampir beli obat di apotik. 

Benar aja, besoknya aku benar-benar payah. Aku sempat memaksakan berangkat ngantor, itupun baru datang jam sembilan, kemudian ijin pulang sekitar jam satu siang karena benar-benar udah nggak kuat. Sampai hari Minggu, aku cuma bisa berbaring di kasur. Orang-orang kantor mah ngiranya aku kecapekan pasca recording, khususnya Mas Febri yang hobi banget ngeledekin aku.

***

Dua hari setelah sesi rekaman terakhir itu, tepatnya hari Minggu menjelang tengah malam, aku baru buka WhatsApp. Ada dua file audio yang dikirim Mas Iyonk ke grup WhatsApp band kami. Aku telat banget taunya, karena rupanya file audio itu udah Mas Iyonk kirim sejak hari Sabtu dini hari. Kudownload kedua file itu. You know what? Lagu rekaman kami udah jadiiiiii..

Dua file yang dikirimkan Mas Iyonk itu adalah file audio sebelum mixing dan sesudah mixing. Ketika mendengarkan lagu itu pertama kali, aku surprised banget, karena nggak nyangka musiknya bakal jadi sekaya itu karena ada tambahan sentuhan string section di dalamnya yang mengingatkanku pada lagu-lagunya Yovie and Nuno dan L'Arc~en~Ciel. Maka ketika aku ngantor Senin kemarin, aku dan Ryan sempat ngobrol-ngobrol sedikit tentang lagu hasil rekaman kami itu. Ryan tampak excited. Kami merasa, penambahan string section ini adalah ide dari Mas Iyonk, karena memang sejak awal pertemuan kami, Mas Iyonk udah memperhatikan bahwa salah satu personil band kami ada yang penggemar Laruku karena melihat permainan bass Ryan yang menurutnya mirip gaya bermain Tetsuya. It's not a bad idea, I think. Apalagi mengingat komentar Mas Iyonk mengenai performance-ku yang menurutnya kurang menjiwai. Wkwkwk.. Maka dengan sentuhan string section, sebuah lagu menjadi lebih kaya dan 'bernyawa'. 
Senin, 03 Desember 2018 4 komentar

MusTanG's Next Plan

Hello, Everyone. How's life?

Nggak kerasa ya, udah bulan Desember aja, dan bulan Desember biasanya menjadi bulan yang paling menguras tenaga, waktu, dan pikiran dibanding bulan-bulan lainnya, yah seenggaknya bagi career woman kayak aku gini ya. Haha.. Biasa, 'tutup buku'. Dan tampaknya bulan Desember-ku tahun ini akan berbeda dibanding bulan Desember sebelumnya. Aktifitasku sepertinya akan lebih padat. Kenapa? Karenaaaaaa.. bulan ini juga aku dan teman-teman MusTanG akan melakukan rekaman perdana! Anyway, sebelumnya aku ceritakan dulu dari awal ya.

Pasca perjalanan aku dan teman-teman MusTanG di Pekanbaru bulan September lalu, band kami bisa dibilang sempat berantakan. Berawal dari Mas Win dan Mas Feb yang berhenti main. Sejak saat itu, kami kesulitan mencari pengganti. Aku yang mau stop juga nggak enak ninggalin member yang tersisa. Kami pernah mengajak salah seorang pramuniaga untuk mengisi posisi Drummer, tapi sayangnya kami kurang merasa cocok dengan permainannya. Ada Supervisor Marketing yang (sepertinya) jago main drum juga, tapi setiap kali kami ajak, beliau mengaku belum siap. Nervous katanya. Sampai akhirnya, datanglah kabar dari Pak Yosep tentang rekaman itu. Beliau ingin kami melakukan yang lebih serius dari apa yang kami lakukan sekarang. Oh ya, Pak Yosep ini belum tau kalo Mas Win dan Mas Feb mundur. Beliau antusias banget, begitu juga dengan Mister Chokai dan Ryan. Sementara aku shock karena nggak nyangka semuanya akan sejauh itu. Rekaman? Bikin album? Are you kidding me?

Mendengar kabar dari Pak Yosep, Mister Chokai berulang kali membujuk Mas Win dan Mas Febri untuk kembali bergabung. Singkat cerita, hari Selasa 13 November, Mister Chokai berhasil membujuk Mas Febri untuk kembali ikut latihan sepulang kerja. Tapi gantian, hari itu untuk pertama kalinya aku mogok latihan. Telfon dari Mister Chokai dan Ryan sengaja nggak aku angkat. Aku udah memutuskan untuk keluar dari MusTanG. Alhasil, sore itu mereka cuma latihan bertiga, tanpa vokalis.

Keesokan harinya, Mister Chokai jadi jutek. Haha.. Seharian itu dia nggak negur sama sekali, nggak senyum sama sekali. Kesel, maybe, gara-gara kemarin itu. Awkward lah pokoknya. Tapi malam harinya dia kirim WhatsApp message, bujuk aku buat gabung lagi. Dan besoknya, sikap dia udah normal lagi. Well, sebenarnya Mister Chokai ini bukan tipe orang yang suka 'meledak' sih, soalnya kalopun lagi kesel, selama ini aku nggak pernah liat dia bentak-bentak gitu.
"Kenapa sih? Lagian nggak ada saya pun kalian bisa tetap lanjut kan? Kan ada Dhea," kataku.
"Yeee.. Nggak bisa lah, kan dia cuma partner. Kalopun iya juga nggak mungkin dia bolak balik Bekasi-Cirebon buat latihan", jelasnya. "Udah mepet waktunya nih. Besok Pak Yosep kesini bareng rombongan dari Jakarta". Aku menelan ludah. Besok?

Hari Kamis 15 November, sesuai rencana, Dhea, Pak Yosep, dan beberapa crew dari Jakarta datang. Jam dua siang, Mister Chokai, Ryan, Dhea, Pak Yosep, dan para crew tersebut berkumpul di Salsa Music Studio. Aku dan Mas Febri datang belakangan, itupun setelah ditelpon Dhea. Wkwk..

Crew dari Jakarta itu terdiri dari tiga orang yang ternyata udah cukup berpengalaman dalam bidang musik. Ada Mas Rudy Octave yang pernah memecahkan rekor MURI dengan bermain piano selama 14 jam nonstop (surprisingly, dia adalah adik Pak Yosep), lalu ada Mas Arfin Iyonk yang pernah turut andil dalam produksi salah satu lagu yang dinyanyikan Prilly Latuconsina, dan ada pula Mbak Nawang. Mereka bertiga inilah yang disebut-sebut akan memproduseri kami.

Pertama-tama, mereka tentunya memperkenalkan diri dulu, kemudian menjabarkan tentang apa-apa yang dibutuhkan dalam proses rekaman. Musik yang kami bawakan tentunya harus unik dan berbeda dari yang lain. Oh ya, aku belum bilang ya kalo untuk rekaman perdana ini lagu yang akan kami bawakan adalah lagu coveran alias lagu yang udah ada dan diaransemen ulang. Dan kebetulan lagu yang akan kami bawakan ini adalah lagu yang bisa dibilang cukup melegenda, lagu yang menurut kami lumayan sulit, karena penyanyi aslinya sendiri adalah merupakan seorang diva. Lagu ini tentunya bukan pilihan kami, tapi merupakan pilihan Pak Yosep. Aku pernah mencoba menyanyikan lagu ini, dan itu nadanya tinggi banget di bagian refrain. Suaraku kurang nyampe. Wkwkwk.. Alhasil bagian refrain aku serahkan pada Dhea.

Setelah memberikan sedikit penjelasan, mereka pun mempersilahkan kami untuk memainkan lagu itu dihadapan mereka. Setelah lagu berakhir, layaknya judges dalam ajang pencarian bakat, Mas Rudy pun memberi komentar dan masukan untuk kami.
"Kamu nyampe nggak kalo bawain reff?" tanya Mas Rudy padaku.
"Pernah latihan waktu itu, nggak nyampe, Mas," jawabku.
"Coba sekarang gantian gitu yang bawain reff pertama siapa, yang bawain reff kedua siapa. Jadi jangan ada yang spesialis reff si anu gitu, ntar yang dengar jadi berasumsi kalo kamu nggak kuat bawain bagian reff."
Akhirnya dimainkanlah lagu itu untuk kedua kalinya. Namun kali ini kami menyanyikan bagian refrain secara bergantian. Ternyata kali ini aku berhasil. Range vokalku nyampe, nggak tau kenapa. Haha..

