Selasa, 21 Desember 2021 0 komentar

Menghadiri Kelas Ibu Hamil di Puskesmas

Hari ini aku diundang untuk mengikuti Kelas Ibu Hamil di Puskesmas Kejaksan. Karena diselenggarakan secara gratis, tentunya aku nggak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Sebelumnya aku meminta ijin atasanku untuk terlambat ngantor karena acara itu digelar jam setengah sembilan pagi.
"Setelah acara selesai, saya langsung ke kantor, Pak", begitu isi pesan WhatsApp yang kukirimkan pada beliau.

Singkat cerita, aku dan ibu tiba di Puskesmas. Acara itu digelar di lantai dua, di sebuah ruang rapat. Kami tiba sekitar dua puluh menit lebih lambat dari jadwal, namun ruangan itu tampak sepi. Hanya ada satu peserta kelas yang tengah berpangku tangan di salah satu meja peserta paling depan dan satu staf Puskesmas yang tengah mempersiapkan bahan persentasi. Staf itu langsung mengenali ibuku. Kebetulan ibu memang Kader Posyandu, jadi tentunya sudah kenal dan cukup sering berinteraksi dengan para staf di sana. 

Di ruangan itu, ada enam meja panjang dan delapan belas kursi yang disediakan untuk peserta. Meja-meja dan kursi-kursi itu diatur menjadi dua baris. Aku mengambil tempat duduk di meja peserta paling depan di sebelah kiri ruangan. Entah berapa orang sebenarnya yang diundang untuk menghadiri kelas tersebut karena nggak semua kursi peserta terisi. Mungkin karena cuaca mendung, jadi banyak yang lebih memilih untuk diam di rumah kali yah.

Topik yang dibahas pada kelas ini adalah mengenai kondisi stunting pada anak, pentingnya pemberian ASI, dan 1000 hari pertama kehidupan yang disampaikan oleh tiga orang pembicara. Pembicara pertama sempat bertanya mengenai usia kehamilanku dan tampak kaget ketika aku bilang bahwa usia kandunganku sudah 34 minggu. Katanya aku nggak tampak seperti ibu hamil. Ia pun memintaku untuk berdiri, dan ketika itu lah ia melihat perutku yang besar. Well, beliau bukan orang pertama yang bilang begitu. Entah aku harus bersyukur atau bersedih dengan kondisi ini, karena ketika sebagian besar ibu hamil begitu mudah membuat tubuhnya lebih berisi, aku justru segini-segini aja :')

Sumber : Instagram @kejaksanpuskesmas

Di sela-sela pemberian materi, para peserta juga dipanggil satu persatu untuk mengukur lingkar lengan dan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan hemoglobin. Dan yah, bisa ditebak, ukuran lingkar lengan dan kadar hemoglobinku masih kurang. Padahal di pemeriksaan Hb yang pertama beberapa bulan lalu, kadar hemoglobinku dinyatakan cukup. Huhu..

Jumat, 19 November 2021 0 komentar

Hello, 3rd Trimester

Time is running so fast yah. Rasanya baru kemarin aku membangunkan Mas, mengabarinya bahwa ia akan segera jadi bapak, tiba-tiba sekarang kandunganku sudah memasuki bulan-bulan terakhir. Tendangan-tendangan dari dalam yang semula kecil kini semakin kuat kurasakan. Entah apa yang dilakukan Si Kecil di dalam sana. Berlatih drum mungkin. Sepertinya ia ingin menjadi penerus papanya. Ah, aku yakin kelak ia akan lebih keren dari papanya. Wong sekecil ini aja kurasa dia sudah mampu melakukan double pedal. Wkwkwk.

Jum'at, 05 November lalu, aku dan keluarga mengadakan syukuran kecil-kecilan. Nggak ada acara khusus. Kami hanya membuat bubur lolos, rujak serut, dan nasi kotak untuk dibagikan kepada saudara, tetangga, dan teman-teman. Rasanya senang, pagi-pagi rumahku sudah ramai dengan kehadiran nenek, bibi, sepupu, dan keponakan-keponakanku. Hari itu aku ngobrol-ngobrol dengan sepupuku, Gege, seputar kehamilan dan persiapan melahirkan, juga bermain-main dengan Naura dan Shanum. Naura ini sebenarnya anak ayah banget. Kemana-mana selalu menempel dengan ayahnya. Tapi karena hari itu ayahnya nggak ikut, kami jadi lebih mudah mendekatinya. Aku juga senang melihat Naura yang cepat akrab dengan Mas, juga Shanum yang tenang berada di gendongan Mas. Ah, tampaknya Masku sudah lebih siap menjadi orangtua ketimbang aku. Ia tampak menikmati momen-momen bersama Shanum, menggendongnya, membawanya ke halaman rumah untuk melihat burung-burung peliharaan bapak. Sementara aku, menggendong anak kecil aja belum berani. Huhu..

Pekerjaan kami baru selesai sekitar jam setengah lima sore. Aku sempat cemas, khawatir semuanya baru selesai menjelang waktu Magrib, karena aku sudah berniat untuk membawa rujak dan bubur lolos itu ke kantor untuk dibagikan kepada rekan-rekanku. Ditambah lagi, motor Mas sempat dipinjam oleh teman ibu. Namun syukurlah, waktunya masih keburu. Aku menitipkan kardus berisi rujak dan bubur itu pada Inggit dan meminta tolong padanya untuk dibagikan kepada orang-orang di kantor.

Jum'at, 12 November, aku dan Mas kembali mengunjungi tempat praktek dr. Wildan untuk kembali melakukan USG. Kali ini, Mas janjian dengan dua orang temannya untuk memeriksakan kandungan istri mereka bersama-sama. Wkwkwk. Yah, dengan begitu, kami jadi nggak begitu bosan menunggu. Mas menunggu di luar bersama Mas Ipank dan A Yogi. Sementara aku bersama Teh Indri dan Teh Nike menunggu giliran untuk dipanggil ke ruang dokter. 

Hari itu hasil pemeriksaan kandunganku sedikit mengkhawatirkan. Tekanan darahku masih rendah, berat bayiku kurang 100 gram, dan posisinya melintang ☹️ Dokter menyarankanku untuk melakukan 'sujud anti sungsang' setiap lima kali sehari agar posisi kepala bayiku berputar ke bawah. Dokter juga menyuruhku untuk terus menanamkan sugesti positif dan membuang pikiran-pikiran negatif dalam hal apapun. Ah, semoga semuanya akan baik-baik aja sampai waktu persalinan nanti. Aamiin.

Saat di-USG, bayiku tampak malu-malu. Ia terus menutup wajahnya dengan tangan. Ia sempat menguap, kemudian menutup sebagian wajahnya lagi. Ya ampun, gemas sekali.

Oh ya, kami juga menerima kabar baik. Teh Indri hamil. Ya, setelah awal Maret tahun lalu ia mengalami keguguran dan selama lebih dari satu tahun menantikan testpack-nya menunjukkan dua garis, akhirnya hari itu ia kembali dinyatakan hamil. Alhamdulillah. Namun hari itu kandungannya masih sangat muda, yakni enam minggu, sehingga ketika di USG yang terlihat baru kantungnya. Dokter menyarankannya untuk kembali melakukan pemeriksaan dua minggu kemudian. Aku dan Mas tentunya mengharapkan yang terbaik untuk teman kami ini.

Hari Minggunya, aku dan Mas melihat-lihat perlengkapan bayi di salah satu toko khusus perlengkapan ibu dan bayi di kota kami. Banyak yang bilang murah, tapi rupanya ketika kami lihat-lihat kesana, harganya lumayan juga. Lumayan mahal, maksudnya 😂 Memang persoalan harga itu relatif sih ya. Selain itu, aku juga merasa kurang nyaman karena selama berbelanja harus diawasi staf toko. Well, aku bukan tipe orang yang nyaman dilihatin selama melakukan suatu kegiatan, makanya aku suka agak malas kalo belanja di tempat yang stafnya selalu stand by mendampingi calon konsumen. Alhasil, setelah membeli beberapa perlengkapan bayi, aku dan Mas pun langsung ke luar dari tempat itu tanpa tertarik untuk melihat-lihat perlengkapan lainnya. "Beli di online shop aja ya, Mas", kataku. Mas pun mengiyakan.

Hmm.. sepertinya aku harus berusaha untuk lebih berhemat dengan mendahulukan hal-hal yang dibutuhkan dahulu ketimbang hal-hal yang diinginkan. Selama ini aku masih suka jajan, padahal kami harus menabung untuk membeli keperluan bayi. Aku juga perlu mencatat perlengkapan bayi apa aja yang perlu kubeli dan nggak perlu kubeli, karena tentunya sepupuku memiliki beberapa perlengkapan bayi yang bisa dilungsurkan padaku. Sayang juga kalo sudah beli berbagai macam perlengkapan bayi, namun akhirnya malah nggak terpakai. Apalagi mengingat harganya yang nggak murah. Huhu.. Semoga Tuhan senantiasa melancarkan rejeki kami. Aamiin.

Kamis, 11 November 2021 0 komentar

SQUID GAME : Ketika Crazy Rich Gabut

Aku tau, aku bisa dibilang telat nonton serial ini. Squid Game pernah menjadi Trending Topic di Twitter pada bulan September lalu. Pengguna Instagram pun banyak yang memposting foto atau video yang berkaitan dengan serial ini. Namun ketika itu aku belum tertarik buat menontonnya. Aku baru merasa tertarik ketika Pak Dedi, salah satu rekanku di tempat kerja, dengan antusias menceritakan betapa serunya film ini. Saking antusiasnya, ia sampai membeberkan plot twist-nya. 

Kesal sih karena sudah ada yang spoiler begitu, tapi aku tetap tergoda untuk menonton serial Netflix dengan episode sebanyak 9 episode ini. 

Squid Game atau Permainan Cumi-Cumi sejatinya merupakan salah satu permainan tradisional anak-anak Korea. Permainan ini dinamakan Permainan Cumi-Cumi karena arena permainan ini terdiri dari gambar bentuk geometris yang berbeda di atas tanah yang secara keseluruhan berbentuk seperti cumi-cumi. Dalam permainan ini, peserta dibagi menjadi penjaga dan penyerang. Cara bermainnya yakni penyerang harus masuk ke arena dan berlari melewati berbagai pertahanan yang ada, kemudian menginjak area kecil yang disebut kepala cumi-cumi. Sementara penjaga harus berusaha menghalangi si penyerang dan mendorongnya ke luar arena. Yah mirip-mirip gobak sodor gitu deh. Namun dalam serial ini, Squid Game nggak sesederhana itu, karena Squid Game yang diceritakan dalam serial ini adalah serangkaian permainan bertahan hidup yang dimainkan oleh sekumpulan orang yang disatukan dalam permainan ini karena latar belakang masalah yang sama, yakni masalah finansial.

 
 
SPOLER ALERT! Aku akan menceritakan sebagian besar cerita dalam series ini. Jangan diteruskan kalo kamu belum pernah menonton film ini, atau ceritanya jadi nggak greget lagi.

Pemeran utama dalam serial ini adalah Seong Gi-hun, seorang pria yang hobi menghambur-hamburkan uang dengan berjudi. Kebiasaan buruknya ini tentunya berimbas pada keluarga dan kondisi finansialnya. Istrinya menceraikannya, ibunya sakit diabetes dan nggak mampu berobat, dan dirinya terlilit utang ratusan juta won.

Suatu malam di stasiun, Gi-hun dihampiri seorang pria asing yang menawarinya untuk bertaruh dalam permainan Ddakji. Ada dua kartu dalam permainan ini, yakni kartu merah dan kartu biru. Kedua pemain harus memilih satu warna, kemudian masing-masing pemain harus melempar kartu mereka ke lantai untuk membalikkan kartu lawannya. Apabila pemain tersebut gagal membalikkan kartu lawan, maka pemain tersebut akan mendapatkan hukuman. Pria asing tersebut bertaruh, apabila salah satu dari mereka gagal membalik kartu lawan, maka pemain yang gagal tersebut harus memberikan uang sebesar 10 ribu won kepada lawannya sebagai hukuman. Apesnya, Gi-hun terus-terusan gagal membalik kartu lawannya, dan karena ia nggak memiliki uang, ia harus merelakan pipinya ditampar berkali-kali sebagai ganti uang taruhan. Hingga akhirnya, di percobaan yang kesekian kalinya, Gi-hun berhasil membalik kartu lawannya dan mendapatkan uang sebesar 10 ribu won itu. Tanpa diduga kemudian, sang pria asing menawarkan kesempatan untuk memainkan lebih banyak permainan dengan taruhan yang jauh lebih tinggi. Pria tersebut memberikannya secarik kartu dengan logo berbentuk geometris dan nomor telepon di baliknya.


