Sabtu, 30 Juni 2018 0 komentar

#24 : Sebuah Renungan


Aku pernah berpikir, untuk apa aku diciptakan. Aku pernah berpikir, untuk apa aku hidup. Aku sering bertanya-tanya, kenapa hidupku terkadang seperti lelucon. Aku sering bertanya-tanya, kenapa hidupku nggak sebahagia orang lain.

Dalam sebuah buku pendidikan agama, dijelaskan bahwa setiap makhluk diciptakan semata-mata dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhan. Aku pernah berpikir, kenapa aku nggak ditakdirkan mati sesaat setelah dilahirkan saja? Kenapa Tuhan panjangkan umurku?

Aku pernah berada di titik dimana aku muak dengan hidupku dan diriku sendiri. Aku pernah berpikir, apakah hidup ini adil? Apa salahku, sehingga orang lain bisa dengan sangat mudah melukai?

Belasan tahun lalu.. Ah, aku nggak akan lupa masa itu. Sebuah masa yang aku rasa paling berat dalam dua puluh empat tahun perjalanan hidupku, ketika sebagian teman-teman satu kelas berubah membenciku tanpa alasan. Could you imagine how it feels when ppl around suddenly hate you but you don’t even know your mistake? Dan yang lebih menyakitkan adalah bahwa semua itu bermula dari teman dekatmu sendiri. That’s what happened to me. Aku masih ingat bagaimana sakitnya dijadikan bulan-bulanan setiap hari, difitnah, disakiti baik secara fisik maupun mental, and nobody helped.

Apa salahku? Pernah aku menyakiti mereka? Pernah?
Mereka jahat padaku. Pernahkah aku balas? Pernah?

Dulu, saat pertama kali berita penyalahgunaan formalin pada makanan merebak, aku ingatkan mereka agar berhati-hati dalam memilih makanan. Aku tuliskan pesanku di atas kertas, aku bagikan pada mereka, karena apa? Karena aku peduli. Tapi respon mereka justru buruk sekali. Mereka menudingku sok tau, dan menyerangku habis-habisan.

Saat bagian dari mereka dimusuhi teman-teman satu gengnya, mereka datang padaku. Apakah aku menolak dan ikut memusuhi mereka? Enggak. Aku terima mereka, dengan harapan hubungan pertemanan kami kembali membaik hingga seterusnya. Tapi yang terjadi justru mereka kembali memusuhiku setelah mereka kembali bergabung dengan teman-teman satu gengnya.

Waktu itu bisa aja aku balas perlakuan mereka semua. Aku memang nggak bisa berlaku kasar, seperti yang mereka lakukan. Bisa aja aku membalas dendam dengan memberi mereka jawaban-jawaban salah saat mereka menanyakan jawaban untuk soal-soal Ujian Nasional, membiarkan mereka mendapat rapor dengan nilai merah, atau bahkan nggak lulus sekalian. Biar mereka tau diri. Apakah kulakukan? Enggak. Tapi apakah sikap mereka padaku lantas berubah setelah itu? Enggak juga. Aku bahkan masih ingat kata-kata yang mereka ucapkan di hari perpisahan sekolah :
“NAJIS KAMU!”

Jadi jangan heran kenapa aku tumbuh sebagai sosok pendiam dan tertutup. You know the answer.

Aku pernah merasa sangat terpuruk. Merasa nggak ada seorangpun yang menyukaiku. Merasa nggak ada seorangpun yang tulus berteman denganku. Pernah kukayuh sepedaku melawan arah di kelokan tajam jalan Diponegoro, berharap ada kendaraan lain yang melaju kencang dari arah berlawanan, lantas menghantam sepedaku, dan Tuhan mencabut nyawaku saat itu juga.

Tapi seketika itu pula aku tersadar bahwa apa yang kulakukan benar-benar salah. Aku sadar bahwa kalaupun aku mati saat itu karena kecelakaan, tapi di hatiku udah terukir niat untuk mencelakai diri sendiri, dengan kata lain itu sama aja bunuh diri, dan orang yang bunuh diri nggak akan diberi kesempatan mencium bau surga. Tuhan masih sayang aku. Setitik iman di hatiku menyelamatkanku.

Tuhan sayang aku. Kalo nggak sayang, mungkin Dia udah membiarkan aku mati dihantam reruntuhan atap kamarku yang ambruk beberapa tahun silam, atau bahkan membuatku cacat karenanya. Waktu itu aku baru pulang sekolah dan menemukan pintu rumah dikunci dari luar. Nggak ada seorangpun di rumah saat itu, dan aku lupa nggak bawa kunci sehingga nggak bisa masuk, membuatku terpaksa menunggu di luar. Ketika itulah aku mendengar suara benda jatuh sangat keras dari dalam rumah. Kuintip jendela ruang tengah yang terbuka. Nggak ada yang aneh, kecuali kamarku yang aku lihat tampak terang benderang dari lubang ventilasinya. Aku nggak bisa mengintip ke dalam kamar karena jendelanya ditutup. Jadi kuputuskan untuk menunggu, sampai akhirnya ibu datang. Kami langsung mengecek keadaan kamarku, dan benar aja, reruntuhan bata, kayu, dan genteng berceceran di atas lantai dan tempat tidurku. Aku bergidik. Kebiasaanku sepulang sekolah nggak lain adalah masuk kamar dan berbaring di kasur. Kalo bukan karena nggak ada orang di rumah, dan kalo bukan karena aku lupa bawa kunci, maka sangat mungkin kalo aku jadi korban reruntuhan itu. Aku bersyukur pada Tuhan, Dia masih melindungiku.

Tuhan sayang aku. Kalo bukan karena sifat pendiamku, aku mungkin udah terjerumus kedalam pergaulan yang salah, seperti kebanyakan remaja di daerah tempatku tinggal. Perempuan dan laki-laki berbaur, berdekatan tanpa rasa malu, nongkrong sampai malam di luar rumah. Na’udzubillahimindzalik. Nggak terbayang betapa malunya ibu dan bapak kalo itu sampai terjadi.

Aku yakin Tuhan sayang aku dengan cara-Nya. Semua hal buruk yang terjadi padaku mungkin terjadi karena Tuhan ingin aku menjadi pribadi yang tahan banting dan nggak cengeng, meski aku sadar, hatiku masih rapuh.

Aku yakin Tuhan sayang aku dengan cara-Nya. Aku sering meminta banyak hal, bahkan nggak jarang hingga menangis tersedu dihadapan-Nya, namun nggak kunjung Ia kabulkan. Ia justru membalas pintaku dengan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang kuinginkan. Aku sering bertanya-tanya, kenapa Tuhan seolah senang mengerjaiku? Tapi kini aku sadar bahwa memang begitu cara kerja Tuhan. Apa yang menurutku baik, belum tentu baik di mata Tuhan. Ia lebih tau apa yang baik bagi hamba-Nya. Seharusnya aku nggak meragukan skenario-Nya. Bukankah dulu Tuhan pernah menunjukkan skenario terbaik-Nya, ketika pertemuan-pertemuan tak terduga terjadi berulang kali diantara aku dan kakak kelas yang pernah aku taksir selama beberapa tahun. Meski ternyata dia bukan orang yang ditakdirkan untuk jadi life partner-ku di masa depan, tapi aku nggak menyesal pernah memendam rasa sama dia selama bertahun-tahun. I feel enough just by loving him silently. Itu adalah skenario terindah yang pernah Tuhan tulis dalam dua puluh empat tahun aku hidup.

