Aku pernah
berpikir, untuk apa aku diciptakan. Aku pernah berpikir, untuk apa aku hidup.
Aku sering bertanya-tanya, kenapa hidupku terkadang seperti lelucon. Aku sering
bertanya-tanya, kenapa hidupku nggak sebahagia orang lain.
Dalam sebuah
buku pendidikan agama, dijelaskan bahwa setiap makhluk diciptakan semata-mata
dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhan. Aku pernah berpikir, kenapa aku
nggak ditakdirkan mati sesaat setelah dilahirkan saja? Kenapa Tuhan panjangkan
umurku?
Aku pernah
berada di titik dimana aku muak dengan hidupku dan diriku sendiri. Aku pernah
berpikir, apakah hidup ini adil? Apa salahku, sehingga orang lain bisa dengan
sangat mudah melukai?
Belasan
tahun lalu.. Ah, aku nggak akan lupa masa itu. Sebuah masa yang aku rasa paling
berat dalam dua puluh empat tahun perjalanan hidupku, ketika sebagian
teman-teman satu kelas berubah membenciku tanpa alasan. Could you imagine how it feels when ppl around suddenly hate you but
you don’t even know your mistake? Dan yang lebih menyakitkan adalah bahwa
semua itu bermula dari teman dekatmu sendiri. That’s what happened to me. Aku masih ingat bagaimana sakitnya
dijadikan bulan-bulanan setiap hari, difitnah, disakiti baik secara fisik
maupun mental, and nobody helped.
Apa salahku?
Pernah aku menyakiti mereka? Pernah?
Mereka jahat
padaku. Pernahkah aku balas? Pernah?
Dulu, saat
pertama kali berita penyalahgunaan formalin pada makanan merebak, aku ingatkan
mereka agar berhati-hati dalam memilih makanan. Aku tuliskan pesanku di atas
kertas, aku bagikan pada mereka, karena apa? Karena aku peduli. Tapi respon
mereka justru buruk sekali. Mereka menudingku sok tau, dan menyerangku habis-habisan.
Saat bagian
dari mereka dimusuhi teman-teman satu gengnya, mereka datang padaku. Apakah aku
menolak dan ikut memusuhi mereka? Enggak. Aku terima mereka, dengan harapan
hubungan pertemanan kami kembali membaik hingga seterusnya. Tapi yang terjadi
justru mereka kembali memusuhiku setelah mereka kembali bergabung dengan
teman-teman satu gengnya.
Waktu itu
bisa aja aku balas perlakuan mereka semua. Aku memang nggak bisa berlaku kasar,
seperti yang mereka lakukan. Bisa aja aku membalas dendam dengan memberi mereka
jawaban-jawaban salah saat mereka menanyakan jawaban untuk soal-soal Ujian
Nasional, membiarkan mereka mendapat rapor dengan nilai merah, atau bahkan nggak
lulus sekalian. Biar mereka tau diri. Apakah kulakukan? Enggak. Tapi apakah
sikap mereka padaku lantas berubah setelah itu? Enggak juga. Aku bahkan masih
ingat kata-kata yang mereka ucapkan di hari perpisahan sekolah :
“NAJIS KAMU!”
Jadi jangan
heran kenapa aku tumbuh sebagai sosok pendiam dan tertutup. You know the answer.
Aku pernah
merasa sangat terpuruk. Merasa nggak ada seorangpun yang menyukaiku. Merasa
nggak ada seorangpun yang tulus berteman denganku. Pernah kukayuh sepedaku
melawan arah di kelokan tajam jalan Diponegoro, berharap ada kendaraan lain
yang melaju kencang dari arah berlawanan, lantas menghantam sepedaku, dan Tuhan
mencabut nyawaku saat itu juga.
Tapi
seketika itu pula aku tersadar bahwa apa yang kulakukan benar-benar salah. Aku
sadar bahwa kalaupun aku mati saat itu karena kecelakaan, tapi di hatiku udah
terukir niat untuk mencelakai diri sendiri, dengan kata lain itu sama aja bunuh
diri, dan orang yang bunuh diri nggak akan diberi kesempatan mencium bau surga.
Tuhan masih sayang aku. Setitik iman di hatiku menyelamatkanku.
Tuhan sayang
aku. Kalo nggak sayang, mungkin Dia udah membiarkan aku mati dihantam
reruntuhan atap kamarku yang ambruk beberapa tahun silam, atau bahkan membuatku
cacat karenanya. Waktu itu aku baru pulang sekolah dan menemukan pintu rumah
dikunci dari luar. Nggak ada seorangpun di rumah saat itu, dan aku lupa nggak
bawa kunci sehingga nggak bisa masuk, membuatku terpaksa menunggu di luar.
Ketika itulah aku mendengar suara benda jatuh sangat keras dari dalam rumah.
Kuintip jendela ruang tengah yang terbuka. Nggak ada yang aneh, kecuali kamarku
yang aku lihat tampak terang benderang dari lubang ventilasinya. Aku nggak bisa
mengintip ke dalam kamar karena jendelanya ditutup. Jadi kuputuskan untuk
menunggu, sampai akhirnya ibu datang. Kami langsung mengecek keadaan kamarku,
dan benar aja, reruntuhan bata, kayu, dan genteng berceceran di atas lantai dan
tempat tidurku. Aku bergidik. Kebiasaanku sepulang sekolah nggak lain adalah
masuk kamar dan berbaring di kasur. Kalo bukan karena nggak ada orang di rumah,
dan kalo bukan karena aku lupa bawa kunci, maka sangat mungkin kalo aku jadi
korban reruntuhan itu. Aku bersyukur pada Tuhan, Dia masih melindungiku.
