Selasa, 09 Februari 2021 0 komentar

CHAPTER V : Melepas Jangkar

Dulu pernah terlintas di anganku bahwa jika suatu saat aku menikah, aku ingin dekorasi pernikahanku didominasi dengan warna monokrom, bahkan sampai ke bunga-bunganya. Maka ketika tiba waktunya aku akan menikah dan diminta memutuskan warna tenda dekorasi pernikahan aku dengan Mas, kujawab bahwa aku ingin tenda warna hitam-putih. Namun mendengar itu, teman-teman dan keluargaku tertawa. Menurut mereka, tenda warna hitam adalah warna yang nggak umum digunakan dalam resepsi pernikahan, khususnya resepsi pernikahan orang Indonesia. Padahal sah-sah aja kan ya kalo aku menginginkan warna hitam untuk resepsi pernikahanku sendiri. Meskipun berbeda dari kebanyakan orang, tapi kukira keinginanku ini masih masuk akal. Kecuali kalo aku memberi dresscode kostum Halloween untuk para tamu. Sayangnya meskipun menyukai warna hitam, namun dalam hal ini Mas pun kurang setuju. Mungkin menurutnya warna hitam untuk dekorasi pernikahan terlihat suram dan lebih cocok untuk pesta pemakaman, entahlah 😌

***

Sabtu, 09 Januari 2021. Tenda putih-emas sempurna terpasang. Ya, setelah berdiskusi, akhirnya kami sepakat memilih warna putih-emas untuk tenda pernikahan kami. Flower gate untuk pintu masuk tamu menggunakan bunga-bunga artifisial warna putih. Pelaminan kami juga dihiasi bunga-bunga artifisial warna putih dan warna-warni dari rangkaian bunga hidup.

Pukul 05.25, MUA beserta timnya sudah tiba di tempatku. Mereka berkumpul di salah satu kamar kos milik orangtuaku yang hari itu digunakan sebagai kamar rias pengantin. Melalui panggilan suara di WhatsApp, MUA yang sebut aja Mbak Dea (bukan nama sebenarnya) itu memintaku untuk segera ke kamar kos untuk dirias. Aku yang saat itu tengah menyesap sebungkus Tolak Angin di kamar pribadiku bergegas menghabiskannya. Well, entah kenapa saat itu aku merasa sedikit kurang enak badan.

Sementara menyiapkan peralatan meriasnya, Mbak Dea memerintahkan salah satu asisten riasnya ke kediaman Mas dengan diantar adikku. Perasaanku benar-benar campur aduk saat itu, namun was-was dan gugup terasa lebih dominan. Was-was dengan bagaimana hasil riasan di wajahku, was-was dengan cuaca yang pagi itu tampak mendung, dan gugup karena sebentar lagi akan menjadi istri orang.

Dengan dibantu asisten Mbak Dea, aku melepas pakaian yang kukenakan dan menggantinya dengan manset putih dan busana pengantin dengan warna senada. Setelah itu, Mbak Dea mulai meriasku bersama seorang Henna & Nail Artist yang bertugas merias kuku jari dan punggung tanganku dengan henna putih dan kuku palsu warna merah. Tiga gadis kecil: Tiara, Aura, dan Najwa dengan antusias menyaksikan aku yang saat itu tengah dirias. Aku hanya bisa tersenyum pada mereka yang tampak nggak sabar melihat hasil akhir riasanku. Ya, proses periasan rasanya berlangsung lama sekali, terlebih bagi aku yang nggak terbiasa dan nggak merasa nyaman dengan polesan make-up tebal, ditambah bulu mata palsu yang berlapis-lapis. Saking khawatirnya dengan hasil akhir riasan di wajahku, aku sampai melontarkan pertanyaan yang cukup konyol pada Mbak Dea, "Ini nantinya nggak akan terlalu menor kan, Mbak?"

Singkat cerita, Mbak Dea dan timnya sudah selesai meriasku. Tiga gadis kecil yang sedari tadi menantikan hasil make over wajahku pun bersorak-sorak. Aku menatap cermin di depanku yang memantulkan bayangan perempuan berpakaian pengantin adat Sunda lengkap dengan mahkota siger; tampak seperti bukan aku. Sebenarnya aku cukup puas, meski agak kecewa dengan bagian shade di pipi yang tampak terlalu gelap. Asisten Mbak Dea mengoreksi sedikit bagian itu, namun tampaknya masih terlihat gelap. Saat itu aku hanya berharap warna gelap di pipiku itu nggak terlalu mencolok di mata tamu ataupun kamera.

Mbak Henna Artist juga tampaknya puas dengan hasil pekerjaannya. Ia lantas memintaku untuk bergaya dengan menunjukkan henna dan nail art di kedua tanganku, kemudian mulai memotret dan membuat rekaman video dengan hapenya sambil sesekali mengarahkan aku harus bergaya seperti apa. Entah bagaimana ekspresiku saat itu. Pasti aneh sekali, karena rasa gugupku semakin tumbuh berlipat-lipat. Terlebih ketika MC di luar mengumumkan bahwa rombongan Mas dan keluarga sudah tiba di lokasi hajat, detak jantungku rasanya seperti drum beat pada lagu Over The Hills And Far Away yang dibawakan Nightwish.

Dari kamar rias, aku hanya bisa mendengar suara MC dan yang lainnya dari suara speaker. Aku nggak bisa melihat bagaimana ekspresi Mas dan kedua orangtuaku. Aku bertanya-tanya di dalam hati tentang bagaimana perasaan Mas. Apakah dia segugup aku? Atau bahkan mungkin lebih? Karena sebentar lagi dirinya akan mengucapkan janji sakral di hadapan para saksi.

***

Prosesi akad pun dimulai. Tenggorokanku rasanya kering, dan degupan jantungku terasa semakin menjadi ketika kudengar bapak mulai mengucapkan kalimat ijab qabul. Kemudian kalimat itu disambut Mas dengan tegas dan mantap dalam sekali ucap. Selanjutnya aku bisa mendengar para tamu berucap 'alhamdulillah' dan bersorak sesaat setelah saksi menyatakan sah.
"Wah, latihannya siang malam pasti nih!" celetuk salah satu asisten Mbak Dea. Aku hanya tersenyum sambil menahan haru. Setelah dinyatakan sah sebagai suami dan istri, aku baru dipanggil untuk duduk berdampingan dengan Mas di hadapan penghulu untuk menandatangani buku nikah dan serah terima mahar.