Seharusnya aku nggak berprasangka buruk pada Tuhan. Aku sering iri dengan kehidupan orang lain yang aku rasa begitu bahagia. Tapi suatu hari seorang teman pernah bilang padaku, “Banyak orang di luar sana yang juga iri sama kamu”. Aku rasa dia benar. Aku mungkin iri dengan mereka yang hidup kaya raya, berpenampilan menarik, pandai berkomunikasi, dan punya banyak teman. Tapi aku lupa dengan mereka yang ada di bawahku. Aku nggak kaya raya, tapi kebutuhan hidupku tercukupi, sedangkan di luar sana masih banyak yang bahkan nggak mampu beli makanan meski hanya satu kali sehari. Aku mungkin bertubuh pendek dan nggak cantik, tapi tubuhku berfungsi sempurna, sementara di luar sana masih banyak orang-orang yang difabel dan berkebutuhan khusus. Aku memang nggak cukup pandai berkomunikasi, tapi aku bisa berkomunikasi secara langsung tanpa harus dengan bantuan alat atau bahasa isyarat. Aku juga punya sedikit teman, dan orangnya itu-itu aja, tapi mereka tulus menerima kurang dan lebihku, dan yang terpenting aku nggak sebatang kara. Lagipula mereka yang aku lihat bahagia belum tentu sebahagia yang terlihat kan? Mereka yang kaya raya mungkin aja sebenarnya kesepian, atau mungkin memiliki masalah hidup yang pelik. Seperti halnya salah satu vokalis favoritku, Chester Bennington. Ia kaya raya dan punya banyak penggemar. Tapi ironisnya ia justru merasa nggak bahagia dan memutuskan bunuh diri, padahal profesinya sendiri adalah sebagai seorang entertainer, penghibur, bikin orang bahagia. That’s it.

Seharusnya aku nggak berprasangka buruk pada Tuhan. Aku sering merasa bahwa aku udah cukup sering bersabar atas segala hal buruk yang menimpaku, tapi aku nggak kunjung menuai buah manis dari kesabaran yang Tuhan janjikan. Kini aku sadar bahwa mungkin aku belum mengiringi kesabaranku dengan rasa ikhlas. Selain itu, mungkin Tuhan ingin agar aku terus mendekatkan diri pada-Nya.

Sebagaimana sebuah ayat yang disebut berulang kali dalam Surat Ar-Rahman, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Aku seharusnya berterima kasih atas nikmat hidup yang Tuhan beri. Aku sadar aku nggak cukup baik. Aku takut dengan kematian. Seharusnya aku berterima kasih karena Tuhan masih memberiku nafas hingga hari ini, detik ini. Karena dengan begitu aku bisa berkesempatan untuk merubah diri menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Ia juga belum bosan mengingatkanku jika aku khilaf. Kurang sayang apa Tuhan padaku? Harusnya aku sadar itu.

This year must be one of the best years in my 20’s years life. I’m happy too much, hurt too much, cry too much, think too much, and learn too much. Hari ini aku berjanji, bahwa aku akan lebih menghargai hidupku dengan banyak bersyukur dan berprasangka baik pada Tuhan, karena aku percaya, Tuhan menyayangiku dengan cara-Nya :)
Minggu, 24 Juni 2018 0 komentar

A Day With Safira, Dzikri & Yuda

First of all aku mau mengucapkan happy wedding day buat teman SMA-ku Hary Sugiarto. Semoga jadi keluarga kecil yang rukun dan bahagia selalu. Aamiin yaa robbal alamiin.

Jadi ceritanya, hari ini aku dan Safira kondangan ke nikahan teman kami yang satu ini, dan perjalanannya tuh lumayan panjang. Well, awalnya sih hari ini kami berdua berencana meet up lagi sama Shinta. Tapi kemarin, Fira nge-WhatsApp aku kalo Hary mau nikah dan mengundang kami ke acara pernikahannya. Awalnya aku berniat datang dengan menumpang GrabBike dan ketemuan sama Fira disana (coz aku yakin kalo Fira bakal pergi dengan suaminya). Eh nggak taunya dia ngajak boncengan naik motornya, which means dia nggak bareng suaminya dan dia sendiri yang nyetir. Jadi ya udah deh, rencananya siang itu kami kondangan, sorenya baru lanjut meet up bareng Shinta.

Singkat cerita, aku dan Fira ketemuan di depan SMAN 3, Perumnas. Cukup lama juga aku menunggu dia disana, coz pas aku sampai di lokasi, dia baru berangkat. Ya aku maklum aja sih, soalnya dia bawa Dzikri, anaknya yang masih berumur empat tahun. Kasian kalo mereka yang nunggu. Dua puluh menit kemudian, Fira dan Dzikri muncul. Fira langsung mengomentari penampilanku yang katanya cewek banget (emangnya kemarin-kemarin aku keliatan macho apa ya?).

Setelah bersalaman dan berbasa-basi sebentar, kami pun berangkat. Aku yang duduk di jok belakang bertugas mengawasi Google Maps dan berkomunikasi sama Hary tentang lokasi hajatnya. Perjalanan berlangsung selama setengah jam, sebuah perjalanan terjauh yang pernah Fira lakukan dengan menyetir motor sendiri. Itupun alamatnya nggak langsung ketemu. Kami sempat nyasar ke suatu daerah, karena Hary salah memberi petunjuk. Harusnya belok kiri, malah belok kanan. Hahh.. Fira must be so tired. Kalo aku berani nyetir mah gantian deh. Tapi karena nggak bisa gantian nyetir, sebagai gantinya aku yang beli bensin dan jajanin Dzikri. Wkwkwk.. Di sisi lain aku bersyukur karena nggak jadi menumpang GrabBike. Karena kalo aku kondangan ke pernikahan Hary dengan menumpang GrabBike, bisa-bisa aku nyasar, dan nyasarnya bisa jadi lebih parah dari yang tadi.

Acara pernikahan berlangsung di sebuah rumah kecil di kawasan Cempaka, Plumbon, tepatnya di kediaman mempelai wanita. Hary sedang duduk sendirian di pelaminan ketika kami tiba.
"Mana pendampingnya, Har?" tanya Fira.
"Ini, di sebelah," katanya sambil tersenyum lebar dan menunjuk anak perempuan kecil di sudut pelaminan. Becanda. "Dia lagi ke dalam sebentar", katanya lagi. Kami manggut-manggut dan memberinya selamat, lalu menuju meja prasmanan untuk menikmati makan siang. Kami ngobrol-ngobrol sambil menikmati makanan selama beberapa lama, sekalian istirahat sejenak. Sebelum pulang, kami sempat berfoto bersama pengantin.

Waktu menunjukkan sekitar jam setengah tiga saat itu. Karena udah sore, acara meet up bareng Shinta jadi batal, karena Shinta nggak mau nantinya pulang malam (karena jalanan masih dalam kondisi arus balik, sehingga jalan dekat menuju rumah Shinta ditutup dan harus memutar). Sebagai gantinya, Fira mengajakku main ke kontrakannya di kawasan Gombol Gede. Namun sebelum itu, kami mampir ke minimarket dan beli bakso dulu di warung bakso yang nggak begitu jauh dari tempat tinggalnya.

Fira dan keluarga kecilnya tinggal di sebuah rumah kontrakan yang mereka sewa sebesar lima ratus ribu perbulan. Menurutku cukup murah untuk rumah dengan ruang tamu, dua buah kamar, satu kamar mandi, dan satu dapur. Dengan kata lain, bisa dibilang besar. Mungkin karena di kabupaten kali ya. Kalo di kota, susah nyari kontrakan dengan ruangan selengkap itu dengan harga segitu. Hari itu Doni, suami Fira sedang nggak ada di tempat. Sedang sibuk sebar undangan untuk Pilkada, katanya. Disana, sambil mengobrol, kami bertiga menikmati bakso bersama sambil minum es campur yang Safira pesan di tetangganya. We talked a lot. Safira bercerita tentang suka dukanya menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga yang ternyata nggak bisa dibilang mudah. Her husband loves her and their little son so much, tapi ada aja orang yang nggak suka dan bikin beban pikiran. Well, that's life.

