Selasa, 05 Juni 2018

BUKU : Tentang Kamu by Tere Liye

Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu, itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita. Terima kasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi. Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.




Aaargh.. I really thank to Bang Darwis ‘Tere Liye’ for writing this super-awesome book!
Sebuah kisah yang benar-benar menggugah. Ini bukan pertama kalinya aku terkesan dengan karya Tere Liye. Dari sepuluh buku tulisan Tere Liye yang aku punya sebelumnya, yakni Rindu, Hujan, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Pulang, Negeri Para Bedebah, Serial Bumi (Bumi, Bulan, Matahari, Bintang), aku suka semuanya. Dan sejauh ini, buku inilah yang entah kenapa aku rasa paling mengena. I dunno.. Mungkin karena belakangan ini perasaanku sedang melankolis. Mood swing selama dua pekan terakhir. Dan aku bersyukur buku ini aku baca di saat yang tepat—padahal belinya tahun lalu. Well, rasanya seperti oase di tengah gurun.

***

Kisah berawal ketika Thompson & Co., sebuah firma hukum di Belgrave Square, London, menerima kabar dari sebuah panti jompo di Paris, bahwa salah satu kliennya meninggal dunia. Tak tanggung-tanggung, sang klien yang meninggal di usia tujuh puluh tahun itu meninggalkan harta warisan sebesar satu miliar poundsterling, atau setara sembilan belas triliun rupiah. Namun Sri Ningsih, nama klien tersebut nggak meninggalkan surat wasiat sebelum meninggal, kecuali selembar surat keterangan yang menerangkan jika sang klien adalah pemilik sah 1% surat saham di perusahaan besar, dan amanat kepada firma hukum tersebut untuk menyelesaikan masalah harta warisannya dengan seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.

Adalah Zaman Zulkarnaen, seorang pengacara muda dari firma hukum tersebut yang ditugaskan untuk mengusut kasus itu (dengan alasan karena sama-sama orang Indonesia). Dengan penuh tanggung jawab, Zaman menelusuri latar belakang dan perjalanan hidup Sri demi mencari siapa pewaris yang berhak atas harta kliennya tersebut. Dari penelusurannya, terkuaklah pahit getir hidup yang dijalani Sri selama puluhan tahun.

Sejak lahir, Sri tinggal di sebuah rumah panggung di Pulau Bungin, Sumbawa, bersama ayahnya yang berprofesi sebagai seorang nelayan besar. Ibu kandungnya meninggal, sesaat setelah melahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sang ayah menikah lagi dengan seorang kembang desa di pulau itu. Awalnya segalanya berjalan baik dan indah, sampai pada suatu hari, takdir merenggut kebahagiaan mereka. Ayah Sri meninggal saat berlayar. Ibu tiri Sri yang sangat terpukul dengan kepergian suaminya perlahan-lahan berubah tabiatnya. Ia yang awalnya sangat menyayangi Sri seperti anak kandungnya sendiri, berubah menjadi membencinya. Tanpa belas kasihan, ia menyuruh Sri mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ia bahkan tega menyebut Sri dengan sebutan ‘anak kecil yang dikutuk’. Namun Sri selalu menerima segala perlakuan dan nasib buruknya itu dengan hati lapang. Ia bahkan sama sekali nggak membenci ibu tirinya, padahal usianya masih delapan tahun saat itu.

Di usia empat belas tahun, Sri meninggalkan Pulau Bungin untuk mengenyam pendidikan madrasah di Surakarta, Jawa Tengah. Selama empat tahun, Sri menjalani kehidupannya sebagai seorang pelajar di madrasah itu, hingga akhirnya ia lulus dan diangkat menjadi guru pengajar. Namun kesabarannya kembali diuji ketika salah seorang sahabat tega mengkhianatinya.

Di usia ke dua puluh satu tahun, Sri merantau ke ibu kota, Jakarta. Memulai hidup baru. Dengan gigih ia mencari pekerjaan disana, kemudian mengumpulkan modal dan mulai membangun bisnis. Mulai dari berjualan nasi goreng, bakso, mie ayam, hingga berjualan sayur keliling dengan gerobak. Sukses mengumpulkan uang dengan berdagang, Sri berubah haluan menjadi pengusaha rental mobil. Namun sayangnya, sebuah insiden memaksa Sri untuk memulai semuanya dari awal. Setelah insiden itu, Sri bekerja sebagai seorang pengawas pabrik di sebuah pabrik sabun cuci. Di tahun ketiga, Sri berhenti dari pekerjaannya dan kembali memulai bisnis sendiri dengan membangun pabrik sabun mandi. Namun entah kenapa, di puncak karier bisnisnya, Sri justru memilih pergi meninggalkan Indonesia dan memulai kehidupannya lagi dari nol di London. Ia tinggal di sebuah apartemen sederhana, menjalani hidup sebagai seorang supir bus, dan menemukan cinta sejatinya disana.