 
Yang mengharukan adalah ketika prosesi sungkeman. Tangisku pecah tatkala aku memeluk bapak. Entah kapan terakhir kali aku memeluk beliau sebelum ini, mengingat hubungan kami yang nggak bisa dibilang dekat. Sifatnya yang agak keras membuatku canggung hingga hubungan kami seakan berjarak selama hampir dua dekade. Aku sangat ingin hubungan kami kembali seperti dulu lagi, saat bapak masih suka menceritakan dongeng, membuatkan aku mainan, menggendongku ke kamar apabila aku ketiduran di depan televisi.. Ya, itu semua pernah terjadi. Dulu. Dulu sekali. Aku kangen bapak. Kangen banget. Andai aku bisa mengembalikan momen indah itu. Sedih rasanya mengingat hubungan kami yang belum membaik, sementara beliau semakin menua dan kini sudah harus melepasku. Sebuah kutipan mengatakan,
"Ayah adalah laki-laki yang paling cemburu ketika anak perempuannya dekat dengan laki-laki; yang paling sedih ketika kelak anak perempuannya menikah; yang paling hancur hatinya ketika beliau harus menyerahkan anak perempuannya kepada laki-laki yang asing baginya. Ayah adalah satu-satunya laki-laki yang menyadari bahwa kelak anak perempuannya tidak lagi mengabdi kepadanya."

Entah bapak merasakan itu atau enggak, tapi sedih rasanya menyadari bahwa hubungan aku dengan bapak yang bahkan nggak lebih dekat ketimbang hubungan antara aku dengan Mas.
"Maafin Puput, Pak, kalo banyak salah", ucapku sambil terisak. Hanya itu yang bisa kuucapkan pada beliau, meski sebenarnya banyak sekali yang ingin kuungkapkan hingga dadaku rasanya sesak.

Namun belum habis rasa sesak di dalam dadaku, Mas Fotografer sudah meminta aku dan Mas Agus untuk berdiri dan berfoto dengan gaya ceria.
"Nanti dulu", ucapku sambil sesenggukan. Namun entah kenapa Mas Fotografer itu tampak berdiri dengan ekspresi nggak sabar. Susah payah aku menghentikan tangisku dan menghapus air mata yang masih mengalir deras. Rasanya nggak enak sekali. Yah, gimana bisa berfoto dengan gaya ceria dan tersenyum kalo sedih dan haru masih menggelayut. Menahan rasa ingin kentut aja rasanya nggak enak kan?

***

Jujur, sebenarnya aku merasa nggak nyaman dengan kuku palsu di jari-jariku. Memegang dan menyentuh apapun rasanya janggal. Untung aja saat penandatanganan buku nikah, aku bisa menggunakan bolpoin dengan baik, sehingga aku cukup puas dengan hasil tanda tanganku. Karena hal ini, maka hampir selama resepsi, aku nggak memegang hape. Ya, bahkan untuk memegang hape pun rasanya malas, karena hanya untuk membuka kuncinya aja aku perlu bantuan Mas. Padahal aku ingin sekali mencatat jam dan momen-momen tertentu untuk mempermudah penulisan blog ini.

Aku nggak ingat pada jam berapa aku diminta untuk mengganti pakaianku dengan gaun pengantin warna hitam. Kalo nggak salah, setelah Dhuhur. Begitu keluar dari kamar rias, teman-teman dari perusahaan tempatku bekerja mulai berdatangan. Senang sih, namun ada rasa sedih ketika menyadari Pak Ben, Pak Teguh, Bu Hani, dan Pak Faisal yang nggak ada di tengah-tengah mereka.

Sesuai rencana, teman-teman dari Mustunable naik stage untuk menyumbang beberapa lagu. Dewi, teman kecilku juga turut menyumbangkan satu lagu milik Dewa19 yang berjudul Pupus dengan diiringi teman-teman bandku itu. Setelah membawakan beberapa lagu, Inggit mengundangku naik ke stage untuk bernyanyi. Hari itu aku dan Mustunable membawakan lagu Kaulah Segalanya yang dipopulerkan oleh Ruth Sahanaya, dan lagu Kangen milik Dewa19. Sempat ada hal awkward yang terjadi waktu itu. Sebelum menyanyikan lagu Kangen, aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa lagu itu dipersembahkan untuk Mas sambil mengarahkan pandanganku padanya. Namun alih-alih berbalas menatapku dan tersenyum, Mas tampaknya nggak ngeh karena dirinya saat itu sedang mengomel pada soundman karena menurutnya sound yang dihasilkan kurang bagus. Wkwkwk.. *gagalromantis* 😂



Sayangnya, aku nggak sempat berfoto dengan teman-teman Mustunable, karena mereka keburu pamit pulang ketika aku tengah berganti gaun. Aku sempat meminta mereka menunggu sebentar untuk berfoto bersama, namun cuaca mendung dengan sedikit gerimis memaksa mereka untuk nggak berlama-lama tinggal. Khawatir turun hujan besar, karena hari itu mereka membawa alat musik masing-masing.

Sepulang teman-teman Mustunable, Aghatri Band yang waktu itu menjadi band utama kembali naik stage setelah sebelumnya membuka acara resepsi dengan lagu A Thousand Years. Sesuai permintaanku, Aghatri membawakan lagu The Only Exception milik Paramore, sebuah lagu yang dari dulu aku inginkan ada di resepsi pernikahanku jika kelak aku menikah. Namun tanpa diduga, Wangi dan A Lukman, duo vokalis mereka, meminta aku dan Mas naik ke stage untuk berkolaborasi bersama mereka. Jadilah aku berduet bersama Wangi, sementara Mas menggantikan drummer mereka.

Sebenarnya banyak sekali hal yang kusayangkan pada resepsi pernikahanku, seperti banyaknya orang terdekat yang nggak hadir, banyak pula orang terdekat yang hadir tapi nggak ada dalam dokumentasi, dan hal-hal yang disayangkan lainnya yang sepertinya kurang enak aku ungkapkan dalam tulisan ini. Biarlah bagian-bagian itu aku ungkapkan dalam tulisan terpisah.


Sabtu, 09 Januari 2021, aku dan Mas Agus mulai melepas jangkar. Berdua kami berada dalam satu bahtera yang sama. Entah seberapa kuat ombak, angin, dan badai yang kelak kami hadapi. Aku dan Mas sama-sama tau, apa yang ada di depan kami nggak akan mudah. Semoga Tuhan senantiasa melapangkan hati kami agar selalu sabar dan ikhlas melalui aral sebesar apapun, senantiasa melindungi kami, dan merestui kami membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah. Aamiin.

