Sabtu, 30 Juni 2018

#24 : Sebuah Renungan


Aku pernah berpikir, untuk apa aku diciptakan. Aku pernah berpikir, untuk apa aku hidup. Aku sering bertanya-tanya, kenapa hidupku terkadang seperti lelucon. Aku sering bertanya-tanya, kenapa hidupku nggak sebahagia orang lain.

Dalam sebuah buku pendidikan agama, dijelaskan bahwa setiap makhluk diciptakan semata-mata dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhan. Aku pernah berpikir, kenapa aku nggak ditakdirkan mati sesaat setelah dilahirkan saja? Kenapa Tuhan panjangkan umurku?

Aku pernah berada di titik dimana aku muak dengan hidupku dan diriku sendiri. Aku pernah berpikir, apakah hidup ini adil? Apa salahku, sehingga orang lain bisa dengan sangat mudah melukai?

Belasan tahun lalu.. Ah, aku nggak akan lupa masa itu. Sebuah masa yang aku rasa paling berat dalam dua puluh empat tahun perjalanan hidupku, ketika sebagian teman-teman satu kelas berubah membenciku tanpa alasan. Could you imagine how it feels when ppl around suddenly hate you but you don’t even know your mistake? Dan yang lebih menyakitkan adalah bahwa semua itu bermula dari teman dekatmu sendiri. That’s what happened to me. Aku masih ingat bagaimana sakitnya dijadikan bulan-bulanan setiap hari, difitnah, disakiti baik secara fisik maupun mental, and nobody helped.

Apa salahku? Pernah aku menyakiti mereka? Pernah?
Mereka jahat padaku. Pernahkah aku balas? Pernah?

Dulu, saat pertama kali berita penyalahgunaan formalin pada makanan merebak, aku ingatkan mereka agar berhati-hati dalam memilih makanan. Aku tuliskan pesanku di atas kertas, aku bagikan pada mereka, karena apa? Karena aku peduli. Tapi respon mereka justru buruk sekali. Mereka menudingku sok tau, dan menyerangku habis-habisan.

Saat bagian dari mereka dimusuhi teman-teman satu gengnya, mereka datang padaku. Apakah aku menolak dan ikut memusuhi mereka? Enggak. Aku terima mereka, dengan harapan hubungan pertemanan kami kembali membaik hingga seterusnya. Tapi yang terjadi justru mereka kembali memusuhiku setelah mereka kembali bergabung dengan teman-teman satu gengnya.

Waktu itu bisa aja aku balas perlakuan mereka semua. Aku memang nggak bisa berlaku kasar, seperti yang mereka lakukan. Bisa aja aku membalas dendam dengan memberi mereka jawaban-jawaban salah saat mereka menanyakan jawaban untuk soal-soal Ujian Nasional, membiarkan mereka mendapat rapor dengan nilai merah, atau bahkan nggak lulus sekalian. Biar mereka tau diri. Apakah kulakukan? Enggak. Tapi apakah sikap mereka padaku lantas berubah setelah itu? Enggak juga. Aku bahkan masih ingat kata-kata yang mereka ucapkan di hari perpisahan sekolah :
“NAJIS KAMU!”

Jadi jangan heran kenapa aku tumbuh sebagai sosok pendiam dan tertutup. You know the answer.

Aku pernah merasa sangat terpuruk. Merasa nggak ada seorangpun yang menyukaiku. Merasa nggak ada seorangpun yang tulus berteman denganku. Pernah kukayuh sepedaku melawan arah di kelokan tajam jalan Diponegoro, berharap ada kendaraan lain yang melaju kencang dari arah berlawanan, lantas menghantam sepedaku, dan Tuhan mencabut nyawaku saat itu juga.

Tapi seketika itu pula aku tersadar bahwa apa yang kulakukan benar-benar salah. Aku sadar bahwa kalaupun aku mati saat itu karena kecelakaan, tapi di hatiku udah terukir niat untuk mencelakai diri sendiri, dengan kata lain itu sama aja bunuh diri, dan orang yang bunuh diri nggak akan diberi kesempatan mencium bau surga. Tuhan masih sayang aku. Setitik iman di hatiku menyelamatkanku.

Tuhan sayang aku. Kalo nggak sayang, mungkin Dia udah membiarkan aku mati dihantam reruntuhan atap kamarku yang ambruk beberapa tahun silam, atau bahkan membuatku cacat karenanya. Waktu itu aku baru pulang sekolah dan menemukan pintu rumah dikunci dari luar. Nggak ada seorangpun di rumah saat itu, dan aku lupa nggak bawa kunci sehingga nggak bisa masuk, membuatku terpaksa menunggu di luar. Ketika itulah aku mendengar suara benda jatuh sangat keras dari dalam rumah. Kuintip jendela ruang tengah yang terbuka. Nggak ada yang aneh, kecuali kamarku yang aku lihat tampak terang benderang dari lubang ventilasinya. Aku nggak bisa mengintip ke dalam kamar karena jendelanya ditutup. Jadi kuputuskan untuk menunggu, sampai akhirnya ibu datang. Kami langsung mengecek keadaan kamarku, dan benar aja, reruntuhan bata, kayu, dan genteng berceceran di atas lantai dan tempat tidurku. Aku bergidik. Kebiasaanku sepulang sekolah nggak lain adalah masuk kamar dan berbaring di kasur. Kalo bukan karena nggak ada orang di rumah, dan kalo bukan karena aku lupa bawa kunci, maka sangat mungkin kalo aku jadi korban reruntuhan itu. Aku bersyukur pada Tuhan, Dia masih melindungiku.