Singkat cerita, Gi-hun menerima tawaran pria asing tersebut. Ia menghubungi nomor telepon yang tertera pada kartu. Dari percakapan di telepon itu, Gi-hun diminta datang ke suatu tempat hingga ada sebuah mobil yang menjemputnya. Begitu masuk ke mobil, Gi-hun dibius, pingsan, dan terbangun di sebuah asrama bersama 455 orang lainnya. Mereka nggak saling mengetahui nama para pemain, kecuali nomor yang tertera di baju mereka. Di asrama itu, Gi-hun yang merupakan Pemain Nomor 456 berkenalan dengan Pemain Nomor 001, yakni seorang pria tua bernama Oh Il-nam yang menderita tumor otak dan demensia. Ia juga bertemu dengan teman masa kecilnya, Cho Sang-woo, dan seorang gadis bernama Kang Sae-byeok yang mencopet uang yang Gi-hun dapatkan dari taruhan pacuan kuda.



Sekelompok prajurit bertopeng dengan jumpsuit merah menjelaskan bahwa mereka yang dikumpulkan di sana adalah orang-orang yang memiliki masalah finansial yang parah. Jika mereka berhasil memenangkan enam permainan dalam enam hari, maka mereka berhak memenangkan hadiah uang sebesar 45,6 milyar won. Namun sebelum itu, setiap pemain terlebih dahulu harus menandatangani Formulir Persetujuan Pemain yang terdiri dari tiga pasal : 1. Pemain tidak diperbolehkan berhenti bermain 2. Pemain yang menolak bermain akan dieliminasi 3. Permainan dapat dihentikan apabila mayoritas setuju. Setelah itu, permainan pun dimulai. Oh ya, seluruh kegiatan yang dilaksanakan di tempat itu diawasi oleh sesosok pria bertopeng hitam yang disebut Front Man.

https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/front-man-dan-penjaga-dalam-squid-game.jpg

Permainan pertama adalah Lampu Merah, Lampu Hijau.  Seluruh pemain dikumpulkan di sebuah lapangan dimana terdapat sebuah robot besar yang bertugas sebagai 'Penjaga'. Para pemain harus berjalan maju dan boleh bergerak selama Penjaga mengucapkan 'mogunghwa kkoci pieot seumnida'. Di luar itu, mereka harus diam mematung. Jika ada pergerakan yang terdeteksi, maka pemain akan dieliminasi. Sebaliknya, mereka yang nggak tertangkap dan mampu mencapai garis akhir dalam lima menit, maka mereka lolos dalam permainan ini. Terdengar mudah, memang. Ya, nggak ada satupun yang mengira bahwa yang dimaksud 'dieliminasi' dalam permainan ini adalah ditembak mati. Kepanikan mulai terjadi ketika satu-dua korban jatuh. Suasana menjadi sangat kacau ketika para pemain berlarian berusaha menyelamatkan diri, namun sia-sia karena gerakan mereka otomatis terdeteksi dan sebagian besar dari para pemain harus meregang nyawa. Berkat bantuan Sang-woo dan Pemain Nomor 199, Gi-hun berhasil lolos dari permainan babak pertama ini. 

Lebih dari setengah pemain terbunuh di babak pertama. Sebagian dari mereka yang selamat pun menuntut untuk dibebaskan. Maka dengan mengacu pada pasal ketiga yang terdapat pada Formulir Persetujuan Pemain, mereka pun melakukan voting. Sebagian besar dari mereka menginginkan untuk membatalkan permainan. Tuntutan mereka pun dikabulkan. Mereka berhasil pulang ke rumah masing-masing meski tanpa membawa hadiah apapun. 

Tapiiii rupanya para komplotan misterius itu nggak menyerah sampai disitu. Mereka kembali menyebarkan undangan permainan. Rencana mereka pun berhasil. Sebagian besar dari para pemain yang semula menuntut untuk membatalkan permainan justru kembali bergabung karena putus asa. Bagi mereka, kehidupan mereka di luar pun nggak jauh lebih baik. Begitu juga yang terjadi pada Gi-hun. Dirinya terlanjur menandatangani surat penyerahan organ tubuh kepada rentenir yang diutanginya, ia terancam terasing dari anak kandungnya sendiri, ditambah lagi penyakit ibunya yang semakin parah hingga kakinya terancam diamputasi. Gi-hun memutuskan kembali bermain. Baginya seenggaknya di sana ada harapan, daripada mati sia-sia di tangan rentenir. 

Di asrama, Gi-hun membentuk sebuah tim. Ada Sang-woo, teman masa kecilnya yang cerdas; Ali Abdul, Pemain Nomor 199 yang menyelamatkannya di permainan babak pertama; dan Il-nam, pria tua yang menjadi Pemain Nomor 001. Namun, di episode ke-3, aku mulai menyadari bahwa Sang-woo ini licik. Pada permainan Gulali dimana para pemain harus memotong permen dalgona sesuai bentuk yang mereka pilih sebelumnya, sebetulnya Sang-woo mengenali permainan itu, namun ia nggak memberitahukan hal itu pada rekan-rekan satu timnya. Ia memilih bentuk segitiga, yakni bentuk termudah di antara bentuk lainnya, dan membiarkan rekan-rekan timnya memilih bentuk yang lebih sulit.

https://lookingglass.montroseschool.org/wp-content/uploads/Dalgona-candy-article.png

Anyway, aku paling suka episode ke-6, karena episode ini yang menurutku paling emosional dimana para pemain menunjukkan sifat aslinya masing-masing. Kawan bisa jadi lawan. Di sisi lain, seseorang yang tampak nggak peduli justru menjadi penyelamatmu. 

Di episode ini, para pemain dipersilahkan memilih pasangan bermain untuk permainan keempat. Mereka yang berpikir bahwa permainan selanjutnya ini membutuhkan kerjasama tim pun memilih pasangan yang sekiranya akan menguntungkan. Mereka enggan memilih pasangan yang tampak lemah. Sang-woo menunjuk Ali sebagai pasangan bermainnya. Ia berpikir bahwa kercerdasan dirinya dan kekuatan tubuh Ali akan sangat menguntungkan mereka. Sementara Gi-hun yang awalnya ingin mengajak Sang-woo akhirnya memilih berpasangan dengan Il-nam, itu pun karena kasihan, khawatir si kakek tua ini nggak dapat pasangan dan akhirnya tereliminasi. 

https://asset.kompas.com/crops/zg2VfAxXiUGp05NTe0OtgcBJ9ks=/54x0:831x518/750x500/data/photo/2021/09/28/6152770640437.png

Namun rupanya dugaan mereka meleset. Alih-alih bermain sebagai tim, mereka justru harus bermain sebagai lawan dari pasangannya. Permainan yang akan mereka mainkan adalah kelereng. Mereka bebas menentukan bagaimana cara mereka memainkannya. Bisa dengan menebak jumlah kelereng di tangan adalah ganjil atau genap, memasukkan kelereng ke dalam lubang di tanah, melemparnya hingga mendekati dinding, dan cara-cara lainnya. Intinya, pemain yang berhasil memiliki seluruh kelereng milik lawannya, maka ia otomatis lolos dari babak ini. Sementara pemain yang kalah, tentu aja harus menerima headshot dari para prajurit Squid Game. 

Dalam permainan ini, semakin jelas kelicikan Sang-woo. Seharusnya Ali bisa menang darinya. Namun Sang-woo berusaha memanipulasi Ali, ditambah mengungkit-ngungkit kebaikan dirinya hingga Ali yang polos merasa berhutang budi dan nggak enak hati. Ia terlalu percaya pada Sang-woo yang ia anggap begitu baik, hingga ia nggak menyadari bahwa kantung kelerengnya diisi kerikil dan seluruh kelereng miliknya direbut oleh Sang-woo. Dan yah, bisa ditebak lah ya, apa yang terjadi selanjutnya.

Bagaimana dengan Gi-hun? Disini agak aneh sih, karena Gi-hun yang dari awal kita kenal baik pada orang lain dan gampang kasihan, justru tega memanfaatkan kekurangan lawannya. Mengetahui Il-nam menderita demensia, Gi-hun dapat dengan mudahnya memanipulasi pria tua itu. Hmm, mungkin dia berpikir bahwa dirinya lebih butuh hadiah uang itu kali ya karena toh pria tua itu pun bakal segera mati karena tumor otaknya. Menjelang akhir permainan, Il-nam sebenarnya menyadari bahwa Gi-hun sudah memanipulasinya. Tapi ia nggak marah. Ia memasukkan kelereng terakhirnya ke dalam genggaman Gi-hun seraya berkata, "Ini milikmu. Kita adalah gganbu, kau lupa? Kita sudah berjanji untuk menjadi gganbu bagi satu sama lain. Dan ketika menjadi gganbu, kita berbagi segalanya. Terima kasih. Berkat kau, aku bisa bersenang-senang". Menyentuh banget. Iya. But watch until the end of the series deh.

https://img-9gag-fun.9cache.com/photo/aAbW28d_460s.jpg

Dan yaaaaang paling menyesakkan adalah pasangan Sae-byeok dan Ji-yeong. Berbeda dengan para pemain lain yang langsung bermain ketika permainan dimulai, mereka justru menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk berbincang-bincang mengenai kehidupan masing-masing dan memutuskan untuk bermain di tiga menit terakhir. Awalnya mereka nggak saling kenal. Mereka memutuskan berpasangan karena sama-sama merasa bahwa nggak ada satupun pemain yang ingin berpasangan dengan mereka. Namun selama 27 menit perbincangan mereka, mereka mampu membentuk pertemanan singkat yang menyentuh. Di sini, mereka saling menceritakan kisah kelam masing-masing, juga apa yang akan mereka lakukan jika berhasil memenangkan hadiah uang dari Squid Game.
"Setelah kita keluar dari sini, aku akan mengajarkanmu bagaimana cara menghabiskan uang di Korea Selatan", kata Ji-yeong dengan berapi-api. "Mau ke Pulau Jeju bersama?" Tapi sedetik setelah mengucapkannya, ia sadar bahwa mereka nggak bisa keluar bersama dari permainan.

https://m.media-amazon.com/images/M/MV5BYTM4MWMyYzgtMzU2NC00YTYxLWIyZWMtY2ExZDA3OTU1N2MxXkEyXkFqcGdeQXVyMzQwMDU3NDA@._V1_.jpg

Di tiga menit terakhir permainan, sesuai perjanjian, Sae-byeok dan Ji-yeong pun mulai bermain. Aturan bermainnya sangat sederhana, siapapun yang berhasil melempar kelereng paling dekat dengan dinding, maka ia adalah pemenangnya. Sae-byeok mendapat kesempatan pertama untuk melempar kelereng, sementara Ji-yeong mendapat kesempatan setelahnya. Namun alih-alih melempar kelereng, Ji-yeong justru sengaja menjatuhkan kelerengnya. Ia sadar bahwa dirinya yang sebatangkara nggak memiliki apapun lagi untuk diperjuangkan. Ia membiarkan Sae-byeok memenangkan permainan itu.
"Aku tak punya apapun. Kau punya alasan untuk ke luar dari sini, tapi aku tak punya. Sejak kau bertanya, aku terus memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah ke luar dari sini. Meski kocoba memikirkannya, tak terpikir sama sekali. Orang yang memiliki alasan yang harus ke luar, seharusnya begitu. Kau harus meninggalkan tempat ini hidup-hidup, lalu bertemu ibumu, menjemput adikmu, dan pergi ke Pulau Jeju." Sumpah sih, ini heartbreaking banget :')
"Terima kasih sudah bermain bersamaku", ucap Ji-yeong sebelum timah panas menembus kepalanya. 

https://styleheavens.com/wp-content/uploads/2021/10/SQUID-GAME-DEATHS-FORESHADOW.jpg

Setelah permainan kelereng ini, banyak di antara para pemain yang merasa depresi atas kehilangan rekannya. Salah satunya adalah seorang pemain yang akhirnya memutuskan untuk gantung diri karena pasangan bermainnya dalam permainan kelereng adalah istrinya sendiri.