Setelah itu, giliran Mas Iyonk yang memberi komentar. Menurutnya lagu cover yang kami, bawakan masih nggak jauh berbeda dengan lagu aslinya. Jadi dia ngasih kami masukan, hingga akhirnya terciptalah aransemen yang lebih jauh berbeda. Lagu yang aslinya slow mendayu-mendayu itu menjadi lebih nge-beat dan terkesan lebih semangat, dan aku lebih ngerasa nyaman aja gitu bawainnya.

Singkat cerita, Jum'at 23 November, Pak Faisal menghampiri aku dan Mas Febri. Beliau menyodorkan sebuah metronom pada Mas Febri, dan selembar brosur dari sebuah tempat les musik padaku.
"Apa ini, Pak?" tanya Mas Febri.
"Dari Pak Yosep, buat kamu latihan", jawab beliau.
"Wah, saya mau dikasih les vokal nih, Pak?" selorohku sambil membaca brosur tadi. Dibaliknya terdapat tulisan tangan yang kukira adalah sebuah jadwal, karena tertera nama-nama hari sekaligus jam gitu.
Pak Faisal tertawa. "Coba Putri hubungi Pak Yosep, tanyakan langsung ya", jawab beliau. Karena Pak Faisal bilang begitu, akhirnya aku telpon lah Pak Yosep. Hanya aja aku nggak nelpon ke nomor beliau langsung, melainkan ke nomor Dhea. Sayangnya saat itu Pak Yosep sedang menyetir dan nggak bisa nerima telepon. Akhirnya aku kirim pesan WA aja langsung ke nomor beliau.

Pak Yosep nggak balas pesanku hingga berhari-hari kemudian. Hingga suatu hari, ketika Dhea datang ke kantor untuk suatu tugas, Pak Yosep yang saat itu sedang berada di Pekanbaru menelpon ke hapenya dan meminta untuk bicara denganku. Dhea pun menyerahkan hapenya padaku, mempersilahkan Pak Yosep untuk ngobrol denganku. Well, singkatnya sih beliau ngasih tau jadwal recording band kami yang ternyataaaa waktunya udah deket banget. Tanggal 4 untuk recording drum, tanggal 5 untuk recording bass dan gitar, tanggal 6 untuk recording vokal. Selain itu, beliau juga menjelaskan tentang brosur dan jadwal les yang aku terima dari Pak Faisal tempo hari. Rupanya benar, aku diminta untuk mengikuti les vokal, seenggaknya empat pertemuan aja, hanya sampai menguasai satu lagu itu. Aku pun mengiyakan. Hari itu juga aku menelpon tempat les musik tersebut dan menyampaikan bahwa aku ingin mendaftar. Lalu penerima telepon itu mempersilahkan aku untuk datang esok harinya jam dua siang sambil membawa uang pendaftaran dan biaya les.

Keesokan harinya, tepatnya hari Sabtu kemarin, turun hujan deras dari jam duabelas siang, dan hujannya masih awet sampai jam berikutnya. Akhirnya aku kembali menelpon tempat les musik tersebut, bertanya tentang jadwal les vokal yang tersedia selain jam dua siang.
"Wah, hari ini full, Mbak. Tadi jam satu kosong padahal", kata si penerima telepon.
"Lho, kemarin katanya jam dua bisa, Mas?"
"Iya, tapi jam duanya ada murid lain yang ngisi. Kalo Sabtu depan aja gimana?"
Aku pun bingung, karena waktunya udah mepet banget.
"Ya udah deh, ntar saya pikir-pikir dulu, Mas", kataku mengakhiri telepon. Kecewa sih, karena waktunya udah mepet gitu, waktu les vokalnya malah diundur. Ya aku juga nggak bisa menyalahkan pihak tempat les juga sih, karena mereka tentunya memprioritaskan murid yang udah terdaftar. Sedangkan aku kan masih berstatus calon murid. Bayar aja belum, karena Pak Yosep juga baru transfer uang untuk biaya les vokal hari Sabtu itu. Wkwk..

Sekitar jam setengah tiga sore, hujan pun reda. Aku memutuskan untuk mampir ke tempat les musik tersebut sepulang dari kantor. Nggak sulit menemukan lokasinya, karena kebetulan aku cukup sering ke kawasan itu, dan tempatnya pun tepat di pinggir jalan. Pintu masuknya merupakan pintu kaca dengan motif hitam putih yang menyerupai tuts-tuts piano.

Begitu masuk kedalam, tempatnya sih nggak besar, juga nggak bisa dibilang kecil. Hanya aja memang space di ruang tunggu dan tempat pendaftarannya itu sempit karena terdapat puluhan gitar elektrik dan bass dalam berbagai merk dan tipe berjajar di display. Di dalam situ juga terdapat ruangan lain tempat mereka memajang puluhan gitar akustik dan keyboard. Well, rupanya selain menyediakan jasa les musik dan studio, mereka juga menjual berbagai alat musik disana. Seorang remaja berkerudung duduk di kursi panjang dekat pintu masuk. Dihadapannya, seorang lelaki kurus bernyanyi-nyanyi sambil bermain gitar.
"Permisi, ucapku".
"Ada perlu apa, Mbak?" tanya seorang lelaki bertubuh gempal.
"Mau les vokal, Mas. Yaa mau tanya-tanya dulu sih.." jawabku.
Kemudian aku pun menjelaskan semuanya. Kubilang kalo aku cuma butuh les untuk sementara waktu, nggak berbulan-bulan gitu.
"Wah, kalo gitu sih kenapa gak langsung ke gurunya aja, Mbak?"
"Memang bisa kayak gitu, Mas? Yaa kalo bisa mah saya minta nomor kontak gurunya deh". Kan malah lebih enak gitu kalo bisa langsung ke gurunya. Mungkin bisa lebih fleksibel waktu belajarnya.
"Sebentar ya, saya WA orangnya dulu".
Kemudian ia tampak mengetikkan sesuatu di layar hapenya. Yah, mungkin minta ijin pada Si Guru. Biar bagaimanapun kan kurang sopan rasanya kalo asal kasih nomor kontak pribadi ke orang lain.
"Saya minta nomor WA Mbak aja deh. Nanti saya kabarin", ucap lelaki itu kemudian.

Setelah memberikan nomor kontakku, aku pun pamit pulang. Tanpa diduga, di tengah perjalanan pulang, lelaki gempal yang kemudian kupanggil Mas Apip itu menelpon dan bilang kalo Si Guru cuma bersedia mengajar di tempat les. Alright then, nevermind. Akhirnya kuputuskan hari Senin aku kembali kesana untuk registrasi.

Aaaandd.. here's the day! Namun pagi ini aku justru bangun dengan kondisi badan yang kurang fit. Kaki dan bahuku sakit kayak yang habis kerja berat, entah kenapa. Sebenarnya udah terasa sejak hari Sabtu sih, kemudian hari Minggu makin menjadi. Mungkin karena udah sakit, ditambah satnight dengan main PS sampai larut malam, makanya makin menjadi. Wkwk.. Dan hari ini meski rasanya agak mendingan, tapi tetap aja belum bisa disebut sembuh. Karena hal ini, aku pun memutuskan untuk nggak ngantor dulu. Yah, seenggaknya buat hari ini doang.

Sekitar jam satu siang, aku pun prepare buat les. Begitu tiba disana, aku langsung menemui Staff Administrasi yang saat itu tengah menikmati mi ayam.
"Mas, maaf, mau daftar les vokal," ucapku.
"Mbak Putri kah?" tanya orang itu. Aku mengangguk.
"Sebentar", kemudian ia tampak menekan-nekan tombol telepon dan bicara dengan seseorang. Percakapannya singkat, cuma mengkonfirmasi gitu kalo aku jadi ikut les.

