Minggu, 03 Juni 2018

Writing is..


Apa sih menulis itu?

Sebagai seorang Blogger, salah satu penulis favoritku, Raditya Dika mengungkapkan bahwa menulis merupakan pelampiasan hidup sehari-harinya yang biasa aja. Bagiku, menulis adalah salah satu cara untuk bertahan hidup. Kenapa?

Well, menurutku, di dunia ini nggak ada satupun orang yang mampu memendam unek-unek sendirian. Mereka pasti butuh seseorang atau sesuatu untuk menumpahkan semua itu. Bisa dibayangkan nggak sih, gimana rasanya punya masalah atau unek-unek yang menumpuk di pikiran dan nggak terlampiaskan? Pasti rasanya stres dan nyesek banget, bahkan bisa berujung depresi atau bahkan bunuh diri.

Aku hobi menulis diary sejak kelas tiga SD. Waktu itu aku terinspirasi dari sebuah cerita dalam buku kumpulan cerpen yang aku baca tentang seorang gadis yang gemar menulis buku harian. Sejak saat itu, aku tuliskan cerita sehari-hariku dalam sebuah buku. Semuanya. Bahkan meskipun hari itu nggak ada sesuatu yang menarik untuk kuceritakan pun tetap aku tulis :

‘Hai, Diary. Hari ini nggak ada cerita menarik. Maaf ya. Semoga besok ada cerita yang menyenangkan. Dadah..’

Menggelikan juga kalo aku baca ulang. Hahaha.. Iya, semua buku harian yang kutulis masih tersimpan sampai sekarang.

Tiga tahun setelah itu, aku mengalami hari-hari berat di sekolah. Hampir setiap hari, sampai aku lulus SD. Dan ironisnya, setelah lulus SD keadaan nggak kunjung membaik. Hal yang sama aku alami di kelas satu SMP, dan baru berakhir ketika aku naik kelas dua dan pindah kelas. Ketika itulah aku merasa betapa buku harian sangat berperan untuk menumpahkan segala perasaan. Aku yang dulu rata-rata menghabiskan setengah sampai satu halaman buku untuk menuliskan cerita sehari-hariku, tapi sejak keadaan menjadi sulit, aku bisa menuliskannya berlembar-lembar. Aku bukannya nggak butuh orang lain untuk curhat. Aku pernah melakukannya pada salah satu orang yang paling kupercaya. Tapi yang terjadi kemudian adalah cerita itu sampai pada orang ketiga dan berujung aku diolok-olok. Dengan kata lain, semakin memperburuk keadaan.

Sejak saat itu aku jadi canggung untuk menceritakan masalahku pada orang lain. Aku bersyukur karena aku hidup di era millenial dimana internet berperan sangat besar. Media sosial menjamur, orang-orang bebas berekspresi di dunia maya. Menurutku, berkeluh kesah di media sosial itu sah-sah aja, selama itu nggak terlalu berlebihan dan nggak mengumbar aib. Karena seperti kataku tadi, setiap orang butuh menumpahkan unek-unek. Dan kalo mereka nggak punya seseorang yang bisa diajak curhat, media sosial bisa menjadi wadah. Tapi bukan berarti melupakan Tuhan lho ya. Tuhan tetap menjadi pusat bagi siapapun yang beragama untuk berkeluh kesah. Dia pendengar dan pemberi solusi yang terbaik dibanding siapapun. Aku pribadi sering kok curhat sama Tuhan. Tapi entah kenapa rasanya kurang lega aja gitu kalo belum menumpahkannya kedalam sebuah tulisan. Maka kuputuskanlah untuk membuat blog.

Anyway, aku punya dua blog yang berisi curhatan dan catatan harian. Yang pertama adalah blog dengan catatan random, yang sedang kamu baca sekarang, yang dibuat delapan tahun lalu, tepat setelah aku berhenti menggunakan buku harian untuk menulis diary. Yang kedua adalah blog dengan curhatan yang lebih bersifat pribadi. Siapapun nggak akan menemukan namaku disana. Dengan begitu aku bisa lebih bebas menumpahkan unek-unek tanpa harus merasa khawatir dihakimi apalagi diolok-olok. You know, nggak ada siapapun yang benar-benar bisa mengerti dirimu, kecuali Tuhan dan dirimu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;