Singkat cerita, permainan kelima—Pijakan Kaca—menyisakan tiga orang pemain, yakni Gi-hun, Sang-woo, dan Sae-byeok. Namun di akhir babak ini, pinggang kiri Sae-byeok terluka parah akibat tertusuk pecahan kaca. Hal ini membuat dirinya begitu lemah di malam menjelang permainan babak terakhir. Gi-hun yang mengkhawatirkan kondisi Sae-byeok menghampirinya dan mengajak Sae-byeok untuk bersekutu melawan Sang-woo. Alih-alih mengiyakan, Sae-byeok justru meminta Gi-hun berjanji, bahwa siapapun di antara mereka yang berhasil memenangkan Squid Game harus menjaga keluarga dari yang gugur. Sebenarnya Gi-hun berniat untuk membunuh Sang-woo malam itu juga, namun niatnya itu dihentikan oleh Sae-byeok, karena menurutnya Gi-hun bukanlah seorang pembunuh yang tega melakukan hal itu. Sementara itu, luka di pinggang Sae-byeok semakin parah. Gi-hun yang melihat Sae-byeok sekarat pun panik dan menggedor-gedor pintu asrama untuk meminta bantuan. Pintu pun terbuka. Para Prajurit datang, namun bukan untuk memberi bantuan, melainkan membawa peti mati untuk jasad Sae-byeok. Malam itu, Sae-byeok akhirnya gugur, bukan karena lukanya, melainkan ditikam oleh Sang-woo.

Babak terakhir Squid Game menyisakan Gi-hun dan Sang-woo, dua orang yang berteman sejak kecil, namun akhirnya harus saling membunuh. Dalam pertarungan terakhir itu, Gi-hun berhasil melumpuhkan Sang-woo, namun enggan membunuhnya. Ia justru mengajak Sang-woo untuk membatalkan permainan. Namun Sang-woo malah menikam lehernya sendiri. Sebelum gugur, ia meminta Gi-hun untuk menjaga ibunya.

Gi-hun yang berhasil memenangkan Squid Game pun dikembalikan ke Seoul dengan membawa kartu ATM yang berfungsi untuk mengakses hadiah uang yang ia dapatkan. Namun sayang, sekembalinya ia ke rumah, ia mendapati ibunya telah meninggal.

Satu tahun lamanya, Gi-hun hidup dalam rasa trauma. Ia bahkan nggak menyentuh hadiah uang yang ia dapatkan dari Squid Game. Suatu hari, ia menerima sebuah undangan tanpa nama. Si pengirim undangan hanya menyebutkan bahwa dirinya adalah gganbu Gi-hun. Undangan itu mengantarkan Gi-hun pada sebuah apartemen mewah. Di sebuah kamar, sesosok pria tua terbaring. Betapa kagetnya Gi-hun ketika mengenali siapa pria tua itu. Iya, Oh Il-nam, kakek yang menjadi pasangan bermainnya dalam permainan kelereng.

Dari sinilah kebenaran terkuak, bahwa Oh Il-nam adalah dalang dari seluruh kegilaan Squid Game. Il-nam mengungkapkan bahwa dirinya menciptakan Squid Game sebagai sarana untuk menghibur diri sendiri dan orang-orang superkaya yang bosan karena terlalu banyak uang. WTF! Memang kamvret ini aki-aki gabut 😂

https://releasedate.news/wp-content/uploads/2021/09/Squid-Game-Season-1-Why-did-Oh-Il-Nam-create.jpg

Malam itu, Oh Il-nam meninggal dunia karena tumor otaknya. Setelah malam itu, Gi-hun merombak penampilannya, kemudian menjemput adik Sae-byeok dari panti asuhan dan menyerahkannya pada ibu Sang-woo untuk dirawat. Sebelum pergi, Gi-hun meninggalkan koper berisi sebagian uang yang ia dapatkan dari Squid Game.

Gi-hun pergi ke bandara untuk berhubungan kembali dengan putrinya di Amerika. Di sana, ia melihat pria asing yang dulu pernah mengajaknya untuk bergabung dengan Squid Game tengah bertaruh dalam permainan Ddakji dengan seorang pria lainnya. Setelah pria itu mendapatkan kartu undangan Squid Game, Gi-hun menghampiri pria itu dan merebut kartu itu darinya. Sebelum naik ke pesawat, Gi-hun menghubungi nomor yang tertera pada kartu itu dan memaksa si penerima telepon untuk memberitahunya tentang siapa yang kembali menjalankan Squid Game (karena Oh Il-nam kan sudah mati, harusnya permainannya sudah nggak ada lagi). Alih-alih menjawab, si penerima telepon malah meminta Gi-hun untuk segera naik ke pesawat, namun Gi-hun memilih untuk memutus sambungan telepon dan kembali ke bandara.

***

Seriouslyyy.. serial ini tuh seru dan membekas banget. Saking serunya, sembilan episode mampu aku habiskan dalam waktu dua hari. Menariknya lagi, serial ini memperkenalkan kita pada permainan tradisional anak-anak Korea yang ternyata nggak jauh berbeda dengan permainan tradisional kita.

Hanya aja, ada beberapa hal dalam serial ini yang mengganjal buatku. Aku heran, kenapa selama satu tahun setelah Gi-hun memenangkan Squid Game, ia nggak pernah memakai sepeser pun hadiah uangnya? Dan ia tetap hidup, meski dirinya tampak nggak terurus. Padahal di episode pertama diceritakan bahwa Gi-hun ini dikejar-kejar rentenir dan dipaksa menyerahkan organ tubuhnya apabila dirinya nggak mampu melunasi utang-utangnya. Kira-kira kemana rentenir yang kemarin mengejar-ngejar dia yah? 😅 Selama itu pula, ia nggak segera menepati janjinya untuk menjemput adik Sae-byeok dari panti asuhan dan menjaga ibunda Sang-woo. Padahal adik Sae-byeok sudah begitu depresi karena kakaknya hilang tanpa kabar.

Selain itu, aku juga menyayangkan detektif muda yang mati sia-sia setelah selama beberapa hari dirinya menjadi penyusup dan menyamar menjadi prajurit Squid Game demi mengungkap kebenaran tentang siapa dalang di balik permainan-permainan itu. Well, kalo aja detektif itu berhasil, Squid Game sepertinya nggak akan berlanjut setelah Il-nam, si kakek tua gabut itu meninggal. Aku kira sepertinya bakal ada Squid Game Season 2 sih. Mungkin Gi-hun akan menjadi the next Front Man di Squid Game berikutnya, who knows kan? Seperti halnya Haymitch dalam film Hunger Games yang menjadi mentor peserta karena pernah menjadi pemenang dalam Hunger Games sebelumnya. Entahlah, we will see :)

Jumat, 15 Oktober 2021 0 komentar

Pertama Kali USG 4D

Siapa sih orangtua yang nggak penasaran, akan mirip siapa anaknya kelak? Nggak heran kalo di jaman modern ini, banyak aplikasi yang menawarkan fitur memprediksi wajah bayi. Cukup dengan mengunggah foto kita dan pasangan, lalu VOILA! Hasil analisa dan prediksi wajah bayi kita pun akan muncul di layar.

Namun bagaimanapun, aplikasi seperti itu ditujukan hanya untuk seru-seruan semata, karena seperti yang kita tau, kemiripan wajah seseorang dipengaruhi oleh gen kedua orangtuanya dengan perhitungan yang sangat rumit. Ada yang gen ibunya lebih dominan sehingga si anak cenderung mirip ibunya, namun ada juga yang sebaliknya.

Masku pernah iseng menggunakan aplikasi serupa untuk memprediksi bagaimana wajah anak kami kelak. Dan terbukti, meski bentuk bibirnya mirip bibir Mas dan matanya mirip mataku, namun hasil prediksi wajah anak yang ditampilkan pada aplikasi tersebut jauh lebih terlihat seperti anak blasteran Asia Timur dan Western ketimbang anak keturunan kami. Wkwkwk.

Sore ini, untuk pertama kalinya aku mendapatkan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan USG 4D secara gratis dari dr. Wildan. Well, jadi ceritanya dokter kandungan kesayangan kami ini baru saja meresmikan tempat prakteknya yang mulai beroperasi pada hari Selasa lalu. Dan dalam rangka grand opening ini, beliau memberikan free biaya USG 4D bagi 20 orang setiap harinya selama satu minggu.

Mengetahui hal itu, tentunya aku dan Mas sangat antusias. Seperti calon orangtua pada umumnya, kami tentunya penasaran dengan wajah anak kami dan bagaimana kondisi fisiknya secara lebih jelas. Awalnya kami berencana melakukan pemeriksaan USG 4D saat usia kandunganku memasuki bulan ketujuh. Namun karena adanya pemeriksaan USG 4D gratis di minggu ini, kami tentunya nggak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.

Akhirnya, pada hari Senin, aku memutuskan untuk mendaftar melalui pesan WhatsApp. Yup, satu hari sebelum tempat praktek tersebut beroperasi. Setelah menunggu balasan dari staf dr. Wildan dengan was-was, aku kebagian jadwal periksa di hari Jumat ini. It meaaaaans, yang mendaftar tentunya sudah banyak banget. Huhu.. Untung masih kebagian 😂

Singkat cerita, aku dan Mas meminta ijin ke atasan kami masing-masing untuk pulang satu jam lebih awal dari berakhirnya jam kerja, yakni jam empat sore. Meski praktek dokter baru dimulai pukul lima, namun dengan datang lebih awal, kami berharap mendapat nomor antrian paling awal pula. Sesampainya di sana, rupanya sudah ada beberapa pasien yang duduk di ruang tunggu. Luar biasa memang antusiasme para pasien dr. Wildan ini. Wkwk

Pertama-tama, aku dipersilahkan untuk mendaftar ulang. Kemudian dua orang staf dr. Wildan yang bertugas di bagian pendaftaran itu menimbang berat badanku, memeriksa tekanan darahku, dan menanyakan keluhan yang kurasakan. Setelah itu, aku dipersilahkan untuk menunggu.

Aku mendapat nomor antrian ke-6. Giliranku bertepatan dengan masuknya waktu Magrib. Dokter Wildan meminta ijin sejenak untuk sholat Magrib dulu. Kurang dari sepuluh menit kemudian, beliau kembali ke Ruang Dokter dan melanjutkan prakteknya. 

Ruang praktek dr. Wildan nyaman sekali. Ruangannya cukup luas. Di sana ada dua sofa panjang, meja dokter, ranjang pasien, dan dua layar LED; yang satu menghadap ke arah sofa, yang satu lagi menghadap ke ranjang pasien. Dengan begitu, baik pasien ataupun pendampingnya bisa melihat gambar hasil pemindaian rahim dengan nyaman di tempatnya (nggak perlu nengok-nengokin kepala lagi).

Setelah menanyakan perihal keluhan-keluhan yang kurasakan, pemeriksaan USG pun dimulai. Jantungku berdebar-debar. Ah, sebentar lagi aku akan mengetahui seperti apa rupa bayiku. Namun ternyata, nggak mudah mencari wajah janin dengan angle yang pas. Tapi syukurlah, Si Dede nggak menutupi wajahnya, sehingga kami bisa menerka-nerka, akan mirip siapa ia nantinya. Hmm.. kalo melihat bentuk hidung, sepertinya hidungnya mirip dengan hidungku. Tapi secara keseluruhan, ia tampak mirip Mas waktu kecil dulu. Tapi kalo dilihat-lihat, ia juga tampak mirip dengan anaknya A Yogi, teman Mas. Nah lho? Wkwkwk..