0 komentar

CHAPTER IV : Menghitung Hari

Cukup banyak hal yang terjadi pada H-2 dan H-1 pernikahanku.

Aku mengajukan cuti selamat empat hari, yakni hari Sabtu tanggal 9, Senin tanggal 11, Selasa tanggal 12, dan Rabu tanggal 13. Namun Pak Bos hanya memberiku jatah cuti tiga hari. Memang sih, hal itu bukan tanpa alasan. Kepala HRD dan rekanku yang sesama Staf HRD sedang sakit, begitu juga dengan salah seorang Staf Akunting yang ditugaskan untuk meng-handle beberapa tugasku selama aku cuti. Pak Bos khawatir tugas-tugasku akan terbengkalai.

Kamis 7 JanuariH-2, Pak Teguh, Kepala HRD-ku menghubungiku via video call. Beliau menghubungiku dari rumah sakit tempat dimana beliau dirawat. Seperti teman-temanku yang lain, beliau kaget mendengar bahwa aku akan segera menikah, dan beliau benar-benar menyesal karena nggak bisa menghadiri resepsi pernikahanku. Begitu juga dengan Pak Ben yang mengungkapkan penyesalannya lewat pesan WhatsApp. Kubilang, "Gapapa, Pak, yang penting Bapak cepat sehat dulu. Minta doanya aja ya, Pak". Padahal di dalam hatiku rasanya ambyar banget. Seusai berbincang dengan Pak Teguh melalui video call, tangisku pecah. Aku menangis sendirian di Ruang HRD. Mereka sudah seperti bagian dari keluargaku. Rasanya sedih banget ketika orang-orang yang paling dekat di kantor justru nggak bisa hadir di acara pernikahanku.

Pesan WhatsApp Pak Ben untukku :')


***


Hari Jum'at malam itu, hujan turun. Aku yang semula menunggu kedatangan teman-teman Mustunable Band akhirnya memutuskan untuk beranjak ke kamar. Sebelumnya Inggit dkk berencana menemaniku malam itu. Namun melihat kondisi cuaca malam itu yang turun hujan, rasanya nggak mungkin mereka datang, terlebih malam itu mereka baru aja latihan di studio band untuk persiapan nyumbang lagu di resepsiku keesokan harinya (terniat banget memang mereka ini). Berbeda dengan Mas yang malam itu mengaku nggak bisa tidur, aku justru langsung mengantuk setelah masuk kamar. Ajaib, padahal selama ini aku mengenal diriku sebagai sosok yang sangat mudah overthinking dengan hal sekecil apapun. Tapi anehnya menjelang hari besar dalam hidupku ini, aku malah bisa tidur cepat seakan hari esok adalah hari biasa.

Baru beberapa saat aku terlelap, sekitar pukul sebelas malam, aku dan keluarga dikejutkan dengan kabar buruk bahwa Arul, anak Bibi Cicih kecelakaan. Malam itu ia baru aja mengantar bibiku itu ke rumahku. Namun di perjalanan menuju pulang, ia mengalami kecelakaan tunggal (karena menghindari becak). Mendengar berita itu, Bibi Cicih dan Wa Agus langsung menuju RS Ciremai, tempat dimana Arul dievakuasi oleh warga sekitar.

Jam 00.11, Bibi Cicih meneleponku. Ia meminta tolong agar aku memesankan taksi daring untuk memindahkan Arul dari RS Putera Bahagia ke RSUD Gunung Jati. Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung melakukan apa yang diminta bibiku itu.

Singkat cerita, taksi daring yang kupesan selesai mengantar Arul dan bibiku ke rumah sakit tujuan. Namun di luar dugaan, sang supir tiba-tiba mengirimiku pesan bernada amarah,

"Lain kali kira-kira dong, Mbak, kalo pesan taksi online buat angkut orang kecelakaan. Jok mobil saya banyak darah jadinya!"

Bingung juga rasanya, aku harus merespon bagaimana. Saat itu aku sendiri bahkan belum mengetahui bagaimana kondisi sepupuku itu. Aku nggak menyangka bahwa kondisinya sedemikian parah. Kakinya cedera berat, bahkan aku menolak melihat ketika Wa Agus menunjukkan foto kondisi Arul pasca kecelakaan. Sedih rasanya, kenapa hal semacam ini harus menimpa kerabatku di satu hari menjelang hari terpenting di hidupku :')


NEXT : Chapter V - Melepas Jangkar

0 komentar

CHAPTER III : Menjelang Sepasang

Hal yang pertama kami lakukan setelah mendapat restu dari orangtua adalah : menyusun daftar seserahan. Selanjutnya setelah itu, kami menentukan tanggal pernikahan. Sebenarnya aku ingin pernikahan kami digelar pada hari Jum'at yang kupercaya sebagai hari baik, atau pada 'tanggal cantik' 210121. Namun jika digelar pada hari Jum'at, acara kami tentu akan dijeda dengan waktu sholat Jum'at. Sedangkan jika digelar pada tanggal 21, aku akan diprotes teman-temanku karena menggelar hajatan di tanggal tua sekaligus weekday dimana kegiatan kantor sedang sibuk-sibuknya. Wkwkwk. Akhirnya kami pun memutuskan untuk menggelar hari pernikahan pada Sabtu 09 Januari 2021.

Karena status kami merupakan pekerja yang sama-sama disibukkan dengan aktifitas dari pagi hingga sore, maka sebagian besar keperluan seserahan kami dapatkan dengan pembelian melalui online shop. Mas mentransfer uang, sementara aku bebas memilih barang yang kusuka. Uhuy, ternyata begini rasanya menghabiskan duwit orang. Wkwk.. Engga deng. Budgetnya dibatasi, tentu saja 😝 Setelah barang-barang keperluan seserahan itu terkumpul, kami menyerahkannya pada Bibi Cicih, adik ibuku yang bisa mengemas dan menghias barang-barang seserahan dengan cantik. Targetnya, awal bulan Januari semuanya sudah rampung dikemas. 

Dalam menentukan desain undangan, rasanya nggak sulit. Kebetulan aku dan Mas sama- sama menyukai warna hitam. Dan karena kami dipertemukan pertama kali oleh musik, di tempat les musik, dan kemudian bertemu kembali di studio musik saat aku bergabung dengan bandnya, rasanya kurang afdol jika undangan kami nggak mengusung tema musik. Maka undangan dengan background hitam bermotif notasi dan tuts piano hitam-putih menjadi pilihan kami.