Setelah itu, aku pun disuruh mengisi formulir pendaftaran dan membayarkan uang pendaftaran plus biaya les.
"Maaf nih, Mas, ganggu waktu makan siangnya," ucapku nggak enak sendiri.
"Gapapa, lagian udah lewat juga waktu istirahatnya. Cuma baru sempat makan," katanya. Jadilah kami ngobrol-ngobrol sedikit. Nama Staff Administrasi itu, Didi. Di dekat kami, ada tiga orang lelaki yang merupakan para karyawan tempat les tersebut. Ada Mas Apip yang kemarin Sabtu ngobrol denganku, Mas Ade, dan seorang tukang parkir. Mereka asyik bernyanyi-nyanyi dengan diiringi permainan gitar, dan suara mereka nggak ada yang fals. Entahlah apakah hanya bakat? Atau apakah profesi mereka di tempat les musik menjadikan mereka berbakat? Atau apakah pandai bernyanyi merupakan syarat untuk menjadi karyawan disana? Karena sepertinya memalukan juga kan kalo bekerja di tempat seperti itu tapi nggak pandai bernyanyi ataupun bermain alat musik. Hihi.. Aku sempat diajak mereka untuk ikut bernyanyi, tapi aku malu. Wkwk..

"Disini muridnya banyak, Mas?"
"Ya lumayan. Tapi.. anak-anak semua", jawab Mas Didi sambil nyengir lebar. Bagus, aku murid paling tua disini. Haha..

Lumayan lama juga aku menunggu disitu, karena hari itu kebetulan Si Guru yang mereka panggil Pak Verry itu memiliki trouble dengan motornya. Aku sempat membayangkan Si Guru ini adalah bapak-bapak berusia setengah baya dengan kumis gitu. Hahaha.. Tapi pas lihat orangnya ternyata masih muda, mungkin gak beda jauh dengan umur Mister Chokai. And surprisingly, ia juga rupanya lulusan SMA tempatku bersekolah dulu, sama kayak Mister Chokai. Tapi entah angkatan berapa. Aku tanya apakah dia kenal Choky Pitana atau enggak, dia bilang nggak tau. Yah, mungkin beda angkatan. Aku jadi bingung antara mau manggil 'Mas atau 'Bapak'. Wkwk.. Rambutnya lurus dengan poni bagian samping yang agak panjang (tolong jangan bayangin Andhika Mahesa ya. Haha..), dan kulitnya putih. Dia seperti versi maskulinnya Mas Slamet, mantan salah satu Staff Admin di kantor tempatku bekerja yang memang agak kemayu. Well, dengan kata lain, ia lumayan good-looking.

Setelah berkenalan dan bercerita sedikit tentang masalah motornya, Mas Verry mengajakku ke sebuah ruangan di lantai atas. Di ruangan itu terdapat berbagai alat musik seperti drum, keyboard, gitar, dan bass. Mas Verry duduk di belakang keyboard dan mulai menekan tuts-tutsnya, sementara aku duduk satu meter di depannya.
"Yuk, kita mulai dari do re mi fa sol dulu. Berdiri dong", katanya. Aku pun menurut.
"Bentar, bentar, napas dulu", katanya sambil kemudian mengatur napas. Ya iyalah, capek juga kan baru naik tangga udah langsung main aja :'v

Selanjutnya, aku diminta menyanyikan nada do re mi fa sol la si do berulang-ulang, mulai dari nada rendah sampai ke nada yang lebih tinggi, mulai dari vokal a sampai o, kadang juga hanya dengan humming (pakai 'hmm hmmm hmm' gitu lah). Dan itu lumayan sulit menurutku. Entah kenapa kalo disuruh seperti itu, suaraku nggak bisa mencapai nada tinggi. Lebih gampang bernyanyi. Maka ketika Mas Verry memintaku bernyanyi (waktu itu aku memilih menyanyikan lagu Separuh Nafasku dan Tua Tua Keladi), ia bilang "Kamu kalo nyanyi bisa, tapi giliran menyanyikan nada dasar kok malah fals. Padahal sebenarnya range suara kamu nyampe lho, tapi kamu tahan-tahan". Makanya kenapa nggak langsung ke intinya aja sih, Mas? Biar cepet bisa gitu lho. Udah mepet banget waktunya, batinku.

Sayangnya praktek pertamaku di tempat les vokal hari ini hanya sampai disitu dulu. Karena waktunya mepet, aku minta waktu les ku dipercepat, yang sebenarnya seminggu sekali jadi lebih ngebut. Aku minta dikasih les hari Kamis (karena jadwal mengajarnya memang cuma hari Senin, Kamis dan Sabtu doang). Dan hari Kamis itu bertepatan dengan jadwalku rekaman. Jam satu les, jam dua rekaman. Huaaaaahhh.. Semoga lancar deh.

Setelah les vokal, sekitar jam lima sore aku menuju Salsa Music Studio untuk latihan terakhir. Saat aku tiba di studio, Mister Chokai dan Mas Win udah menunggu.
"Haaaahh.. Kirain udah pada ngumpul semua", kataku sambil menggeser kursi di sebelah Mas Win.
"Udah duduk dulu. Nih minum", Mister Chokai menggeser segelas es Nutrisari jambu yang udah tersedia di atas meja.
"Buat saya nih? Makasih ya.." ucapku. Dia sendiri masih santai menyantap mi goreng. Karena yang datang baru bertiga, kami pun ngobrol-ngobrol, hingga akhirnya datanglah Mas Febri yang langsung bergabung bersama kami.

Lepas Magrib, kami berempat pun memutuskan untuk masuk studio dan langsung mulai latihan, karena Ryan nggak ada tanda-tanda bakal datang. Namun alhamdulillah, latihan terakhir kami berjalan lancar, meskipun di menit-menit akhir suaraku udah mulai nggak karuan. Wkwkwk.. Ah entahlah. Baru dibawa nyanyi sekitaran satu setengah jam aja suara udah kayak kucing kecekik gitu, gimana kalo dibawa nyanyi tiga jam coba 😂 Ya, proses rekaman hari Kamis nanti kan diperkirakan bakal selama tiga jam. Haha..

Well, intinyaaa mulai sekarang aku nggak akan lagi menjadikan hal ini sebagai beban. Meski ya agak berat juga sih, karena udah jadi tanggung jawab. Tapi lagi-lagi aku ambil sisi positifnya aja dari semua ini. Anggap aja ini semua sebagai ajang melatih diri untuk bisa lebih terbuka dan percaya diri. Lagipula dengan bergabung bersama MusTanG, aku banyak mendapatkan pengalaman dan ilmu yang berharga. Aku jadi tau gimana rasanya bernyanyi di atas panggung, gimana rasanya bernyanyi di depan orang banyak, gimana caranya bernyanyi dengan benar, dan tentunya gimana proses dan tahapan-tahapan rekaman lagu.

Doain yaa, biar recording kami besok dan dua hari selanjutnya berjalan lancar tanpa kendala ^^
posted from Bloggeroid
Jumat, 28 September 2018 0 komentar

MusTanG's First Flight : Seeyanara!


So here’s the last post of the story. Aku bersyukur karena meski ada kekurangan, namun penampilan aku dan teman-teman MusTanG di Alam Mayang nggak seburuk yang aku khawatirkan. Sayang, di acara kemarin nggak ada satupun karyawan atau undangan yang bawain lagu Minang, padahal aku sempat berharap demikian. Kali aja ada yang bisa diajak duet. Hihi..

Minggu, 16 September.

Jam sembilan pagi, aku, Dhea, dan Mbak Eka turun untuk sarapan. Tubuhku masih kurang fit rasanya, sehingga berbagai menu yang tersaji di ruang makan hotel pagi itu nggak mampu menyentuh selera makanku. Alhasil, pagi itu aku cuma makan omelet dan roti, sementara dua rekan sekamarku tampaknya nggak cukup dengan hanya menyantap satu dua jenis makanan.
“Ini sup ikannya enak banget lho, sumpah. Cobain deh, dikit aja, pasti suka”, kata Mbak Eka.
“Atau ini nih ayam. Enak. Makan ayamnya aja, nggak usah pake nasi,” sambung Dhea.
Aku menggeleng malas. Boro-boro deh mau coba yang lain. Ngabisin roti dan omelet aja lama. Wkwk..

