Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu,
itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Cinta memang tidak perlu
ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita. Terima kasih. Nasihat lama itu
benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku
akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi. Masa lalu. Rasa sakit. Masa
depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka
biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.
Aaargh.. I really thank to Bang Darwis ‘Tere Liye’ for writing this super-awesome book!
Sebuah kisah
yang benar-benar menggugah. Ini bukan pertama kalinya aku terkesan dengan karya
Tere Liye. Dari sepuluh buku tulisan Tere Liye yang aku punya sebelumnya, yakni
Rindu, Hujan, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Daun Yang Jatuh Tak Pernah
Membenci Angin, Pulang, Negeri Para Bedebah, Serial Bumi (Bumi, Bulan,
Matahari, Bintang), aku suka semuanya. Dan sejauh ini, buku inilah yang entah
kenapa aku rasa paling mengena. I dunno..
Mungkin karena belakangan ini perasaanku sedang melankolis. Mood swing selama dua pekan terakhir.
Dan aku bersyukur buku ini aku baca di saat yang tepat—padahal belinya tahun
lalu. Well, rasanya seperti oase di
tengah gurun.
***
Kisah
berawal ketika Thompson & Co., sebuah firma hukum di Belgrave Square,
London, menerima kabar dari sebuah panti jompo di Paris, bahwa salah satu
kliennya meninggal dunia. Tak tanggung-tanggung, sang klien yang meninggal di
usia tujuh puluh tahun itu meninggalkan harta warisan sebesar satu miliar
poundsterling, atau setara sembilan belas triliun rupiah. Namun Sri Ningsih,
nama klien tersebut nggak meninggalkan surat wasiat sebelum meninggal, kecuali
selembar surat keterangan yang menerangkan jika sang klien adalah pemilik sah
1% surat saham di perusahaan besar, dan amanat kepada firma hukum tersebut
untuk menyelesaikan masalah harta warisannya dengan seadil-adilnya sesuai hukum
yang berlaku.
Adalah Zaman
Zulkarnaen, seorang pengacara muda dari firma hukum tersebut yang ditugaskan
untuk mengusut kasus itu (dengan alasan karena sama-sama orang Indonesia).
Dengan penuh tanggung jawab, Zaman menelusuri latar belakang dan perjalanan
hidup Sri demi mencari siapa pewaris yang berhak atas harta kliennya tersebut.
Dari penelusurannya, terkuaklah pahit getir hidup yang dijalani Sri selama
puluhan tahun.
Sejak lahir,
Sri tinggal di sebuah rumah panggung di Pulau Bungin, Sumbawa, bersama ayahnya
yang berprofesi sebagai seorang nelayan besar. Ibu kandungnya meninggal, sesaat
setelah melahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sang ayah menikah lagi dengan
seorang kembang desa di pulau itu. Awalnya segalanya berjalan baik dan indah,
sampai pada suatu hari, takdir merenggut kebahagiaan mereka. Ayah Sri meninggal
saat berlayar. Ibu tiri Sri yang sangat terpukul dengan kepergian suaminya
perlahan-lahan berubah tabiatnya. Ia yang awalnya sangat menyayangi Sri seperti
anak kandungnya sendiri, berubah menjadi membencinya. Tanpa belas kasihan, ia
menyuruh Sri mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ia bahkan tega menyebut Sri
dengan sebutan ‘anak kecil yang dikutuk’. Namun Sri selalu menerima segala
perlakuan dan nasib buruknya itu dengan hati lapang. Ia bahkan sama sekali
nggak membenci ibu tirinya, padahal usianya masih delapan tahun saat itu.
Di usia
empat belas tahun, Sri meninggalkan Pulau Bungin untuk mengenyam pendidikan madrasah
di Surakarta, Jawa Tengah. Selama empat tahun, Sri menjalani kehidupannya
sebagai seorang pelajar di madrasah itu, hingga akhirnya ia lulus dan diangkat
menjadi guru pengajar. Namun kesabarannya kembali diuji ketika salah seorang
sahabat tega mengkhianatinya.
Di usia ke
dua puluh satu tahun, Sri merantau ke ibu kota, Jakarta. Memulai hidup baru.
Dengan gigih ia mencari pekerjaan disana, kemudian mengumpulkan modal dan mulai
membangun bisnis. Mulai dari berjualan nasi goreng, bakso, mie ayam, hingga
berjualan sayur keliling dengan gerobak. Sukses mengumpulkan uang dengan
berdagang, Sri berubah haluan menjadi pengusaha rental mobil. Namun sayangnya,
sebuah insiden memaksa Sri untuk memulai semuanya dari awal. Setelah insiden
itu, Sri bekerja sebagai seorang pengawas pabrik di sebuah pabrik sabun cuci.
Di tahun ketiga, Sri berhenti dari pekerjaannya dan kembali memulai bisnis
sendiri dengan membangun pabrik sabun mandi. Namun entah kenapa, di puncak
karier bisnisnya, Sri justru memilih pergi meninggalkan Indonesia dan memulai
kehidupannya lagi dari nol di London. Ia tinggal di sebuah apartemen sederhana,
menjalani hidup sebagai seorang supir bus, dan menemukan cinta sejatinya
disana.