Aku juga suka menggoda Dzikri. Dia yang awal bertemu sangat pendiam, lama kelamaan nggak malu lagi buat tersenyum, bersuara, bahkan menggandeng tanganku. Asli, aku seneng deh kalo ada anak kecil yang deket sama aku kayak gitu. Rasanya langka aja. Wkwkwk.. Soalnya biasanya mereka takut. Tapi belakangan ini tampaknya aku nggak menakutkan lagi bagi mereka, entah kenapa. Haha.. ^^

Sekitar jam setengah lima sore, Yuda menghubungiku, bilang kalo dia mau main ke rumah. Karena saat itu aku masih di rumah Fira, aku bilang ke dia, "Ntar tak kabarin kalo udah balik".
Jam setengah tujuh, aku baru pulang. Aku diantar Fira, sekalian dia mau minta tolong transfer uang di ATM dan mau tau rumahku juga. Di perjalanan pulang, Yuda kirim WhatsApp, ngasih kabar kalo dia udah tiba di daerah rumahku. Aku menepuk jidat. Aku dan Safira baru tiba di kawasan Cipto waktu itu, which means masih jauh, ditambah lagi aku mau nemenin Fira dulu ke ATM. Nggak enak juga kan kalo aku minta Fira buat cepat-cepat. Jadi ya udah deh, biarin aja. Toh, salah Yuda sendiri kenapa nggak tunggu kabar dari aku, kan sebelumnya aku udah bilang ke dia kalo aku bakal nge-WhatsApp dia kalo aku udah di rumah. Wkwkwk..

Beres dari ATM (itupun transfer uangnya nggak jadi karena ada kendala di rekening Fira), kami melanjutkan perjalanan ke rumahku. Ketika masuk gang, kami terheran-heran melihat Yuda yang ternyataaaa dari tadi menunggu di mulut gang.
"Hey, kamu malah nunggu disini, bukannya langsung ke rumah", kataku. Dan dia cuma membalas dengan senyuman menyebalkan. Kami pun bersama-sama menuju rumahku. Sesampainya di rumah, setelah bersalaman, aku kembali bertanya kenapa Yuda lebih memilih menunggu di mulut gang ketimbang langsung ke rumah. Mana di situ kan gelap.
"Mending gitu, daripada langsung ke rumah kamu tapi bengong doang, nggak ngapa-ngapain", jawabnya.
Lah emang tadi di mulut gang dia nggak bengong? Malah serem, gelap-gelapan. Kalo orang yang nggak kenal dia liat dia disitu mungkin dikiranya dia lagi ngawasin rumah orang, mau maling. Haha..

Setelah mengantarku, Fira nggak langsung pulang. Kami ngobrol-ngobrol dulu bertiga di teras depan. Kenapa Fira kenal Yuda? Karena waktu SMP dulu kami bersekolah di sekolah yang sama, dan pernah satu kelas di kelas dua SMP. Jadi ya gitu deh, kami jadi kayak reuni kecil jadinya. Namun karena udah cukup malam, Fira pamit. Kasihan juga Dzikri udah agak mengantuk.
"Kapan-kapan Fira main kesini lagi ya. Rumah kamu enak deh," kata Fira sebelum pulang. Aku mengangguk. Why not? Meet up bareng Shinta disini pun boleh banget.

Tinggallah Yuda. Well, sebenarnya di awal puasa kemarin, kami sempat berencana buat meet up di minggu ketiga Ramadhan, sekalian buka puasa bareng. Tapi rupanya nggak sempat karena justru di minggu itu aku lagi padat-padatnya kegiatan, jadi kami baru bisa meet up hari ini. Kami mengobrol ringan tentang teman-teman SMP kami, tentang pekerjaannya, tentang kesibukan kami masing-masing.. Intinya hari ini minus obrolan tentang hal-hal di luar nalar yang biasa kami obrolin deh. Dia juga main di rumahku nggak lama sih. Sekitar jam sembilan malam dia pamit pulang. Kami sempat merencanakan reuni bareng teman-teman SMP yang lain. Tapi untuk yang satu itu, kami lihat sikon dulu, mengingat ngumpulin orang itu nggak gampang. Buat merencanakan acara buka puasa bareng teman-teman satu geng aja kadang susah, apalagi ngumpulin yang jauh lebih banyak.

Yah, that's all, Folks. See you next time :)
Senin, 18 Juni 2018 0 komentar

Last Holiday

And finally, it's the last day of my holiday. Besok aku udah harus kembali ngantor dan beraktifitas seperti biasanya. Anyway, sebelumnya aku mau mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1439H. Taqobalallahu minna wa minkum. Mohon maaf kalo ada kata-kata atau sikapku yang kurang berkenan, khususnya tulisanku yang mungkin menyinggung perasaan kamu. Semoga Idul Fitri menjadikan kita pribadi yang lebih baik, dan semoga kita masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu bulan Ramadhan selanjutnya. Aamiin yaa robbal alamiin :)

Idul Fitri tahun ini aku rasa kurang berkesan. Aku yang berharap bisa mengikuti ibadah sholat Ied justru harus menerima kenyataan bahwa aku masih belum 'bersih' sehingga nggak bisa ikut orangtua dan adikku ke masjid pagi itu. Selain itu rasanya Idul Fitri tahun ini sepi banget. Mungkin karena banyak anggota dari keluarga besar yang nggak pulang ke Cirebon kali ya. Selebihnya, aku bersyukur karena di momen Idul Fitri aku kembali dipertemukan sama orang-orang yang sempat 'hilang', lalu kemudian muncul lagi untuk saling bermaafan. Salah satunya adalah teman masa kecilku yang dulu hitam dan kucel kayak anak ilang. Sekarang, setelah bertahun-tahun kami nggak bertemu, dia udah kayak artis, putih, ramping, dan terawat. Bahkan kabarnya sekarang dia pacaran sama oppa-oppa (tolong jangan salah-artikan sebagai lelaki renta yang udah bercucu). Memang sih setelah kami bersalam-salaman, kami nggak melanjutkan komunikasi lagi. Entahlah. Feel nya udah beda aja gitu. Teman-teman sepergaulannya kini udah sangat berbeda, begitupun dengan gaya hidupnya. Ibaratnya kami itu udah beda aliran. Waktu dulu, kami mungkin bisa sangat enjoy ngobrolin soal musik yang lagi ngehits di radio, ngobrolin tentang teman satu sekolah, atau tentang siapa naksir siapa. Tapi sekarang, obrolan yang menarik baginya mungkin seputar tempat-tempat nongkrong yang ngehits dan instagramable, gaya fashion terbaru atau tentang event-event yang asik buat seru-seruan dimana para cewek dan cowok dengan penampilan menarik berbaur menjadi satu, yang mana sangat bertolak belakang dengan obrolan yang biasa kami (aku dan teman-teman masa kecilnya yang lain) bahas. At least I'm glad to know that she still remember us :)

Siang harinya, seperti biasa, aku dan keluarga pergi ke rumah nenek di Perumnas. Dan yah, lagi-lagi kami nggak ketemu dengan beberapa orang anggota keluarga besar. Keluarga Wa Agus, tepatnya. Padahal aku kangen sama cerewetnya Azka, keponakanku yang masih berumur tiga tahun. Terakhir kami bertemu hari Minggu lalu, saat keluargaku menggelar acara buka puasa bersama. Aku ingat dia sempat ketakutan waktu nongkrong bareng Awan—suami Gege—di teras rumahku. Waktu itu Magrib, Azka mengaku melihat 'patung' dibalik pohon sawo yang tumbuh di pekarangan rumahku, padahal disana nggak ada patung. Spontan kami—para orang dewasa—antusias memberondongnya dengan pertanyaan : seperti apa wujudnya, pakai baju apa, bagaimana warna matanya, karena konon katanya anak balita mampu melihat dan merasakan apa yang nggak bisa dilihat dan dirasakan oleh orang dewasa. Errr.. Do you think he really saw ghost or something?