Setelah sarapan, aku, Dhea, Mbak Eka, dan teman-teman MusTanG jalan-jalan keluar. Niatnya sih mau cari oleh-oleh gitu. Di sekitar Hotel Pangeran, terdapat cukup banyak toko yang menjual oleh-oleh khas Pekanbaru. Mendung menyelimuti langit Pekanbaru siang itu, tapi hawanya masih terasa gerah, walau nggak segerah kalo cuaca cerah. Kami terus berjalan menelusuri trotoar, dengan Dhea—yang waktu itu mengenakan kacamata hitam—sebagai ‘pemandu’ kami. Sayangnya, baru sekitaran beberapa ratus meter berjalan, gerimis turun. Cuma rintik-rintik kecil sih, hanya aja kami khawatir rintiknya akan menderas. Akhirnya kami pun berbalik arah dan memilih untuk membeli oleh-oleh di toko yang jauh lebih dekat dari hotel tempat kami menginap : Toko Mega Rasa.

Di toko itu terdapat banyaaaaaak banget jajanan khas Sumatera, termasuk karupuak sanjai dan karak kaliang. Aku yang pernah penasaran dengan dua cemilan ini akhirnya tau bahwa sebenarnya meski disebut-sebut sebagai jajanan khas Sumatera Barat, tapi kedua cemilan ini sebenarnya pun banyak terdapat di pulau Jawa dengan nama yang berbeda.

Karupuak sanjai merupakan cemilan khas Bukittinggi berupa keripik yang dibuat dari irisan singkong dan diberi bumbu sebagai penyedapnya. Kalo di Jawa sih ya disebutnya keripik singkong. Hihi.. Tapi di ranah Minang, keripik singkong ini lebih beragam rasanya. Ada yang diberi bumbu pada umumnya, ada yang dilumuri gula merah, dan ada yang dilumuri sambal balado. Sedangkan karak kaliang itu sejenis kerupuk. Cemilan ini juga dibuat dengan bahan baku singkong dan dibentuk menyerupai angka delapan. Karak kaliang ini punya nama yang membingungkan. Dalam bahasa Minang, ‘karak’ berarti ‘kerak’, dan ‘kaliang’ berarti ‘ hitam’, namun faktanya karak kaliang ini berwarna kuning. Aneh kan? Beda lagi kalo mereka gorengnya sampai gosong. Wkwk.. Nah, di Jawa juga si karak kaliang ini punya kembaran, ‘lanting’ namanya.

Karak Kaliang dan Karupuak Sanjai
Aku dan teman-teman berjalan mengelilingi toko, bingung juga mau beli apa, karena ya itu tadi.. yang terdapat di toko itu banyak juga terdapat di Jawa. Kacang pukul misalnya. Waktu jaman SD dulu, aku suka banget ngemil jajanan berbahan dasar kacang tanah itu, hanya aja di Jawa kami menyebutnya ‘enting’.
“Oh, cemilan kecil yang dibungkus kertas itu ya? Yang gambarnya rumah gadang?” Ryan juga rupanya tau jajanan itu. Hanya aja sekarang-sekarang ini jajanan itu udah jarang ditemukan di kota kami. Entahlah kalo di daerah lain di Jawa.
“Mau yang beda nggak?” tanyaku pada Ryan yang asik mengabadikan momen belanja kami dengan kamera hape. “Nih..”
Aku menyodorkan sebungkus rempeyek jangkrik. Serius, rempeyek jangkrik! Ini baru nggak ada di kota kami. Wkwkwk..
Ryan bergidik. Sebaliknya Mas Win dan Mas Febri justru tertarik.
“Ngambil dimana tuh?” tanya mereka.
Aku pun menunjukkan etalase dimana berbungkus-bungkus rempeyek jangkrik berjajar. Mereka pun memasukkan beberapa bungkus rempeyek jangkrik ke keranjang mereka. Ewhh.. Aku sebenarnya penasaran juga sih. Tapi melihat jangkriknya yang lumayan besar-besar, aku jadi geli juga.

Singkat cerita, hari itu aku membeli dua bungkus karupuak sanjai, sebungkus karak kaliang, sebungkus keripik nanas, dan dua kotak bolu kemojo (ini juga nggak ada di Jawa). Kok sedikit? Iya, soalnya Dhea dan Mbak Eka bilang kalo Pak Yosep udah menyiapkan sekardus oleh-oleh buat kami. Jadi biar bawanya nggak begitu berat, ya udah beli oleh-olehnya nggak usah banyak-banyak. Wkwkwk.. Sekitar jam sebelas kurang, kami pun kembali ke hotel untuk berkemas. Siang itu juga kami harus udah check-out dari hotel, kecuali Dhea karena dia masih harus tinggal beberapa hari di Pekanbaru untuk menyelesaikan tugas. Haha..

Jam duabelas siang, kami tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim. Menjelang check-in, kami berpamitan dengan Dhea dan Pak Yosep yang mengantar kami ke bandara, khususnya kepada beliau yang udah begitu baik merangkul dan menjamu kami selama di Pekanbaru. “Terima kasih banyak, Pak”, ucap kami. Lucunya, barang bawaan kami saat pulang jadi jauh lebih banyak, apalagi Pak Faisal yang nggak hanya membawa oleh-oleh untuk keluarganya, tapi juga untuk tiga kepala divisi kami di kantor. Wkwkwk.. Begitu juga dengan Mas Win yang nggak hanya membawa pulang dua kardus oleh-oleh, tapi juga dispenser hadiah door-prize itu. Teman-teman MusTanG meledeknya sebagai pemudik. Haha.. Dan karena barang bawaan kami banyak, stiker bagasi yang kami dapat juga banyak banget, udah kayak habis menang lotre. Wkwkwk..


Hari itu kami terbang dengan pesawat Citilink, dan beruntungnya aku duduk di samping jendela lagiiiii.. Hihi.. Sayangnya, kali ini aku dan teman-teman duduk terpisah. Mas Win duduk di deretan kursi di depanku, sedangkan teman-teman kami yang lain duduk jauh di kursi belakang.


Sekitar jam satu siang, pesawat kami terbang meninggalkan Sumatera. Berbeda dengan pemandangan milyaran kerlip lampu yang kulihat dari pesawat tiga hari sebelumnya, kali ini aku melihat atap-atap bangunan, jalan-jalan, dan pohon-pohon yang semakin mengecil seiring pesawat kami yang membawa kami terbang semakin tinggi.. semakin tinggi.. dan SPLASS.. pemandangan  di luar jendela berganti dengan warna putih.. putih sejauh mata memandang, lalu kemudian berganti dengan pemandangan gumpalan awan yang kini berada di bawah pesawat kami. Kami ada di atas awan! Perasaanku campur aduk. Ada rasa kagum dengan keindahan ciptaan Tuhan, ada pula perasaan sesak yang bergumul di dada, entah kenapa. Yah, inilah akhir perjalanan kami di Kota Madani. Selamat tinggal, Pekanbaru.

***

Well, empat hari tiga malam yang menguras perasaan. Ya, menguras perasaan. Guilty pleasure. Itu kan yang pernah aku tuliskan di postinganku sebelumnya?
Ingat bahwa beberapa waktu yang lalu, aku pernah sangat ingin berada disana. Sangat ingin, hingga pada akhirnya keadaan berbalik, dan keinginan itu musnah begitu aja. Namun ironisnya, apa yang dulu kuinginkan justru baru terwujud ketika aku udah nggak menginginkannya lagi. Oh ya.. Aku mencoba menerima dan menikmatinya.  Dan ya, aku senang. Aku senang bisa merasakan naik pesawat, senang bertemu orang-orang Pekanbaru yang ramah, senang bisa berjalan-jalan di kota yang dulu hanya bisa kutelusuri dengan Google Streetview.. Tapi di sisi lain, apa yang telah lama kukubur kembali muncul ke permukaan. Berbanding terbalik dengan tagline yang tercantum di cover buku yang kubaca saat itu, Garis Waktu : Sebuah Perjalanan Menghapus Luka, perjalanan ini justru memaksaku memutar kembali memori yang ingin kuhapus, mencabik luka yang belum genap sembuh, hingga membuatnya terbuka lagi. Memang nggak seharusnya aku berada di tempat yang justru seharusnya aku hindari. Hahh..