Aah rasanya gemas melihat Si Dede yang aktif bergerak di dalam sana. Terkadang kepalanya menengadah, kadang bibirnya tampak tersenyum, bahkan ia sempat 'meledek' dokter. Posisinya menyamping, sehingga wajahnya kurang terlihat jelas. Saat dr. Wildan berkata, "Dek, ayo hadap sini", Si Dede tampak membuka mulutnya seperti tertawa, tapi tetap enggan berbalik 😂

Well, alhamdulillah, hasil pemeriksaan kandunganku baik. Hanya aja, tekanan darahku sangat rendah. Mungkin itulah yang menyebabkan aku pingsan di kantor kemarin. Oleh karena itu, dokter menyarankanku untuk bed rest selama dua hari di rumah. Ia membuatkanku surat agar perusahaan memberiku ijin untuk nggak ngantor. 

Setelah pemeriksaan, aku dan Mas ke luar dari ruang dokter dengan rasa cukup puas. Kami hanya diminta untuk membayar biaya administrasi sebesar sepuluh ribu rupiah, dan kami pun pulang dengan membawa satu lembar foto hasil pemindaian USG 4D tadi dan sebungkus kue donat. Hehe..

Keren memang dokter satu ini. Dengan biaya pemeriksaan yang hampir gratis pun, beliau tetap memberikan pelayanan yang sangat baik. Kalo begini kan, kami jadi enggan move on ke dokter lain :')

Rabu, 13 Oktober 2021 2 komentar

Fainted

Kata orang-orang, trimester kedua adalah fase paling nyaman dalam kehamilan, namun sepertinya hal ini nggak berlaku buatku. Pada trimester pertama, aku hanya merasakan mual saat mencium aroma-aroma tertentu. Namun menginjak trimester kedua, semakin banyak keluhan yang kurasakan. Migrain semakin sering muncul, punggung mulai terasa nyeri, sakit gigi seringkali menyerang. Aku yang berharap bisa menaikkan berat badanku justru masih kesulitan makan karena rasa nyeri yang luar biasa. Padahal rasanya aku pingin banget makan ini itu, terlebih martabak cokelat keju yang sudah cukup lama aku idam-idamkan. Tapi aku nggak mau mengambil resiko dengan nekat membeli dan memakannya. Kapok, karena pernah waktu itu aku kepingin banget makan kue cubit. Suatu hari, Mas membelikannya untukku dan aku memakannya dengan sukacita. Namun hanya dalam hitungan menit, sakit gigiku kambuh, dan aku nggak bisa tidur semalaman.

Selain itu, belakangan ini terkadang aku merasakan tiba-tiba badanku lemas dan pandangan mataku berkunang-kunang. Aku pernah menanyakan hal ini pada bidan Puskesmas, juga pada dokter kandunganku mengenai ada atau enggaknya masalah pada kandunganku. Namun keduanya sama-sama menyatakan bahwa kandunganku baik-baik aja. Tekanan darah dan kadar hemoglobinku pun juga normal. Aku rasa sepertinya hal ini berhubungan dengan sakit gigi atau migrain yang kurasakan, entahlah. Pasalnya, hal ini selalu aku rasakan ketika sakit gigi dan migrain tengah menyerang.

Pernah waktu itu aku diserang sakit gigi semalaman. Pagi harinya, sakit gigi itu mereda. Meski masih sedikit merasakan nyeri di gigi dan kepala sebelah kiri, aku memaksakan untuk tetap ngantor, karena aku rasa nyerinya sudah nggak begitu mengganggu. Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba aku merasakan energiku seperti tersedot dengan cepat. Badanku tiba-tiba melemas dan sekitarku seakan berputar. Aku yang saat itu dibonceng Mas bahkan kehilangan kekuatan hanya untuk sekedar berpegangan pada pinggang Mas. Tubuhku dengan pasrah bersandar di punggungnya. Untungnya aku nggak sampai hilang kesadaran. Hal itu nggak hanya terjadi satu kali, melainkan beberapa kali dalam beberapa hari belakangan ini. Tapi sejauh ini, hal itu sama sekali nggak menghalangiku untuk tetap beraktifitas.

Sampai akhirnya pada hari ini, hal itu terjadi lagi. Namun kali ini lebih parah. Seumur hidup, baru kali ini aku merasakan yang namanya pingsan. Astaga.
Well, hal ini bermula ketika malam tadi, sakit gigiku kambuh. Paginya, gigiku masih terasa nyeri, namun seperti biasa, aku memaksakan untuk ngantor meski Mas sudah memperingatkanku untuk istirahat dulu.

Waktu itu sekitar pukul setengah sepuluh, aku tengah duduk di belakang meja kerjaku. Aku baru aja membalas pesan WhatsApp Mas ketika tiba-tiba aku merasakan perutku mual dan mulas di waktu yang bersamaan disusul dengan rasa pusing yang teramat sangat. Aku memejamkan mata dan menutup wajahku dengan kedua tangan, berharap bisa mengusir rasa pusing itu. Namun rasa mual dan mulas yang semakin menjadi mendorongku bangkit untuk pergi ke toilet. Ketika membuka pintu ruangan, aku merasa sekelilingku berputar, aku berhenti sejenak, kemudian berjalan meski dengan terhuyung-huyung. Di depan ruanganku, aku berpapasan dengan Bu Yeyen.
"Mau kemana, Nok?" tanyanya. 'Nok' dalam bahasa Cirebon itu sama seperti panggilan 'Neng' dalam bahasa Sunda atau 'Nduk' dalam bahasa Jawa.
"Mau ke toilet, Bu", jawabku dengan lemas. Karena pusing yang semakin menjadi, kusandarkan kepalaku di bahunya.
"Kenapa? Pusing tah?" tanyanya lagi sambil merengkuh bahuku.
"Iya, Bu. Kayak berkunang-kunang gitu".

Setelah itu, aku merasa badanku meringan dan semuanya gelap. Aku bisa mendengar orang-orang di sekitarku berteriak, berkerumun, dan memanggil-manggil namaku.
"Putri, Putri.. Astaghfirulloh sadar, Nok. Putri.." panggil seorang wanita di sebelah kananku. Aku bisa mengenalinya. Itu suara Bu Mila. Juga teriakan seseorang yang meminta tolong untuk menelepon suamiku. Ada yang menyarankanku untuk dibawa ke Puskesmas. Ramai sekali. Namun entah kenapa aku nggak bisa membuka mataku, ataupun berkata-kata. 

Aku baru bisa membuka mataku ketika aku dibaringkan di sebuah sofa di showroom. Ada Bu Yeyen, Bu Mila, Pak Kusnama, Bu Lia, Bu Hani, Mas Febri, dan Inggit, juga Pak Wirja, Isnaeni, dan Bu Nur yang memijit-mijit kakiku. Jilbabku berantakan, bajuku basah dengan keringat dingin, dan hidungku bau minyak angin.
"Kenapa, Sayang?" tanya Bu Hani.
"Nggak tau, Bu", jawabku. Bu Lia menyodorkan teh manis hangat yang kusesap sedikit demi sedikit. Bu Yeyen menceritakan kronologi kejadian sebelumnya, ketika aku bilang bahwa ingin ke toilet, kemudian memeluknya karena pusing, dan akhirnya hilang kesadaran.

Sedangkan Bu Mila menceritakan betapa paniknya ia, karena mengira aku kesurupan. Wkwkwk. Menurut penuturannya, ketika pingsan tadi, wajahku benar-benar pucat seperti nggak dialiri darah. Ia juga sempat menekan jempolku, namun aku nggak merespon.

Kemudian setelah itu, mereka menyarankanku untuk membawa gunting kuku, pisau kecil, atau peniti yang disematkan di bajuku.
“Tau sendiri kan, Nok, penunggu di sini kayak gimana”.
Well, menurut kepercayaan masyarakat Jawa, benda-benda tajam itu bisa menangkal gangguan jin ataupun makhluk jahat, karena konon katanya ibu hamil itu ‘wangi’. Sebenarnya aku sudah tau dan sudah nggak heran dengan kepercayaan itu, karena memang nggak sedikit orang-orang di sekitarku yang menerapkannya. Namun karena aku nggak mempercayai hal itu (dan tau bahwa hal itu pun bertentangan dengan agamaku), aku nggak pernah menerapkannya. Aku percaya bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya pelindung.

Pak Teguh, atasanku menawarkan diri untuk mengantarku ke dokter atau pulang ke rumah, namun aku menolak. Aku memutuskan untuk menyelesaikan dulu laporan harianku, lalu pulang menjelang jam istirahat dengan dijemput Mas. Yup, benar sekali. Sampai di rumah, Mas ngomel-ngomel karena aku nggak menurutinya untuk istirahat di rumah. Wkwk. Maaf ya, Mas.

Ya Allah, jangan lagi-lagi pleeease. Apalagi sampai pingsan di kantor seperti itu. Malu banget, astaga, menyusahkan orang-orang dan membuat orang lain khawatir. Rencananya lusa nanti aku dan Mas akan memeriksakan kembali kandunganku pada Dokter Wildan. Semoga kondisi aku dan bayiku baik-baik aja.

Jumat, 03 September 2021 0 komentar

Sore ini aku kembali menjalani pemeriksaan USG. Ini ketiga kalinya aku menjalani pemeriksaan USG. Pemeriksaan pertama di akhir bulan Juni, pemeriksaan kedua di awal bulan Agustus. Pemeriksaan pertama dan kedua lalu, aku memeriksakannya ke klinik yang sama, namun dengan dokter yang berbeda.

Dokter yang pertama memeriksaku ramah sekali. Ia juga menjelaskan segalanya dengan detail dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan baik. Dokter Wildan, namanya. Namun sayang, di pemeriksaan kedua, beliau nggak bertugas di klinik itu lagi. Sebenarnya Dokter Wildan memiliki apotik dan tempat praktik di kawasan Drajat, nggak begitu jauh dari tempat tinggal aku dan Mas dulu. Namun karena tempat praktik itu baru aja berdiri, perizinannya belum selesai. Oleh karena itu, maka dokter yang menangani pemeriksaanku di klinik tersebut kali itu adalah dokter lain yang kurang detail menjelaskan dan kurang ramah. Aku menanyakan perihal penggunaan beberapa obat dan vitamin pada masa kehamilanku, namun ia menjawab dengan kata-kata yang kurang jelas yang membuatnya terkesan ragu dan malas melayani pasien. Alhasil aku dan Mas pulang dengan rasa kurang puas.

Kali ini, aku dan Mas memutuskan untuk memeriksakan kandunganku di rumah sakit tempat Dokter Wildan kini bertugas. Waktu itu sekitar jam setengah empat sore. Sesampainya di rumah sakit itu, kami langsung mengambil nomor antrian dan melakukan pendaftaran. Kami sempat kecewa karena rupanya pendaftaran untuk ke poli kandungan sudah ditutup karena hanya dibatasi sampai lima belas pasien. Namun syukurlah, Dokter Wildan mau berbaik hati menerima kami sebagai pasien terakhirnya hari ini. Huhu.. GBU, Dok.

Setelah mendaftar, aku menjalani pemeriksaan tekanan darah dan berat badan. Alhamdulillah tekanan darahku normal dan berat badanku naik tiga kilogram dari bulan lalu, padahal sebelumnya aku sudah pesimis berat badanku bakal stuck karena belakangan ini aku sedang agak susah makan karena sakit gigi yang menyerang setiap hari. Berdasarkan informasi yang kubaca dan kudapat dari orang-orang di sekitarku yang lebih berpengalaman, sakit gigi memang menjadi salah satu masalah pada ibu hamil. Hal ini terjadi karena peningkatan hormon selama kehamilan yang dapat meningkatkan resiko terbentuknya plak dan pembengkakan gusi. Ada juga yang menyebutkan bahwa hal ini bisa terjadi karena kekurangan kalsium selama kehamilan, sehingga janin 'mengambil' stok kalsium dari tubuh ibunya. Untuk pernyataan yang terakhir aku kurang yakin bahwa itu penyebabnya sih, karena aku yakin asupan kalsiumku cukup mengingat aku rajin minum susu dan suplemen kalsium setiap hari.