Perihal cenderamata untuk tamu pun, awalnya kami berencana memberikan cenderamata yang juga bertema musik. Namun cenderamata dengan tema musik yang banyak dijual dengan harga terjangkau (bahkan bisa dibilang sangat murah) adalah ganci alias gantungan kunci, dan karena harganya yang sangat murah ini maka bahannya pun juga kurang bagus, terbuat dari bahan karet. Ibuku nggak menyukainya. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli cenderamata yang lebih berguna, yakni bolpoin (karena benda ini adalah benda yang sangat berharga buat teman-teman kantor, mengingat benda ini adalah yang paling dibutuhkan sekaligus yang paling sering hilang), pisau pengupas buah, dan lemonade spoon yang semuanya dikemas dalam kotak mika agar terlihat lebih cantik. Yaa sebenarnya tetap ada siiih cenderamata berupa ganci, yakni ganci berbentuk boneka dan ganci motif alat musik yang berbahan resin gitu. Lho, kok tetap beli cenderamata ganci?
Jadi, ganci berbentuk boneka itu dibuat langsung oleh salah satu kerabat Mas yang memiliki usaha kecil-kecilan berupa kerajinan tangan bros dan ganci dari kain flanel. Yah, hitung-hitung kami membantu usahanya itu. Sedangkan ganci bermotif alat musik itu sebenarnya semacam iseng aja sih, sekadar tambahan barangkali cenderamata yang kami sediakan kurang. Wkwk.

Yang cukup sulit adalah ketika mencari Make Up Artist (MUA). Tentunya kami menginginkan MUA yang mampu memberikan hasil baik dengan budget yang terjangkau. Hihi..
Kami mencari informasi sana-sini, entah itu bertanya pada kerabat ataupun teman, atau bertanya langsung pada MUA yang kami temukan lewat media sosial. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami mendapatkan seorang MUA berdasarkan rekomendasi salah seorang tetangga Mas yang pernah menggunakan jasanya. MUA ini menyediakan paket pernikahan dengan fasilitas cukup lengkap dan harga yang terjangkau. Hasil make-up nya pun cukup bagus, dan koleksi pakaiannya cantik-cantik. Awalnya aku sempat ragu menggunakan jasa MUA ini, karena ia merupakan seorang transpuan. Meskipun dirinya (mungkin) nggak memiliki ketertarikan seksual terhadap perempuan, tapi tetap aja rasanya nggak nyaman memperlihatkan aurat padanya saat berganti pakaian. Namun ketika mengetahui bahwa pergantian pakaian nantinya dibantu oleh asistennya yang seluruhnya perempuan, aku jadi lebih lega.

***

Pada tanggal 30 Agustus 2020, aku dan Mas meresmikan hubungan kami. Keluargaku dan keluarga Mas menggelar acara pertemuan. Acara yang dilaksanakan waktu ba'da Ashar itu digelar di rumahku. Meski aku hanya duduk diam dan mendengarkan orang-orang tua berunding, namun rasanya tetap aja gugup. Alhamdulillah, proses khitbah itu berjalan dengan lancar, meski ada dua kejadian lucu yang terjadi di tengah prosesnya.

Yang pertama adalah ketika kami semua duduk bersila di atas karpet yang digelar di tengah ruangan, alih-alih duduk berdampingan, aku dan Mas malah duduk terpisah. Hal ini tentunya terjadi di luar kehendak kami. Sebenarnya kami ingin sekali duduk berdampingan, namun karena setelah para tamu dipersilahkan duduk, nggak ada lagi celah yang memungkinkan kami untuk duduk berdua, akhirnya kami pun duduk dimanapun yang akhirnya membuat kami jadi duduk berseberangan. Hal ini membuat beberapa kerabatku bingung dengan siapa calon suamiku, padahal aku dan Mas mengenakan batik dengan warna dan motif yang sama hari itu. Entah mereka nggak ngeh atau gimana. Sepupuku mengira calon suamiku adalah A Billy, salah seorang teman baik Mas, karena hari itu dia duduk tepat di sebelahku. Wkwkwk.

Yang kedua adalah di momen puncak ketika Mas menyematkan cincin di jari manisku. Ketika itu kami terlalu gugup sehingga momen itu terjadi begitu cepat dan terburu-buru. Mereka pun memprotes kami karena nggak sempat mengabadikan momen itu. Akhirnya momen penyematan cincin itu pun harus diulang di halaman depan rumahku (untuk sekadar difoto aja sih) 😂

Minggu 15 November, aku dan Mas melakukan pemotretan pre-wedding di sebuah studio foto. Kami memilih studio foto itu karena review-nya yang cukup baik di Instagram.

Dua minggu sebelumnya, aku menghubungi pihak studio untuk memesan sebuah paket couple sekaligus mentransfer uang muka. Jadwal pemotretan kami jam dua siang. Ketika tiba hari itu, kami tiba satu jam lebih awal dari jadwal pemotretan kami. Sesampainya disana, kami meminta pada Mbak Admin agar ditunjukkan dressing room untuk mengganti pakaian dan berdandan (karena itulah alasan kenapa kami tiba satu jam lebih awal). Setelah diminta menunggu selama beberapa menit, kami pun dipersilahkan naik ke lantai dua. Tangga menuju lantai dua mengantarkan kami pada sebuah ruang yang dipergunakan sebagai ruang tunggu. Di bagian kanan dan kiri ruang tunggu tersebut, terdapat ruangan lain. Ruang sebelah kanan tampaknya adalah ruang studio foto yang sedang direnovasi, atau mungkin ruang studio yang baru dibuat karena terlihat agak berantakan. Sedangkan ruang sebelah kiri merupakan ruang studio foto yang kami kira akan menjadi tempat dimana kami melakukan pemotretan. Ya, kami kira.

"Sebentar ya, A, masih ada pemotretan anak-anak wisuda", ucap seorang karyawan studio ketika melewati kami berdua. Kami bisa mendengar suara-suara cempreng nan riuh dari ruangan yang karyawan itu maksud, membuatku yakin bahwa peserta pemotretan itu pastilah perempuan semua.
"Iya, A, santai aja. Oh ya, ini kalo mau ganti baju dan dandan dimana yah?" tanya Mas.
"Disitu aja, A", karyawan tadi menunjuk ruangan satunya.
"Oke terimakasih, A".
Aku pun mengecek ruangan yang dimaksud karyawan tadi, ruangan yang kusebut agak berantakan tadi, padahal sebelumnya kukira studio mereka memiliki dressing room. Sayangnya ketika aku mengecek ruangan tersebut, aku melihat disana terdapat beberapa tas dan barang-barang yang sepertinya milik anak-anak yang sedang melakukan pemotretan wisuda itu. Kami jadi ragu untuk bersiap-siap di ruangan tersebut, karena khawatir jika terjadi kehilangan diantara barang-barang milik mereka maka bisa-bisa kami yang diminta bertanggungjawab. Akhirnya aku memutuskan untuk mengganti pakaian di ruang tunggu tadi. Aku mengenakan gamis berwarna dusty pink dan khimar dengan warna senada, dengan begitu aku nggak perlu melepas pakaianku, cukup dirangkap aja. Sedangkan Mas cukup mengganti jaketnya dengan jas hitam.