Dear, Inner me. Selamat mengulang lagi dari awal. Jangan lupa jahit lukamu.
Selasa, 25 September 2018 0 komentar

MusTanG's First Flight : To the Stage


Kamu tau ‘heartquake’? Kata itu tiba-tiba muncul di kepalaku saat memikirkan aksi panggung kami nanti. Awalnya kukira istilah itu hanya muncul dari kepalaku, tapi rupanya ketika aku iseng browsing di Google, kata itu cukup banyak bermunculan. Aku pribadi mendefinisikannyanya sebagai perasaan deg-degan dan gemetar, dan itulah yang aku rasakan. Beberapa waktu belakangan, aku banyak membaca artikel tentang cara mengatasi rasa cemas berlebihan, dan konon cokelat hitam bisa sedikit mengurangi perasaan itu (ditambah banyak berdzikir dan berdoa tentunya).

Sabtu, 15 September.

Sekitar jam tujuh pagi, aku dan Bu Fitri naik ke lantai lima untuk sarapan. Disana nggak ada rombongan kami, cuma Pak Yosep sendiri. Mungkin teman-teman masih bermalas-malasan di kamar. Aku dan Bu Fitri pun lantas mengambil makanan. Aku mengambil nasi goreng dalam porsi sedikit dan menyantapnya dengan malas. Tubuhku rasanya kurang fit. Bahu kiriku masih terasa sakit meski udah ditempel koyo yang kuminta dari Dhea. Sepertinya aku juga hampir terserang flu, ditambah hati yang deg-degan dan perasaan nervous, rasanya semakin memperburuk keadaan.

Aku dan Bu Fitri pun ngobrol-ngobrol sambil sarapan, tentang suaminya yang juga ternyata bermain musik, juga tentang minimnya tempat wisata di Pekanbaru.
“Orang sini kalo mau refreshing ya larinya ke Sumbar. Disana banyak sekali tempat wisata. Kalo disini sedikit sekali. Paling-paling cuma Alam Mayang dan tempat konservasi gajah itu”, tuturnya. Yah, kurang lebih Pekanbaru ini nggak beda jauh sama Cirebon lah. Di Cirebon juga tempat wisatanya sedikit. Sebaliknya, café dan hotel justru menjamur. Yah, memang nggak cuma ada satu dua tempat wisata sih. Pekanbaru pun aku yakin sebenarnya memiliki beberapa tempat wisata lain, hanya aja mungkin dua tempat itu yang paling terkenal. Seperti di Cirebon misalnya, Goa Sunyaragi, Keraton, dan Cirebon Waterland adalah yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Kalo mau yang lebih banyak, kita bisa bergeser agak jauh ke Kuningan. Disana banyak tempat-tempat yang bisa banget buat refreshing, karena nggak hanya pemandangannya yang memanjakan mata, tapi juga udaranya yang sejuk.

Ketika kami tengah asik mengobrol, Pak Yosep bergabung ke meja kami. Mungkin bosan karena duduk sendirian dari tadi.
“Kok makannya gitu doang?” tanya beliau sambil menyeret kursi ke meja kami. Aku hanya tersenyum.
“Sebentar, saya ambilkan yang enak.”
Kemudian beliau berlalu sebentar dan kembali dengan membawakan kami teh manis hangat dan agar-agar. Duh, kok ada Presiden Direktur kayak gini :’))
“Terima kasih, Pak”, ucapku. Beliau pun duduk di sebelah kami.
“Putri ini kayak anak saya, makannya susah, makanya badannya kecil”, kata beliau. Aku nyengir.
“Yosi susah makan juga, Pak?” tanya Bu Fitri, bertanyatentanganak Pak Yosep.
“Iya, sayur nggak suka, buah nggak suka. Maunya makan ayam terus.”
“Tapi kalo buah sih saya suka, Pak”, kataku.
“Makanya disini Putri saya kasih makan terus.”
“Iya nih. Kayaknya pulang dari sini berat saya nambah, Pak”.
Beliau pun terkekeh. Kemudian selanjutnya kami membicarakan tentang acara yang nanti digelar. Beliau juga sempat memberiku sedikit arahan untuk penampilan MusTanG nanti.

Singkat cerita, setelah sarapan aku dan Bu Fitri kembali ke kamar untuk berkemas sambil melanjutkan nonton film Disney (kami sama-sama suka film Disney. Wkwk..). Teman-teman menitipkan barang-barangnya di kamar kami, karena pagi itu juga kami check-out dari CitiSmart. Lucunya mereka sempat salah mengetuk pintu kamar dan baru ‘ngeh’ saat mereka melihat Bu Fitri keluar dari kamar kami yang berada beberapa meter dari kamar yang mereka ketuk.
“Pantesan aja diketuk nggak ada yang nyahut, ternyata salah ngetuk kamar”, kata Mas Febri sambil ketawa-ketawa.
“Untung nggak ada orangnya. Kalo ada yang keluar, malu juga”, sambung Pak Faisal.
Setelah barang-barang kami terkumpul di kamar, kami pun check-out dari situ. Barang-barang yang dikumpulkan di kamar itu nantinya akan dijemput oleh sopir Pak Yosep untuk kemudian dipindahkan ke penginapan kami yang selanjutnya, sementara kami bergegas menuju Alam Mayang.

Waktu itu sekitar jam sembilan pagi, kami tiba di Alam Mayang. Kali ini aku dan teman-teman menyempatkan diri untuk berfoto di depan patung batu.
“Mumpung penampilannya masih belum berantakan,” kata Mas Febri.
Sayangnya aku lupa berfoto dengan gaya andalanku (memunggungi fotografer atau buang muka ke samping, buat aku upload ke sosmed. Wkwk..), atau berfoto berlima dengan teman-teman MusTanG sambil bergaya ala cover album (pasang muka tanpa ekspresi, atau mimik blagu sok keren. Haha..).
Ternyataaa.. panggung dan area tempat duduk penonton itu udah di-booking khusus untuk kami doang (karyawan perusahaan dan para undangan yang diundang ke acara itu), dalam artian nggak diperuntukkan bagi pengunjung Alam Mayang yang lain. Mengetahui hal itu, aku jadi merasa sedikit lega karena itu artinya yang menonton kami nantinya nggak sebanyak yang aku khawatirkan. Hahahaha..Tapi bukan berarti rasa gugupku menghilang. Baru menginjakkan kaki di lokasi acara aja aku udah kebelet pipis.
“Toilet disini dimana ya, Bang?” tanyaku pada seorang karyawan kantor cabang.
“Disana..” jawabnya sambil menunjuk sebuah mushola. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera menuju ke lokasi yang ditunjuk tadi. Agak seram juga sih toiletnya. Bukan seram yang gimana-gimana ya, tapi pintunya itu lho, cuma setengah. Ngeri aja kalo ada yang ngintip. Oh ya, di toiletnya terdapat tulisan ‘Dilarang Berwudhu di Toilet’, sesuatu yang baru kutemukan di toilet-toilet umum. Benar juga sih, memang nggak sepatutnya toilet itu dijadikan tempat berwudhu, karena dikhawatirkan ada najis yang nyiprat sehingga bikin wudhu jadi nggak sah.