Well, back to the story. Setelah pemeriksaan tekanan darah dan berat badan, kami dipersilahkan menunggu. Karena praktik dokter baru saja dimulai dan kami mendapat nomor antrian terakhir, alhasil aku dan Mas harus menunggu lama. 

Lapar, ngantuk, dan BT, semuanya bercampur jadi satu. Berdasarkan keterangan rumah sakit, jadwal praktik dokter berlangsung sampai jam lima sore, namun kami yakin dengan jumlah pasien enam belas orang dan praktik dokter yang baru saja dimulai di jam setengah empat sore, praktik dokter nggak akan berakhir tepat sesuai jadwal. Alhasil aku yang belum sempat makan siang ditemani Mas pergi ke kantin sebentar untuk membeli mi instan cup. 

Singkat cerita, namaku baru dipanggil ke ruang dokter ketika menjelang waktu Isya, ketika Mas mulai misuh-misuh karena lapar. Wkwkwk.
Meski merupakan pasien terakhir (yang daftar dadakan ketika pendaftaran sudah ditutup), namun Dokter Wildan tetap menyambut kami dengan ramah dan bersemangat. Seperti biasa, aku ditanyai mengenai keluhan-keluhan yang kurasakan. Setelah itu beliau mempersilahkan aku untuk berbaring di ranjang pasien dan memulai pemeriksaannya.

"Wah.." gumam dokter ketika layar sudah menunjukkan sebuah citra. "Sudah kelihatan nih." Beliau menunjuk layar. Aku dan Mas memperhatikan, but we didn't have any idea mengenai apa yang dokter tunjuk itu.
"Bisa tebak jenis kelaminnya apa?" tanya dokter pada kami. Aku dan Mas hanya terdiam dengan diliputi rasa penasaran.
"Enggak, Dok".
"Masa nggak tau?"
Kemudian dokter mengetikkan satu kata dalam bahasa Inggris di layar tersebut yang menunjukkan prediksinya mengenai jenis kelamin bayi kami. Aku dan Mas langsung memekik senang ketika mengetahuinya. Senang karena prediksi dokter sesuai dengan harapan kami. Namun kami memutuskan untuk merahasiakannya dulu. Kami khawatir sudah sesumbar sana-sini bahwa jenis kelaminnya A, setelah lahir ternyata B. Kan namanya manusia, bisa saja salah prediksi kan?

Dokter juga menjelaskan bahwa air ketubanku cukup, bayi kami sehat, dan detak jantungnya normal. Hanya saja berat badannya kurang sedikit dari berat badan normal. Yah mungkin karena problem sakit gigi dan susah makan ini. Huhu.. Maafin Mama ya, Nak. Doakan agar sakit gigi ini nggak sering-sering kambuh lagi, biar Mama bisa makan banyak buat kamu :')

Saat ini kami hanya berharap, bayi kami tumbuh dengan sehat dan normal tanpa kekurangan satu apapun. Aamiin yaa robbal alamiin.

Minggu, 08 Agustus 2021 0 komentar

Pulang

Kurang lebih setengah tahun aku dan Mas tinggal mengontrak di sebuah rumah kecil di kawasan Drajat, hari ini kami pulang ke rumah orangtuaku di Kesenden. Bukan hanya untuk satu-dua hari seperti biasanya, tapi untuk beberapa tahun ke depan. Sebenarnya Mas sudah mengambil rumah di sebuah komplek perumahan di kawasan Mundu, namun kondisi saat ini nggak memungkinkan bagi kami untuk tinggal disana.

Mundu adalah salah satu kecamatan di kabupaten Cirebon. Jaraknya cukup jauh, baik dari tempat kerja maupun tempat tinggal kami saat ini. Belum lagi kondisi jalan menuju komplek perumahan yang nggak rata. Semua kondisi itu agaknya terlalu beresiko untuk ditempuh ibu hamil ataupun bayi yang masih rentan masuk angin jika dibawa bepergian. Well, aku memang memutuskan untuk tetap bekerja selama hamil dan setelah memiliki anak. Dan selama bekerja, untuk sementara kami akan menitipkannya pada orangtuaku. Kasihan kalo anak kecil kami ajak bolak-balik Mundu-Kesenden dan Kesenden-Mundu. Maka dari itu kami
—tentunya setelah berunding dengan orangtua—memutuskan untuk tinggal di rumah orangtuaku, seenggaknya sampai anak kami lahir dan kondisi fisiknya sudah memungkinkan untuk diajak bepergian.

Awalnya kukira kami baru akan pindah di pertengahan Agustus, namun Mas memutuskan untuk mempercepat kepindahan kami. Toh, barang-barang kami sudah rampung dikemas sejak beberapa hari lalu, tinggal mengemas barang-barang yang beberapa hari terakhir digunakan aja, seperti pakaian, peralatan makan, dan peralatan mandi. Barang-barang itu nantinya nggak semuanya dibawa ke rumah orangtuaku, melainkan dibagi dua. Sebagian dibawa ke rumah orangtuaku, sebagian lagi dibawa ke rumah di Mundu.

Sekitar jam sepuluh siang, beberapa orang tukang mulai mengangkut barang-barang kami ke atas mobil bak terbuka. Barang-barang yang dibawa ke rumah orangtuaku didahulukan untuk diangkut. Setelah beres, kami berangkat bersama-sama. Aku tentu aja dibonceng Mas.

Setelah menurunkan barang-barang itu di rumah orangtuaku (tepatnya di salah satu kamar kost milik orangtuaku yang kebetulan sedang kosong), mobil itu kembali ke Drajat untuk mengangkut barang-barang yang akan dibawa ke rumah di Mundu. Mas ikut dengan mereka, sementara aku tetap di rumah. 

Baru kali ini aku merasakan rasanya pindahan, ternyata repot banget yah. Bukan hanya repot dan capek mengemas, tapi juga repot dan capek menata kembali. Setibanya di rumah, kami bahkan nggak bisa langsung memasukkan pakaian kami ke dalam lemari. Lemari pakaianku penuh, apalagi jika ditambah pakaian Mas. Sepertinya mengeluarkan pakaian-pakaian yang sudah jarang kupakai pun masih belum cukup ruang. Sebenarnya Mas punya lemari plastik minimalis, namun lemari itu diangkut ke rumah di Mundu. Akhirnya kami memutuskan untuk menaruh sebagian pakaian kami di kardus dulu untuk sementara waktu. Biar nanti kalo ada waktu, Mas akan meminta tolong temannya untuk membantu membawa lemari itu ke rumah ini.

Meninggalkan rumah kontrakan di Drajat sebenarnya agak berat sih, karena aku sudah merasa cukup kerasan. Meski belum begitu mengenal tetangga-tetangga disana (karena aku memang jarang ke luar rumah), namun sebagai tukang jajan, senang rasanya karena selama tinggal disana, mau jajan apa aja dekat. Mau jajan es krim, tinggal pergi ke warung belakang rumah; mau jajan martabak, roti bakar, tahu tegal, atau cari jajan di Indomaret, tinggal jalan sebentar ke seberang jalan. Mau alpukat kocok atau berbagai minuman kekinian, tinggal motoran beberapa ratus meter ke pusat jajanan di kawasan Kesambi. Mau beli makan pun harganya murah-murah. Empat ribu rupiah kita sudah bisa dapat satu porsi docang, nasi uduk, atau nasi kuning. Hanya aja memang karena dekat dengan tukang jualan, pengeluaran kami jadi jauh lebih banyak. Wkwkwk.

Menetap di rumah orangtuaku tentunya membutuhkan waktu adaptasi yang nggak sebentar untuk Mas. Tapi Mas mengaku merasa lebih tenang jika kami tinggal disini ketimbang langsung menempati rumah di Mundu dan hanya berdua, karena selain alasan yang sudah kutulis di atas tadi, dengan tinggal bersama orangtua selama aku hamil, ibu jadi bisa memantauku. Mas juga jadi nggak perlu khawatir jika harus meninggalkanku apabila dirinya dapat job manggung malam atau hari libur.

Bismillah. Semoga dengan berkumpul kembali, keluarga kami semakin diberkahi kebahagiaan. Aamiin.

Rabu, 04 Agustus 2021 3 komentar

Hi, 2nd Trimester

Trimester pertama sudah berlalu. Aku cukup bersyukur karena selama trimester pertama kemarin, kandunganku bisa dibilang nggak rewel, karena meski tetap merasakan mual dan malas makan, namun aku nggak sampai mengalami muntah-muntah seperti yang kebanyakan dirasakan para bumil. Aku juga nggak banyak ngidam macam-macam, apalagi yang aneh-aneh seperti yang banyak dikeluhkan oleh rekan-rekanku di kantor yang berstatus sebagai calon bapak.

Namun beberapa minggu belakangan ini, aku mulai merasakan sakit kepala yang hebat setiap hari. Bukan sakit kepala biasa, melainkan migrain di bagian kepala sebelah kiri. Sebenarnya migrain bukanlah hal yang nggak biasa buatku. Sejak dulu, aku sudah terbiasa diserang migrain yang munculnya seperti terjadwal. Ia menyerang setiap hari, biasanya mulai dari jam sepuluh pagi, dan kemudian mereda dengan sendirinya sekitar jam dua belas siang atau bahkan lebih lama. Jika sudah begitu, aku hanya cukup tidur atau minum segelas kopi, lalu nyerinya perlahan-lahan hilang. Begitu terus setiap hari. Tapi migrain yang kurasakan kali ini benar-benar menyiksa, dan nggak bisa diredakan dengan tidur ataupun minum kopi. Berbaring justru membuat kepalaku semakin sakit, dan minum kopi sama sekali nggak membantu.

Kondisi seperti ini benar-benar membuatku bingung, apalagi mengingat bahwa seseorang yang sedang hamil disarankan untuk nggak mengkonsumsi obat karena khawatir membahayakan janin, apalagi pada usia kehamilan yang terbilang muda. Aku bertanya pada rekan-rekanku yang lebih dulu berpengalaman mengandung, rata-rata mereka pun nggak mengkonsumsi obat saat merasakan nyeri. Mereka memilih untuk mengoleskan minyak angin yang jauh lebih aman karena nggak dicerna dalam tubuh.

Rasanya tersiksa sekali. Sudah beberapa minggu ini tidurku terganggu karena saat malam nyerinya semakin menjadi. Aku juga merasa semakin bersalah karena nggak jarang Mas ikut terbangun di tengah tidurnya karena mendengar aku meringis, dan sudah beberapa minggu ini pula Mas melarangku untuk melakukan pekerjaan rumah dan membantunya mengepak barang (karena pertengahan Agustus ini kami akan pindah).

Dua hari lalu, aku bertanya pada dokter kandungan perihal aman nggaknya mengkonsumsi obat saat hamil muda, dan dokter menyarankanku untuk mengkonsumsi paracetamol 500mg, karena obat ini dinilai paling aman untuk dikonsumsi ibu hamil. Namun rupanya mengkonsumsi paracetamol hanya meredakan nyeri migrainku sesaat. Beberapa jam setelah mengkonsumsinya, khasiat obatnya hilang, dan nyerinya kembali muncul. Aku tentu nggak mau mengambil resiko dengan mengkonsumsi paracetamol setiap hari untuk meredakan nyeri migrain yang menyerangku setiap hari. Huhu..

Soal penggunaan obat luar pun rupanya nggak bisa sembarangan. Sekitar dua minggu lalu, kulit bagian pahaku mengalami iritasi cukup serius. Aku menyadarinya ketika merasakan sakit di bagian paha kiri saat mandi pagi. Ketika kulihat, rupanya ada luka sepanjang dua belas sentimeter disana. Awalnya kukira itu luka tergores, karena lukanya merah, panjang, dan rasanya perih seperti terkena goresan. Waktu itu aku pikir, ah mungkin aku nggak sadar menggaruk terlalu kuat saat tidur, jadi timbul luka. Namun nggak disangka, beberapa jam setelah itu, lukanya semakin parah. Bagian lukanya menebal, seperti ruam dengan bintil-bintil berisi cairan seperti luka lepuh.