Tuhan sayang
aku. Kalo bukan karena sifat pendiamku, aku mungkin udah terjerumus kedalam
pergaulan yang salah, seperti kebanyakan remaja di daerah tempatku tinggal.
Perempuan dan laki-laki berbaur, berdekatan tanpa rasa malu, nongkrong sampai
malam di luar rumah. Na’udzubillahimindzalik. Nggak terbayang betapa malunya
ibu dan bapak kalo itu sampai terjadi.
Aku yakin
Tuhan sayang aku dengan cara-Nya. Semua hal buruk yang terjadi padaku mungkin
terjadi karena Tuhan ingin aku menjadi pribadi yang tahan banting dan nggak
cengeng, meski aku sadar, hatiku masih rapuh.
Aku yakin
Tuhan sayang aku dengan cara-Nya. Aku sering meminta banyak hal, bahkan nggak
jarang hingga menangis tersedu dihadapan-Nya, namun nggak kunjung Ia kabulkan. Ia
justru membalas pintaku dengan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang
kuinginkan. Aku sering bertanya-tanya, kenapa Tuhan seolah senang mengerjaiku?
Tapi kini aku sadar bahwa memang begitu cara kerja Tuhan. Apa yang menurutku
baik, belum tentu baik di mata Tuhan. Ia lebih tau apa yang baik bagi
hamba-Nya. Seharusnya aku nggak meragukan skenario-Nya. Bukankah dulu Tuhan
pernah menunjukkan skenario terbaik-Nya, ketika pertemuan-pertemuan tak terduga
terjadi berulang kali diantara aku dan kakak kelas yang pernah aku taksir
selama beberapa tahun. Meski ternyata dia bukan orang yang ditakdirkan untuk
jadi life partner-ku di masa depan,
tapi aku nggak menyesal pernah memendam rasa sama dia selama bertahun-tahun. I feel enough just by loving him silently. Itu
adalah skenario terindah yang pernah Tuhan tulis dalam dua puluh empat tahun
aku hidup.
Seharusnya
aku nggak berprasangka buruk pada Tuhan. Aku sering iri dengan kehidupan orang
lain yang aku rasa begitu bahagia. Tapi suatu hari seorang teman pernah bilang
padaku, “Banyak orang di luar sana yang juga iri sama kamu”. Aku rasa dia
benar. Aku mungkin iri dengan mereka yang hidup kaya raya, berpenampilan
menarik, pandai berkomunikasi, dan punya banyak teman. Tapi aku lupa dengan
mereka yang ada di bawahku. Aku nggak kaya raya, tapi kebutuhan hidupku
tercukupi, sedangkan di luar sana masih banyak yang bahkan nggak mampu beli
makanan meski hanya satu kali sehari. Aku mungkin bertubuh pendek dan nggak
cantik, tapi tubuhku berfungsi sempurna, sementara di luar sana masih banyak
orang-orang yang difabel dan berkebutuhan khusus. Aku memang nggak cukup pandai
berkomunikasi, tapi aku bisa berkomunikasi secara langsung tanpa harus dengan bantuan
alat atau bahasa isyarat. Aku juga punya sedikit teman, dan orangnya itu-itu
aja, tapi mereka tulus menerima kurang dan lebihku, dan yang terpenting aku
nggak sebatang kara. Lagipula mereka yang aku lihat bahagia belum tentu
sebahagia yang terlihat kan? Mereka yang kaya raya mungkin aja sebenarnya
kesepian, atau mungkin memiliki masalah hidup yang pelik. Seperti halnya salah
satu vokalis favoritku, Chester Bennington. Ia kaya raya dan punya banyak
penggemar. Tapi ironisnya ia justru merasa nggak bahagia dan memutuskan bunuh
diri, padahal profesinya sendiri adalah sebagai seorang entertainer, penghibur, bikin orang bahagia. That’s it.
Seharusnya
aku nggak berprasangka buruk pada Tuhan. Aku sering merasa bahwa aku udah cukup
sering bersabar atas segala hal buruk yang menimpaku, tapi aku nggak kunjung
menuai buah manis dari kesabaran yang Tuhan janjikan. Kini aku sadar bahwa mungkin
aku belum mengiringi kesabaranku dengan rasa ikhlas. Selain itu, mungkin Tuhan
ingin agar aku terus mendekatkan diri pada-Nya.
Sebagaimana
sebuah ayat yang disebut berulang kali dalam Surat Ar-Rahman, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan?” Aku seharusnya berterima kasih atas nikmat hidup yang Tuhan
beri. Aku sadar aku nggak cukup baik. Aku takut dengan kematian. Seharusnya aku
berterima kasih karena Tuhan masih memberiku nafas hingga hari ini, detik ini.
Karena dengan begitu aku bisa berkesempatan untuk merubah diri menjadi lebih
baik dari waktu ke waktu. Ia juga belum bosan mengingatkanku jika aku khilaf.
Kurang sayang apa Tuhan padaku? Harusnya aku sadar itu.
This year must be one of the best years in
my 20’s years life. I’m happy too much, hurt too much, cry too much, think too
much, and learn too much. Hari ini aku berjanji, bahwa aku akan lebih
menghargai hidupku dengan banyak bersyukur dan berprasangka baik pada Tuhan,
karena aku percaya, Tuhan menyayangiku dengan cara-Nya :)