Nggak berapa lama kemudian, anak-anak wisuda itu keluar dari ruang studio, namun mereka nggak bergegas mengemasi barang-barang mereka, melainkan selfie-selfie dulu. Kami jadi harus menunggu lagi. Waktu itu sekitar jam setengah dua siang. Masih ada waktu sekitar setengah jam bagi kami untuk bersiap. Aku bukan tipe perempuan yang suka menggunakan banyak jenis make up. Cukup pelembab, BB cream, dan lipstik, aku bisa berdandan kurang dari waktu lima belas menit.

"Mas, masih mau dandan kan si Tetehnya? Ini boleh diseling sebentar nggak buat satu pemotretan aja?" tanya salah seorang karyawan lain kepada kami. Aku dan Mas pun mengangguk. Kemudian Mas menyuruhku untuk segera berdandan. "Kamu dandan disini aja, bisa kan?" katanya.
Akhirnya dengan terpaksa, aku pun berdandan di ruang tunggu dengan bantuan cermin kecil seukuran compact powder yang biasa kubawa. Dan yah, kami kira pemotretan itu benar-benar hanya sebentar seperti yang dikatakan karyawan tadi, namun yang nggak kami duga adalah, mereka melakukan pemotretan bayi, atau mungkin foto keluarga bersama bayi. Bayangkan, pemotretan bersama bayi, Gaes! Ditambah lagi si bayi terus menangis dan orang-orang dewasa yang berada di dalam studio terdengar berkali-kali berusaha menenangkannya.

Wah, bakalan lama nih,
batinku. Hingga jam dua siang, pemotretan itu belum selesai, bahkan si bayi masih belum menghentikan tangisnya. Kukira sepertinya si bayi masih merupakan kerabat dari pemilik studio itu deh, karena kami melihat sang pemilik studio dan anak-anaknya yang kembar beberapa kali keluar-masuk ruangan itu.

Sekitar jam setengah tiga sore, seorang fotografer berkacamata dan berkemeja kuning memanggil kami, dan mempersilahkan kami untuk masuk ke.. ruang sebelah kanan dari tangga. Iya, ruang studio foto setengah jadi itu. Sementara pemotretan bersama bayi di ruang sebelahnya masih belum jelas kapan selesainya. Fotografer berkemeja kuning itu sedikit membereskan ruangan tersebut agar sedikit lebih rapi, dan meletakkan beberapa pemanis agar latar belakang foto terlihat sedikit lebih estetik, yang sebenarnya masih cukup jauh dari estetik menurut kami. Latar belakang foto kami adalah sebuah dinding tanpa cat, melainkan hanya dilapisi semen abu-abu dengan warna yang nggak merata, entah sengaja dibuat begitu atau mungkin dinding itu masih setengah jadi, kami nggak tau. Selain itu kami berpijak di atas kain putih yang sangat kontras dengan warna dinding. Kecewa sih, tapi aku dan Mas nggak berani protes saat itu. Mengingat studio foto itu cukup terkenal di kota kami, kami benar-benar mempercayakan sepenuhnya pada karyawan mereka. Mungkin nantinya foto-foto kami akan mereka edit sedemikian rupa sehingga terlihat estetik seperti yang mereka post di Instagram mereka, begitu pikir kami.

Kami berpose sebanyak sekitar 80 jepretan saat itu. Semua file foto itu ditransfer dari komputer mereka ke flashdiskku, kemudian Mbak Admin meminta kami untuk memilih tiga buah foto dari keseluruhan foto tadi untuk diedit.
"Fotonya ditunggu dua sampai tiga minggu ya, Teh. Nanti kami kirimkan hasil editnya melalui WhatsApp", katanya. Kemudian setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Mas pun meninggalkan studio tersebut.

Dua minggu setelah hari itu, foto hasil edit yang mereka janjikan nggak kunjung dikirimkan.
"Lama banget ya. Jangan-jangan mereka lupa tuh, foto kita sama sekali belum disentuh", ucap Mas khawatir.
"Sabar, Mas, kan mereka bilang tunggu dua sampai tiga minggu. Kita tunggu seminggu lagi."
"Tapi masa iya lama banget, ngedit doang".
"Mungkin customer mereka kelewat banyak, Mas. Trus mereka ngeditnya telaten banget gitu, jadi hasilnya bakal bagus banget", aku mencoba terus menenangkan.

Namun setelah menunggu selama tiga minggu, foto-foto itu belum juga dikirimkan. Perasaanku jadi nggak enak, sementara Mas sudah mulai kesal karena foto itu harus segera dicetak untuk dipajang di depan pintu masuk tamu pada resepsi pernikahan kami. Akhirnya aku pun mencoba menghubungi pihak studio lewat pesan WhatsApp,

"Selamat siang, Min. Maaf, untuk foto edit Paket Couple atas nama Putri sudah selesai belum ya? Terima kasih sebelumnya."
"Sebentar yah, Kak, kami cek dulu".


Setelah itu, Si Admin membalas lagi,

"Sudah, Kak".

Namun belum sempat kubalas, Si Admin menghapus pesan tadi. Ia baru mengirimkan pesan lagi satu setengah jam kemudian,

"Foto tanggal berapa, Kak?"

Kujawab,

"Tanggal 15 November, Min".

Setelah itu kembali jeda, nggak ada jawaban. Perasaanku tiba-tiba nggak enak.