"Gara-gara makan ijoan kali", celetuk Masku, karena memang malam sebelumnya, kami sempat mengkonsumsi kerang hijau. Rasanya nggak mungkin, karena aku nggak memiliki alergi seafood. Lagipula saat itu aku cuma makan satu kerang. Setelah aku browsing Google, barulah aku tau bahwa luka itu berasal dari racun tomcat. Dari situ juga aku baru tau bahwa tomcat nggak menggigit ataupun menyengat, melainkan mengeluarkan racun. Itulah kenapa lukanya bisa sepanjang itu. Tentunya luka ini membuatku sangat merasa nggak nyaman. Berjalan saja rasanya perih, karena lukanya bergesekan dengan pakaian yang kukenakan.

Ada beberapa merk salep ataupun obat luar yang bisa mengatasi luka ini. Namun sayangnya, kebanyakan dari obat-obatan itu merupakan obat keras yang harus digunakan berdasarkan resep dokter (apalagi untuk ibu hamil dan menyusui). Aku sempat berkonsultasi online dengan dokter umum langgananku dan bertanya apakah ada obat untuk mengobati ini yang aman bagi ibu hamil. Memang ada. Obat itu berupa salep, dua macam obat minum, dan satu botol sabun antiseptik. Namun aku kaget melihat harganya. Hampir setengah juta rupiah. Huhu.. Mau nangis. Skincare-ku aja nggak sampai segitu 😭

Tentu saja aku nggak menebusnya. Akhirnya kuputuskan saja untuk membiarkan luka itu sembuh dengan sendirinya. Kadang-kadang aku taburi dengan bedak salicyl. Alhamdulillah sekarang lukanya sudah agak mengering dan tentunya sudah nggak perih. Memang rasanya agak gatal, tapi aku nggak berani menggaruknya karena takut lukanya kembali parah.

Jadi yah, tinggal migrain satu ini yang jadi masalah terbesarku saat ini. Beberapa hari belakangan ini rasanya semakin parah karena gigiku juga sakit, dan nyerinya menyebar hingga ke telinga, leher, dan bahu. Banyak yang bilang, ini adalah pengaruh hormon dan akan menghilang dengan sendirinya seiring bertambahnya usia kehamilan. Jika iya, aku harap ini nggak akan lama :')

Minggu, 25 Juli 2021 0 komentar

Menguji Mental, Nonton THE HUMAN CENTIPEDE

Belakangan ini aku mengalami gangguan tidur. Migrain menyerang setiap hari, membuat diri ini selalu ingin berbaring. Hal ini membuatku selalu jatuh tertidur lebih awal, yakni selepas Isya, namun kemudian terbangun di tengah malam ketika Mas sudah tertidur pulas. Kalo sudah begini, biasanya aku jadi sulit buat tidur lagi. Maka untuk menunggu rasa kantuk kembali, aku biasanya memilih untuk scrolling postingan di medsos, menonton Youtube, atau membaca cerita horor.

Namun beberapa hari terakhir ini, aku sedang suka menonton film. Memang nggak berturut-turut sih. Aku melakukan kegiatan itu hanya jika aku terbangun di jam-jam yang nggak terlalu mendekati waktu dini hari. Sejauh ini baru empat judul film yang kutonton. Ada A Quiet Place 2, Rurouni Kenshin : The Final, The Human Centipede 1, dan The Human Centipede 2.

Di tulisan ini, aku ingin sekali membahas tentang dua film yang terakhir kutonton, yakni The Human Centipede 1 & 2 mengingat film ini adalah film yang membuatku penasaran selama bertahun-tahun. 


Aku pertama kali mendengar mengenai film ini dari Teh Tyas, dan itu sudah lama banget, ketika aku masih sekolah dan kami berdua masih saling terhubung di Facebook. Waktu itu kami sedang membicarakan film-film bergenre Thriller dengan adegan-adegan sadis, dan Teh Tyas menyebut film The Human Centipede sebagai salah satunya. Ia berkata bahwa film ini terlalu sadis sehingga dilarang tayang di beberapa negara. Ia sendiri nggak cukup bernyali untuk menonton film tersebut. Ketika itu, aku penasaran, namun rasa takutku mengalahkan rasa penasaran itu, mengingat menonton adegan-adegan sadis di film Rumah Dara saja mampu membuatku mendesis ngilu.

Beberapa waktu lalu, salah satu menfess di Twitter mengangkat topik tentang film ini, dan ternyataa cukup banyak yang bilang bahwa film ini nggak semengerikan yang dipikirkan. Tapi memang film ini akan sangat mengganggu bagi mereka yang nggak kuat menonton adegan sadis dan mudah jijik.

Mengetahui hal itu, rasa penasaranku terhadap film ini kembali bangkit. Aku pikir, sepertinya nggak masalah. Palingan 11-12 ngerinya sama film I Saw The Devil, pikirku, karena film Thriller yang berasal dari Korea tersebut juga penuh dengan adegan sadis dan beberapa adegan menjijikan, namun aku berhasil menontonnya hingga akhir.

Akhirnya, hari Jum'at dini hari lalu, aku mulai menonton The Human Centipede 1.

***

The Human Centipede : First Sequence

Sepasang sahabat asal Amerika, Lindsay dan Jenny, tengah berwisata di Jerman. Nggak ada yang lebih apes dari keduanya malam itu. Dua gadis malang itu tersesat di tengah hutan di dalam perjalanan mereka menuju klab malam tempat di mana mereka akan berpesta. Di tengah kepanikan mereka karena tersesat, ban mobil yang mereka tumpangi kempes, sementara mereka nggak tau gimana caranya mengganti ban, dan mereka juga kesulitan menghubungi layanan perbaikan mobil karena sulitnya sinyal telepon.



Beberapa lama kemudian, sebuah mobil melintas dan menepi di samping mobil mereka. Dua gadis itu berharap pria yang mengendarai mobil tersebut bisa mereka mintai bantuan. Namun alih-alih membantu, pria tersebut malah menggoda mereka dengan kata-kata nggak senonoh. Karena takut, mereka berdua nggak menggubris pria tersebut hingga ia berlalu dari tempat itu.



Nggak tahan berlama-lama di dalam mobil, mereka memutuskan keluar dari mobil untuk berjalan mencari bantuan. Namun lagi-lagi, mereka justru tersesat jauh ke dalam hutan. Di tengah kebingungan dan hampir putus asa, Lindsay melihat sebuah cahaya di kejauhan. Hujan mulai turun. Mereka berlari-lari kecil menuju cahaya tersebut yang rupanya berasal dari sebuah rumah. Lindsey berseru mengucap syukur, tanpa tau bahwa rasa syukurnya kelak akan berubah menjadi penyesalan seumur hidup.

Adalah Josef Heiter yang mendiami rumah tersebut. Ia adalah seorang dokter ahli bedah yang sudah lama pensiun dan memiliki obsesi gila untuk menyatukan tiga manusia dalam satu tubuh. Dan yah, Lindsay dan Jenny yang malang adalah korban dari eksperimen gila ini. Dr. Heiter pun membius mereka dan menahan mereka di basement, tempat sang dokter melakukan prakteknya. Di ruangan tersebut, nggak hanya ada mereka berdua, tapi juga ada seorang pria gemuk yang dr. Heiter culik sebelum mereka. Namun karena dr. Heiter nggak cocok dengan pria tersebut (entah karena alasan apa), dr. Heiter membunuhnya dengan cara suntik mati. Sebagai gantinya, ia menculik seorang pria Jepang bernama Katsuro.


Dr. Heiter membaringkan dan mengikat ketiga korbannya di atas tiga bangsal terpisah. Setelah memperkenalkan dirinya di depan para korbannya, ia menjelaskan secara rinci bagaimana ia akan menghubungkan ketiga tubuh korbannya dari mulut ke anus sehingga mereka berbagi satu sistem pencernaan. Gambarannya begini, tubuh manusia pertama berada di depan dan memiliki mulut untuk makan, kemudian mulut manusia yang berada di rangkaian kedua dijahit pada dubur manusia pertama, dan seterusnya hingga bentuk ketiganya menyerupai kelabang. Sebelumnya, dr. Heiter pernah melakukan eksperimen ini kepada tiga anjingnya. Namun eksperimen pertamanya tersebut gagal karena ketiga anjing yang sudah ia satukan itu tewas. Oleh karena itu, kali ini ia mencoba bereksperimen dengan tubuh manusia.


Maka dimulailah operasi itu. Dr. Heiter menempatkan Katsuro di posisi depan, Lindsay di posisi tengah (posisi paling menyakitkan, dr. Heiter sengaja menempatkannya pada posisi ini karena ia pernah mencoba melarikan diri), dan Jenny di belakang; ia mencabut gigi depan serta bibir Lindsey dan Jenny, kemudian memutilasi bagian bokong Katsuro dan Lindsey; rahang Lindsey dan Jenny disayat membentuk U kemudian mencangkoknya dari daging bagian bokong Katsuro dan Lindsey. Nggak cukup hanya itu, dr. Heiter juga memutuskan jaringan tempurung lutut mereka agar mereka nggak bisa berdiri.

Gila kan? Gila banget. But suprisingly, nggak banyak adegan menjijikan dan berdarah-darah dalam film ini. Bahkan setelah menonton film ini aku berpikir, gini doang? Mana adegan sadisnya? Katanya jijik banget sampai bisa bikin susah makan berhari-hari. Mana?
Yang ada malah geregetan. Gemas sama tokoh Lindsay yang dalam situasi mendesak sempat-sempatnya kepikiran untuk menyelamatkan Jenny yang sedang dalam kondisi pingsan karena obat bius. Jadi ceritanya, di malam sebelum operasi, Lindsay sempat berhasil melepaskan diri dari ikatan di bangsalnya. Namun ia nggak tega meninggalkan Jenny, sehingga ia memutuskan untuk menyeret Jenny keluar dari tempat itu dengan susah payah. Namun baru beberapa meter keluar dari rumah dr. Heiter, sang dokter mengetahui percobaan pelarian itu dan akhirnya membawa mereka kembali ke ruang operasi. Bayangkaaaaann.. berapa lama waktu yang Lindsay butuhkan untuk menyeret Jenny dari basement ke halaman rumah? Tentunya sangat cukup kalo waktu sebanyak itu ia gunakan untuk melarikan dirinya sendiri tanpa membawa Jenny. Daaamn! Lindsay yang bodoh, atau aku yang jahat yah? Huhu..


Mungkin yah adegan sadis dan menjijikan dalam The Human Centipede 1 ini bisa dibilang terlalu sedikit karena dalam operasinya, dr. Heiter tetap mengikuti prosedur pembedahan seperti membius korbannya terlebih dahulu, memakai masker dan sarung tangan bedah selama operasi, dan menggunakan peralatan bedah yang steril. Ia benar-benar melakukan eksperimennya dengan ilmu kedokteran yang mumpuni. Oleh karena itu, bagi penikmat film gore yang mengharapkan banyaknya adegan sadis, sebaiknya nggak berekspektasi lebih terhadap film ini deh yaa.

Karena nggak cukup puas dengan film ini, aku memutuskan untuk menonton film keduanya. 

***

The Human Centipede : Full Sequence

Martin Lomax adalah seorang pria dengan keterbelakangan mental dan gangguan jiwa. Penyakit mentalnya dilatarbelakangi oleh perbuatan ayahnya yang pernah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya saat masih kecil. Martin Lomax tinggal berdua bersama ibunya yang kasar dan sering menyalahkannya karena ia menganggap Martin lah penyebab suaminya dipenjara. Martin sangat, sangat, sangat terobsesi dengan film The Human Centipede. Ia bisa menonton film itu berulang kali. Ia bahkan memiliki sebuah album yang berisi sketch dan foto-foto adegan film tersebut (semacam kliping gitu), dan menganggap dr. Heiter adalah inspiratornya. Ia sangat kagum dengan ide gila dr. Heiter, dan hal itu mendorong dirinya untuk meniru apa yang dr. Heiter lakukan : menciptakan kelabang manusianya sendiri. Bahkan lebih gila lagi, ia ingin membuat rangkaian 'kelabang' yang lebih panjang dengan dua belas tubuh manusia.