Di hari kedua Lebaran, aku, ibu dan adik kembali pergi ke rumah nenek. Kali ini lebih pagi, coz kami akan bersilaturahmi mengunjungi keluarga nenek di Kuningan, dan kalo nggak berangkat pagi-pagi, kami bisa terjebak macet. Tapi untungnya jalanan cukup lancar meski kami berangkat lebih siang dari yang direncanakan. Dari empat tempat tujuan kami, yang paling berkesan adalah saat kami berkunjung ke kediaman Mak Neng—adik kandung nenek—dan Abah Bening yang sebenarnya sederhana aja, tapi kami suka suasananya yang mengingatkan kami pada masa kecil.

Rumah Mak Neng dan Abah Bening terletak di kaki Gunung Ciremai. Waktu kelas tiga SD aku pernah berlibur selama beberapa hari disana bersama adik, sepupu-sepupu dan keluarga besar ibu. Selama disana, setiap hari kami mandi dengan air pegunungan yang hampir sedingin es. Setiap pagi, kami disambut pemandangan indah di seberang jalan menuju rumah : pematang sawah dan tentu aja, Gunung Ciremai yang menjulang gagah, yang nggak terlihat sejelas dan seindah itu di kota tempat kami tinggal. Di Cirebon, Ciremai terlihat biru, tapi dari tempat tinggal Mak Neng, gunung itu terlihat hijau. Kami bisa melihat rimbunnya pepohonan di atas sana dan jalannya yang berkelok-kelok. Terakhir kami main-main ke sawah disana adalah sekitar delapan tahun yang lalu. Waktu itu Almarhum Om Sukim masih hidup. Aku, adik, dan sepupu-sepupu iseng menjahili beliau. Awalnya kami cuma berniat melihat-lihat sawah, tapi sesampainya disana, kami meninggalkan beliau. Kami pergi ke tengah sawah melalui jalan-jalan setapak, nggak peduli dengan teriakan beliau yang menyuruh kami untuk kembali. Di tengah sawah, aku, adik, dan sepupu-sepupu kami berfoto bersama dengan kamera ponsel yang dulu nggak sebagus sekarang.

Kali ini kami nggak lagi mencuri kesempatan main ke sawah kayak dulu. Saat ini Gege sedang hamil lima bulan, bahaya juga kalo main-main ke sawah. Kami cukup menikmati pemandangan hijau dari pinggir jalan, meski Gunung Ciremai nggak terlihat karena tertutup awan, dan menikmati segarnya udara yang nggak sesejuk dulu, tapi juga nggak panas. Dan.. oh ya, sepupuku, Arul mengalami love at the first sight sama seorang cewek yang merupakan tetangga Mak Neng. Pertemuan mereka bisa dibilang cukup drama sih. Mereka saling tatap ketika si cewek lagi ngangkatin jemuran. Menggelikan, udah kayak adegan-adegan di FTV yang judulnya aneh-aneh itu. Kepentok Cinta di Tiang Jemuran, misalnya. Lalu dengan sangat pedenya, Arul nanya-nanya soal cewek itu sama Mak Neng, malah sempat titip salam segala. Tapi sepertinya si Arul ini nggak naksir sendirian sih, karena beberapa saat sebelum kami pulang, Bibi Elly mengaku melihat cewek itu mengintip dari jendela. Mengetahui hal itu, Arul cengar-cengir aja. "Sering-sering main kesini ah", katanya.

Hari Minggu-nya, aku jalan-jalan bareng Tri ke CSB Mall. Rencana awalnya sih sebenarnya cuma nganter Tri ke bank. Tapi setelah itu, kami memutuskan buat pergi jalan-jalan sebentar. Yah, sekedar mengusir penat, sekalian cari jajan. Disana kami cuma nongkrong di Foodlicious, makan crispy chicken dan kentang goreng sambil ngobrol-ngobrol. 

Daaan.. hari ini, aku menghabiskan hari libur terakhirku bersama adik dan dua teman masa kecil kami, Tri dan Dewi. Kami berkumpul di kediamanku selepas Magrib, lantas menumpang Gr*bC*r ke CSB Mall. Kenapa ke CSB Mall terus? Karena disana banyak tempat nongkrong yang enak. Muehehe..
Dan baru aja kami saling maaf-maafan berkat momen Lebaran kemarin, tapi sepanjang perjalanan menuju CSB Mall, kami udah bikin dosa lagi dengan ngetawain adikku yang di-bully sama Dewi. Bukan bully yang gimana-gimana sih. Jadi ceritanya adikku itu punya tahi lalat di atas bibir sebelah kirinya. Nah, tahi lalat itu jadi bahan ledekan. Waktu itu pemutar musik di mobil tengah memutar lagu Cinta Sejati-nya Bunga Citra Lestari, liriknya Dewi ganti dengan kalimat-kalimat ejekan. Aku nggak mau ngetawain, tapi lirik yang Dewi ciptakan secara spontan itu kelewat kreatif. But however, adikku kalem-kalem aja sih melihat kami ketawa-ketawa. Well, dia memang udah terbiasa digituin, dan dia tau kami cuma bercanda.

Sesampainya di CSB Mall, Tri minta antar ke toilet untuk beresin kerudung. Jadi, aku dan Dewi antar dia dulu deh, sementara adikku menunggu di luar. Aaaannd.. lagi-lagi hal absurd terjadi. Kami bertiga menelusuri lorong menuju toilet. Dengan bersenandung ria, Dewi berjalan paling depan dan masuk ke salah satu pintu, sebelum akhirnya kami menyadari bahwa dia masuk toilet cowok. Sedetik kemudian, Dewi berbalik dan ngibrit keluar lorong, nggak balik-balik lagi. Aku dan Tri yang melihat insiden itu ketawa sejadi-jadinya. Tri bahkan sampai terjongkok-jongkok, bikin semua mata pengunjung toilet tertuju padanya. Hmm.. mungkin Si Dewi ini kurang Aqua, atau mungkin insiden yang terjadi itu merupakan bentuk dari doa adikku yang teraniaya, langsung diijabah sama Allah. Dengan kata lain, Dewi kualat. Wkwk..

Setelah mengantar Tri ke toilet, kami berempat naik ke lantai tiga. Kami berencana makan di Tea House, tapi ternyata tempatnya penuh, jadi kami terpaksa harus menunggu. Sambil menunggu meja kosong, aku mengantar Tri beli tteokbokki dan crispy chicken di Holdak. Nggak menunggu waktu begitu lama, kami akhirnya mendapat meja kosong di Tea House. Tempatnya cukup nyaman. Kami mengobrol, bercanda, dan berfoto-foto di sela-sela makan. Disini untuk kesekian kalinya kami tertawa karena suatu hal. Waktu itu kami sedang asyik ngobrol, aku lupa ngobrolin apa. Tiba-tiba, Tri cengengesan sendiri. Karena nggak menemukan ada yang lucu, kami pun bertanya sama dia, kenapa tiba-tiba ketawa sendiri.
"Coba lihat orang di belakang Teteh", bisiknya. Kami pun celingukan, mencari orang yang dia maksud.
"Mana sih? Arah jam berapa?" tanya Dewi.
"Oh.." tiba-tiba adikku menggumam dan langsung cengengesan. "Itu lho, bapak yang ketutupan pilar".
Kami sontak melihat ke arahnya, dan langsung mengerti apa yang ditertawakan Tri tadi : belahan tubuh bagian belakang *you know what I mean, right?Jadi bapak itu nggak sadar kalo bagian bawah kaosnya tersingkap dan celananya agak melorot saat ia duduk sehingga menampilkan aurat.
"Mata kamu punya auto-focus ya?" ledekku. Tri ketawa-ketawa aja. Nggak lama setelah itu, kami pun beranjak dari sana.