Well, aku sering menghindari hal-hal berbau romantis dalam cerita. Tapi entah kenapa aku selalu suka bagian romantis dari cerita yang ditulis Tere Liye. Manis, tapi nggak berlebihan. Aku terkesan dengan kisah cinta antara Sri dan Hakan, lelaki asal Turki yang ia temui di bus. Hakan yang tampan dan pemalu jatuh cinta dengan Sri yang digambarkan bertubuh pendek, gempal, dan berkulit gelap. Setiap hari, Hakan selalu menumpang bus yang dikemudikan Sri hanya demi mendapat kesempatan mengobrol bersama Sri selama lima menit, meski Sri sendiri hanya menanggapinya dengan kalimat-kalimat pendek. Karena sering bertemu, akhirnya Sri takluk. Saat itu usianya sudah menginjak tiga puluh tujuh tahun, Sri pertama kalinya merasakan jatuh cinta. Ia akhirnya menikah dengan Hakan. Namun kebahagiaan mereka terenggut tatkala mereka harus kehilangan bayi mereka sebanyak dua kali. Hal itu benar-benar membuat Sri terpukul. Ia benar-benar kehilangan separuh semangat hidup. Namun Hakan berkomitmen penuh menemani istrinya melewati fase itu, selalu ada di sampingnya apapun yang terjadi.

“Kamu tahu, Sri.. Apa yang membuat pernikahan orang tua dulu langgeng berpuluh-puluh tahun? Karena mereka jatuh cinta setiap hari pada orang yang sama. Itulah yang terjadi. Maka, kesedihan apapun, ujian seberat apapun bisa dilewati dengan baik. Aku berjanji, Sri. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi padaku. Agar aku bisa menyaksikan Sri yang selalu riang. Sri yang selalu sederhana menatap kehidupan ini”. (hal. 385)

Di usia pernikahan mereka yang ketiga belas tahun, Hakan meninggal dunia. Sri kembali banyak merenung, memikirkan betapa banyak pengorbanan yang dulu dilakukan suaminya, sejak PDKT hingga akhir hayatnya.

“Kamu tahu, Sri, kenapa aku baru menikah di usia tiga puluh sembilan tahun?” Hakan bertanya pelan.
“Karena kamu laki-laki yang pemalu”, Sri menjawab.
“Bukan, Sri.” Hakan menggeleng, “Melainkan agar kita bisa bertemu dan menikah.”

***

Seriously, I was crying again and again! Nggak bermaksud berlebihan, tapi setiap lembar buku ini benar-benar mengesankan. Seperti biasanya, Tere Liye mampu menggambarkan sesuatu secara detail, mampu membawa pembaca seakan benar-benar ada disitu, menyaksikan seluruh kejadian yang ada dalam cerita. Dan hampir setiap episode dalam hidup Sri benar-benar mengaduk-aduk perasaan. Saat ia digambarkan bersedih, pembaca ikut merana. Saat ia bersuka cita, pembaca ikut bahagia. Saat ia jatuh cinta, pembaca pun ikut kasmaran. Really, I feel that! Dan kisah asmara antara Sri dan Hakan ini mengingatkanku pada sesuatu.

Someone used to ask me a question, “Mana yang akan kamu pilih : Ditinggalkan oleh seseorang yang kamu sayang (dalam artian pasangan) karena suatu hal? Atau ditinggalkan karena seseorang yang kamu sayang itu meninggal dunia?”
Waktu itu aku memilih pilihan jawaban yang kedua, dengan alasan bahwa aku nggak mau melihat orang yang aku sayangi dimiliki oleh orang lain, dan rasanya tentu sangat menyakitkan ketika kita ditinggalkan seseorang karena orang itu udah nggak sayang lagi, bosan, atau menemukan seseorang yang lebih menarik dari kita. Sekarang aku memiliki alasan lain kenapa aku memilih pilihan jawaban yang kedua. Karena meski rasa sakit karena ditinggalkan itu tetap dan tentu saja ada, tapi seenggaknya kita tau bahwa orang yang kita sayangi itu pun juga menyayangi kita hingga hembusan napas terakhirnya. That’s it :)

Anyway, aku nggak mau spoiler tentang kisah perjalanan hidup Sri Ningsih secara detail, atau kepada siapa harta Sri itu diwariskan, dan bagaimana ending ceritanya. You should read this if you wanna know how powerful this book is. Intinya, lewat novel ini, Tere Liye ingin mengajarkan pembacanya tentang kesabaran tanpa batas melalui sosok Sri Ningsih yang begitu tegar menjalani kisah hidupnya yang begitu pelik.

***

Ibu, Bapak, bagaimana agar kita bisa berdamai dengan begitu banyak kejadian menyakitkan? Bagaimana jika semua hal menyesakkan itu ibarat hujand deras di tengah lapangan, kita harus melewati lapangan menuju tempat berteduh di seberang, dan setiap tetes air hujan laksana setiap hal menyakitkan dalam hidup? Bagaimana agar Sri bisa tiba di tempat tujuan tanpa terkena satu tetes airnya? Sri sekarang tahu jawabannya. Yaitu justru dengan lompatlah ke tengah hujan, biarkan seluruh tubuh kuyup. Menarilah bersama setiap tetesnya, tarian penerimaan, jangan pernah dilawan, karena sia-sia saja, kita pasti basah. Di sini, di kota dengan Menara Eiffel yang indah dipandang mata, Sungai Seine mengalir elok. Di sini, di jantung peradaban budaya dunia, terima kasih telah mengajariku tentang hakikat kehidupan. Sri akan memeluk semua rasa sakit. Dulu. Sekarang. Esok lusa hingga kita bertemu lagi. (hal. 457)

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;