Tuhan sayang aku. Kalo bukan karena sifat pendiamku, aku mungkin udah terjerumus kedalam pergaulan yang salah, seperti kebanyakan remaja di daerah tempatku tinggal. Perempuan dan laki-laki berbaur, berdekatan tanpa rasa malu, nongkrong sampai malam di luar rumah. Na’udzubillahimindzalik. Nggak terbayang betapa malunya ibu dan bapak kalo itu sampai terjadi.

Aku yakin Tuhan sayang aku dengan cara-Nya. Semua hal buruk yang terjadi padaku mungkin terjadi karena Tuhan ingin aku menjadi pribadi yang tahan banting dan nggak cengeng, meski aku sadar, hatiku masih rapuh.

Aku yakin Tuhan sayang aku dengan cara-Nya. Aku sering meminta banyak hal, bahkan nggak jarang hingga menangis tersedu dihadapan-Nya, namun nggak kunjung Ia kabulkan. Ia justru membalas pintaku dengan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang kuinginkan. Aku sering bertanya-tanya, kenapa Tuhan seolah senang mengerjaiku? Tapi kini aku sadar bahwa memang begitu cara kerja Tuhan. Apa yang menurutku baik, belum tentu baik di mata Tuhan. Ia lebih tau apa yang baik bagi hamba-Nya. Seharusnya aku nggak meragukan skenario-Nya. Bukankah dulu Tuhan pernah menunjukkan skenario terbaik-Nya, ketika pertemuan-pertemuan tak terduga terjadi berulang kali diantara aku dan kakak kelas yang pernah aku taksir selama beberapa tahun. Meski ternyata dia bukan orang yang ditakdirkan untuk jadi life partner-ku di masa depan, tapi aku nggak menyesal pernah memendam rasa sama dia selama bertahun-tahun. I feel enough just by loving him silently. Itu adalah skenario terindah yang pernah Tuhan tulis dalam dua puluh empat tahun aku hidup.

Seharusnya aku nggak berprasangka buruk pada Tuhan. Aku sering iri dengan kehidupan orang lain yang aku rasa begitu bahagia. Tapi suatu hari seorang teman pernah bilang padaku, “Banyak orang di luar sana yang juga iri sama kamu”. Aku rasa dia benar. Aku mungkin iri dengan mereka yang hidup kaya raya, berpenampilan menarik, pandai berkomunikasi, dan punya banyak teman. Tapi aku lupa dengan mereka yang ada di bawahku. Aku nggak kaya raya, tapi kebutuhan hidupku tercukupi, sedangkan di luar sana masih banyak yang bahkan nggak mampu beli makanan meski hanya satu kali sehari. Aku mungkin bertubuh pendek dan nggak cantik, tapi tubuhku berfungsi sempurna, sementara di luar sana masih banyak orang-orang yang difabel dan berkebutuhan khusus. Aku memang nggak cukup pandai berkomunikasi, tapi aku bisa berkomunikasi secara langsung tanpa harus dengan bantuan alat atau bahasa isyarat. Aku juga punya sedikit teman, dan orangnya itu-itu aja, tapi mereka tulus menerima kurang dan lebihku, dan yang terpenting aku nggak sebatang kara. Lagipula mereka yang aku lihat bahagia belum tentu sebahagia yang terlihat kan? Mereka yang kaya raya mungkin aja sebenarnya kesepian, atau mungkin memiliki masalah hidup yang pelik. Seperti halnya salah satu vokalis favoritku, Chester Bennington. Ia kaya raya dan punya banyak penggemar. Tapi ironisnya ia justru merasa nggak bahagia dan memutuskan bunuh diri, padahal profesinya sendiri adalah sebagai seorang entertainer, penghibur, bikin orang bahagia. That’s it.

Seharusnya aku nggak berprasangka buruk pada Tuhan. Aku sering merasa bahwa aku udah cukup sering bersabar atas segala hal buruk yang menimpaku, tapi aku nggak kunjung menuai buah manis dari kesabaran yang Tuhan janjikan. Kini aku sadar bahwa mungkin aku belum mengiringi kesabaranku dengan rasa ikhlas. Selain itu, mungkin Tuhan ingin agar aku terus mendekatkan diri pada-Nya.

Sebagaimana sebuah ayat yang disebut berulang kali dalam Surat Ar-Rahman, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Aku seharusnya berterima kasih atas nikmat hidup yang Tuhan beri. Aku sadar aku nggak cukup baik. Aku takut dengan kematian. Seharusnya aku berterima kasih karena Tuhan masih memberiku nafas hingga hari ini, detik ini. Karena dengan begitu aku bisa berkesempatan untuk merubah diri menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Ia juga belum bosan mengingatkanku jika aku khilaf. Kurang sayang apa Tuhan padaku? Harusnya aku sadar itu.

This year must be one of the best years in my 20’s years life. I’m happy too much, hurt too much, cry too much, think too much, and learn too much. Hari ini aku berjanji, bahwa aku akan lebih menghargai hidupku dengan banyak bersyukur dan berprasangka baik pada Tuhan, karena aku percaya, Tuhan menyayangiku dengan cara-Nya :)

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 
;