Dari Tea House, kami nggak langsung pulang sih, tapi sempat lihat-lihat aksesoris cewek dan aksesoris handphone dulu. Dari situ, Dewi membeli ikat rambut, sedangkan aku membeli tempered glass buat hapeku. Habis itu, baru deh kami pulang.

Haaaaahh.. I was soooo happy today. Hope we can spend time together again next time. Di Tea House tadi kami sempat merencanakan refreshing ke Bandung bulan Juli mendatang, hanya aja belum fix sih. Mudah-mudahan aja bisa terlaksana. Aamiin.
Rabu, 13 Juni 2018 0 komentar

Dua Hari Menjelang Idul Fitri


Soo.. it’s just two days to go, menuju Idul Fitri 1 Syawal 1439H. Semoga aku nggak menyesal, karena jujur untuk ramadhan tahun ini, ibadahku kurang maksimal. Ibadah full aku lakukan di rumah, termasuk shalat Tarawih. Dan di hari-hari terakhir ramadhan tahun ini, aku cuma berharap agar besok aku bisa berkesempatan untuk menikmati puasa hari terakhir dan shalat Ied. Soalnya udah seminggu ini aku bolos puasa dan shalat karena kedatangan ‘tamu’.

Well, setelah kemarin aku mengikuti acara buka puasa bersama para karyawan di kantor tempatku bekerja, hari ini aku berbuka puasa bersama adik dan teman-teman masa kecil kami. Siapa lagi kalo bukan Tri dan Dewi? Kebetulan adikku udah di Cirebon sejak lima hari yang lalu.

Sekitar jam setengah lima sore, aku yang dijemput adik dari kantor langsung menuju lokasi dimana kami akan mengadakan acara buka puasa bersama. Kami janjian ketemuan di McDonalds Kartini. Disana rupanya Dewi udah tiba lebih dulu dan memesan makanan. Dia nggak sendiri, melainkan ditemani Adrian—keponakannya yang masih berusia tiga tahun—yang waktu itu asik mengunyah ayam goreng dan french fries. Karena nggak mau ngantri terlalu lama, aku dan adik langsung memesan makanan. Ya know lah, kalo udah mendekati waktu Maghrib, tempat pasti udah rame dan antriannya pasti panjang banget.

Aku memesan dua paket spicy chicken buat aku dan adik, yang nggak aku tau bahwa rasanya ternyata pedes gila (untukku yang nggak begitu suka pedes). Waktu itu Dewi cerita,
“Tau nggak sih, waktu itu aku ke McD sama temanku dan pesan makanan baru menjelang Maghrib, ternyata ayam gorengnya tinggal yang spicy doang. Yang lainnya habis. Dan tau nggak? Kami semua kepedesan, termasuk temanku yang suka banget sama pedes”.
Aku langsung shocked. Masa sih?
Penasaran, aku comot deh secuil kulit ayam goreng yang aku pesan, dan ternyata benar, baru secuil aja udah kerasa pedesnya.
“Bener kan?” tanya Dewi. Aku manggut-manggut sambil nyeruput lemon tea. Nyesel pesan yang spicy. Kirain nggak sepedas itu, coz ayam goreng di resto fast food sebelah nggak sepedes ini. Melihat reaksiku, adikku—yang juga nggak terlalu suka pedes—mutung.
“Teteh sih.. Ane lagi sariawan di empat titik, malah dipesenin yang pedes. Mana ada jerawat pula di bawah idung”, protesnya. Oke, makan pedes bikin sariawan perih, tapi apa hubungannya dengan jerawat di bawah idung? Lagian heran juga kenapa anak itu protes. Lah waktu ditanya mau pesan apa, dia bilang, “Samain aja” (-__-‘)

Sekitar jam setengah enam, Tri baru tiba. Anyway, dia baru aja terapi akupuntur di kawasan Merdeka, makanya telat. Karena udah masuk waktu buka puasa, kami pun makan. Aku makan pelan-pelan gara-gara kepedesan, sedangkan adikku yang tadi protes ternyata nyantai aja. Malah dia ngabisin kulit ayam yang aku sisihkan (karena itu bagian pedesnya). Setelah makan, seperti biasa kami pun foto-foto.

Puas foto-foto, kami pun keluar dari McD. Kami menunggu mobil jemputan Dewi dan Tri di parkiran. Aku menggandeng Adrian yang entah kenapa tiba-tiba jadi lengket sama aku. Selama menunggu jemputan, si ganteng ini asik bergelayut di lenganku. Ini aneh, karena biasanya anak kecil takut sama aku, ini enggak. Haha.. Aura seramku hilang kali ya? Apa karena bulan Ramadhan? Wkwkwk.. Entahlah. Ketika mobil jemputan datang, kami pun berpisah dan janjian ketemu di rumahku.

Di rumah, Adrian kembali mengekor tantenya. Dia nggak mau ditinggal di rumah. Akhirnya diajak pula lah dia ke rumahku. Sementara Dewi dan adikku main playstation, aku dan Tri sibuk meladeni Adrian yang asik menangkis balon tiup pakai raket nyamuk (dikira tenis kali ya). Ada hal lucu waktu itu. Beberapa lama setelah meladeni Adrian main ‘balon tenis’, aku pun meninggalkan Adrian yang akhirnya anteng main game. Aku masuk kamar untuk melepas jilbab dan menggantinya dengan topi kupluk, setelah itu aku ke toilet buat buang air kecil. Tapi Adrian tiba-tiba mengejarku.
“Tanteeeee..” teriaknya. Aku pun menunda ke toilet dan menghampirinya.
“Apa?” tanyaku. Trus tau nggak dia bilang apa?
“Ih, tante yang tadi pakai kerudung biru mana?” gitu. Rupanya dia nggak ngenalin aku yang udah lepas jilbab. Wkwkwk..

Sekitar jam sembilan malam, mereka pun pulang. Itu pun Adrian harus dibujuk habis-habisan karena dia asik memencet-mencet tombol joystick sambil menonton adikku yang main PS. Well, intinya I was so happy today. Aku bersyukur bisa menikmati hari-hari terakhir bareng teman-teman masa kecil. Bersyukur juga karena untuk Idul Fitri tahun ini aku mendapat jatah libur selama lima hari, nggak tiga hari kayak tahun lalu. Wkwk.. Lumayan lah.

The last.. Happy long weekend, Everyone.. :)
Selasa, 05 Juni 2018 0 komentar

BUKU : Tentang Kamu by Tere Liye

Terima kasih untuk kesempatan mengenalmu, itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan, cintalah yang akan menemukan kita. Terima kasih. Nasihat lama itu benar sekali, aku tidak akan menangis karena sesuatu telah berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu itu pernah terjadi. Masa lalu. Rasa sakit. Masa depan. Mimpi-mimpi. Semua akan berlalu, seperti sungai yang mengalir. Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai kehidupan.