Setelah dari toilet, aku langsung bergabung bersama teman-temanku yang saat itu udah mengambil posisi untuk check-sound. Sementara mereka check-sound, aku pergi ke belakang panggung untuk menaruh tas. Disana ada perempuan bersuara cempreng yang kemarin menyapa kami dengan riang itu.
“Titip tas disini ya”, ucapku.
“Boleh, taruh aja”, katanya. Kemudian aku duduk di sebelahnya.
“Jadi MC, Kak?” tanyaku kemudian, berbasa-basi.
“Iya. Eh, Putri kelahiran tahun berapa?”
“1994”.
“Ah, seumuran. Panggil nama aja”.
“Kakak namanya siapa? Lupa. Hehehe..” tanyaku sedikit nggak enak, karena dia sendiri ingat namaku.
“Panggil aja Ola”, jawabnya. Aku manggut-manggut.
“Ola jadi MC sendiri?” tanyaku lagi.
“Berdua sih, sama yang dari Kerinci. Tapi orangnya belum datang”.

Selesai check-sound, aku dan teman-teman MusTanG sempat duduk-duduk di area café yang terletak bersebelahan dengan area stage.
“Putri kepikiran ya?” celetuk Mas Febri.
“Hah?”
“Keliatan dari mukanya, pasti kepikiran. Nervous. Tenang, Put, tenang..” kata Mas Febri sambil ketawa. Mendengar itu, teman-teman yang lain ikut meledekku.
“Mangats!” ucapku hambar sambil mengacungkan kepal dan nyengir getir. You won’t understand what I feel, Guys *mewek dalam hati*

Beberapa lama kemudian, acara pun dimulai. Karyawan di kantor cabang Pekanbaru nggak sebanyak karyawan di kantor cabang Cirebon, jadi mereka diperbolehkan membawa keluarga untuk memeriahkan acara. Itupun masih belum bisa dibilang banyak. Kurang dari seratus orang. Acara dibuka dengan pelaksanaan ceremonial sebagaimana yang biasa kami lakukan setiap kali menggelar acara, seperti pembacaan doa, pembacaan visi dan misi perusahaan, menyanyikan lagu mars perusahaan dll, setelah itu disambung dengan kata-kata sambutan dari keyperson dan perwakilan undangan. Pak Faisal yang diberi kesempatan untuk memberi kata-kata sambutan nggak lupa untuk memperkenalkan kami, MusTanG Band. Well, aku belum cerita ya kalo sebenarnya nama band kami udah ganti, meski masih ada embel-embel ‘MUST’ nya. Tapi karena aku lebih suka nama yang lama, jadi ya sebut aja demikian. Wkwkwk..
“Lihat langitnya deh..” bisikku pada Mister Chokai. Cuaca berubah mendung saat acara ceremonial berlangsung. Diam-diam aku bersyukur juga, karena hawanya jadi nggak panas-panas banget.
“Gapapa. Pas banget nih nanti kalo kita bawain lagu Hujan”, katanya menyebut salah satu lagu yang memang udah kami persiapkan. Anyway, kami mempersiapkan kurang lebih tiga puluh lima lagu. Yah, hanya sebatas persiapan, karena nggak mungkin lagu-lagu itu dibawakan semuanya.

Waktu terus berlalu, dan tibalah waktu makan siang. Setelah menerima nasi kotak dari Seksi Konsumsi acara, aku dan teman-teman MusTanG (nggak termasuk Dhea) berkumpul di sebuah saung. Aku yang menerima nasi kotak dengan lauk ayam goreng dan Ryan yang menerima nasi kotak dengan lauk ikan sempat bertukar kotak, karena aku bosan makan ayam dan Ryan nggak suka ikan. Wkwk..

Oh ya, di tempat ini juga banyak kucing liar. Sayangnya kucing-kucing itu nggak cukup jinak. Ketika aku menyodorkan secuil daging ikan pada salah satu dari mereka, kucing itu langsung menyambar dengan salah satu kaki depannya, sehingga kukunya yang tajam menusuk jariku. Padahal kukira sikap mereka bakal semanis kucing yang kulihat di bandara waktu itu.
“Mas, ada korek?” tanya Mas Win pada salah satu karyawan cowok yang lewat di depan kami. Well, diantara kami berlima, cuma Mas Win yang smoker.
“Adanya ini, Bang”, jawab cowok itu sambil mengacungkan sebuah pemantik api gas.
“Ya itu korek kan?”
“Bukan, Bang. Kalo korek itu yang dari batang kayu”.
“Nah, kalo ini apa namanya?”
Mancis, Bang”, jawab cowok itu.
Dan sejak saat tampaknya obrolan tentang perbedaan nama ini cukup berkesan bagi mereka, karena sekembalinya dari Alam Mayang mereka sempat ngobrolin itu lagi, dan beberapa kata dari bahasa Minang yang mereka dengar selama disana.

Setelah makan siang, aku dan teman-teman MusTanG pun mengganti pakaian kami dengan kaos seragam band kami. Dan.. SHOW TIME!!

“ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH!!” seruku pada penonton.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”, jawab mereka serempak.
“APA KABAR??”
“Baiiiiikk..”
“Masih kurang semangat. APA KABAR??”
“Baiiiiiikkkk..”
“Siap seru-seruan bareng ya!”
Hari itu penampilan kami dibuka dengan lagu Bendera milik Cokelat. Aku bersyukur karena kali ini aku nggak sampai lupa lirik kayak waktu check-sound sehari sebelumnya. Tapiya tetap aja, waktu itu rasanya jantungku mau loncat sehingga ketika berkomunikasi dengan penonton, aku beberapa kali salah ucap. Tapi untunglah ketika menyampaikan ucapan terima kasih, aku bisa menyampaikannya dengan lancar.
“Pertama-tama, kami berterima kasih kepada teman-teman dari ******* Riau, khususnya kepada Pak Yosep yang telah mengundang kami jauh-jauh dari Cirebon. Benar-benar suatu kehormatan bagi kami untuk bisa tampil disini”, ucapku, “Dan tentunya kami juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada******* Riau, semoga selalu jaya, profitnya semakin meningkat, dan gaji karyawannya pun meningkat! Betul, Pak?” Aku melirik Pak Yosep yang tersenyum lebar di tengah para penonton.

Selanjutnya, giliran Dhea yang tampil membawakan lagu Kangen milik Dewa 19. Seperti biasa, meski ia mengaku nervoustapi ia tampak percaya diri dan lebih mampu ‘membawa’ penonton. Jelas, da dia mah urat malunya udah putus kali, ditambah ini bukan pertama kalinya ia berada di Pekanbaru. Mungkin seluruh karyawan kantor cabang sana juga udah bosan kali ketemu dia. Wkwk..
Setelah itu, kami membawakan lagu berjudul Tua Tua Keladi. Kali ini aku berduet bersama Dhea.
“Siapa yang masih… eh, udah tua tapi masih kecentilan?” saking nervous-nya, lagi-lagi aku salah ucap. Tapi melihat beberapa orang yang ikut bernyanyi dan menggerakkan badannya mengikuti lagu, rasanya menyenangkan banget. Walau hanya segelintir orang, tapi hal itu cukup membesarkan hatiku. Aku jadi paham bahwa respon audience itu berarti banget buat para performer.

Saat break, Mister Chokai ngomel-ngomel padaku.
“Put, kamu kok tadi nyanyinya langsung masuk Reff sih?”
“Iya, harusnya sebelum Reff tadi masih ada satu bait”, Ryan ikut menyambung.
“Hah? Yang mana?” tanyaku heran, karena sepanjang bernyanyi tadi aku nggak merasa ada yang salah.
“Yang sebelum Reff, itu harusnya jadi bagian Dhea, tapi kamu malah langsung ke Reff.”
Aku masih berusaha mengingat-ngingat. Tapi kalo ada lebih dari satu orang yang bilang gitu, berarti aku memang salah.
“Makanya kalo nyanyi tuh yang tenang, jangan buru-buru, jangan nervous! Santai aja”, ujar Mister Chokai lagi. Aku bersungut-sungut dalam hati. Ini udah mati-matian berusaha tenang lhooo.. Siapa juga yang kepengen nervous coba?  :’(

Lagu keempat, kelima..aku masih berusaha melawan rasa gugup, sehingga sempat blank di salah satu baris lagu It’s My Life milik Bon Jovi. Sungguh, perihal menghafal lagu itu mudah. Aku sebenarnya bisa menyanyikan lagu itu tanpa teks. Tapi jika diserang rasa gugup luar biasa, apapun yang udah di luar kepala rasanya buyar. Untuk menyamarkannya, aku menyodorkan mikrofonku pada penonton seolah-olah meminta mereka untuk bernyanyi. Tapi Alhamdulillah, beberapa waktu setelah itu, rasa gugupku berangsur-angsur menghilang. Dan ajaibnya, sakit di bahuku juga ikut hilang. Wkwk..