Lagi-lagi satu setengah jam, Si Admin baru mengirimkan pesan lagi. Kali ini ia mengirimkan tiga buah file dengan format dokumen. Dengan nggak sabar sekaligus was-was, akupun segera membuka file itu. Dan.. ASTAGAAA.. hasil editan fotonya hampir nggak ada bedanya dong! Mereka cuma sedikit memperhalus tampilan wajah kami dan menghilangkan beberapa bagian warna dinding yang terlihat kontras. Hanya itu. Ya ampuuuunn.. Kalo cuma begitu, ngapain harus capek-capek nunggu tiga minggu kan ya? Aku dan Mas bahkan bisa melakukannya sendiri kurang dari sepuluh menit.
"Bener kan kata Mas, mereka pasti lupa. Foto kita selama tiga minggu pasti sama sekali nggak disentuh, dan hari ini baru ngedit mendadak", kata Mas dongkol.
"Iya, Mas, bikin kapok banget".
Ketika kukirimkan hasil foto studio itu pada ibu, ibu tertawa. Kata beliau,

"Mendingan foto di sawah"

😑

Kecewa banget rasanya, karena yang kami terima sangat jauh dari ekspektasi. Tadinya aku berencana mengungkapkan unek-unekku itu di Google Review, mengutuk-ngutuk kenapa foto-foto yang di-post di Instagram bagus-bagus sementara foto aku dan Mas buluk banget. Tapi Mas mencegahku melakukannya. Katanya, "Kita cukup tau aja. Jangan foto di studio itu lagi".

*** 
 
Minggu 26 November, aku dan Mas melakukan fitting pakaian pengantin. Kami nggak hanya pergi berdua, melainkan ditemani ibu, adikku, dan sepasang suami istri yang merupakan tetangga Mas yang merekomendasikan MUA ini pada kami. Pada saat resepsi nanti, aku dan Mas memiliki tiga kesempatan berganti pakaian. Ketika memilih pakaian pengantin, aku benar-benar gugup. Aku bingung menentukan warna pakaian apa yang cocok untukku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk memilih gaun warna putih, hitam, dan pink. Gaun putih adalah gaun wajib yang dikenakan saat akad. Gaun hitam kupilih karena aku menyukai warna hitam. Dan gaun pink..? Hmm.. sebenarnya aku kurang menyukai warna pink. Bahkan dulu aku sempat membenci warna ini karena terlalu girly dan terkesan cemen. Tapi kali ini aku malah memilih warna itu untuk gaun pernikahanku. Entahlah. Aku merasa sepertinya setiap pengantin perempuan selalu terlihat lebih cerah dan cantik jika mengenakan gaun pink. Wkwk.

Dan yah, kukira aku akan kesulitan mencari pakaian pengantin untuk perempuan dengan postur miniatur sepertiku, tapi ternyata nggak juga. Aku pun cukup puas dengan pantulan bayanganku di cermin ketika mengenakan pakaian-pakaian itu, terlebih ketika mengenakan gaun hitam yang kupilih. Gaun itu memiliki bagian rok yang dilapisi petticoat sehingga mekar seperti sangkar burung. Terlihat indah, meski membuatku sedikit merasa berat dan repot saat berjalan. Tak apalah, toh hanya sekali seumur hidup. Oh ya, rasanya lucu sekali melihat ekspresi Mas yang agak tersipu, entah karena melihat calon istrinya mengenakan pakaian pengantin, atau karena tetangganya terus meledeknya. Wkwk.

***

Awal Januari, aku, Mas, Ibu, dan Bapak mulai membagikan undangan pernikahan, baik itu secara langsung maupun melalui media sosial. Sebanyak 600 undangan disebarkan. Rasanya senang sekali mendapati ekspresi teman-temanku yang sebagian besar tampak kaget menerima undangan dariku, apalagi teman-teman kantor.
"Kok tiba-tiba sebar undangan aja? Kapan pacarannya?" ucap mereka. Kemudian mereka memberondongku dengan serentetan pertanyaan. Ketemu dimana? Pacaran berapa lama? Calonnya tinggal dimana? Hal itu membuatku cukup kewalahan menjawab pertanyaan mereka satu persatu. Tapi benar lho, memang benar kata sebuah postingan yang pernah kubaca di Instagram, lebih baik terlihat jomblo kemudian tiba-tiba sebar undangan pernikahan daripada sering mengumbar kemesraan lalu tiba-tiba putus. Muehehehehe.

***

Pada tanggal 3 Januari, untuk pertama kalinya aku memanjakan diri di salon spa. Aku memilih salon muslimah yang tentunya hanya menerima customer wanita, karena tempatnya nggak bercampur dengan laki-laki dan tentunya lebih private dan nyaman. Kebiasaanku sebelum menyambangi suatu tempat baru adalah melakukan survey, salah satunya melalui IG. Aku tuh paling malas kalo survey tempat pelayanan jasa atau jual-beli barang di IG tapi Si Admin nggak mencantumkan tarif jasa ataupun harga barang yang mereka tawarkan. Wkwk.. Maklum, bukan sultan, jadi memastikan ketersediaan budget adalah suatu kewajiban. Hehe.

Ada beberapa salon khusus wanita di kotaku. Kebetulan dari beberapa salon spa wanita yang kusurvey, tarif pelayanan di salon yang kudatangi ini relatif lebih terjangkau dibanding salon spa wanita yang lain. Salon ini terletak di sebuah komplek perumahan. Di salon spa ini, hanya dengan 100 ribu rupiah aja, kita bisa menikmati tiga dari beberapa pilihan layanan yang mereka tawarkan. Ada pijat, lulur tradisional, totok wajah, body mask, creambath, dan masker wajah. Hanya aja yang disayangkan, lokasi salon itu cukup jauh dari rumahku sehingga ongkos untuk pergi kesana cukup mahal. Agak berat sebenarnya. Haha.. Derita orang yang nggak bisa bawa kendaraan sendiri ya begini nih. Namun untuk kali ini aku mengesampingkan kendala perihal ongkos itu. Gapapa deh sekali-kali. Toh nggak ada salahnya memanjakan diri sebelum berubah status, pikirku.


Sebelumnya aku melakukan reservasi dulu via WhatsApp. Aku minta pelayanan jam satu siang. Aku mengambil sebuah paket treatment khusus calon pengantin yang terdiri dari lulur, pijat, sauna, body mask, ratus V, dan mandi susu. Semua itu aku dapatkan dengan tarif dua ratus lima puluh ribu rupiah, belum termasuk panties atau celana dalam sekali pakai karena hari itu aku nggak membawa celana dalam ganti (maklum, kan baru pertama kali).