Aaargh.. I really thank to Bang Darwis ‘Tere Liye’ for writing this super-awesome book!
Sebuah kisah yang benar-benar menggugah. Ini bukan pertama kalinya aku terkesan dengan karya Tere Liye. Dari sepuluh buku tulisan Tere Liye yang aku punya sebelumnya, yakni Rindu, Hujan, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Pulang, Negeri Para Bedebah, Serial Bumi (Bumi, Bulan, Matahari, Bintang), aku suka semuanya. Dan sejauh ini, buku inilah yang entah kenapa aku rasa paling mengena. I dunno.. Mungkin karena belakangan ini perasaanku sedang melankolis. Mood swing selama dua pekan terakhir. Dan aku bersyukur buku ini aku baca di saat yang tepat—padahal belinya tahun lalu. Well, rasanya seperti oase di tengah gurun.

***

Kisah berawal ketika Thompson & Co., sebuah firma hukum di Belgrave Square, London, menerima kabar dari sebuah panti jompo di Paris, bahwa salah satu kliennya meninggal dunia. Tak tanggung-tanggung, sang klien yang meninggal di usia tujuh puluh tahun itu meninggalkan harta warisan sebesar satu miliar poundsterling, atau setara sembilan belas triliun rupiah. Namun Sri Ningsih, nama klien tersebut nggak meninggalkan surat wasiat sebelum meninggal, kecuali selembar surat keterangan yang menerangkan jika sang klien adalah pemilik sah 1% surat saham di perusahaan besar, dan amanat kepada firma hukum tersebut untuk menyelesaikan masalah harta warisannya dengan seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.

Adalah Zaman Zulkarnaen, seorang pengacara muda dari firma hukum tersebut yang ditugaskan untuk mengusut kasus itu (dengan alasan karena sama-sama orang Indonesia). Dengan penuh tanggung jawab, Zaman menelusuri latar belakang dan perjalanan hidup Sri demi mencari siapa pewaris yang berhak atas harta kliennya tersebut. Dari penelusurannya, terkuaklah pahit getir hidup yang dijalani Sri selama puluhan tahun.

Sejak lahir, Sri tinggal di sebuah rumah panggung di Pulau Bungin, Sumbawa, bersama ayahnya yang berprofesi sebagai seorang nelayan besar. Ibu kandungnya meninggal, sesaat setelah melahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sang ayah menikah lagi dengan seorang kembang desa di pulau itu. Awalnya segalanya berjalan baik dan indah, sampai pada suatu hari, takdir merenggut kebahagiaan mereka. Ayah Sri meninggal saat berlayar. Ibu tiri Sri yang sangat terpukul dengan kepergian suaminya perlahan-lahan berubah tabiatnya. Ia yang awalnya sangat menyayangi Sri seperti anak kandungnya sendiri, berubah menjadi membencinya. Tanpa belas kasihan, ia menyuruh Sri mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ia bahkan tega menyebut Sri dengan sebutan ‘anak kecil yang dikutuk’. Namun Sri selalu menerima segala perlakuan dan nasib buruknya itu dengan hati lapang. Ia bahkan sama sekali nggak membenci ibu tirinya, padahal usianya masih delapan tahun saat itu.

Di usia empat belas tahun, Sri meninggalkan Pulau Bungin untuk mengenyam pendidikan madrasah di Surakarta, Jawa Tengah. Selama empat tahun, Sri menjalani kehidupannya sebagai seorang pelajar di madrasah itu, hingga akhirnya ia lulus dan diangkat menjadi guru pengajar. Namun kesabarannya kembali diuji ketika salah seorang sahabat tega mengkhianatinya.

Di usia ke dua puluh satu tahun, Sri merantau ke ibu kota, Jakarta. Memulai hidup baru. Dengan gigih ia mencari pekerjaan disana, kemudian mengumpulkan modal dan mulai membangun bisnis. Mulai dari berjualan nasi goreng, bakso, mie ayam, hingga berjualan sayur keliling dengan gerobak. Sukses mengumpulkan uang dengan berdagang, Sri berubah haluan menjadi pengusaha rental mobil. Namun sayangnya, sebuah insiden memaksa Sri untuk memulai semuanya dari awal. Setelah insiden itu, Sri bekerja sebagai seorang pengawas pabrik di sebuah pabrik sabun cuci. Di tahun ketiga, Sri berhenti dari pekerjaannya dan kembali memulai bisnis sendiri dengan membangun pabrik sabun mandi. Namun entah kenapa, di puncak karier bisnisnya, Sri justru memilih pergi meninggalkan Indonesia dan memulai kehidupannya lagi dari nol di London. Ia tinggal di sebuah apartemen sederhana, menjalani hidup sebagai seorang supir bus, dan menemukan cinta sejatinya disana.

Well, aku sering menghindari hal-hal berbau romantis dalam cerita. Tapi entah kenapa aku selalu suka bagian romantis dari cerita yang ditulis Tere Liye. Manis, tapi nggak berlebihan. Aku terkesan dengan kisah cinta antara Sri dan Hakan, lelaki asal Turki yang ia temui di bus. Hakan yang tampan dan pemalu jatuh cinta dengan Sri yang digambarkan bertubuh pendek, gempal, dan berkulit gelap. Setiap hari, Hakan selalu menumpang bus yang dikemudikan Sri hanya demi mendapat kesempatan mengobrol bersama Sri selama lima menit, meski Sri sendiri hanya menanggapinya dengan kalimat-kalimat pendek. Karena sering bertemu, akhirnya Sri takluk. Saat itu usianya sudah menginjak tiga puluh tujuh tahun, Sri pertama kalinya merasakan jatuh cinta. Ia akhirnya menikah dengan Hakan. Namun kebahagiaan mereka terenggut tatkala mereka harus kehilangan bayi mereka sebanyak dua kali. Hal itu benar-benar membuat Sri terpukul. Ia benar-benar kehilangan separuh semangat hidup. Namun Hakan berkomitmen penuh menemani istrinya melewati fase itu, selalu ada di sampingnya apapun yang terjadi.

“Kamu tahu, Sri.. Apa yang membuat pernikahan orang tua dulu langgeng berpuluh-puluh tahun? Karena mereka jatuh cinta setiap hari pada orang yang sama. Itulah yang terjadi. Maka, kesedihan apapun, ujian seberat apapun bisa dilewati dengan baik. Aku berjanji, Sri. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi padaku. Agar aku bisa menyaksikan Sri yang selalu riang. Sri yang selalu sederhana menatap kehidupan ini”. (hal. 385)

Di usia pernikahan mereka yang ketiga belas tahun, Hakan meninggal dunia. Sri kembali banyak merenung, memikirkan betapa banyak pengorbanan yang dulu dilakukan suaminya, sejak PDKT hingga akhir hayatnya.

“Kamu tahu, Sri, kenapa aku baru menikah di usia tiga puluh sembilan tahun?” Hakan bertanya pelan.
“Karena kamu laki-laki yang pemalu”, Sri menjawab.
“Bukan, Sri.” Hakan menggeleng, “Melainkan agar kita bisa bertemu dan menikah.”

***

Seriously, I was crying again and again! Nggak bermaksud berlebihan, tapi setiap lembar buku ini benar-benar mengesankan. Seperti biasanya, Tere Liye mampu menggambarkan sesuatu secara detail, mampu membawa pembaca seakan benar-benar ada disitu, menyaksikan seluruh kejadian yang ada dalam cerita. Dan hampir setiap episode dalam hidup Sri benar-benar mengaduk-aduk perasaan. Saat ia digambarkan bersedih, pembaca ikut merana. Saat ia bersuka cita, pembaca ikut bahagia. Saat ia jatuh cinta, pembaca pun ikut kasmaran. Really, I feel that! Dan kisah asmara antara Sri dan Hakan ini mengingatkanku pada sesuatu.