Well, aku sering menghindari hal-hal
berbau romantis dalam cerita. Tapi entah kenapa aku selalu suka bagian romantis
dari cerita yang ditulis Tere Liye. Manis, tapi nggak berlebihan. Aku terkesan
dengan kisah cinta antara Sri dan Hakan, lelaki asal Turki yang ia temui di
bus. Hakan yang tampan dan pemalu jatuh cinta dengan Sri yang digambarkan
bertubuh pendek, gempal, dan berkulit gelap. Setiap hari, Hakan selalu
menumpang bus yang dikemudikan Sri hanya demi mendapat kesempatan mengobrol
bersama Sri selama lima menit, meski Sri sendiri hanya menanggapinya dengan
kalimat-kalimat pendek. Karena sering bertemu, akhirnya Sri takluk. Saat itu
usianya sudah menginjak tiga puluh tujuh tahun, Sri pertama kalinya merasakan
jatuh cinta. Ia akhirnya menikah dengan Hakan. Namun kebahagiaan mereka
terenggut tatkala mereka harus kehilangan bayi mereka sebanyak dua kali. Hal
itu benar-benar membuat Sri terpukul. Ia benar-benar kehilangan separuh
semangat hidup. Namun Hakan berkomitmen penuh menemani istrinya melewati fase
itu, selalu ada di sampingnya apapun yang terjadi.
“Kamu tahu, Sri.. Apa yang membuat
pernikahan orang tua dulu langgeng berpuluh-puluh tahun? Karena mereka jatuh
cinta setiap hari pada orang yang sama. Itulah yang terjadi. Maka, kesedihan
apapun, ujian seberat apapun bisa dilewati dengan baik. Aku berjanji, Sri. Aku
akan membuatmu jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi padaku. Agar aku bisa
menyaksikan Sri yang selalu riang. Sri yang selalu sederhana menatap kehidupan
ini”. (hal. 385)
Di usia pernikahan
mereka yang ketiga belas tahun, Hakan meninggal dunia. Sri kembali banyak
merenung, memikirkan betapa banyak pengorbanan yang dulu dilakukan suaminya,
sejak PDKT hingga akhir hayatnya.
“Kamu tahu, Sri, kenapa aku baru menikah di
usia tiga puluh sembilan tahun?” Hakan bertanya pelan.
“Karena kamu laki-laki yang pemalu”, Sri
menjawab.
“Bukan, Sri.” Hakan menggeleng, “Melainkan
agar kita bisa bertemu dan menikah.”
***
Seriously, I was crying again and again!
Nggak bermaksud berlebihan, tapi setiap lembar buku ini benar-benar
mengesankan. Seperti biasanya, Tere Liye mampu menggambarkan sesuatu secara
detail, mampu membawa pembaca seakan benar-benar ada disitu, menyaksikan
seluruh kejadian yang ada dalam cerita. Dan hampir setiap episode dalam hidup
Sri benar-benar mengaduk-aduk perasaan. Saat ia digambarkan bersedih, pembaca
ikut merana. Saat ia bersuka cita, pembaca ikut bahagia. Saat ia jatuh cinta,
pembaca pun ikut kasmaran. Really, I feel
that! Dan kisah asmara antara Sri dan Hakan ini mengingatkanku pada
sesuatu.
Someone used to ask me a question, “Mana
yang akan kamu pilih : Ditinggalkan oleh seseorang yang kamu sayang (dalam
artian pasangan) karena suatu hal? Atau ditinggalkan karena seseorang yang kamu
sayang itu meninggal dunia?”
Waktu itu
aku memilih pilihan jawaban yang kedua, dengan alasan bahwa aku nggak mau
melihat orang yang aku sayangi dimiliki oleh orang lain, dan rasanya tentu
sangat menyakitkan ketika kita ditinggalkan seseorang karena orang itu udah
nggak sayang lagi, bosan, atau menemukan seseorang yang lebih menarik dari
kita. Sekarang aku memiliki alasan lain kenapa aku memilih pilihan jawaban yang
kedua. Karena meski rasa sakit karena ditinggalkan itu tetap dan tentu saja
ada, tapi seenggaknya kita tau bahwa orang yang kita sayangi itu pun juga
menyayangi kita hingga hembusan napas terakhirnya. That’s it :)
Anyway, aku nggak mau spoiler tentang
kisah perjalanan hidup Sri Ningsih secara detail, atau kepada siapa harta Sri
itu diwariskan, dan bagaimana ending
ceritanya. You should read this if you
wanna know how powerful this book is. Intinya, lewat novel ini, Tere Liye
ingin mengajarkan pembacanya tentang kesabaran tanpa batas melalui sosok Sri
Ningsih yang begitu tegar menjalani kisah hidupnya yang begitu pelik.
***
Ibu, Bapak, bagaimana agar kita bisa
berdamai dengan begitu banyak kejadian menyakitkan? Bagaimana jika semua hal
menyesakkan itu ibarat hujand deras di tengah lapangan, kita harus melewati
lapangan menuju tempat berteduh di seberang, dan setiap tetes air hujan laksana
setiap hal menyakitkan dalam hidup? Bagaimana agar Sri bisa tiba di tempat
tujuan tanpa terkena satu tetes airnya? Sri sekarang tahu jawabannya. Yaitu
justru dengan lompatlah ke tengah hujan, biarkan seluruh tubuh kuyup. Menarilah
bersama setiap tetesnya, tarian penerimaan, jangan pernah dilawan, karena
sia-sia saja, kita pasti basah. Di sini, di kota dengan Menara Eiffel yang
indah dipandang mata, Sungai Seine mengalir elok. Di sini, di jantung peradaban
budaya dunia, terima kasih telah mengajariku tentang hakikat kehidupan. Sri
akan memeluk semua rasa sakit. Dulu. Sekarang. Esok lusa hingga kita bertemu
lagi. (hal. 457)
0 komentar:
Posting Komentar