Begitu masuk ke area salon, suara lantunan ayat suci Al-Qur'an dari speaker langsung memanjakan pendengaran. Aku tiba tepat waktu. Setelah melakukan konfirmasi pesanan pada Resepsionis, aku diminta menunggu sebentar (sambil ngelus-ngelus kucing peliharaan Owner) sementara Mbak Terapis mempersiapkan ruangan dan perlengkapan terapinya. Setelah itu aku dipanggil dan dipersilahkan untuk menaruh barang-barang bawaanku di loker, kecuali hape. Kemudian Mbak Terapis membimbingku masuk ke sebuah ruangan dengan dua ranjang pijat yang disekat oleh gorden. Ruangan itu cukup nyaman dengan pencahayaan kuning redup dan pendingin ruangan. Nggak ada suara bising yang terdengar. Hanya suara pendingin ruangan dan lantunan murottal yang terdengar sayup-sayup di ruangan itu. Mbak Terapis pun meninggalkanku sebentar untuk mengganti pakaianku dengan sehelai kemben dan panties yang sudah ia siapkan. Aku terdiam sejenak. Entah kenapa saat itu aku bingung. Wkwk. Karena bingung ini sepertinya aku memakan waktu cukup lama hanya untuk berganti pakaian, karena si Mbak Terapis bertanya, "Sudah selesai, Mbak?" sebanyak tiga kali 🤣

Setelah aku selesai berganti pakaian dan menaruh pakaianku di hanger dan lemari penyimpanan barang (yang ternyata memiliki fungsi ganda sebagai pintu geser menuju toilet), Mbak Terapis pun mulai melayaniku. Ia melumuriku dengan body scrub, kemudian memijatku dengan pijatan yang nggak terlalu kuat, tapi juga nggak terlalu lembut. Sambil memijatku, ia mengajakku mengobrol ringan, mungkin maksudnya biar suasana nggak terlalu canggung gitu. Namun karena aku nggak pandai bicara (dan karena nggak berminat untuk mengobrol juga sih), aku pun hanya menjawab seperlunya, tapi bukan dalam artian menjawab ketus lho ya.

Setelah selesai memijatku, Mbak Terapis membimbingku keluar ruang pijat dan mempersilahkan aku untuk masuk ke ruang sauna berbentuk kubus berukuran 1x1 meter yang seluruh dinding dan langit-langitnya terbuat dari kayu, begitu juga dengan pintunya yang memiliki jendela kaca kecil berbentuk persegi. Aroma kayu lembab menguar di dalam ruangan itu. Disana aku duduk sendiri, merasakan suhu ruangan yang berangsur-angsur semakin hangat.

Beberapa lama kemudian, Mbak Terapis kembali membimbingku masuk ke ruangan pertama dan lanjut memberiku pelayanan body mask dan ratus V. FYI, ratus V adalah perawatan tradisional yang dilakukan dengan penguapan atau pengasapan rempah pada organ intim wanita. Pada praktiknya, Mbak Terapis mempersilahkan aku untuk duduk di kursi khusus yang dibawahnya sudah dipersiapkan bakaran rempah. Sekitar lima belas menit kemudian, aku diminta membasuh organ intimku, lalu kembali masuk ke ruang sauna, dan kemudian menikmati pelayanan terakhir dari paket perawatanku hari itu, yakni mandi susu.
 

 
 
Sementara Mbak Terapis menyiapkan wedang jahe hangat untuk kunikmati setelah mandi. Rasanya nyaman dan rileks sekali ketika kubenamkan tubuhku ke dalam bath-tub yang sudah terisi air hangat dengan milk bath dan bunga-bunga. Aku jadi berandai-andai jika aku bisa menikmati semua ini seminggu sekali. Huhu.. 😌


NEXT : Chapter IV - Menghitung Hari
0 komentar

CHAPTER II : Skenario Tuhan

 How I Met Him

"Wuih, suka Paramore ya?" tegurnya waktu itu. Saat itu merupakan hari pertamaku mengikuti les vokal di sebuah Lembaga Pendidikan dan Keterampilan dalam bidang musik (yang juga memperjualbelikan berbagai alat-alat musik) di kotaku. Kebetulan ia adalah karyawan disana. Ia menegurku saat dirinya melihat logo band Paramore di hoodie yang kukenakan hari itu. Setelah itu terjadilah perbincangan antara kami. Ia bercerita bahwa bandnya cukup sering membawakan lagu-lagu mereka.
"Kapan-kapan kita coba kolaborasi deh ya", katanya. Kami pun bertukar nomor kontak. Namun 'pertemanan' kami rupanya hanya sekedar lewat. Seiring berakhirnya masa les vokalku (yang sangat singkat karena berlangsung hanya tiga hari), berakhirlah pula pertemanan kami, karena beberapa hari setelah aku berhenti les, sepertinya ia menghapus nomorku (karena status WhatsApp-nya nggak pernah muncul lagi). Kami bahkan sama sekali nggak pernah chatting. Wkwkwk.

Namun sepertinya, kata-katanya yang tampak hanya sekedar basa-basi itu didengar Tuhan. Setengah tahun setelah itu, Tuhan mempertemukan kami kembali secara nggak sengaja. Satu hari sebelum hari ulang tahunku yang keseperempat abad, seseorang mengirimiku direct message melalui Instagram. Ia menuturkan bahwa bandnya tengah mencari vokalis baru, dan bermaksud mengajakku untuk bergabung. Sebelum menyetujui ajakannya, terlebih dahulu aku mencari tau mengenai band ini. Ketika itulah aku terkejut, mengetahui bahwa Mas adalah salah satu personilnya.

Kalo kamu berpikir apakah hal ini di-setting, atau mungkin Mas sendiri yang meminta temannya untuk mengirimiku direct message itu, jawabannya adalah enggak, karena pada pertemuan pertamaku dengan para personil band tersebut, Mas sendiri lupa bahwa kami pernah bertemu dan pernah ngobrol sebelumnya (iya, dia memang sedikit pelupa. hahaha..). Atau mungkin benar, pertemuan kami memang di-setting. Tuhan lah yang men-setting itu semua.


How We Started

Awalnya kami memang nggak lebih dari rekan satu band. Namun diantara para personil, dia adalah yang paling perhatian. Aku seperti menemukan sosok abang dalam dirinya. Iya, kuakui, hubungan yang berawal dari kakak-adikan ini memang sangat klise. Kami cukup sering mengobrol di telepon, membicarakan hal-hal yang sebenarnya nggak penting. Karena aku bukan tipe pencerita, maka aku yang paling sering mendengar cerita-ceritanya; tentang teman-temannya, tentang bandnya, tentang mantan-mantannya, terkadang ia iseng memintaku memperkenalkan dirinya pada teman perempuanku yang single.

Aku pernah memperkenalkannya pada salah satu temanku yang saat itu tengah mengalami sulit move on. Namun perkenalan mereka nggak berlanjut karena ditentang oleh keluarga temanku yang nggak berkenan apabila dirinya dekat lawan jenis yang bertitle 'anak band'.