Someone used to ask me a question, “Mana yang akan kamu pilih : Ditinggalkan oleh seseorang yang kamu sayang (dalam artian pasangan) karena suatu hal? Atau ditinggalkan karena seseorang yang kamu sayang itu meninggal dunia?”
Waktu itu aku memilih pilihan jawaban yang kedua, dengan alasan bahwa aku nggak mau melihat orang yang aku sayangi dimiliki oleh orang lain, dan rasanya tentu sangat menyakitkan ketika kita ditinggalkan seseorang karena orang itu udah nggak sayang lagi, bosan, atau menemukan seseorang yang lebih menarik dari kita. Sekarang aku memiliki alasan lain kenapa aku memilih pilihan jawaban yang kedua. Karena meski rasa sakit karena ditinggalkan itu tetap dan tentu saja ada, tapi seenggaknya kita tau bahwa orang yang kita sayangi itu pun juga menyayangi kita hingga hembusan napas terakhirnya. That’s it :)

Anyway, aku nggak mau spoiler tentang kisah perjalanan hidup Sri Ningsih secara detail, atau kepada siapa harta Sri itu diwariskan, dan bagaimana ending ceritanya. You should read this if you wanna know how powerful this book is. Intinya, lewat novel ini, Tere Liye ingin mengajarkan pembacanya tentang kesabaran tanpa batas melalui sosok Sri Ningsih yang begitu tegar menjalani kisah hidupnya yang begitu pelik.

***

Ibu, Bapak, bagaimana agar kita bisa berdamai dengan begitu banyak kejadian menyakitkan? Bagaimana jika semua hal menyesakkan itu ibarat hujand deras di tengah lapangan, kita harus melewati lapangan menuju tempat berteduh di seberang, dan setiap tetes air hujan laksana setiap hal menyakitkan dalam hidup? Bagaimana agar Sri bisa tiba di tempat tujuan tanpa terkena satu tetes airnya? Sri sekarang tahu jawabannya. Yaitu justru dengan lompatlah ke tengah hujan, biarkan seluruh tubuh kuyup. Menarilah bersama setiap tetesnya, tarian penerimaan, jangan pernah dilawan, karena sia-sia saja, kita pasti basah. Di sini, di kota dengan Menara Eiffel yang indah dipandang mata, Sungai Seine mengalir elok. Di sini, di jantung peradaban budaya dunia, terima kasih telah mengajariku tentang hakikat kehidupan. Sri akan memeluk semua rasa sakit. Dulu. Sekarang. Esok lusa hingga kita bertemu lagi. (hal. 457)
Minggu, 03 Juni 2018 0 komentar

Writing is..


Apa sih menulis itu?

Sebagai seorang Blogger, salah satu penulis favoritku, Raditya Dika mengungkapkan bahwa menulis merupakan pelampiasan hidup sehari-harinya yang biasa aja. Bagiku, menulis adalah salah satu cara untuk bertahan hidup. Kenapa?

Well, menurutku, di dunia ini nggak ada satupun orang yang mampu memendam unek-unek sendirian. Mereka pasti butuh seseorang atau sesuatu untuk menumpahkan semua itu. Bisa dibayangkan nggak sih, gimana rasanya punya masalah atau unek-unek yang menumpuk di pikiran dan nggak terlampiaskan? Pasti rasanya stres dan nyesek banget, bahkan bisa berujung depresi atau bahkan bunuh diri.

Aku hobi menulis diary sejak kelas tiga SD. Waktu itu aku terinspirasi dari sebuah cerita dalam buku kumpulan cerpen yang aku baca tentang seorang gadis yang gemar menulis buku harian. Sejak saat itu, aku tuliskan cerita sehari-hariku dalam sebuah buku. Semuanya. Bahkan meskipun hari itu nggak ada sesuatu yang menarik untuk kuceritakan pun tetap aku tulis :

‘Hai, Diary. Hari ini nggak ada cerita menarik. Maaf ya. Semoga besok ada cerita yang menyenangkan. Dadah..’

Menggelikan juga kalo aku baca ulang. Hahaha.. Iya, semua buku harian yang kutulis masih tersimpan sampai sekarang.

Tiga tahun setelah itu, aku mengalami hari-hari berat di sekolah. Hampir setiap hari, sampai aku lulus SD. Dan ironisnya, setelah lulus SD keadaan nggak kunjung membaik. Hal yang sama aku alami di kelas satu SMP, dan baru berakhir ketika aku naik kelas dua dan pindah kelas. Ketika itulah aku merasa betapa buku harian sangat berperan untuk menumpahkan segala perasaan. Aku yang dulu rata-rata menghabiskan setengah sampai satu halaman buku untuk menuliskan cerita sehari-hariku, tapi sejak keadaan menjadi sulit, aku bisa menuliskannya berlembar-lembar. Aku bukannya nggak butuh orang lain untuk curhat. Aku pernah melakukannya pada salah satu orang yang paling kupercaya. Tapi yang terjadi kemudian adalah cerita itu sampai pada orang ketiga dan berujung aku diolok-olok. Dengan kata lain, semakin memperburuk keadaan.

Sejak saat itu aku jadi canggung untuk menceritakan masalahku pada orang lain. Aku bersyukur karena aku hidup di era millenial dimana internet berperan sangat besar. Media sosial menjamur, orang-orang bebas berekspresi di dunia maya. Menurutku, berkeluh kesah di media sosial itu sah-sah aja, selama itu nggak terlalu berlebihan dan nggak mengumbar aib. Karena seperti kataku tadi, setiap orang butuh menumpahkan unek-unek. Dan kalo mereka nggak punya seseorang yang bisa diajak curhat, media sosial bisa menjadi wadah. Tapi bukan berarti melupakan Tuhan lho ya. Tuhan tetap menjadi pusat bagi siapapun yang beragama untuk berkeluh kesah. Dia pendengar dan pemberi solusi yang terbaik dibanding siapapun. Aku pribadi sering kok curhat sama Tuhan. Tapi entah kenapa rasanya kurang lega aja gitu kalo belum menumpahkannya kedalam sebuah tulisan. Maka kuputuskanlah untuk membuat blog.

Anyway, aku punya dua blog yang berisi curhatan dan catatan harian. Yang pertama adalah blog dengan catatan random, yang sedang kamu baca sekarang, yang dibuat delapan tahun lalu, tepat setelah aku berhenti menggunakan buku harian untuk menulis diary. Yang kedua adalah blog dengan curhatan yang lebih bersifat pribadi. Siapapun nggak akan menemukan namaku disana. Dengan begitu aku bisa lebih bebas menumpahkan unek-unek tanpa harus merasa khawatir dihakimi apalagi diolok-olok. You know, nggak ada siapapun yang benar-benar bisa mengerti dirimu, kecuali Tuhan dan dirimu sendiri.
Jumat, 01 Juni 2018 0 komentar

Buka Puasa Bareng MusTanG

Ini hari pertama aku dan teman-teman satu band mengadakan rehearsal lagi setelah kami manggung di CSB Mall beberapa waktu lalu.

Wait, wait.. seorang Putri Vidialesta jadi anak band?

Enggak kok. Aku masih tetap anak ibu dan bapak :)

Well, aku belum cerita ya? Jadi ceritanya bulan Maret lalu, Bapak Presiden Direktur di tempat aku bekerja mencetuskan sebuah ide untuk mendirikan sebuah band yang personilnya terdiri dari para karyawan dari perusahaan yang beliau pimpin. Band ini nantinya akan berperan dalam pembuatan jingle perusahaan. Selain itu, band ini pun nantinya akan diundang untuk mengisi acara hari jadi kantor-kantor cabang kami yang tersebar di beberapa kota di Indonesia, yakni Bekasi, Pekanbaru dan Tasikmalaya.