Sehari-harinya, Martin bekerja di sebuah lahan parkir sambil menonton film The Human Centipede berulang-ulang dari laptopnya. Dari tempat ini pula lah ia menculik banyak korban yang kemudian ia sekap di sebuah gudang suram. Ia bahkan tega membunuh ibunya setelah sang ibu merobek-robek album klipingnya. Perempuan tua itu ia pukul berkali-kali di bagian kepala dengan menggunakan linggis hingga tengkoraknya hancur.




Singkat cerita, Martin telah berhasil mengumpulkan dua belas orang manusia. Salah satu diantaranya adalah Miss Yennie, artis yang memerankan tokoh Jenny di film The Human Centipede yang ia tonton. Lho gimana caranya Martin menculik si artis? Jadi si Martin ini berpura-pura menjadi agen casting gitu yang menawarkan Yennie untuk menjadi salah satu pemeran dalam film Quentin Tarantino. Ini menurutku aneh banget sih. Disini kan Yennie berperan sebagai seorang artis yang sudah berpengalaman main film, tapi kok bisa dengan mudahnya tertipu dengan si Martin? Memangnya dia nggak cari tau dulu gitu di internet tentang kebenaran adanya casting film tersebut? Kok mau-maunya dia ketemuan sendirian sama si Martin tanpa manajer artis atau bodyguard gitu? Dan sepanjang film, sama sekali nggak ada adegan Martin menelepon atau menghubungi pihak si artis karena kita cuma diperlihatkan adegan pihak si artis menghubungi Martin melalui voice mail. Aneh banget, banget. Terkesan amat memaksa agar ada alasan si artis kejebak Martin. Pantesan banyak yang bilang film ini film sampah. *Eh 😅

Dan dimulai lah 'perakitan' kelabang manusia oleh Martin. Persiapkan mentalmu untuk adegan berdarah-darah yang lebih banyak disini. Martin memotong jaringan lutut para korbannya satu persatu. Ia juga menggunakan palu untuk merontokkan gigi-gigi mereka. Ia mengiris bokong salah satu korbannya hingga korbannya tersebut kehabisan darah dan tewas. Ya, apa yang bisa diharapkan dari sebuah operasi yang dilakukan oleh seorang pria keterbelakangan mental yang sakit jiwa? Martin bukanlah seorang dokter. Operasi dilakukan di lantai gudang suram yang tentu saja kotor. Dan boro-boro menggunakan peralatan bedah yang steril, Martin menggunakan peralatan seadanya yang ia miliki : perkakas rumah tangga seperti gunting, pisau dapur, tang, corong, selang, palu, stapler besar untuk 'menjahit' mulut, dan lakban. Dan yah, tentu saja tanpa obat bius. Semua adegan operasi diperlihatkan, penuh darah dan teriak kesakitan. Adegan yang paling membuatku ngilu adalah ketika Martin mengiris jaringan lutut, dan memukul gigi-gigi korbannya dengan palu. Ketika gigi-gigi itu rontok hingga mulut sang korban penuh darah, rasanya aku seperti merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokanku. Rasanya kayak, ya ampun pingin udahan, tapi penasaran.

Martin memang gagal membuat rangkaian kelabang manusia dari dua belas orang karena dua korbannya tewas saat operasi (sebenarnya salah satunya cuma pingsan, tapi Martin nggak tau), namun Martin cukup puas dengan rangkaian kelabang manusia dari sepuluh orang yang ia ciptakan dengan tubuh Miss Yennie yang berada di posisi paling depan.

Setelah rangkaian itu siap, Martin memulai uji cobanya. Ia memaksa rangkaian itu untuk mulai merangkak. Ia juga menyodorkan mangkuk berisi makanan anjing dan memerintahkan Yennie untuk memakannya. Namun perempuan itu melemparkan mangkuk itu hingga isinya berhamburan. Martin lantas menggunakan corong dan selang untuk menuangkan makanan ke kerongkongan Yennie dengan paksa. Oh ya, karena Yennie terus berteriak-teriak, Martin mencabut lidah Yennie dengan tang agar perempuan itu nggak lagi bersuara. 

Mau tau apa yang paling menjijikkan? Martin yang nggak sabar menunggu para korbannya untuk ekskresi akhirnya menyuntikkan cairan obat pencahar ke setiap korban, memaksa masing-masing dari mereka untuk secara eksplosif mengeluarkan isi perut mereka ke dalam mulut orang di belakang mereka. Saking dahsyatnya 'ledakan' itu, kotoran mereka terciprat kemana-mana, bahkan ke layar yang kita tonton. Sungguh pemandangan yang sangat, sangat, sangat menjijikkan. 

Kini aku tau kenapa film ini bisa dilarang tayang di beberapa negara dan kenapa banyak orang yang nggak kuat menonton film ini, karena adegan-adegannya memang sesadis dan semenjijikkan itu. 

Untungnyaaa film The Human Centipede 2 ini diproduksi dengan cinematografi hitam putih. Bisa dibayangkan gimana kalo film ini diproduksi dengan cinematografi berwarna, dimana kita bisa melihat warna dan bentuk luka, darah, muntah, dan kotoran dengan jelas. Tentu bakal berkali-kali lipat menjijikkan, dan kayaknya aku bakal beneran nggak bisa makan karena terus terbayang, atau bahkan nggak kuat menonton film itu hingga akhir. 

Kayaknya ini film gore tergila yang pernah kutonton deh. Meski ada skenario yang ngaco (tentang bagaimana Martin menjebak Yennie), tapi film ini benar-benar sukses membuat aku dan para penonton di luar sana nggak nyaman hampir sepanjang film. Tapi meski begitu, aku nggak kapok sih untuk menonton film Thriller sejenis ini. Kalo teman-teman ada rekomendasi film gore lainnya, bisa kasih tau aku yah, tapi film produksi tahun 2000's aja. Hehe. 

Jumat, 09 Juli 2021 1 komentar

Sebuah Bingkisan

Hari Rabu lalu, sebuah panggilan suara mampir ke nomor WhatsApp pribadiku. Nomor asing tanpa nama dengan foto profil yang juga asing. Seperti biasanya, aku enggan mengangkat panggilan suara dari nomor yang sama sekali nggak aku kenal. Maka kuabaikan panggilan itu.

Nggak lama kemudian, si pemilik nomor mengirimkan pesan WhatsApp. Rupanya nomor itu milik seorang kurir yang ingin mengantarkan paket untukku. Agak heran juga rasanya karena aku nggak memesan barang apapun dari online shop. Dan kalopun aku membeli barang dari online shop, aku nggak pernah mencantumkan nomor itu. Lewat pesan chat, si kurir mengirimkan foto paket yang ditujukan untukku itu. Dari foto itu lah, akhirnya aku tau darimana paket itu berasal. Salah seorang teman yang kukenal lewat sosial media yang mengirimkannya untukku.

Selanjutnya, mas kurir kembali menghubungiku melalui panggilan suara. Kali ini aku berani menerima panggilannya. Rupanya ia bingung mencari alamatku (alamat orangtuaku sih lebih tepatnya, karena semenjak menikah aku tinggal berdua bersama Mas di daerah lain, namun masih di kota yang sama). Wajar sih, karena si pengirim mencantumkan nama 'Vidia' yang mana nama itu nggak dikenal oleh orang-orang di lingkungan tempat tinggalku, karena mereka mengenalku dengan nama depanku, 'Putri'. Wkwkwk. Akhirnya kuarahkan si mas kurir hingga ia bertemu dengan bapak yang kebetulan saat itu sedang berada di teras. Kuminta padanya agar menyerahkan paket itu pada bapak.

Paket itu baru sampai di tanganku siang ini. Isinya sebuah tas selempang cantik warna coklat. Tifanny yang mengirimkannya. Masya Allah. Sebuah amplop berisi surat hampir luput dari perhatianku, karena Tif meletakannya di luar pembungkus dan di belakang kertas bertuliskan alamat tujuan. Ketika melihat kertas bertuliskan alamat tujuan itu, aku pikir, kok bagian ini terlihat tebal yah? Terlalu tebal kalo hanya untuk menuliskan nama penerima dan alamat tujuan. Bagian itu dilapisi oleh plastik bening. Kubongkar plastik itu, dan benar aja, ada amplop berisi surat terselip di sana. Ucapan dan doa ditulisnya dengan rapi disana. Terharu rasanya.


 

Lebih dari sepuluh tahun silam kami berkenalan via Facebook. Kami nggak pernah bertemu langsung satu kali pun. Selama ini kami lebih sering berkirim pesan chat. Kami pernah bertatap muka lewat video call. Itupun hanya satu kali, tahun 2019 silam. Saat itu aku tengah mengunjungi bazar buku, dan aku menghubunginya lewat video call agar ia juga turut merasakan suasana bazar yang kukunjungi sementara aku memperlihatkan buku-buku yang dijual disana. Namun meski begitu, aku bersyukur karena kami masih berkomunikasi satu sama lain hingga kini meski memang nggak sering.

Terima  kasih bingkisannya, Tif. Tentunya tas ini akan sangat bermanfaat. Semoga pandemi cepat berlalu dan Tuhan memberi kita kesempatan untuk benar-benar bertemu, menyesap kopi bersama sembari membicarakan hal apapun. Bahagia dan sehat selalu untukmu dan keluarga 😊

Rabu, 30 Juni 2021 4 komentar

#27 : Greatest Gift

Awal bulan Juni lalu, tepat di tanggal 1, Tuhan memberiku hadiah besar. Pagi itu, aku mendapati dua garis merah pada testpack yang kugunakan. Tanganku bergetar saat menggenggamnya. Rasanya hampir nggak percaya, ada yang sedang bertumbuh dalam tubuh ini.

Kuusap pelan kepala Mas Kesayangan yang masih terlelap, "Mas.."
Ia hanya menggumam dengan mata yang masih terpejam. Kugoyang sedikit bahunya, "Mas, lihat, lihat!" kataku sambil menyodorkan testpack itu di hadapannya. Ia menggeliat sejenak dan membuka mata perlahan.
"Siap jadi bapak?" kataku lagi dengan suara bergetar. Ia lantas tersenyum, kemudian merengkuhku ke dalam pelukannya sambil mengucap syukur, "Alhamdulillah".

Selanjutnya, aku mengabarkan berita itu pada ibu lewat pesan WhatsApp yang langsung disambut dengan ucapan syukur dan sedikit wejangan. Hihi..

Well, menjelang akhir bulan Mei lalu, aku memang sudah mulai merasa kurang enak badan. Perutku seringkali terasa kembung, terkadang pula terasa sedikit kram, namun haid nggak kunjung datang. Setelah browsing sana-sini, aku dan Mas mulai menduga bahwa aku hamil. Untuk menguatkan dugaan kami itu, diputuskanlah untuk mendeteksinya dengan testpack. Dan rupanya benar aja, hasilnya positif.

Beberapa hari setelah itu, perutku mulai diserang rasa mual. Nggak sampai muntah, tapi cukup membuatku pusing karena terus 'hoekk hoekk'. Nafsu makanku juga berkurang, bahkan es krim Haku Tiramisu yang biasanya menjadi salah satu es krim favoritku nggak lagi terasa nikmat. Dan, ya.. sifat magerku pun semakin meningkat. Wkwk..

Aku sangat bersyukur karena Mas sangat mengerti kondisiku. Sebenarnya untuk urusan pekerjaan rumah, kami memiliki tugas masing-masing. Namun semenjak mengetahui kehamilanku, disamping mengerjakan bagiannya, Mas juga ikut membantu menyelesaikan bagianku. Dan karena nafsu makanku berkurang, rasanya diri ini malas sekali untuk makan nasi, lontong, ataupun bubur sekalipun, tapi nggak menolak untuk makan bakso atau mie instan. Huhu.. Tapi bukan berarti aku makan bakso dan mie instan terus lho ya. Aku tetap mengisi perutku dengan nasi kok (meski seringkali harus disuapi Mas. wkwk..). Selebihnya, aku banyak ngemil biskuit, roti, dan buah.