Hari itu aku membawakan sepuluh lagu, nggak termasuk lagu ‘Happy Birthday’ yang dibawakan saat acara tiup lilin dan 'We Are The Champion’ yang dibawakan saat pengumuman pemenang hadiah utama. Saat menyanyikan lagu Pergilah Kasih yang di-cover D’Masiv, aku mengajak Ola untuk berduet, karena sejak awal acara ia bilang bahwa ia ingin duet denganku membawakan lagu Jika Cinta Dia-nya Geisha. Tapi sayangnya hari itu, lagu itu nggak kami bawakan.


Oh ya, aku dan teman-teman MusTanG juga berkesempatan buat ikut undian door prize lho. Tapi rupanya diantara kami dan Pak Faisal, hanya Ryan dan Mas Win yang ketiban rejeki nomplok. Ryan mendapat hadiah lemari hias, dan Mas Win mendapatkan hadiah dispenser. Sementara yang lainnya mendapatkan hadiah door prize yang kecil-kecil. Pak Faisal mendapat kotak plastik (semacam Tupperware) kecil, Dhea mendapatkan kemoceng, Mas Febri mendapatkan gayung kecil, Mister Chokai entah dapat apa aku lupa, sedangkan aku sendiri mendapatkan steker T tiga lubang. Lumayan lah, buat jaga-jaga kalo butuh banyak colokan. Wkwkwk..
“Lemari bawanya gimana ya?” Ryan bingung sendiri. Kami ketawa-ketawa aja. Yakali bawa-bawa lemari ke pesawat.
“Udah, ntar dilelang aja sama karyawan sini. Pasti banyak yang mau”, kata Dhea. Ryan pun setuju

Singkat cerita, acara pun selesai. Waktu itu sekitar jam lima sore. Kami berfoto dan bareng dengan seluruh karyawan kantor cabang Pekanbaru, dan beberapa orang yang mengajak aku dan teman-teman MusTanG untuk berfoto bareng. Begitu juga dengan Bu Fitri yang meminta untuk difotokan berdua denganku. Sejenak kami merasa seperti artis dadakan. Wkwkwk..
“Terima kasih ya. Kapan-kapan kesini lagi”, ucap seorang karyawan sambil menyalami kami. Seneng banget dengarnya ^^

Sebelum meninggalkan Alam Mayang, aku dan teman-teman sempat menonton performance sebuah band yang main setelah acara kemarin (band yang sama yang main sebelum kami check-sound sehari sebelumnya). Band ini keren deh. Suara vokalis ceweknya memukau. Mister Chokai aja sampai mengajukan buat duet bareng. Dan kami semakin terpukau ketika vokalis cowoknya yang bertubuh gempal perform. Daaaaaamnnn.. suaranya melengking banget! Ia mampu membawakan lagu-lagu dengan nada tinggi seperti Sweet Child O’ Mine dan She’s Gone dengan saaaangat epic. Benar rupanya bahwa mostly penyanyi Sumatra itu range suaranya tinggi. Keren. Kereeeen banget. Nggak ada diantara kami yang nggak terkagum-kagum dengan performance-nya. Aku aja sampai megap-megap saking kagumnya. Dengar-dengar sih dia ini seorang polisi juga. Duh, keren banget sih, Udaaaa :’))

Dhea sedang lipsync dengan latar belakang lagu She's Gone

Sekitar jam setengah enam sore, kami keluar dari Alam Mayang dan langsung check-in di Hotel Pangeran. Berbeda dengan dua hotel tempat kami menginap sebelumnya, hotel ini letaknya sangat strategis karena berdiri di pusat kota. Di hotel ini, aku tidur sekamar dengan Dhea dan Mbak Eka—Sekretaris Kantor Pusat. Tempatnya nyaman banget. Sayang, letak kamar kami kurang strategis, sehingga ketika kami membuka tirai jendela, yang kami lihat bukanlah pemandangan kota ataupun pemandangan kolam renang seperti yang kami harapkan, melainkan atap bangunan. Wkwkwk..


Setelah beristirahat sejenak, aku, Dhea, dan Mbak Eka turun ke area kolam renang. Aku cuma nemenin mereka aja waktu itu. Sebenarnya aku juga kepingin ikut renang sih, hanya aja saat itu aku merasa badanku agak meriang. Jadi ya aku cuma duduk-duduk aja di tepi kolam bareng Pak Faisal, Pak Yosep, dan Ryan yang waktu itu juga nggak ikut berenang. Waktu itu Pak Yosep iseng banget ngerjain ‘anak-anaknya’ yang nggak renang. Mister Chokai yang nggak berniat nyebur ke kolam beliau dorong. Dan karena udah terlanjur basah, akhirnya Mister Chokai malah jadi ngajarin Mbak Eka renang. Aku juga hampir aja jadi korban keisengan Pak Yosep. Kursi plastik tempatku duduk udah siap beliau angkat, tapi aku bilang kalo aku nggak enak badan. Begitu juga dengan Ryan yang sibuk dengan hapenya.
“Ryan, saya pinjam hapenya, Yan. Hape saya lowbat, saya mau nelpon penting”, ucap Pak Yosep bohong, padahal sengaja biar Ryan lepas dari hapenya dan bisa beliau ceburin ke kolam.
“Jangan ah, Pak. Ini ‘senjata’ saya”, jawab Ryan yang rupanya udah ngerti akal-akalannya Pak Yosep. Wkwk..

Dhea berbaring tengkurap di bagian pembatas kolam sambil menopang kepalanya dengan satu tangan.
“Berasa jadi mermaid ya?” seruku pada Dhea.
“Iya, gua lagi jadi mermaid nih”, katanya sambil ketawa.
“Difoto, Put, kirim ke grup MusTanG,” bisik Pak Faisal padaku.
Aku memotretnya, tapi kualitas gambarnya kurang bagus. Akhirnya Pak Faisal yang iseng memotretnya dan mengirimkannya ke grup. Dan bukannya disebut mermaid, Dhea malah habis diledekin. ‘Paus terdampar’. Tapi memang dasar urat malunya udah putus, dia girang-girang aja diledekin gitu.

Setelah berenang, kami kembali ke kamar. Aku mempersilahkan Dhea dan Mbak Eka yang habis berenang untuk mandi duluan. Sementara sambil menunggu mereka, aku melanjutkan membaca buku Garis Waktu. Sebenarnya dalam keadaan badan meriang, rasanya malas banget buat mandi. Apalagi di kamar hotel itu, hawa dingin AC juga sangat terasa di kamar mandi, sehingga ketika melepas pakaian, rasa dingin langsung menusuk kulit. Hanya aja badanku terasa lengket karena keringat. Pekanbaru rupanya lebih panas dibanding kota kami. Kalo aku tinggal disini, mungkin aku bisa mandi tiga kali sehari. Wkwk.. Benar aja, ketika air mulai membasahi punggungku, rasanya badanku semakin nggak enak. Aku mulai merasa nyaman ketika suhu air berangsur-angsur menghangat, membuatku jadi ingin berlama-lama. Tapi begitu mematikan shower, rasa dingin kembali menjalari tubuh. Samarasa banget deh pokoknya.