Menjelang hari jadi kantor cabang Cirebon bulan Maret lalu, ditunjuklah beberapa orang karyawan untuk menjadi personil. Nggak sulit untuk menemukan para pemain musik untuk band ini. Yang sulit adalah menentukan vokalis. Sebenarnya pada dasarnya, hampir setiap karyawan di kantor kami memiliki hobi menyanyi. Hanya aja mereka malu untuk unjuk gigi, tak terkecuali aku. Ada beberapa orang yang percaya diri, tapi mereka terbiasa membawakan lagu dangdut atau tarling, sama sekali nggak cocok dengan band kami. Saat Bapak Kepala HRD menentukan beberapa calon kandidat vokalis via WhatsApp Group, Ryan merekomendasikan aku untuk bergabung.
“Beda aliran”, responku waktu itu.
“Putri mah aliran Metal ya”, ledek Mas Febri.
“Bukan, Putri mah aliran kosidah”, Pak Asep ANALIS ikut menimpali.
 Intinya aku menolak ajakan itu.

Sebenarnya perihal beda aliran itu bukan satu-satunya alasanku menolak bergabung. Memang sih, berada dalam sebuah band adalah mimpiku dari dulu. Hanya aja aku memiliki beberapa alasan kenapa aku menolak. Pertama, aku biasa karaokean via Smule, tapi lagu yang kubawakan itu cocok-cocokan. Kebanyakan lagu-lagu seperti yang dibawakan Paramore, One Ok Rock, My Chemical Romance, Automatic Loveletter, dan Versa Emerge yang aku rasa cocok dengan karakter suaraku. Sedangkan dalam band itu cuma Ryan satu-satunya personil yang seenggaknya sealiran denganku. Anyway, Ryan ini udah biasa manggung dan penggemar Japanese Rock. Dia penggemar Laruku dan VAMPS, tapi nggak jarang juga membawakan lagu-lagu One Ok Rock. Tapi kan rasanya nggak mungkin kalo band kantor ini membawakan lagu-lagu mereka nantinya. Nggak semua orang suka musik Rock. Alasan kedua adalah karena aku malu, nggak percaya diri tampil didepan banyak orang. Semua orang yang mengenalku tau itu. Akhirnya diputuskanlah salah seorang Sales untuk menjadi vokalis dalam band itu, dan Presiden Direktur memberi band itu dengan nama MusTanG.

Tapiii.. satu hari sebelum acara hari jadi kantor cabang Cirebon itu berlangsung, aku sempat iseng ikut mereka latihan, duet sama vokalis mereka. Yah, sekedar ingin tau aja sih, gimana rasanya menyanyi dengan diiringi band beneran. Ternyata rasanya asik, lebih mengasyikan dari karaoke, karena di studio, aku bisa menyanyi dengan lebih lepas tanpa harus khawatir diteriakin tetangga. Hanya aja bersamaan dengan itu, aku juga merasa kurang menikmati sensasinya. Mungkin karena lagu yang dibawakan kurang cocok dengan seleraku, atau karena aku kurang cocok dengan partner duetku saat itu.

Namun itu hanya awal. Bulan lalu, aku mantap bergabung dengan MusTanG. Waktu itu di pikiranku muncul sebuah niat yang memotivasiku untuk bergabung. Aku nggak peduli bahwa pertama dan terakhir kali aku tampil didepan umum beberapa tahun silam berujung malu (waktu itu aku didaftarkan mewakili sekolah untuk menjadi peserta debat Bahasa Inggris antar sekolah). Entah gimana penampilanku di panggung nantinya, itu urusan belakangan. Niatku benar-benar menggebu saat itu. Kebetulan saat itu posisi vokalis sedang kosong (karena akhirnya vokalis yang kemarin nggak meneruskan bergabung dalam band), dan para personil MusTanG menerimaku dengan tangan terbuka. Akhirnya setelah beberapa kali bongkar pasang personil—khususnya di posisi vokalis—ditetapkanlah enam orang personil dalam band ini, yakni aku (Vocalist I), Dhea (Sekretaris Direksi, Vocalist II), Mister Chokai (Analis, Lead Guitarist, Mas Win (Customer Service, Rhythm Guitarist), Ryan (Pramuniaga, Bassist), dan Mas Febri (Admin Purchasing, Drummer).

Minggu kedua di bulan Mei, kami manggung di CSB Mall, salah satu mall terbesar di kota kami yang saat itu tengah mengadakan job fair, dan kami menjadi satu-satunya band yang tampil pada hari itu. Itupun Mister Chokai ngabarinnya bisa dibilang mendadak, dan kami (kalo nggak salah) cuma latihan dua kali pasca dikabari soal manggung di mall tersebut

Jadi gimana rasanya manggung di depan umum untuk pertama kali?
Nano-nano banget! Apalagi dalam kondisi mood-ku yang saat itu nggak beraturan. Tapi kalo boleh memilih antara menyanyi atau bicara didepan umum, aku lebih pilih nyanyi deh. Seriously. Ini aneh lho.. Selama manggung waktu itu, aku justru merasa enjoy ketika nyanyi, dan seketika merasa uncomfortable ketika musik berhenti, karena pada saat itu aku harus berkomunikasi dengan penonton dan aku bingung harus ngomong apa. Alhasil selama sesi berkomunikasi dengan penonton itu, aku lebih banyak diam sambil mati-matian menahan rasa gugup. Untung ada Dhea yang bisa diandalkan dalam hal ini. Hahaha..

Dan nggak tau kenapa, ketika manggung itu aku justru senang ketika beberapa orang merekam atau memotret performance kami di atas panggung. Padahal biasanya aku risih kalo direkam atau dipotret tanpa ijin kayak gitu. Wkwk..


***

Alright. Back to today’s story.

Jam empat sore, kami berkumpul di Kanza Music Studio. Ryan seperti biasa bawa buntut (baca : Inggit. Wkwk..). Dhea datang terlambat waktu itu. Yah, wajar sih, dia datang langsung dari Bekasi, jadi kami maklum. Di jalan pasti macet banget. Akhirnya sambil menunggu Dhea, kami pun melakukan check sound. Dhea datang sekitar setengah jam kemudian. Sesi latihan pun berjalan seperti biasa. Tapi entah kenapa untuk latihan kali ini aku merasa nggak se-enjoy dan se-excited biasanya. Rasanya biasa aja gitu, nggak fun kayak latihan sebelum manggung waktu itu.

Sekitar jam enam sore, kami menyudahi latihan dan memutuskan buat makan di Markas Food Camp. Awalnya kami sempat khawatir nggak kebagian tempat, karena you know lah, kalo bulan Ramadhan, jam enam itu dimana-mana rumah makan penuh semua, karena udah masuk waktu buka puasa. Tapi syukurlah, kami nggak perlu cari tempat lain buat ngisi perut. Kami memesan meja untuk delapan orang (aku, Inggit, Ryan, Mas Win, Mas Febri, Mister Chokai, Dhea, dan sopirnya). Aku yang waktu itu memesan nasi goreng seafood diledekin teman-teman karena dilayani paling akhir. Yang lain udah mulai makan, aku masih ngaduk-ngaduk whiped cream di atas segelas black forest mix blend didepanku saking betenya nunggu pesanan jadi. Tapi begitu pesananku jadi, Mas Win, Mas Feb, dan Ryan kasak-kusuk bertiga.
“Ribut apa sih?” tanya Mister Chokai.
“Ini, pada ributin kerupuk. Nasi gorengnya Mbak Put ada kerupuknya, punya mereka nggak ada”, jawab Inggit. Aku cengengesan aja dengernya. Wkwk.. Rejeki orang sabar.

Seluruh biaya makan kami dibayar perusahaan sore itu melalui Dhea. Sekitar jam setengah delapan, kami bubar. Dhea dan supirnya pamit. Malam itu juga mereka kembali ke Bekasi.

Ah, thanks for today, Guys. I didn’t feel fine today, but I felt quite better with you all :)

Total Tayangan Halaman

 
;