Singkat cerita, pada Oktober 2019, ia datang ke rumah. Rasanya lucu melihat dirinya yang biasanya tampil cuek dengan kaos dan ripped jeans, hari itu mengenakan kemeja biru rapi, karena tujuan utamanya hari itu memang bukan untuk menemuiku melainkan menemui bapak dan ibu untuk mengutarakan niatnya menjalin hubungan serius denganku. Jujur, sebagai seorang perempuan, aku sangat kagum dan terharu, karena selama dua puluh lima tahun aku hidup, dialah orang pertama yang berani menghadap orangtuaku untuk melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki sejati. Tapi ironisnya persepsi negatif terhadap 'anak band' ini ternyata juga dimiliki oleh orangtuaku. Padahal anak perempuan mereka yang satu ini pun mulai berkecimpung dalam dunia anak band pula. Well, sebagai orangtua, mereka tentu menginginkan seorang menantu laki-laki yang lebih baik dari anak perempuannya, seorang menantu yang kelak mampu menjadi imam yang baik bagi anaknya. Jadi tanpa kusebutkan pun, sepertinya Teman-teman Pembaca bisa menerka lah ya apa respon orangtuaku saat itu. Namun apa yang terjadi sejak hari itu nggak lantas membuat kami menjaga jarak. Hampir setiap pulang mengajar les musik di akhir pekan, ia mengunjungiku ke rumah. Intinya, kami masih keep in touch, meski pada akhirnya di awal tahun 2020, jarak diantara kami perlahan-lahan tercipta.

Our Decision

Selama kami menjaga jarak satu sama lain, aku sempat dekat dengan dua orang laki-laki yang kebetulan keduanya merupakan teman satu kantor. Satu orang merupakan karyawan senior yang tahun 2016 lalu pernah mencoba mendekatiku dan kali ini mencoba mendekatiku lagi; sedangkan yang satunya lagi merupakan karyawan baru yang mengingatkanku pada tokoh Dilan karena dirinya memiliki sisi manis dan puitis tapi juga agak rebel. Begitu juga dengan Mas Agus yang sempat dekat dengan beberapa orang perempuan. Namun masing-masing dari kami nggak pernah memulai hubungan baru dengan siapapun dari mereka karena nggak menemukan kecocokan. Kecuali antara aku dan 'Si Dilan' yang kusebutkan tadi, karena menurutku sebenarnya dia sangat boyfriend material. Hanya aja aku memiliki alasan tersendiri mengapa aku nggak memutuskan untuk menjadikannya pasangan :)

Pada Agustus 2020, Mas kembali menghubungiku (setelah sebelumnya ia sempat memblokir nomor kontakku). Hari itu bertepatan dengan hari ulangtahunnya, dan untuk kedua dan terakhir kalinya ia 'memintaku'.
"Saya pingin (menjalin hubungan) serius sama kamu. Niat saya baik. Sekali lagi, terakhir kalinya, pikirkan ini dengan matang, yakinin ibu ya," katanya waktu itu.

Kalimat itu terus berputar-putar di kepalaku. Dalam setiap doaku, aku terus meminta agar Tuhan membimbingku untuk membuat keputusan terbaik. Aku juga mencoba berbincang dan meminta saran dari orangtuaku. Hingga pada akhirnya ibuku berkata, "Kalo sampai sekarang dia masih 'meminta' Teteh, insya Allah berarti dia benar-benar sayang sama Teteh. Bismillah, semoga dia memang jodoh yang baik buat Teteh".

Ya, dengan kata lain, orangtuaku merestui aku dengan Mas.

Hari itu hari Jum'at, hari yang kupercaya sebagai hari terbaik dari semua hari. Dengan mantap, aku menyampaikan berita itu padanya, dan ia sangat, sangat, sangat bahagia.
"Besok ulangtahun mama. Ini jadi hadiah ulangtahun terbaik buat mama," katanya. Aku terharu.


Dan dimulailah persiapan-menjelang-sepasang kami yang bagai permen Nano-Nano. Hal-hal menyenangkan, menggelikan, mengesalkan, dan menyesalkan, semua kami rasakan selama mempersiapkan pernikahan kami yang kelak akan menjadi momen yang selalu kami ingat dan sesekali kami bahas dalam perbincangan ringan.

NEXT : Chapter III - Menjelang Sepasang

1 komentar

CHAPTER I : The Beginning

Beberapa tahun silam, tepat di hari dimana aku memasuki usia kepala dua, aku pernah memposting tulisan yang mengutarakan kebimbanganku untuk menikah dan membangun rumah tangga seperti perempuan-perempuan seusiaku. Maka ketika perempuan-perempuan seusiaku sudah mulai atau bahkan beberapa kali menjalin hubungan dengan lawan jenis, aku justru menikmati menjadi seorang quirky alone selama bertahun-tahun. Aku cukup bahagia hanya dengan perasaan suka terhadap lawan jenis tanpa harus menjalani hubungan asmara yang belum tentu membuatku bahagia. Aku selalu dihantui oleh kisah kehidupan rumit dunia pernikahan yang kulihat di program televisi dan kudengar dari orang-orang di sekitarku. Perselingkuhan, perceraian, suami toxic, mertua galak, saudara ipar jahat..

Karenanya aku selalu berusaha menghindari topik-topik berbau masalah rumah tangga seperti itu, khususnya tayangan-tayangan drama televisi yang seringkali menyisipkan konflik rumah tangga yang terlalu berlebihan.

Aku pernah berpikir, jika suatu saat aku menikah, aku hanya ingin menikah dengan si Pretty Boy. Iya, kakak kelas yang pernah kuceritakan dalam postinganku tahun 2016 silam ini : Klik disini untuk melihat postingan. Karena di mataku, ia seperti sesosok manusia tanpa cela. Namun takdir tetaplah takdir. Bukan namaku yang tertulis di Lauhul Mahfudz untuknya. Nyatanya Tuhan menyandingkan ia dengan sosok yang juga sempurna. Hingga beberapa tahun kemudian, Tuhan mempertemukan aku dengan dia, Agus Mulyana Putra Setiawan. Sebuah pertemuan yang nggak pernah kusangka akan mengantar kami berdua pada titik ini, dimana kami membuat keputusan terbesar dalam hidup kami. Keputusan untuk melakukan perjalanan sekaligus ibadah terpanjang dalam hidup kami.



Ya, yang akan kutulis ini adalah sebuah kisah yang cukup panjang, karenanya aku membagi tulisanku ini kedalam beberapa bagian agar nggak terlalu panjang dan membingungkan. 

 

Klik untuk membaca :
Chapter II
Chapter III
Chapter IV
Chapter V

Total Tayangan Halaman

 
;