Sekitar jam setengah sembilan malam, kami semua keluar hotel untuk dinner. Malam itu Pak Yosep mengajak kami makan di Warung Era 51 di Jalan Kaharuddin Nasution. Kami duduk berhadap-hadapan didepan sebuah meja panjang.
“Ayo, ayo, mau pesan apa?” Pak Yosep menyodorkan daftar menu. Sebelum melihat daftar menu, aku sempat mengira bahwa rumah makan itu adalah rumah makan masakan Minang, tapi ternyata bukan, meski ada juga menu dendeng disana. Ketika melihat daftar menu, aku langsung tertarik pada satu makanan yang paling aku suka : sate. Aku pun memesan seporsi sate, sup, dan segelas es jeruk. Dan rupanya kebanyakan dari kami juga memesan sate dan sup. Sambil menunggu hidangan tersaji, kami mencemil beberapa bungkus makaroni yang memang udah tersedia di atas meja.

Beberapa lama kemudian, pelayan mulai menata pesanan kami di atas meja. Kami yang baru makan di rumah makan itu memperhatikan sate yang kami pesan. Seporsi sate terdiri dari enam tusuk yang masing-masing berisi tiga daging dengan potongan yang cukup besar, disajikan di atas piring berwarna oranye, lengkap dengan potongan mentimun dan tomat.
“Ini sate rusa,” kata Pak Yosep. Kami pun surprised, nggak terkecuali aku yang semula mengira bahwa sate yang kupesan terbuat dari daging ayam atau kambing. Mula-mula aku mencoba mencium aromanya yang ternyata nggak berbeda jauh dengan sate-sate pada umumnya. Lalu aku menuangkan bumbu di dalam sebuah mangkuk kecil ke atas sate, dan mulai menyantap. Awalnya kukira sate rusa itu alot seperti sate kambing, tapi rupanya enggak lho. Meski bertekstur padat, tapi dagingnya benar-benar lembut dan empuk. Yah mungkin tergantung cara pengolahannya juga kali ya, entahlah. Rasa sate rusa ini agak manis. Mungkin karena mereka menggunakan kecap manis sebagai bumbunya. Dan memesan sup sebagai pendamping makan sate ini adalah pilihan yang ternyata sangat tepat, karena rasa gurih dari sup ini bisa membuatnya jadi balance. Ah, mantap deh pokoknya.

Kenyang makan malam, kami pun kembali ke hotel. Tapi begitu tiba di halaman hotel, aku, Dhea, Mbak Eka, dan teman-teman MusTanG berubah pikiran. Malam itu malam Minggu, dan rasanya kurang afdol kalo kami nggak menikmati satnight di tempat yang jauh dari kota kelahiran kami itu. Akhirnya kami bertujuh pun kembali ‘ngebolang’, sementara kedua ‘bapak kami’ kembali ke hotel. Kami berjalan kaki menelusuri trotoar di Jalan Sudirman. Malam itu kami hangout di sebuah cafe yang sepertinya merupakan cafe yang cukup digemari oleh anak-anak muda Pekanbaru, karena tempatnya yang cukup ramai, padahal waktu menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam. Karambia Cafe, namanya. Letaknya nggak begitu jauh dari Hotel Pangeran. Tempatnya lumayan nyaman dan instagramable. Selain itu, di tempat itu ada live music nya juga. Mula-mula Mister Chokai dan Dhea masuk duluan untuk memastikan apakah ada meja kosong untuk kami, dan syukurlah ada. Kami pun menempati sebuah meja panjang yang terletak di salah satu sudut cafe. Muat untuk kami bertujuh.
“Ingat cerita Pak Yosep tentang nasi dengan wadah batok kelapa? Nah, disini tempatnya,” tutur Dhea. Well, beberapa waktu lalu, Pak Yosep memang menceritakan sebuah cafe di Pekanbaru yang menyajikan hidangan unik dimana nasinya disajikan di dalam batok kelapa, dan beliau sempat berniat untuk mengajak kami mencobanya, juga teh talua—teh dengan campuran telur dan jeruk nipis khas Sumatera Barat. Tapi sepertinya beliau lupa. Tapi rasanya malam itu nggak mungkin bagi aku ataupun teman-teman untuk mencoba nasi dalam wadah batok kelapa itu, karena kami baru aja makan dan perut kami masih cukup penuh.

Akhirnya malam itu, kami memesan cemilan yang bisa kami makan bareng-bareng, yakni seporsi french fries dan seporsi chicken fingers. Untuk minumnya, awalnya aku memesan yoghurt stroberi, tapi karena yoghurt sedang kosong, aku menggantinya dengan strawberry milkshake.
“Saya ini aja deh...” ucap Mas Win sambil melihat buku menu, “Tebemelebebele”.
“HAH?” kami mengernyit, nggak ngerti Mas Win ngomong apa.
“Tebemelebebele,” ulang Mas Win.
“Apaan sih?” Kami pun serempak melihat menu minuman yang ditunjuk Mas Win di buku menu.
“Ya ampun..”
Kalian tau apa? Memang ada lho menu dengan nama itu. Tebe Melebe Bele. Kami ketawa-ketawa, bukan hanya karena namanya yang aneh, tapi lebih karena pengucapan Mas Win yang nggak tau kenapa kedengaran lucu, apalagi dia kan kalo ngomong ada sedikit medhok Jawa gitu.
“Tau nggak apa? Aku kira dia becanda lho ngomong gitu,” kata Mbak Eka sambil ketawa geli. Aku iseng browsing, cari tau apa itu Tebe Melebe Bele, tapi nggak ketemu.
“Kayaknya itu cuma satu-satunya disini deh”, kata Ryan. Aku manggut-manggut. Mungkin ya, dan sengaja dibuat aneh biar pengunjung cafe penasaran. Ketika pelayan menghampiri meja kami, Mas Win menanyakan apa itu Tebe Melebe Bele.
“Itu jeruk belanda dengan campuran soda”, jawab pelayan. Sayangnya kami lupa bertanya kenapa dinamakan aneh begitu. Tapi aku yakin sih kalo itu memang semacam strategi marketing, biar pengunjung penasaran. Namun meskipun begitu, Mas Win tetap memesan minuman tadi karena penasaran gimana rasanya jeruk belanda (yang ternyata setelah ia coba, dia bilang rasanya mirip jambu biji juga, nggak beda jauh sama terong belanda, tapi lebih asam), Mbak Eka juga memesan minuman yang sama, Dhea pesan Cadbury, Mas Febri pesan kopi vietnam, Ryan pesan mojito, dan Mister Chokai pesan melon squash.

Selanjutnya yaa begitulah.. Kami ngemil-ngemil, minum-minum (bukan mabok lho ya), dan foto-foto tentunya. Jujur, acara hangout malam itu bisa jadi menyenangkan buatku kalo aja badanku lebih fit, karena selama nongkrong di cafe itu, aku merasa benar-benar payah. Kepalaku sakit dan perutku perih, entah kenapa. Mas Win bilang kalo wajahku kelihatan pucat waktu itu, tapi aku meyakinkan mereka kalo aku gapapa. Well, sebenarnya aku benar-benar pengen cepat kembali ke hotel waktu itu, tapi aku nggak mau ngecewain mereka, karena aku yakin mereka pasti nggak mau kalo kesempatan mereka berada di pulau orang ini sia-sia cuma buat berdiam di hotel doang.

Kami baru kembali ke hotel ketika waktu menunjukkan sekitar jam setengah duabelas malam. Pak Yosep dan Pak Faisal rupanya belum kembali ke kamar mereka. Mereka tampak sedang berbincang-bincang berdua di tempat semacam cafe gitu di dekat lobby, ditemani lagu Minang mengalun mendayu-dayu. Pak Yosep melambai ke arah kami, mengajak bergabung, namun aku, Dhea, dan Mbak Eka memilih untuk kembali ke kamar. Entahlah keempat cowok itu. Aku sebenarnya mau aja bergabung bersama mereka, karena kalo soal mata, aku belum merasa ngantuk. Tapi masalahnya tubuhku udah nggak bisa diajak kompromi. Maka ketika kurebahkan tubuhku di kasur.. hahh.. nikmat, nikmat sekali rasanya.

Malam itu malam terakhir kami di Pekanbaru. Besoknya kami harus terbang lagi, kembali ke pulau kelahiran kami.

*Bersambung*

Total Tayangan Halaman

 
;