***

Pada hari Selasa 8 Juni, aku diantar ibu ke Puskesmas untuk pemeriksaan laboratorium. Sayangnya sesampainya di sana, laboratorium Puskesmas sedang digunakan untuk apa gitu, aku kurang tau persis. Intinya aku belum bisa menjalani pemeriksaan laboratorium hari itu. Akhirnya hari Selasa itu, aku cuma ditimbang berat badan (yang ternyata masih bertahan di angka 38 kg sejak terakhir aku menimbang berat badanku tahun lalu. Hiks), diukur lingkar lengan atas, diperiksa tekanan darah, dan mendaftar untuk mendapatkan buku KIA (buku Kesehatan Ibu dan Anak). Ketika itu bidan juga menanyaiku beberapa hal, seperti rencana melahirkan di mana, dan rencana pakai KB jenis apa, yang sama sekali nggak aku duga bakal dipertanyakan. Alhasil kebanyakan dari pertanyaan itu aku jawab sekenanya dan dengan rasa gugup luar biasa. Sebelum keluar dari Puskesmas, bidan memberiku beberapa tablet vitamin yang berguna mendukung perkembangan janin; beberapa tablet obat yang boleh kuminum saat pusing, demam, ataupun mual; dan satu boks makanan tambahan ibu hamil berupa biskuit dengan krim nanas. Aku sebenarnya senang ketika diberi biskuit itu, karena aku pernah melihat postingan menfess Twitter di salah satu base seputar makanan yang menyebutkan bahwa biskuit itu sangat enak. Sayangnya yang aku terima bukan biskuit dengan krim stroberi. Huhu.. 

Kamis 10 Juni, aku dan ibu kembali ke Puskesmas untuk pemeriksaan laboratorium yang tertunda. Pertama-tama, bidan menanyakan apakah aku siap untuk suntik TT atau enggak. Ketika mendengar hal itu untuk pertama kalinya, aku merasa jeri. Aku kira yang disebut bidan adalah suntik tete (suntik payudara), tapi ternyata yang ia maksud adalah suntik imunisasi Tetanus Toxoid. Wkwkwk.
Ketika itulah, setelah bertahun-tahun nggak berhadapan dengan jarum suntik, baru kali ini aku merasakan nyerinya ditusuk jarum suntik lagi. Belum cukup sampai disitu, menjelang pemeriksaan laboratorium, aku kembali disuntik di bagian lipatan lengan untuk diambil sampel darah. Tapi rasa sakit pada bekas suntikan di bagian lipatan lengan ini nggak begitu terasa lagi setelahnya. Berbeda dengan bekas suntik TT yang rasa sakitnya terasa hingga berhari-hari. Aku bahkan sempat menangis di hari ketiga pasca suntik karena rasa sakitnya yang menjadi-jadi. Namun syukurlah, hasil pemeriksaan lab semuanya menunjukkan hasil yang baik. 

***

Kemarin sore, untuk pertama kalinya aku menjalani pemeriksaan USG. Setelah bertanya sana-sini, berdasarkan rekomendasi dari istri salah satu teman Mas, kami pun memutuskan untuk mengunjungi salah satu maternity clinic di kota kami. Waktu itu jam tujuh malam. Ketika sampai di klinik tersebut, aku diminta Staff Admin untuk mendaftar terlebih dahulu. Aku ditanyai beberapa informasi mengenai data diri dan beberapa hal mengenai kehamilanku. Aku juga diminta menimbang berat badan (yang masih stuck di angka 38kg). Alhamdulillah, seenggaknya berat badanku nggak turun. Kami mendapat antrian ke enam, sehingga mengharuskan kami untuk menunggu. Singkat cerita, tibalah giliranku untuk masuk ke ruang dokter. Disitu terdapat meja dokter beserta kursi dokter dan dua kursi untuk pasien dan pendamping, satu buah sofa panjang, satu buah ranjang pasien dan satu peralatan USG di sisinya, satu layar LED besar di depan ranjang pasien, dan satu buah kursi untuk Asisten Dokter. Aku duduk di salah satu kursi di seberang meja dokter, sementara Mas memilih duduk di sofa.

Di sana, aku kembali ditanya beberapa hal oleh dokter. Setelah itu, beliau mempersilahkan aku untuk berbaring di ranjang pasien. Mbak Asisten Dokter membantu menyingkap sedikit pakaianku sehingga hanya bagian perutku yang terlihat. Ia pun mengoleskan semacam gel di atas perutku, yang awalnya aku bingung untuk apa, tapi kemudian aku mengerti bahwa gel itu berfungsi agar kulitku nggak bergesekan dengan transducer. Setelah itu, dokter pun memulai pemeriksaannya. Ia menggerakkan transducer di atas perut bagian bawahku hingga muncul sebuah citra di layar.
"Eh, sudah kelihatan", ucap dokter. Jantungku berdebar. Layar itu menunjukkan sebentuk sosok kecil yang bergerak. Ah, itu calon bayiku yah?

Sebelum dokter menjelaskan, Mas meminta ijin untuk merekam momen itu dengan kamera hape.
"Boleh kok. Bahkan kalo Mas mau bikin live IG atau video call keluarga di rumah juga gapapa", jawab dokter. Mas hanya senyum-senyum mendengar kelakar dokter. Setelah Mas siap dengan video recording-nya, dokter pun mulai menjelaskan bagian-bagian yang ditampilkan oleh monitor. Dan ya, dugaanku sama sekali nggak salah. Sosok kecil bergerak itu memanglah janin, calon bayi aku dan Mas. Ia dikelilingi cairan ketuban yang ditampilkan monitor dengan warna gelap. Ukurannya baru 2,5 cm, namun aku sudah bisa melihat bakal kaki dan tangannya yang mungil. Ah, aku merasa hatiku menghangat melihat kedua kaki dan tangan calon bayiku yang aktif bergerak lucu.
"Pada usia kehamilan ini, kita juga sudah bisa mendengar detak jantungnya. Mau dengar?" tanya dokter. Tentu aja aku mau. Kemudian dokter pun memperdengarkan suara detak jantung si janin pada kami. Detak jantungnya terdengar cepat, namun kata dokter itu adalah detak jantung normal untuk janin usia kehamilan sembilan minggu ini.

Ada momen awkward dan memalukan ketika kami selesai menjalani pemeriksaan USG. Setelah keluar dari ruang dokter, aku dan Mas pun langsung berjalan menuju pintu keluar klinik. Namun Mbak Asisten Dokter memanggilku.
"Hasil foto USG-nya belum diambil, Teh", katanya. Ketika itu, aku langsung istighfar. Astaga, kami kan belum bayar. Mas tampaknya nggak menyadari hal itu. Ia terus saja berjalan ke arah parkiran, sementara aku putar balik ke loket di sebelah ruang dokter.
"Ini, Teh", ucap Mbak Asisten Dokter sambil menyerahkan amplop kecil berisi foto hasil USG.
"Jadi berapa, Teh?" tanyaku. Ia pun menyebutkan sebuah nominal, namun kemudian aku sadar bahwa dompetku ada di tas Mas. Aku pun meminta Si Mbak untuk menunggu sebentar, sementara aku memanggil Mas yang sudah keburu naik ke atas motor. Setelah membayar, kami pun segera berlalu dari klinik. Di tengah perjalanan kami ketawa-ketawa geli mengingat kebodohan kami itu. Haduuuhh.. sepertinya kami terlalu bahagia sampai-sampai lupa bayar 😂 Malu banget. Mana di depan loket banyak pengunjung klinik pula. Untung saja kami pakai masker, dan Mbak Asistennya pun nggak sampai berteriak "Teh, belum bayar". Kalo saja kami nggak pakai masker dan Mbak Asistennya berteriak seperti itu.. huh, mau ditaruh di mana muka kami? Wkwkwk.

***

Sore tadi.

"Kulkas di rumah kayaknya mulai nggak beres nih. Pintunya nyetrum", ucap Mas ketika datang menjemputku sepulang kerja. "Ini aja tangan Mas kena, kaget banget pas buka. Eh, kok nyetrum", katanya lagi.
"Hah, kok bisa, Mas?" sahutku sambil naik ke atas motor.
"Nggak tau. Kayaknya dalemannya ada yang rusak. Kamu jangan buka-buka kulkas dulu ya. Bahaya."
"Hmm.. Udah coba browsing Google belum, Mas? Barangkali bisa dibenerin sendiri kayak mesin cuci waktu itu".
"Belum. Nanti deh di rumah".
Aku hanya manggut-manggut, meski sedikit kecewa. Teringat dengan manisan mangga buatan ibu di dalam kulkas yang tadinya ingin segera kunikmati sepulang ngantor.

Sesampainya di rumah, "Kamu cepat mandi, mumpung belum Magrib. Lagi musim penyakit gini, takutnya kamu bawa virus dari kantor".
Lagi-lagi aku manut pada Mas. Nggak salah sih kalo ia begitu khawatir, karena belakangan ini wabah C19 nampaknya semakin mengganas. Belum lagi melihat kondisi kantor yang semakin sepi karena satu persatu karyawan jatuh sakit :')

Selepas mandi, aku langsung berwudhu karena adzan Magrib sudah berkumandang. Well, semenjak hamil, aku nggak berani lagi berlama-lama di kamar mandi. Padahal sebelum hamil, aku bisa betah berlama-lama di kamar mandi, entah itu luluran, atau maskeran. Namun sekarang, asal sudah mandi rasanya cukup, kemudian bergegas menuju kamar. Dengan hanya berbalut handuk, kudorong pintu kamar yang setengah terbuka.

"SELAMAT ULANG TAHUN, SAYAAAANGG!"
Aku memekik. Surprised. Di hadapanku, Mas Kesayangan tersenyum lebar. Kedua tangannya memegang kue ulang tahun dengan dua lilin menyala di atasnya. Aku lantas memeluknya, tanpa peduli dengan handuk dan rambutku yang setengah basah membasahi kausnya.
"Hey, ini ditiup dulu dong lilinnya. Capek ini tangan Mas pegang kue dari tadi", protes Mas. Kulepas pelukanku. "Make a wish dulu dong", ucapnya lagi.
Aku pun memejamkan mata dan melangitkan doa, agar keluarga kami senantiasa rukun dan bahagia sampai akhir hayat, dan selalu berada dalam lindungan-Nya :')


Bergetar rasanya bibirku saat itu. Rasanya ingin menangis, tapi nggak bisa. Jujur ini pertama kalinya aku mendapat kejutan seperti ini. Dikerjai plus diberi kejutan untuk tiup lilin. Ingat kan, sebelumnya Mas bercerita bahwa pintu kulkas rusak, dan ia menyuruhku untuk segera mandi sepulang kerja? Rupanya itu hanya akal-akalannya agar bisa mempersiapkan itu semua. Ia melarangku membuka kulkas karena ia menyimpan kue itu di sana. Rupanya siang tadi ia sempat minta ijin keluar sebentar dari tempat kerja untuk mengambil kue dari toko. Setelah mengambil kue dari toko, ia menyimpannya di kulkas, dan kembali lagi ke tempat kerja. Mas juga menyuruhku untuk bergegas mandi agar ia bisa menaruh lilin menyala di atasnya dan bersiap mengejutkanku dari balik pintu kamar. Anehnya aku sama sekali nggak curiga dengan semua akal-akalan itu, karena dia ngomongnya meyakinkan banget. Huhu..

Mungkin juga karena sebenarnya aku nggak berharap diberi apa-apa di hari ulangtahun kali yah. Selama ini aku nggak pernah menanti-nanti tanggal ulangtahun. Aku nggak memunculkan tanggal ulangtahunku di media sosial. Aku juga enggan menjawab saat teman atau siapapun bertanya kapan aku berulangtahun (kecuali tanggal lahir, untuk data penting). Entahlah, rasanya sedih aja gitu diingatkan bahwa diri ini semakin tua. Hiks.

Tapi hari ini, aku hanya ingin bersyukur. Tuhan baik sekali. Di usia ini aku mendapatkan hadiah terhebat-Nya. This year has been amazing. Aku menikah. Aku dinyatakan hamil setelah empat bulan pernikahan. Aku diberi kesempatan untuk melihat pergerakan dan denyut jantung calon bayiku. Dan ada sosok pria pengertian di sampingku, yang mengerti sifat manjaku, yang ingin selalu ndusel-ndusel di punggung dan ketiaknya setiap saat. Wkwk.

Semoga bahagia ini selamanya. Aamiin.

Total Tayangan Halaman

 
;